Seorang pria tampan mengenakan hanfu biru cerah yang mewah berjalan dengan anggun melewati orang-orang yang berlutut dengan langkah pelan, tetapi mantap berwibawa. Jian Huanying tersenyum masam, merasa miris melihat pemandangan itu.
Hidup kembali sebagai Murong Yi yang berasal dari keluarga bangsawan biasa benar-benar sebuah kesialan baginya. Sebagai putra dari Ketua Klan Jian, dia tidak harus berlutut seperti ini jika ada anggota keluarga kerajaan. Mereka hanya perlu bersalam kowtow saling menghormati. "Sungguh sial nasibku," gumamnya dalam hati seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pemuda tampan yang mungkin lebih tua darinya tiga atau lima tahun itu memasuki aula. Lagi-lagi terdengar suara renyah penuh sanjungan menyambut kedatangannya. Jian Huanying berdiri tegak kembali bersama orang-orang di luar aula. Dengan hati-hati dia mendekati pintu aula dan mengintip ke dalam. "Ehm, para junior si pria kaku itu memang sungguh sesuai reputasi," gumamnya seraya tersenyum geli. Di dalam aula, para murid junior Sekte Musik Abadi ber-kowtow penuh hormat dan sopan kepada Pangeran Jing Yan. Pangeran itu berbalik dan membalas penghormatan mereka dengan sikap yang kurang lebih sama. "Aku terburu-buru kemari karena ingin bertemu dengan kalian," Pangeran Jing Yan tersenyum dan mempersilakan mereka untuk kembali duduk di tempat semula. "Apakah ada sesuatu yang ingin Pangeran sampaikan kepada Héxié Zhìzūn?" tanya salah seorang murid junior itu dengan sopan. "Iya, tetapi aku rasa itu tidak mendesak. Aku hanya ingin mengatakan akan mengikuti kalian kembali ke Lanyin setelah Festival Cahaya Roh," Pangeran Jing Yan mengutarakan keinginannya. Para murid junior pun mengangguk mengerti. Begitu pun dengan Tuan Murong Wei, Selir Ying dan kedua putra-putrinya. Sementara itu orang-orang di luar aula mulai berbisik-bisik. "Eh, bukankah sebentar lagi pernikahan mereka? Mengapa Pangeran Jing Yan malah ingin pergi ke Lanyin?" Suara-suara samar terdengar di sekitar Jian Huànyǐng. Jian Huànyǐng pun tidak mengerti. Seharusnya, calon pengantin tidak diizinkan untuk bepergian sebelum atau setelah pernikahan. Tetapi, mengapa pangeran ini justru ingin pergi ke Lanyin? "Yang Mulia, apakah ini tidak bisa ditunda? Waktunya sangat berdekatan dengan hari pernikahan," Selir Ying memberanikan diri berbicara setelah berlutut dengan sopan. "Tidak! Aku mendengar kabar Dàoyì Zhēnjūn akan kembali ke Lanyin dalam waktu dekat ini. Aku tidak bisa menyia-nyiakan waktu lagi dengan melewatkan pertemuan dengannya," Pangeran Jing Yan menyahut dengan datar. Jian Huànyǐng tersenyum mendengar jawabannya, juga melihat ekspresi tenggelam di wajah Selir Ying dan gadis yang duduk di sebelah Murong Hu. Tanpa diberitahu, dia dapat menebak apa yang sebenarnya terjadi. "Aiyo, drama halaman belakang manor," gumamnya dalam hati seraya tersenyum geli. Dia dapat menyimpulkan, pernikahan ini pastilah pernikahan yang didekritkan oleh istana. Dan Pangeran Jing Yan tidak merasa puas dan berusaha mengelak meski dengan cara yang teramat halus. "Pangeran Jing Yan, Anda dapat bertemu dengan Dàoyì Zhēnjūn di lain waktu," salah seorang murid