“Sekarang siapa lagi korban penipuan kamu?” Tanya Dirga begitu berdiri tepat di depan Wina.
Perasaan tadi aku udah menghindar, kenapa ketemu lagi sih? Gerutu Wina dalam hati.
Iya, sebenarnya tadi Wina sudah melihat Dirga di loby rumah sakit, dan untuk menghindarinya Wina buru-buru lari ke taman. Ia merasa belum siap ketemu Dirga karena belum menyusun strategi untuk melakukan misi.
Bahkan detail data diri Dirga sebagai amunisi saja belum Wina dapatkan dari Rizal. Jadi untuk sementara ia harus terus berpura-pura untuk jadi si Bocah SMP.
“Kenapa diem aja?! Apapun keadaannya, perbuatan kamu itu tetap tidak bisa dibenarkan!”
Mereka saling menatap dalam diam. Dirga yang menunggu jawaban, dan Wina yang tidak ingin menjawab. Kebetulan keadaan di taman lumayan ramai dengan orang-orang yang sedang menikmati matahari pagi.
Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk Wina lari dari keadaan ini. Masa harus kaya gitu si?
“eeeee...”
“Kenapa? Gak bisa jawab kan?!” Hardik Dirga tak sabar menunggu jawaban kekalahan dari bocah di depannya. Sebenarnya Dirga tidak mempermasalahkan uangnya, tapi ia sangat malu kemarin difitnah di depan banyak orang.
Sementara Wina mulai keringat dingin karena orang-orang di sekitarnya mulai memperhatikan interaksi Dirga dan Wina.
Wah ada masalah apa mereka?
Sepertinya anak itu sedang dimarahin
Laki-lakinya marah banget, korban penipuan tadi bilangnya
Dan masih banyak lagi omongan-omongan ngelantur yang mulai menarik perhatian pengunjung taman lainnya.
Wina mulai akan melancarkan aksinya. Memasang wajah sedih, menundukkan pandangannya sambil menunggu air matanya keluar.
Mata Wina yang mulai berkaca-kaca membuat Dirga mulai curiga. Alarm waspada mulai ia pasang. Ia curiga akan ada aksi fitnah untuk kedua kalinya. Saking yakinnya, Dirga sampai menghitung dalam hati. Dirga yakin tidak sampai 10 detik lawan bicaranya yang dari tadi tidak bicara itu akan berulah
Tiba-tiba, Wina langsung jongkok. Pipinya mulai basah.
Tuh kan, beneran!
“Om, aku mohon. Ini uang terakhir aku buat makan seminggu. A-aku janji, ba-bakalan balikin kalau udah ngumpul.” Mohon Wina sambil berlutut dengan tangan yang tiba-tiba sudah menggenggam uang lecek 20 ribuan.
Sumpah ini bocah drama banget! Mana orang-orang pada percaya lagi. Dirga melihat orang-orang yang tadi lalu-lalang kini ikut menyaksikan drama Om Dokter dan Bocah SMP.
“Maaf, Pak, Bu. Adik saya memang suka gini. Kami permisi dulu.” Tak mau kalah, Dirgapun ikut berakting dihadapan orang-orang di sekitarnya.
Tentu saja ia harus menyelamatkan nama baiknya sebagai dokter di rumah sakit ini. Dirga kemudian berjongkok, menatap Wina dengan tajam. Lalu tangannya mecengkeram tangan Wina dan langsung menyeretnya menjauh dari kerumunan.
Sepanjang jalan menuju tempat parkir, Dirga bisa merasakan tangan Wina yang dingin. Mengetahui itu, tanpa sadar ia tersenyum. Kesempatan baginya untuk balik mengerjai Bocah Licik ini.
***
Brak!
Begitu pintu mobil tertutup, Wina sudah harap-harap cemas. Otaknya langsung merangkai kata untuk mengelabui Om Dokter yang menyanderanya di mobil.
“Balikin!” Todong Dirga tanpa basa-basi dengan tangan kirinya menengadah ke arah Wina yang di sampingnya.
Melirik ke arah Dirga sebentar, Wina kemudian nyengir untuk mengurangi rasa gugup. “Udah dipake Om duitnya,” sebenarnya masih ada beberapa sih uangnya di tangan Wina.
Mendapat lirikan tajam dari Dirga, Wina kembali bersuara. “Lagian duit Om, kan banyak.”
“Dasar kamu—“ umpatan Dirga terhenti ketika deringan ponselnya menginterupsi.
Tanpa melepaskan cengkeraman tangannya pada tangan kecil Wina, Dirga menerima panggilan tersebut dengan nada suara yang lebih lembut.
“Iya, Mbok. Jadinya bagaimana?”
...
“Iya mbok gak apapa, yang penting sehat dulu cucunya.” Jawab Dirga dengan senyum sopan di bibirnya.
Begitu telepon ditutup, ponsel langsung diletakkan di dashboard mobil. Menoleh kembali pada gadis di sampingnya dengan smirk yang menyiutkan nyali Wina.
Wina semakin mendekatkan diri ke pintu, seiring Dirga yang semakin mengikis jarak antara mereka. “O-om,” panggil Wina terbata.
