Jian Huànyǐng terpaku dan bergeming dari tempatnya berdiri, seperti patung yang terukir dari kesedihan dan kehampaan. Rombongan itu terus berjalan hingga hampir melewatinya. Mereka melintasinya tanpa sedikit pun menyadari kehadirannya, seperti bayangan yang tak terlihat di bawah matahari.
Kenangannya pun berputar kembali ke masa-masa akhir hidupnya, saat setiap detik dipenuhi dengan pengkhianatan dan derita. Di antara rombongan yang baru saja melewatinya, terdapat seseorang yang dikenalinya dengan jelas sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang menginginkan kematiannya. "Rupanya, dia Murong Wei. Seharusnya ayah dari Murong Yi," gumamnya pelan, teringat akan ucapan A Shu saat menceritakan tentang Murong Yi. Tatapan matanya masih terpaku pada rombongan yang kini memasuki aula utama, hatinya bergetar antara kebencian dan kepiluan. Perlahan dia mengikuti mereka dari kejauhan. Namun, baru beberapa langkah, dia melihat rombongan lain. Jian Huànyǐng kembali terpaku dan berhenti berjalan. Dia segera bersembunyi di balik sebuah tiang, dadanya berdetak kencang. Hanfu putih berkibar-kibar tertiup angin musim semi, bordir pola bunga wisteria ungu, membawa kenangannya kembali berputar-putar ke masa dua puluh dua tahun lalu. Setiap hembusan angin seolah membawa bisikan-bisikan masa lalu, entah mengapa dia ingin menangis dan berteriak sekeras-kerasnya. Jian Huànyǐng memejamkan matanya, mencoba mengendalikan emosinya agar tidak terlepas tanpa kendali. "Semua sudah berlalu, Jian Huànyǐng. Bukankah menurut A Shu, dia belum kembali dari berkelana. Semestinya hari ini bukan saatnya kau bertemu dengannya," gumamnya pada dirinya sendiri, membujuk hatinya agar tidak gelisah dan merasakan sakit sekaligus rindu yang tidak pernah menguap selama lima belas tahun ini. "Dà Gōngzǐ," terdengar sebuah suara di telinganya dan membuat Jian Huànyǐng terlonjak kaget. Dia menoleh dan mendapati seorang gadis pelayan tersenyum ramah padanya, senyum yang membawa sedikit ketenangan di tengah kekacauan perasaannya. "Ada apa di dalam sana?" Jian Huànyǐng bertanya padanya dengan suara pelan. Gadis itu melongokkan kepalanya dan memperhatikan situasi di dalam aula, wajahnya mencerminkan keinginannya untuk membantu. "Tuan Murong tengah menyambut kedatangan murid-murid dari Sekte Musik Abadi, Dà Gōngzǐ," gadis pelayan itu menjelaskan dengan nada lembut. "Eh, Sekte Musik Abadi? Untuk apa mereka datang jauh-jauh dari Lanyin ke Ibukota?" tanyanya lagi seraya mengerutkan keningnya, merasa ada yang aneh dengan kunjungan mereka. "Mereka akan menghadiri Festival Cahaya Roh di Sekte Aliran Roh Suci beberapa hari mendatang. Namun, karena penginapan di kota penuh semua, Tuan Besar mengundang mereka untuk menginap di sini," kembali gadis pelayan itu menjawab pertanyaan Jian Huànyǐng, menjelaskan dengan detail yang membuat situasi semakin jelas. "Oh begitu," gumam Jian Huànyǐng, mulai memahami situasi di sekitarnya saat ini. Tiba-tiba saja terbersit sebuah ide. Dia pun bergegas menuju aula diikuti gadis pelayan yang berusaha mencegahnya. "Dà Gōngzǐ, jangan ke sana!" Dia menarik lengan Jian Huanying dan menyeretnya, kemudian kembali bersembunyi di balik pintu samping aula yang sepi. "Kenapa?" Jian Huànyǐng bertanya dengan polos, seakan-akan tidak tahu apa yang akan terjadi jika dia menerjang masuk ke dalam aula. "Tuan pasti akan memarahi dan memukuli Anda lagi. Anda baru saja sembuh," gadis pelayan itu menatap iba padanya, khawatir akan keselamatan Jian Huànyǐng. Jian Huànyǐng tersenyum dan baru menyadari, gadis pelayan itu lebih tua darinya, meski juga lebih muda dari A Shu. Sepertinya dia merupakan pelayan dari halaman Nyonya Tua. Hanya mereka yang peduli padanya. "Jiějie, kau tidak perlu khawatir. Kau hanya perlu berlari dan mengadu pada Shu Jiějie dan Zǔmǔ jika