Sekte Musik Abadi menengahi dengan sopan. "Aku tidak yakin. Aku dengar, Dàoyì Zhēnjūn enggan untuk menerima tamu semenjak kematian sahabatnya, Jian Huànyǐng. Aku sama sekali tidak memiliki keberanian untuk mengundangnya ke Istana Langit Biru," Pangeran Jing Yan menjawab dengan ekspresi kecut. "Ah, sudah! Sudah! Itu bukan masalah! Sekarang marilah kita nikmati perjamuannya!" Tuan Murong Wei menyadari situasi canggung itu dan berusaha untuk mengalihkan perhatian. Jian Huànyǐng tersenyum jahil dan merasa inilah saatnya untuk mengacaukan suasana. Tiba-tiba saja dia berdiri dan berlari memasuki aula dengan tergopoh-gopoh. Menimbulkan suara ribut yang mengejutkan para pelayan. "Aiyo, Fùqīn!" Teriaknya dengan gembira. Dia berlari ke tengah ruangan dan terjatuh tepat di depan tempat Tuan Murong Wei duduk. "Fùqīn, aku mau ikut ke Lanyin!" serunya dengan gaya merengek-rengek menahan tangis. Tentu saja Tuan Murong Wei dan semua yang hadir di aula terkejut dan saling berbisik-bisik. "Siapa dia? Bukankah itu Dà Gōngzǐ? Eh bukankah dia gila? Dà Gōngzǐ yang malang," bisikan-bisikan terdengar berdengung dan membuat suasana yang semula mencair kembali menjadi canggung. "Kau ini!" Tuan Murong Wei menyingkirkan tangan Jian Huànyǐng dengan kasar. Sedangkan Selir Ying segera berlutut di hadapan Pangeran Jing Yan dan meminta maaf berkali-kali. "Kenapa Fùqīn begitu? Jika Fùqīn tidak menginginkan diriku di sini, kenapa tidak membiarkanku pergi ke Lanyin?" Jian Huànyǐng mulai menangis tersedu-sedu. "Kau! Pergi, kembalilah ke kamarmu!" Murong Hu tidak tahan lagi melihat Murong Yi yang masih terduduk di lantai dan menarik-narik tangan ayahnya. "Aku tidak mau pergi! Bukankah aku juga putra keluarga Murong? Ibuku berasal dari Lanyin! Apakah aku tidak boleh menemui keluarga ibuku?" Jian Huànyǐng berdiri dan berteriak marah pada Murong Hu. "Kau!" Murong Hu yang mudah terprovokasi, memukulnya tanpa berpikir panjang. Seketika, kasim yang mendampingi Pangeran Jing Yan dan seorang murid dari Sekte Musik Abadi berdiri dan mendekati mereka. Jian Huànyǐng tertawa dalam hati. Dia pun kembali berguling-guling di lantai dan menangis sejadi-jadinya. "Dia memukulku lagi! Setiap hari dia memukulku dan memaki ibuku! Dia juga mencuri seruling ibuku!" noted : *Fùqīn : Ayah dalam situasi formalJian Huànyǐng menangis keras, isak tangisnya mengguncang aula yang sunyi. Setiap isakan terdengar memilukan, tetapi di balik tangisnya, ada kilat kejenakaan yang tersembunyi dalam matanya. "Gōngzǐ, apakah benar kau Murong Yi Gōngzǐ?" suara lembut seorang murid Sekte Musik Abadi terdengar menenangkan, penuh perhatian. Jian Huànyǐng menganggukkan kepalanya, mencoba berdiri tegak meski masih terisak. Pemuda itu tersenyum, menepuk bahunya dengan lembut. Kemudian dia ber-kowtow kepada Tuan Murong Wei dengan sikap penuh hormat. "Tuan Murong, jika Anda tidak keberatan, biarkan Murong Yi Gōngzǐ kembali ke Lanyin bersama kami. Di sana ada kerabat yang pasti bersedia merawatnya," katanya sopan, dengan pandangan tulus. Tuan Murong Wei dan Selir Ying saling berpandangan, ketidaksetujuan jelas terlihat di wajah mereka. "Tetapi ..." gumam Tuan Murong Wei, suaranya hampir tidak terdengar. Tangan-tangannya terkepal di atas lututnya, menahan perasaan yang bergejolak. "Tuan Murong Wei, ini ti
