Seorang pria tampan mengenakan hanfu biru cerah yang mewah berjalan dengan anggun melewati orang-orang yang berlutut dengan langkah pelan, tetapi mantap berwibawa. Jian Huanying tersenyum masam, merasa miris melihat pemandangan itu.
Hidup kembali sebagai Murong Yi yang berasal dari keluarga bangsawan biasa benar-benar sebuah kesialan baginya. Sebagai putra dari Ketua Klan Jian, dia tidak harus berlutut seperti ini jika ada anggota keluarga kerajaan. Mereka hanya perlu bersalam kowtow saling menghormati. "Sungguh sial nasibku," gumamnya dalam hati seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pemuda tampan yang mungkin lebih tua darinya tiga atau lima tahun itu memasuki aula. Lagi-lagi terdengar suara renyah penuh sanjungan menyambut kedatangannya. Jian Huanying berdiri tegak kembali bersama orang-orang di luar aula. Dengan hati-hati dia mendekati pintu aula dan mengintip ke dalam. "Ehm, para junior si pria kaku itu memang sungguh sesuai reputasi," gumamnya seraya tersenyum geli. Di dalam aula, para murid junior Sekte Musik Abadi ber-kowtow penuh hormat dan sopan kepada Pangeran Jing Yan. Pangeran itu berbalik dan membalas penghormatan mereka dengan sikap yang kurang lebih sama. "Aku terburu-buru kemari karena ingin bertemu dengan kalian," Pangeran Jing Yan tersenyum dan mempersilakan mereka untuk kembali duduk di tempat semula. "Apakah ada sesuatu yang ingin Pangeran sampaikan kepada Héxié Zhìzūn?" tanya salah seorang murid junior itu dengan sopan. "Iya, tetapi aku rasa itu tidak mendesak. Aku hanya ingin mengatakan akan mengikuti kalian kembali ke Lanyin setelah Festival Cahaya Roh," Pangeran Jing Yan mengutarakan keinginannya. Para murid junior pun mengangguk mengerti. Begitu pun dengan Tuan Murong Wei, Selir Ying dan kedua putra-putrinya. Sementara itu orang-orang di luar aula mulai berbisik-bisik. "Eh, bukankah sebentar lagi pernikahan mereka? Mengapa Pangeran Jing Yan malah ingin pergi ke Lanyin?" Suara-suara samar terdengar di sekitar Jian Huànyǐng. Jian Huànyǐng pun tidak mengerti. Seharusnya, calon pengantin tidak diizinkan untuk bepergian sebelum atau setelah pernikahan. Tetapi, mengapa pangeran ini justru ingin pergi ke Lanyin? "Yang Mulia, apakah ini tidak bisa ditunda? Waktunya sangat berdekatan dengan hari pernikahan," Selir Ying memberanikan diri berbicara setelah berlutut dengan sopan. "Tidak! Aku mendengar kabar Dàoyì Zhēnjūn akan kembali ke Lanyin dalam waktu dekat ini. Aku tidak bisa menyia-nyiakan waktu lagi dengan melewatkan pertemuan dengannya," Pangeran Jing Yan menyahut dengan datar. Jian Huànyǐng tersenyum mendengar jawabannya, juga melihat ekspresi tenggelam di wajah Selir Ying dan gadis yang duduk di sebelah Murong Hu. Tanpa diberitahu, dia dapat menebak apa yang sebenarnya terjadi. "Aiyo, drama halaman belakang manor," gumamnya dalam hati seraya tersenyum geli. Dia dapat menyimpulkan, pernikahan ini pastilah pernikahan yang didekritkan oleh istana. Dan Pangeran Jing Yan tidak merasa puas dan berusaha mengelak meski dengan cara yang teramat halus. "Pangeran Jing Yan, Anda dapat bertemu dengan Dàoyì Zhēnjūn di lain waktu," salah seorang murid Sekte Musik Abadi menengahi dengan sopan. "Aku tidak yakin. Aku dengar, Dàoyì Zhēnjūn enggan untuk menerima tamu semenjak kematian sahabatnya, Jian Huànyǐng. Aku sama sekali tidak memiliki keberanian untuk mengundangnya ke Istana Langit Biru," Pangeran Jing Yan menjawab dengan ekspresi kecut. "Ah, sudah! Sudah! Itu bukan masalah! Sekarang marilah kita nikmati perjamuannya!" Tuan Murong Wei menyadari situasi canggung itu dan berusaha untuk mengalihkan perhatian. Jian Huànyǐng tersenyum jahil dan merasa inilah saatnya untuk mengacaukan