terjadi sesuatu padaku," Jian Huànyǐng tersenyum jahil, berusaha menenangkan gadis pelayan itu. Gadis pelayan itu menatapnya kikuk kemudian tersenyum canggung. Namun, tetap mengikuti Jian Huànyǐng yang mendekat ke pintu untuk melihat apa yang tengah berlangsung di aula. "Murid-murid dari Lanyin memang sangat sopan. Sungguh beruntung kalian dapat mengunjungi kediaman kami," terdengar suara renyah tetapi penuh wibawa dari aula utama. Tuan Murong Wei, ayah kandung Murong Yi, tengah berbicara pada murid-murid junior dari Sekte Musik Abadi. Di sisinya, Selir Ying dan putranya yang manja, Murong Hu, serta seorang gadis cantik yang baru sekali ini dilihatnya, turut tersenyum ramah dan penuh kegembiraan. "Aiyo, bukankah seharusnya Murong Yi yang berada di sana. Selain sebagai putra sah, dia memiliki hubungan kekerabatan dengan Klan Yue. Keluarga Baili berada di bawah perlindungan mereka," gumamnya di dalam hati, merasa aneh melihat ketidakadilan yang terjadi. Jian Huànyǐng termenung sejenak. Berpikir keras apa yang harus dilakukannya. Seandainya dia tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka, pasti akan membuat sebuah kejutan yang menyenangkan. "Tetapi ada kemungkinan Murong Wei mengenaliku sebagai Jian Huànyǐng," gumamnya lagi di dalam hati. "Eh, bukankah Murong Yi selalu mengenakan topeng jelek ini sebelumnya?" lanjutnya seraya meraba topeng yang sedari kemarin terikat di pinggangnya. Jian Huànyǐng tersenyum jahil dan bergumam lirih, "Orang-orang di manor ini tidak mengenali Jian Huànyǐng dan juga tidak pernah tahu wajah Murong Yi saat dewasa karena dia selalu mengenakan topeng. Aiyo! Ini akan sangat menyenangkan!" Jian Huànyǐng tersenyum puas dan menjentikkan jarinya, merasakan adrenalin mengalir. Namun, saat hendak memasuki aula utama, tiba-tiba terdengar teriakan yang menghentikan langkahnya. "Yang Mulia Pangeran Jing Yan tiba!" Serentak orang-orang berlutut memberi penghormatan. Mau tidak mau Jian Huànyǐng pun harus turut berlutut. "Merepotkan," keluhnya dalam hati seraya melirik rombongan yang baru saja datang dan kini memasuki aula.Huànyǐng segera melepaskan kakinya dari pinggang Léi dan turun dari gendongan kakaknya, lalu tanpa pikir panjang menghambur ke dalam pelukan Baihe Cheng."Niang!" serunya dengan suara penuh emosi.Dan dalam sekejap, air mata kembali mengalir deras di pipinya."Niang! Tiānyīn pergi yang lalu tanpa berpamitan! Huuee!"Jian Xia dan Jian Wei saling berpandangan, lalu menatap Qing Yǔjiā dengan pandangan meminta penjelasan. Qing Yǔjiā menghela napas panjang, ekspresinya penuh kepasrahan."Dia sudah merajuk selama tiga hari," katanya sambil menggelengkan kepala.Jian Xia mendekati ibu dan adiknya, lalu dengan lembut membelai rambut Huànyǐng yang berantakan."Sudah jangan menangis! Lihatlah dirimu! Hilang sudah Huànyǐng yang imut dan manis!"Léi menambahkan sambil menahan tawa, "Huànyǐng, lihat! Ingusmu menjijikan!"Dan reaksi yang diharapkan pun terjadi."Huuee, Niang! Lihat mereka menggodaku!" H
Di Hēiyǐng Shān, Huànyǐng masih bergulung di tempat tidur membelakangi Qing Yǔjiā. Selimut ditarik hingga menutupi separuh kepalanya, hanya menyisakan rambut hitam yang berantakan."Sampai kapan kau akan merajuk seperti itu, Huànyǐng?" tanya Qing Yǔjiā jengkel.Gadis cantik itu, meski kini berpakaian jauh lebih sederhana tanpa aksesoris mewah yang biasa dipakainya, berkacak pinggang di depan tempat tidur. Wajahnya menunjukkan ketidaksabaran menghadapi drama pagi ini.Qing Héng Zhì, yang menyaksikan dari sudut ruangan sambil mengayun-ayunkan kakinya di kursi, akhirnya berusaha menengahi."Jiě, jangan begitu," tegurnya pelan, merasa tidak enak hati melihat Huànyǐng yang terus-menerus diam sejak bangun tidur.Namun, Qing Yǔjiā tidak terpengaruh."Biarkan saja!" sahutnya galak, lalu menoleh pada adiknya. "Héng Zhì, kau pergi saja ke pasar. Beli beberapa bahan makanan dan bibit tanaman yang sudah habis."Qing Héng Zhì, meski