Masih dengan smirk-nya, Dirga berkata, “Kalau mau utangnya dianggap lunas, besok datang ke parkiran ini jam 6 pagi!”
***
Tin! Tin! Wina menoleh pada mobil berwarna silver yang berhenti tepat di depannya. Saat ini Wina berada di parkiran rumah sakit. Menunggu ‘Om Dokter Cerobong Asap’ sesuai perjanjian kemarin. Sebenarnya Wina sedikit deg-degan. Bagaimana tidak, hari ini—atau mulai hari ini—ia harus bisa berpura-pura menjadi anak SMP. Tangan Wina sibuk memilin tali tas kecil yang ia selempangkan di bahu kirinya. Bibirnya terus begumam lirih mengucapkan: “Aku anak SMP, anak SMP, anak SMP—” Tiiiiin! Gumamannya berhenti, berganti gerutuan. “Apaan sih berisik banget,” gerutunya lirih. Kemudian ia menggerakkan kepalanya ke kanan, kiri, dan sekitarnya. Memastikan tidak ada orang lain di dekatnya. Wina pikir, titik dimana ia menegakkan kaki bukanlah tempat yang mengganggu lalu-lalang kendaraan. Aah, apa itu adalah taksi online? Tapi aku kan gak order, batinnya. Tin, tin, tiiiiiin! Lagi-lagi suara klakson mobil silver itu membuatnya kesal. Tak hanya berkali-kali, kali ini suaranya juga semakin memekakkan
“Kamu sekolah di SMP mana?” ... “A-ada deh, disana. Jauh. Om Dokter gak bakalan tahu,” jawab Wina asal. “Om, puter musik dong!” Pinta Wina untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi sayang, laki-laki yang memegang kemudi itu tetap diam saja. Wina melirik, memilih ikut menutup mulut sambil menikmati angin dari jendela mobil. Sepanjang perjalanan, suasana menjadi sangat hening. Hanya terdengar deru mesin mobil yang tidak seberapa berisiknya. Meski bibir sama-sama terkatup, tapi isi kepala mereka sama-sama berkelana. Sampai-sampai Wina senyum-senyum sendiri mengingat apa yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Selain dengan mengubah gaya berpakaiannya, Wina saat ini mencoba mendalami peran dengan menata rambutnya seperti anak-anak. Sungguh, kepang dua sedikit ribet menurutnya. Tapi kayaknya udah gaya bocah banget nih, akunya sambil mematut dirinya di kaca spion tengah mobil. Tingkahnya tersebut sukses menarik atensi Dirga. Di matanya, Wina benar-benar terlihat layaknya bocil yang beranjak
Wina duduk di cafe tempat perjanjiannya dengan Rizal. Tapi sudah hampir habis 2 gelas jus jambu, seseorang yang membuat janji belum juga menampakkan wujudnya. Hingga seorang waitress menghampirinya. Wina pikir ia akan diusir karena sedari tadi hanya memesan minuman dengan harga paling murah saja. “Maaf, Kak. Pak Dwi menunggu di dalam,” tutur waitres itu lembut. Wina malah bingung, karena merasa tidak mengenal nama tersebut. “Sepertinya salah orang deh, Kak. Soalnya saya janjiannya sama Rizal. Orangnya udah booking meja ini, kok.” Waitress dengan name tag ‘Karin’ itu tersenyum, “Pak Dwi sama Pak Rizal itu satu orang, Kak.” Oh, iya. Wina baru ingat kalau nama lengkap Dokter Rizal itu Rizal Dwi Hermanto. Wina meringis. Jadi malu’kan? Kemudian Wina mengikuti Karin ke dalam. Melewati area staff, lalu naik ke lantai dua. “Silakan, Kak!” Ucap sang waitress ketika sudah berada di depan pintu bertuliskan ‘DILARANG MASUK’. *** Berkat tulisan yang menggantung di daun pintu dan desain pint
Flashback Isi Paket Datang Setelah membalas pesan dari Rizal, Wina mengedarkan pandangan sekitarnya memastikan si empunya rumah belum keluar kamar. Kemudian ia mendekati kotak paket, memastikan tadi tidak salah baca. SEX TOYS Begitu isi paket yang tertulis di kolom deskripsi barang. Sungguh Wina tidak menduga. Dari tampangnya, Dirga seperti orang yang lempeng-lempeng saja. Masih belum percaya, Wina pun membaca nama penerima paket. Memang tidak salah kok. Itu nama Dirga, si Dokter Cerobong Asap yang ia kenal. “Paket apaan, sih?!” Wina hampir saja berteriak kaget mendengar suara Dirga yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya. “Perasaan tidak pesan apa-apa,” ucap Dirga. Tapi tak urung ia meraih paket yang tergeletak di atas meja ruang tamu. “Astaga!” Teriak Dirga langsung melempar kardus begitu membaca deskripsi barangnya. “Ka-kamu udah lihat?” tanya Dirga was-was. Dalam hati ia berdoa semoga ART dadakannya ini belum membaca. Andai sudah membaca, ia berharap asistennya yang masih