suasana. Tiba-tiba saja dia berdiri dan berlari memasuki aula dengan tergopoh-gopoh. Menimbulkan suara ribut yang mengejutkan para pelayan. "Aiyo, Fùqīn!" Teriaknya dengan gembira. Dia berlari ke tengah ruangan dan terjatuh tepat di depan tempat Tuan Murong Wei duduk. "Fùqīn, aku mau ikut ke Lanyin!" serunya dengan gaya merengek-rengek menahan tangis. Tentu saja Tuan Murong Wei dan semua yang hadir di aula terkejut dan saling berbisik-bisik. "Siapa dia? Bukankah itu Dà Gōngzǐ? Eh bukankah dia gila? Dà Gōngzǐ yang malang," bisikan-bisikan terdengar berdengung dan membuat suasana yang semula mencair kembali menjadi canggung. "Kau ini!" Tuan Murong Wei menyingkirkan tangan Jian Huànyǐng dengan kasar. Sedangkan Selir Ying segera berlutut di hadapan Pangeran Jing Yan dan meminta maaf berkali-kali. "Kenapa Fùqīn begitu? Jika Fùqīn tidak menginginkan diriku di sini, kenapa tidak membiarkanku pergi ke Lanyin?" Jian Huànyǐng mulai menangis tersedu-sedu. "Kau! Pergi, kembalilah ke kamarmu!" Murong Hu tidak tahan lagi melihat Murong Yi yang masih terduduk di lantai dan menarik-narik tangan ayahnya. "Aku tidak mau pergi! Bukankah aku juga putra keluarga Murong? Ibuku berasal dari Lanyin! Apakah aku tidak boleh menemui keluarga ibuku?" Jian Huànyǐng berdiri dan berteriak marah pada Murong Hu. "Kau!" Murong Hu yang mudah terprovokasi, memukulnya tanpa berpikir panjang. Seketika, kasim yang mendampingi Pangeran Jing Yan dan seorang murid dari Sekte Musik Abadi berdiri dan mendekati mereka. Jian Huànyǐng tertawa dalam hati. Dia pun kembali berguling-guling di lantai dan menangis sejadi-jadinya. "Dia memukulku lagi! Setiap hari dia memukulku dan memaki ibuku! Dia juga mencuri seruling ibuku!" noted : *Fùqīn : Ayah dalam situasi formalCahaya bulan yang menyeruak masuk melalui celah jendela kayu memberikan penerangan lembut di dalam ruangan sederhana itu. Keheningan malam hanya dipecah oleh suara napas teratur dari dua kultivator yang tengah bermeditasi.Sudah hampir dua shichen berlalu sejak mereka mulai bermeditasi. Tiānyin duduk bersila dengan postur sempurna, punggungnya tegak lurus seperti bambu yang tidak pernah tunduk pada angin. Energi spiritual mengalir stabil di dalam tubuhnya, mengatur ulang qi yang terganggu akibat pertarungan dengan roh tadi.Di sampingnya, Huànyǐng juga duduk dengan posisi yang sama, namun energi spiritualnya terasa tidak se-stabil milik Tiānyin. Sesekali alis pemuda itu mengerut halus, pertanda dia sedang bergulat dengan sesuatu di dalam dirinya.Lama-kelamaan, tubuh Huànyǐng mulai condong ke samping. Kepalanya yang awalnya tegak perlahan-lahan miring hingga akhirnya terantuk lembut di bahu Tiānyin.Sentuhan ringan itu membuat Tiānyin keluar dari
Ruang tamu yang luas dipenuhi aroma teh melati yang harum. Tiānyin duduk dengan postur tegap di kursi kayu mahoni yang diukir indah, sementara Huànyǐng dengan santai bersandar di sampingnya, sesekali meraih kue kering yang tersaji di atas meja bundar. Tuan Ma, pemilik rumah yang telah memperkenalkan diri sebelumnya, tidak berhenti menuangkan teh hangat ke dalam cangkir porselen putih bermotif naga. Wajahnya masih menampakkan kelegaan yang mendalam setelah roh mengerikan itu berhasil disegel. "Gōngzǐ, hidangan ini mungkin tidak sebanding dengan santapan di Kediaman Aroma Wisteria, tetapi ini adalah yang terbaik yang bisa kami sajikan," ujar Tuan Ma dengan penuh hormat, tangannya sedikit gemetar saat menuangkan teh. Huànyǐng mengangkat cangkirnya dan menyeruput teh dengan perlahan. "Ini sangat enak, Tuan Ma. Terima kasih atas keramahannya." Di sudut ruangan, para yunior duduk dengan sikap kaku dan formal. Mata mereka sesekali