Fajar menyingsing dengan cahaya yang redup di atas Hēiyǐng Shān. Tiānyīn berdiri di teras dengan guqinnya tergantung di punggung, bersiap untuk pergi. Huànyǐng masih tidur di dalam rumah bersama kedua bocah kecil yang memeluknya erat seperti anak kucing yang takut kehilangan induknya.Qing Yǔjiā berjalan mendekati Tiānyīn, tatapannya tertuju pada pemuda bermata biru itu dengan kekhawatiran."Yuè Èr Gōngzǐ, apakah tidak menunggu Huànyǐng bangun dan berpamitan padanya?"Tiānyīn menggelengkan kepalanya pelan.Qing Yǔjiā terdiam sejenak, lalu bertanya lagi dengan hati-hati, "Apakah Yuè Èr Gōngzǐ tidak ingin membawa Huànyǐng kembali ke Kediaman Aroma Wisteria?""Tidak sekarang," jawab Tiānyīn singkat dan tenang seperti biasanya..Tanpa banyak kata, ia melangkah meninggalkan Hēiyǐng Shān menuju Bi Hai Wan. Meninggalkan Qing Yǔjiā yang mengantarkannya hingga ke pintu gerba
Tiānyīn dan Huànyǐng duduk berhadapan di teras sebuah bangunan sederhana di puncak Hēiyǐng Shān. Di atas meja terhidang tumis sayuran hijau dengan daging, acar lobak, nasi hangat, ikan kukus, serta arak dan teh yang mengepulkan uap hangat ke udara malam.Suasana makan malam yang tenang ini berbeda dengan keributan di siang hari. Kedua bocah kecil telah tertidur lelap di dalam rumah, diurus oleh Nenek Qing dan beberapa perempuan lain dari klan Qing.Huànyǐng, tanpa diminta, mulai menjelaskan sambil mengambil sepotong daging dengan sumpitnya."Mereka adalah orang-orang dari klan Qing, klan Wu, dan sekte kecil lainnya yang melarikan diri saat diserang Bìxiāo Tiěwēi setahun lalu."Tiānyīn mengangguk, tatapannya beralih pada orang-orang yang tengah berkerumun di bangunan terbesar di bukit, menikmati makan bersama sambil bercanda dan berbincang. Meski hidup dalam kesederhanaan, wajah mereka tampak damai dan p
Setelah perjalanan yang dipenuhi tawa dan keributan kecil, Tiānyīn, Huànyǐng, dan Qing Yǔjiā akhirnya tiba di kediaman mereka di puncak Hēiyǐng Shān, disambut dengan senang hati oleh para penghuni bukit.Nenek Qing berlari tergopoh-gopoh dan langsung membungkukkan tubuh rentanya di hadapan Tiānyīn dan Huànyǐng, menunjukkan penghormatan yang tinggi meski napasnya masih terengah-engah."Jian Wu Gōngzǐ, Yuè Èr Gōngzǐ, maafkan A Jun!" ucapnya dengan sangat sopan. Meski jauh lebih tua, Nenek Qing yang hanya orang biasa di klan Qing harus bersikap hormat kepada para tuan muda dari klan besar.Tiānyīn hanya mengangguk dengan sikap tenang seperti biasanya, sementara Huànyǐng tertawa santai sambil menggoyangkan Xiǎo Bai yang mulai tertidur di gendongannya."Ah, tidak perlu segan begitu, Nek. Tidak apa-apa, sesekali membuat Dewa Musik Lanyin kerepotan mengurus bocah nakal seperti A Jun."Tiānyīn melirik Huànyǐng dengan tatapan datar yang familiar,
Setelah keributan kecil di tengah kota, Qing Yǔjiā dengan sopan mengundang Tiānyīn untuk mampir ke kediaman mereka. Meski terlihat tenang seperti biasa, Tiānyīn mengangguk setuju. Sesuatu dalam dirinya penasaran dengan kehidupan baru Huànyǐng di tempat yang mustahil ini."Yuè Èr Gōngzǐ, silakan ikut kami. Aku akan menyiapkan hidangan yang layak untuk tamu terhormat," ucap Qing Yǔjiā sambil membungkukkan badan.Huànyǐng tertawa. "Yǜjiā, jangan terlalu formal! Chénxī tidak suka diperlakukan seperti bangsawan."Mereka beranjak menuju Hēiyǐng Shān, Bukit Bayangan Hitam yang dikenal sebagai pusat kegelapan sejak kota ini diliputi aura misterius. Di perjalanan, Qing Yǔjiā mampir ke berbagai pedagang untuk berbelanja daging, sayuran, bahan-bahan makanan lain, dan tentu saja arak."Mofa Shi memang paling suka arak! Beli yang mahal sekalian!" Goda seorang pedagang sambil tertawa."Diamlah! Aku hanya ingin menyambut tamu dengan baik," sahut Huànyǐn