Jian Huànyǐng berlutut di atas lantai dingin rumah doa, tubuhnya terbungkus jubah tipis berwarna hitam yang tak mampu menghalau hawa dingin malam. Matanya terpejam, bibirnya bergerak pelan, melantunkan doa untuk mendiang Baili Yunhua. Sejak sore tadi, Jian Huànyǐng tak beranjak dari tempatnya. Di sampingnya, A Shu, pelayan setia Nyonya Tua, berdiri tegak, tangannya menggenggam sebuah seruling giok berwarna putih kebiruan. "Jiejie, apakah ini seruling milik ibuku?" tanya Jian Huanying, suaranya serak menahan tangis. A Shu mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Tetapi, hiasan gioknya telah hilang, Tuan Muda," lapornya, suaranya bergetar menahan kesedihan. Jian Huànyǐng menerima seruling itu dengan hati yang berat. Jari-jarinya menyentuh permukaan dingin seruling, membayangkan sentuhan lembut Yunhua saat memainkan melodi indah. Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya, seperti cahaya rembulan yang memantul di permukaan Sungai Ungu Gelap, Kota Lanyin. Kelopak bunga wisteria tertiu
Kota Linghun terhampar di kaki Pegunungan LingXiao, puncak tertinggi di Kekaisaran Bixiao. Udaranya dipenuhi dengan energi spiritual yang mengalir deras dan pekat. Di sinilah Sekte Aliran Roh Suci mendirikan pusat kehidupan mereka, sebuah tempat suci yang dipenuhi aura mistis. Dari Kota Shanyue di lereng yang lebih rendah, perjalanan menuju Linghun adalah pengalaman yang bercampur antara pesona dan tantangan. Melintasi desa-desa kecil dengan rumah-rumah beratap jerami, padang rumput yang menyegarkan, hingga perbukitan yang menjulang curam, semuanya membawa nuansa nostalgia masa lalu bagi Jian Huànyǐng. Ini adalah pertama kalinya dia kembali menghirup aroma dunia setelah kematiannya lima belas tahun silam. "Murong Dà Gōngzǐ, apakah perjalanan ini melelahkanmu?" tanya Hòu Jūn, suaranya lembut seperti desiran angin sepoi-sepoi. Mereka melewati lereng bukit yang menanjak. Mereka telah meninggalkan Shanyue jauh di belakang, melewati beberapa desa kecil yang sunyi. Kini, hanya hamparan
Jian Huànyǐng menoleh, matanya menangkap sekelompok murid Akademi Bixiao yang mudah dikenali dari pakaian khas mereka. Hanfu biru langit dengan ikat pinggang biru tua dan pita dahi yang senada. Warna biru itu tampak memukau di bawah cahaya pagi, tetapi sikap mereka yang merendahkan membuat kesan itu pudar. Pandangan menghina dan senyum sinis tersungging di wajah mereka, seolah kehadiran Jian Huanying adalah suatu cela yang tidak seharusnya ada di tempat itu. Dia mendesah dalam hati, merasa kesal. "Aiyo, aku bahkan tidak ingat siapa mereka," gumamnya dalam batin, keningnya berkerut saat mencoba menggali memori masa lalu pemilik tubuhnya. Namun, semua itu seperti kabut yang tidak bisa ditembus. Dengan sikap acuh tak acuh, Jian Huànyǐng bertanya, "Kenapa?" Nada suaranya dingin, nyaris tak berintonasi. Jian Huànyǐng tidak punya waktu atau kesabaran untuk berurusan dengan para junior yang, menurutnya, lebih mirip kumpulan burung pipit cerewet. Bagi Jian Huànyǐng, ini hanyalah buang-buan