Hari ini Wina datang ke apartemen Dirga lebih pagi dari kemarin. Ia sudah diberitahu password apartemen, jadi ia bisa masuk meski si empunya masih di rumah sakit. Tangan Wina sibuk memasak nasi goreng untuk sarapan, tapi batinnya tengah berkecamuk. Ia merasa takut jika harus di dekat Dirga. Tapi hanya dengan berada di sekitar Dirga lah ia bisa melancarkan misinya. Kemarin sebenarnya Wina sudah ingin mundur menjadi asisten Dirga. Namun Rizal melarangnya dengan iming-iming pekerjaan di cafe tempat mereka bertemu. Rizal bahkan menjanjikan akan memberikan kebebasan pada Wina terkait jam kerjanya. Wina jadi ragu. “Lagi masak apa, Cil?” “Kambing!” Wina melonjak kaget mendengar pertanyaan Dirga. Pasalnya ia bahkan tidak sadar kapan Dirga masuk. “Haha, lagi masak kambing apa ngatain aku kambing, Cil?” ledek Dirga. “Kapan masuknya sih. Kok aku gak denger?” tanya Wina mengabaikan pertanyaan majikannya. “Baru saja,” jawab Dirga sambil meletakkan tasnya di meja mini bar lalu menyusul Wina
Wina pikir setelah lari, ia bisa langsung ke apartemen untuk melanjutkan pekerjaannya. Tapi ternyata Dirga menyeretnya ke sebuah outlet perlengkapan olahraga yang baru saja dibuka. Tak hanya kesal, Wina juga malu. Bayangkan saja, dia dipaksa ikut meski tubuhnya masih banjir keringat. Kan malu! Ya, butik khusus pakaian dalam dan serba-serbi wanita tadi hanya sebuah kesalahpahaman. Butik dan outlet itu letaknya bersebelahan. Pemilik butik dan outlet itu juga sepasang suami istri. Namun khusus minggu terakhir dalam setiap bulan, outlet akan buka lebih siang. Thank’s to Sheryl, Dirga jadi kenal dengan pemilik butik. Sehingga ia diizinkan untuk mengunjungi outlet lebih pagi. Tentunya dengan ditemani staff butik. “Sana pilih!” Perintahnya pada Wina. “Apa lagi sih, Om? Pekerjaan aku masih banyak, loh. Aku juga gak ada duit,” tolak Wina. Sungguh, sepatu disini harganya sangat tidak bersahabat. “Aku gak sepelit itu, Cil.” Ucap Dirga dengan mata menelusuri sepatu yang berjejer di rak sepat
“Ngapain lari?” Tentu saja Dirga bingung dengan tingkah Wina. Belum lagi ekspresinya yang seperti orang ketakutan.“Om, aku mo-mohon. Lepasin aku, ya. Ak—”Put your head on my shoulder...Alunan musik dari lagu lawas berjudul Put Your Head On My Shoulder yang dinyanyikan oleh Paul Anka menginterupsi ketegangan antara Dirga dan Wina. Keduanya menoleh ke arah pintu utama. Ternyata di depannya sudah berdiri seorang laki-laki bermata sipit berbadan atletis.Dia adalah Aldo, teman sekaligus sepupu Rizal.Put your lips next to mine, dear...Lagu yang dijadikan nada dering itu masih berbunyi dari ponsel Aldo. Mereka bertiga juga masih sama-sama mematung di ambang pintu masuk.“Iya, halo Mom...He’eh nanti Al janji kalau udah pulang kerja.”“Oke, Mom. Bye, love you.”Tut!Panggilan telepon pun terputus.“Emmm, tadinya aku mau ambil paket kemarin.” Ucap Aldo tanpa bergerak sedikitpun.“Tapi,” Aldo mulai canggung sendiri. Matanya melirik pada cemeti yang berada di tangan kanan Dirga, sementara t
“Siapa sih dia? Sugar baby kamu?” Tebak Aldo yang langsung dihadiahi pelototan mata oleh Dirga.“Hush, sembarangan!” Sanggah Dirga sambil melemparkan bantal sofa dengan kencang tepat ke muka Aldo. “Mbok Sum lagi cuti,” Dirga mulai bercerita.“Terus, ketemulah sama makhluk mungil tadi. So, aku hire deh jadi ART sementara. Kebetulan dia juga lagi butuh pemasukan,” sambungnya.Aldo terkekeh ringan. Menertawakan diri sendiri yang sudah mengira Dirga yang tidak-tidak. “Kirain seleranya ganti lolly, bukan lagi Sheryl yang body-nya aduhai.” Tuturnya.“Gak mungkin lah, bro.”Kening Aldo berkerut, “kenapa? Padahal lumayan buat tester. Lelaki perkasa ini belum pernah nyobain yang underrated gitu.”Mendengar itu, Dirga sontak melempar bantal sofa dengan tenaga lumayan keras.Dugh!Dasar Aldo, pikirannya memang hanya akrab dengan bagian tengah paha kaum hawa! “Awas ya. Jangan pernah berani sentuh tuh bocil.” Dirga mulai mewanti-wanti Aldo yang omongannya memang tak pernah disaring.“Wina juga ha