Keheningan yang menyelimuti halaman rumah megah itu tiba-tiba terpecah oleh suara pintu kayu yang berderit. Satu per satu, pintu-pintu di komplek bangunan yang mewah itu terbuka dengan perlahan, seakan pemiliknya masih ragu untuk keluar.Kemudian, seperti air bah yang jebolkan bendungan, orang-orang berhamburan keluar dari berbagai sudut bangunan. Mereka berlarian dengan wajah lega namun masih dipenuhi ketakutan sisa, mata mereka sesekali melirik ke arah tempat roh itu tadi bertarung.Seorang pria paruh baya berpakaian berkualitas tinggi keluar paling depan. Jubah sutra biru tuanya yang meski agak kusut masih menampakkan kemewahan, menandakan bahwa dia adalah pemilik rumah ini. Tanpa ragu, dia langsung berlutut di hadapan Tiānyin dan Huànyǐng dengan penuh hormat."Gōngzǐ, terima kasih telah menyegel roh itu!" serunya dengan suara bergetar karena kelegaan. "Kami sudah terjebak di dalam rumah selama berhari-hari, tidak bera
"Chénxī," Huànyǐng bergumam pelan, suaranya hampir tertelan angin yang bertiup di halaman sunyi itu.Tiānyin mengerti maksud panggilannya. Dengan gerakan yang pelan dan anggun, dia menyimpan guqin ke dalam kantong pundi dimensi yang tergantung di pinggangnya. Mata birunya tidak pernah lepas dari roh yang berdiri di hadapan mereka.Sementara itu, roh tersebut menatap kipas di tangan Huànyǐng dengan pandangan yang sulit diartikan. Pedang hitamnya masih terangkat, ujungnya mengarah pada kipas yang menghalangi jalur serangannya menuju Tiānyin. Ada kilatan aneh dalam mata merahnya—seakan mengenali sesuatu.Tanpa bersuara, roh itu menggerakkan pedangnya dengan gerakan pelan namun mematikan, kali ini mengarah langsung pada Huànyǐng.Huànyǐng berputar dengan lincah, tubuhnya bergerak seperti dedaunan yang terbawa angin. Kipasnya berkilau ketika digunakan untuk menangkis serangan pedang hitam, menciptakan percik
Roh itu tersenyum menyeringai, memperlihatkan gigi yang menguning. Lalu dengan gerakan yang elegan dan lincah, dia mengacungkan pedang hitamnya pada Tiānyin.Dalam sekejap, tubuhnya berputar dan menyerang dengan kecepatan yang mengejutkan. Pedang hitam itu menebas udara, menciptakan jejak energi gelap yang mengerikan.Huànyǐng terdiam memperhatikan gerakan roh tersebut. Jurus pedangnya memang bagus—bahkan sangat bagus untuk ukuran makhluk yang sudah mati. Tetapi sayangnya, yang dia hadapi adalah Yuè Tiānyin, sang Dàoyì Zhenjun. Kultivator yang pernah menghancurkan Lan Tian Gōng dalam sekali jentik saja dengan melodi Penghancurnya yang legendaris.Jurus pedang sekaliber itu sama sekali tidak berarti bagi Tiānyin.Dengan denting guqin yang tajam dan presisi, roh itu berkali-kali menderita. Tubuhnya terpental ke berbagai arah, menabrak pohon dan tembok batu. Tetapi dia tetap gigih dan terus bangkit, menyerang Tiānyin dengan semangat yang tidak pernah
Huànyǐng menatap hutan lebat di bawahnya. Pohon-pohon rimbun membentang hingga ke cakrawala, diselingi aliran sungai kecil yang berkilau terkena sinar matahari. Semua sudah berubah dari lima belas tahun yang lalu.Wajar saja, pikir Huànyǐng. Lima belas tahun berlalu, tentu ada banyak perubahan di Kekaisaran Bìxiāo. Bahkan jalur perdagangan yang dulu dia hafal di luar kepala kini tampak asing."Arahnya dari sana!" Tiānyin menunjuk sebuah lembah sepi di depan mereka. Kabut tipis menyelimuti area tersebut, membuatnya tampak misterius dan sunyi.Huànyǐng mengerutkan kening. Rasanya tempat itu tidak asing baginya, tetapi entahlah. Dia melupakan banyak hal yang terjadi selama beberapa tahun terakhir dalam hidupnya, kecuali tahun terakhir—musim salju yang berdarah itu."Chénxī, apa nama lembah itu?" tanyanya dengan hati-hati."Tidak ada yang tahu. Hanya ada sebuah kota kecil di sana," sahut Tiānyin sambil mengarahka