Beberapa hari terakhir, Jian Huànyǐng berkeliaran di Kota Linghun tanpa arah yang jelas. Jalan-jalan kota itu, yang dihiasi ukiran lentera dan dipenuhi kabut spiritual tipis, memberi kesan tenang namun sarat kekuatan. Festival Cahaya Roh, perayaan roh paling megah di kekaisaran, baru akan dimulai beberapa hari lagi. Namun, sebelum itu, rangkaian acara seperti Perburuan Roh menjadi sorotan utama, melibatkan berbagai sekte dan klan terkemuka dari seluruh Kekaisaran Bixiao. Di masa hidupnya dulu, Jian Huànyǐng adalah sosok yang mendominasi ajang ini. Ia mengenang persaingan ketatnya dengan Yue Tiānyin, Ling Qingyun, kakak beradik Yao Ming dan Yao Yu dan Qing Yǔjiā. Posisi pertama hampir selalu diperebutkan mereka berlima, kecuali para senior seperti Jian Wei, Yue Linyin, Mo Chen, atau Ling Zhi turut berpartisipasi, membuat kompetisi semakin sengit. "Betapa membosankan," keluh Jian Huànyǐng, mengetukkan jari-jarinya di meja kayu kasar. Di sebuah kedai teh sederhana di pinggir jalan, ia
Setelah selesai berdoa di altar, Jian Yi melangkah ke sekitar, mencari pemuda yang tadi memberinya izin untuk berdoa. Namun, sosok itu tak terlihat. Tamu-tamu undangan mulai berdatangan satu per satu, menyibukkan suasana. Merasa kurang nyaman, Jian Yi melangkah ke arah pilar batu besar di dekat anak tangga dan duduk di sana. "Sebenarnya aku tidak perlu ke Lanyin," gumamnya pelan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mencoba mengurai kebingungannya. "Tapi dulu aku sudah berjanji padanya untuk kembali ke Sungai Ungu Gelap, untuk belajar mengendalikan Amulet Es Hitam." Suaranya tertahan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun. Dia terdiam, membiarkan pikirannya melayang. Tanpa sadar, suasana sekitarnya mulai ramai. Para tamu berlalu-lalang, tapi tak seorang pun memperhatikan keberadaannya. Jian Yi melirik ke arah kerumunan, merasa tersisih. “Mungkin lebih baik aku membaur dengan para tamu biasa. Jangan
"Tuan Murong Wei!" Suara Hòu Jūn memecah keheningan, menggema di antara para murid sekte yang sudah berkumpul. Tubuhnya melesat cepat seperti angin, lalu mendarat di depan Jian Yi. Menciptakan lapisan perlindungan di antara pemuda itu dan tatapan tajam kerumunan. Para murid sekte lain segera berdatangan, mengerumuni mereka dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Tidak terkecuali murid-murid Sekte Aliran Roh Suci dan Akademi Bixiao, yang kini berdiri membentuk lingkaran, menatap Jian Yi seolah mencari-cari sesuatu yang salah. Jian Yi berdiri mematung, punggungnya menegang di bawah sorotan mata yang membingungkan itu. "Aiyo! Benar-benar hari yang sial," gumamnya dalam hati. Menahan keinginan untuk mengumpat wanita sialan yang merupakan sumber penderitaan pemilik asli tubuhnya saat ini. Kesal bercampur canggung, dia memalingkan wajah, berusaha mengabaikan atmosfer yang membuatnya tidak nyaman. Dia menghela napas berat. "Ah, iya. Aku ini Murong
Tuan Murong Wei hanya terdiam. Sorot matanya dingin menatap tajam ke arah Selir Ying. Tidak ada sedikit pun emosi yang tergambar di wajahnya. Seruan penuh amarah sang selir seakan hanya angin lalu, bahkan ketika tangannya mengguncang-guncang lengan Tuan Murong dengan putus asa.Namun, tiba-tiba, tangan Tuan Murong bergerak cepat seperti kilat. Ia menepis genggaman Selir Ying dengan kasar, membuat wanita itu terhuyung mundur. Sebelum Selir Ying sempat menarik napas, tangan Tuan Murong menyambar lehernya, mencekiknya dengan kekuatan luar biasa. Wajah Selir Ying memucat, napasnya terhenti, sementara kedua tangannya meronta mencoba melepaskan diri."Tie!" Murong Hu berteriak ketakutan. Tubuhnya menggigil saat melihat ibunya yang tergantung lemah di tangan Tuan Murong Wei, ayah kandungnya.Suasana seketika menjadi kacau. Para murid Sekte Aliran Roh Suci berlarian, beberapa berteriak panik, "Dia dirasuki roh itu!"Ling Qingyu, yang berdiri di dekat alta
Perahu mereka melaju perlahan menembus kabut tipis yang menyelimuti permukaan Hēi Hu. Semakin mendekati pusat danau, kabut energi spiritual terasa semakin pekat. Yu Shi mendesis pelan di bahu Huànyǐng, bulu-bulunya berdiri seolah merasakan bahaya."Lihat itu!" seru Huànyǐng tiba-tiba, menunjuk ke tengah danau.Di kejauhan, sebuah pusaran air muncul, mula-mula kecil tetapi dengan cepat membesar. Bukan hanya air yang berputar. Energi roh berpilin membentuk tornado kecil di atasnya, menciptakan pemandangan yang menakjubkan sekaligus mengkhawatirkan."Itu bukan pusaran biasa," gumam paman perahu, wajahnya pucat. "Sudah kuduga... energi spiritual danau semakin tak terkendali."Tiānyin memicingkan mata birunya, merasakan fluktuasi qi yang kacau. "Jian Yi, bersiaplah."Huànyǐng mengangguk, ekspresinya berubah serius. Suatu pemandangan langka dari pemuda yang biasanya ceria. Ia bisa merasakan Heibing Hùfú di dalam tubuhnya beresonansi dengan ener
Sinar matahari pagi menerobos lembut melalui cabang-cabang pohon wisteria yang menjuntai di sekitar Zǐténg Lán, kediaman Jian Huànyǐng di tepi Sungai Ungu Gelap. Bunga-bunga wisteria yang bergantungan, bergoyang pelan tertiup angin, menciptakan bayangan yang menari di atas lantai kayu paviliun.Air Terjun Lánluò mengalir dengan gemericik menenangkan, mengisi udara dengan kesegaran abadi. Sungguh tempat yang cocok dengan jiwa bebas sang Mófǎ Shī. Berbeda dengan kediaman Tiānyin yang tenang, Zǐténg Lán terasa hangat dan penuh kehidupan.Tiānyin sudah menyelesaikan meditasi paginya bahkan sebelum mentari sepenuhnya bangkit. Tubuhnya bergerak dalam ritme sempurna, pedang Xīn menari di udara pagi, meninggalkan jejak embun beku yang segera menguap terkena hangatnya sinar matahari. Setelah latihan yang tak bercela, ia duduk menikmati teh pagi, menunggu—seperti biasa—sang tuan rumah yang masih terlelap.Di dalam kamar utama, Huàn
Huànyǐng masih bergetar ketakutan dalam pelukan Tiānyin, wajahnya tersembunyi sempurna di dada pemuda itu. Tidak peduli bahwa mereka berada di tengah keramaian, dengan puluhan pasang mata yang mulai menatap penasaran. Dan tentu saja dengan Yu Shi yang menatap seakan-akan malas melihat drama sang tuan."Yo, benarkah ini Mófǎ Shī? Penyihir Iblis yang mengerikan itu?" Sebuah suara familiar terdengar, sarat dengan nada mengejek.Tiānyin menoleh dengan wajah datar, sementara Huànyǐng mengintip dari balik punggungnya. Matanya langsung berbinar melihat sosok Yāo Ming yang berdiri santai, lengan dilipat di dada dengan senyum menjengkelkan di wajahnya."Yāo Ming!"Seketika, Huànyǐng melepaskan pelukannya pada Tiānyin dan berlari memeluk Yāo Ming dengan semangat berlebihan. Ekspresi Tiānyin berubah dalam sekejap, datar, lebih datar, dan akhirnya beku sempurna. Patung es di musim dingin tidak ada apa-apanya diband
Tiga tahun berlalu sejak kejadian di Shén Wu Gǔ. Luka-luka telah Huànyǐng telah sembuh, tetapi bekas yang tertinggal tak akan pernah hilang sepenuhnya.Siang itu Pasar Lanyin di kaki Lembah Wisteria dipenuhi hiruk-pikuk kehidupan. Pedagang berseru menawarkan dagangan, pembeli menawar dengan semangat, dan aroma berbagai makanan bercampur dalam harmoni yang khas."Kembalilah ke sini, kucing nakal!"Teriakan itu memecah keramaian pasar. Jian Huànyǐng berlari dengan kecepatan luar biasa, mengejar sosok berbulu putih yang melompat dari satu atap ke atap lainnya dengan keanggunan yang menjengkelkan.Yu Shi, kucing spiritual miliknya, tampak sangat menikmati permainan kejar-kejaran ini. Di mulutnya tergenggam gelang jade berharga, milik seorang pedagang yang kini berteriak marah."Maafkan kucingku!" seru Huànyǐng tanpa menghentikan larinya, senyum tanpa rasa bersalah terukir di wajahnya yang
Ketenangan setelah badai hanyalah ilusi. Di Hé Yún Gé, Paviliun Awan Harmonis, ketegangan masih terasa kental meski pertemuan para tetua telah usai. Bulan menggantung rendah di langit, menyaksikan takdir yang mulai bergerak di bawah naungannya.Di sebuah ruangan privat, Yuè Tiānyin berlutut dengan sikap formal di hadapan ayahnya. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini menampakkan kesungguhan yang jarang terlihat."Izinkan aku membawa Huànyǐng ke Kediaman Aroma Wisteria, A Tiě," ucapnya, suaranya tenang namun tegas.Yīnlǜ Shengzhe menatap putranya dengan sorot mata penuh perhitungan. Jemarinya yang lentik mengusap Xiǎo, seruling abadi yang selalu menemaninya."Kau yakin tempat itu lebih aman dari Bi Hai Wan?" tanyanya dengan nada rendah."Energi spiritual di sana hampir sama dengan kabut di Shén Wu Gǔ," Tiānyin menjawab tanpa keraguan. "Dan aku bisa lebih mudah melindunginya di wil
Wu Chéng kini diselimuti ketegangan yang terasa di setiap sudutnya. Insiden dengan Heibing Hùfú telah menyebar bagai api di padang rumput kering, dan semua sekte besar yang berpartisipasi dalam Perburuan Roh menyadari bahwa dunia kultivasi akan segera mengalami perubahan besar.Di Hé Yún Gé, Paviliun Awan Harmonis, yang semula disediakan sebagai penginapan bagi Sekte Pemecah Langit dan Musik Abadi, kini berubah menjadi tempat perundingan rahasia. Aula utama dipenuhi oleh para pemimpin sekte yang duduk dengan wajah serius.Wúshuāng Jiàn Shèng dan Yīnlǜ Shengzhe duduk di tengah, dikelilingi oleh para tetua dan pemimpin sekte lainnya. Sikap mereka tenang, tetapi siapapun bisa merasakan tekanan qi yang menguar dari tubuh keduanya."Kita harus menentukan langkah berikutnya," Wúshuāng Jiàn Shèng memulai dengan suara dalam yang berwibawa. "Setelah insiden ini, kekaisaran dan sekte-sekte besar akan bergerak. Kita harus bersiap."
Lán Tiān Gōng, Istana Langit Biru, berdiri megah di pusat Kekaisaran Bìxiāo. Ruang pertemuan kaisar diselimuti atmosfer mencekam. Malam telah larut, tetapi Kaisar Jìng Yǔhàn masih terjaga, tangan terkepal di atas meja kayu berukir naga sembilan kepala.Mata tajamnya menatap laporan di hadapannya. Jemarinya yang kuat mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan, mencerminkan kegelisahan yang bergejolak dalam benaknya."Keberadaan Mófǎ Shī bukanlah kebetulan," gumamnya pelan, suaranya menggema dalam ruangan luas yang hanya diterangi lilin-lilin besar.Bayangan kejadian di Shén Wu Gǔ terus berputar dalam ingatannya. Bagaimana Heibing Hùfú, Amulet Es Hitam, bukan sekadar artefak biasa. Namun, telah menyatu dengan jiwa dan raga Jian Huànyǐng. Artefak itu seolah memilih pemuda itu sebagai wadahnya.Yang lebih mengganggunya lagi adalah sikap Wúshuāng Jiàn Shèng. Kaisar tahu betul bahwa ketua Sekte Pemecah Langit itu tidak akan membiarkan siapapun meny
Tekanan energi semakin memuncak, membuat langit Shén Wu Gǔ bergemuruh dengan kilatan petir ungu kehitaman. Di Panggung Kehormatan, Wúshuāng Jiàn Shèng dan Yīnlǜ Shengzhe bergerak hendak turun tangan.Kaisar Jìng Yǔhàn menaikkan alisnya, menatap mereka dengan tajam. "Kalian hendak melanggar aturan Perburuan Roh?""Dia adalah putraku," Wúshuāng Jiàn Shèng berkata dengan tegas, tanpa sedikitpun keraguan di matanya. Jubah hitamnya berkibar oleh tekanan qi yang ia keluarkan."Bìxiā, ini sudah di luar kendali. Mohon berikan perintah pada kami," Jìng Jūnlán Wángyé berlutut di hadapan kaisar, wajahnya menyiratkan kekhawatiran mendalam. Bagaimanapun, ia sangat memahami kegelisahan Wúshuāng Jiàn Shèng. Adik sepupunya, Qing Héng Zhì juga terpengaruh oleh kekuatan Heibing Hùfú."Bìxiā, semua roh target dalam Perburuan Roh telah ditangkap. Dan roh ini bukanlah target para peserta. Saya rasa tidak ada masalah jika Wú
Langit di atas Shén Wu Gǔ bergetar hebat, diselubungi aura es hitam yang semakin pekat. Di tengah kabut kegelapan, sosok Jian Huànyǐng melayang, tubuhnya dikelilingi kilatan energi gelap dari Heibing Hùfú—Amulet Es Hitam.Jian Wei menghentikan langkahnya mendadak, merasakan tekanan qi yang mencekam hingga ke sumsum tulang."Huànyǐng..." matanya melebar menyaksikan kilatan aura kehitaman yang menari liar di sekeliling adiknya.Mo Chén menggenggam erat Yǐng Mó Jiàn, menyadari bahwa semua yang mereka takutkan kini telah terjadi."Sial! Tekanan energinya tidak stabil," gumam Mo Chén, mengamati bagaimana kabut hitam dari Míng Bīng Shì Pò mulai tertarik ke dalam tubuh Huànyǐng.Jian Wei dan Mo Chén berada dalam kebimbangan. Haruskah mereka menghentikan roh purba yang belum sepenuhnya lenyap, atau melindungi Huànyǐng dari kekuatan artefak yang kini tak terkendali?Tepat pada saat mereka terombang-ambing dalam dilema, Huànyǐng melesat de