Jian Huànyǐng menangis keras, isak tangisnya mengguncang aula yang sunyi. Setiap isakan terdengar memilukan, tetapi di balik tangisnya, ada kilat kejenakaan yang tersembunyi dalam matanya.
"Gōngzǐ, apakah benar kau Murong Yi Gōngzǐ?" suara lembut seorang murid Sekte Musik Abadi terdengar menenangkan, penuh perhatian. Jian Huànyǐng menganggukkan kepalanya, mencoba berdiri tegak meski masih terisak. Pemuda itu tersenyum, menepuk bahunya dengan lembut. Kemudian dia ber-kowtow kepada Tuan Murong Wei dengan sikap penuh hormat. "Tuan Murong, jika Anda tidak keberatan, biarkan Murong Yi Gōngzǐ kembali ke Lanyin bersama kami. Di sana ada kerabat yang pasti bersedia merawatnya," katanya sopan, dengan pandangan tulus. Tuan Murong Wei dan Selir Ying saling berpandangan, ketidaksetujuan jelas terlihat di wajah mereka. "Tetapi ..." gumam Tuan Murong Wei, suaranya hampir tidak terdengar. Tangan-tangannya terkepal di atas lututnya, menahan perasaan yang bergejolak. "Tuan Murong Wei, ini tidak bagus untuk pernikahan putrimu!" Kasim yang mendampingi Pangeran Jing Yan berkata dengan nada halus tetapi tegas, penuh otoritas. Tuan Murong Wei tertegun, segera berlutut bersama Selir Ying dan putrinya. "Aku tidak bisa menolak dekrit Permaisuri tanpa alasan yang kuat. Tetapi, hari ini aku telah mendapatkannya." Pangeran Jing Yan berdiri, langkahnya penuh wibawa. "Mengesampingkan putra sah demi putra selir? Ini akan menjadi bahan pergunjingan di ibukota bertahun-tahun kelak." Pangeran Jing Yan tersenyum tipis, matanya berkilat dengan kecerdikan. Saat berlalu, tatapannya terlihat dingin dan tak terbaca, meninggalkan kesan yang menakutkan bagi siapa pun yang melihatnya. Pria berhanfu biru cerah itu melenggang pergi, diikuti kasimnya. Tuan Murong Wei berdiri, memukul Murong Yi yang hampir terjatuh. Seorang murid Sekte Musik Abadi menahan tubuh Jian Huànyǐng yang limbung, mencegahnya jatuh. "Hentikan!" Teriakan keras menggema, memaksa semua orang berhenti bergerak. Nyonya Tua mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke lantai, tatapannya tajam seperti elang. "Sudah seperti ini dan kau masih bersikap keras kepala! Apakah kau ini mendadak menjadi bodoh atau memang aku telah melahirkan pria terbodoh di Kekaisaran Bìxiāo?" Nyonya Tua memandang Tuan Murong Wei dengan kekecewaan mendalam. Tuan Murong Wei dan Selir Ying seketika membeku. Mereka tidak berani membantah ucapan Nyonya Tua. Ketakutan dan rasa malu tampak jelas di wajah mereka. "Murong Hu kembalikan seruling milik Murong Yi. Itu adalah benda peninggalan milik mendiang ibunya." Nyonya Tua menatap tajam Murong Hu. Tuan Muda keras kepala, dan menurut Jian Huànyǐng yang lebih bodoh daripada Murong Yi, itu hendak membantah. Tetapi, dia segera berlari diikuti pelayannya saat Nyonya Tua hendak melemparkan tongkatnya dan mengenai kakinya. "Dan kau, keluarkan semua barangmu dari halaman milik Yunhua. Setelah itu bersiaplah untuk memberikan jawaban saat Permaisuri memanggilmu nanti." Nyonya Tua mengalihkan tatapannya yang tajam kepada Selir Ying, kata-katanya seperti pedang yang memotong ketenangan. Selir Ying melirik Tuan Murong Wei, berharap mendapatkan dukungan. Namun, pria itu menundukkan kepalanya, tidak berani membantah ucapan Nyonya Tua. Wajahnya penuh dengan penyesalan. Selir Ying pun pergi diikuti pelayan dan juga putrinya yang sejak tadi menahan tangis. Mereka setengah berlari meninggalkan aula, suasana menjadi sunyi mencekam. "A Shu!" Setelah itu Nyonya Tua memanggil pelayan setianya. Gadis pelayan itu maju dan membungkukkan tubuhnya dengan sopan. "Antarkan para tamu ke halaman utama. Layani mereka dengan baik." Nyonya Tua melunakkan nada bicaranya. A Shu segera menjalankan perintahnya dan dengan sangat sopan memimpin para murid Sekte Musik Abadi keluar dari aula utama untuk menuju halaman utama, yang merupakan tempat para tamu kediaman menginap. "Zǔmǔ," Jian Huànyǐng menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan memeluk kaki wanita tua itu. Dia menangis tersedu-sedu. Namun, di balik tangisannya, dia mengatur napas dan pikirannya, menyusun strategi. "Aku ingin ke Lanyin, aku tidak mau hidup di sini. Aku bisa mati setiap saat jika tinggal di sini. Aku ingat A Tie pernah memukuliku hingga hampir mati karena A Hu mengadukanku. Aku juga ingat saat A Tie melenyapkan kognisi spiritualku. Zǔmǔ! Tolong aku!" Tangis Jian Huànyǐng dipenuhi kepanikan yang terlatih, menambah kesan meyakinkan pada sandiwaranya. Wanita tua itu memejamkan mata, air mata menetes di pipi keriputnya. Dengan lembut, tangan tuanya membelai rambut Jian Huànyǐng. "A Wei, kali ini aku tidak bisa memaafkan dirimu. Kau melupakan semua ajaranku dan ayahmu. Darah selalu lebih kental dari air dan kau memilih menampung air di dalam bejanamu dan menumpahkan darahmu sendiri," gumamnya pelan, suaranya penuh kesedihan yang mendalam. Nyonya Tua mendesah panjang, matanya dipenuhi kekecewaan. "Jika Héxié Zhìzūn menanyakan perihal kognisi spiritual Murong Yi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia berhak membunuhmu tanpa peradilan. Karena Keluarga Baili masih bagian dari Klan Yue, maka Murong Yi pun merupakan salah satunya." Nyonya Tua menutup mata, mencoba menahan rasa sakit di hatinya. Setelah itu, dia memapah Jian Huànyǐng dan membawanya keluar dari aula utama, langkah mereka lambat namun pasti. Meninggalkan Tuan Murong Wei yang terduduk berlutut bak orang linglung, wajahnya pucat dan penuh penyesalan. noted : Tie : Ayah, panggilan yang menunjukkan rasa hormat.Tiānyin berjalan mendekati teras dengan langkah yang tegap dan berirama. Setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang khas, sesuatu yang bahkan sulit ditiru oleh siapapun, bahkan oleh Héxié Zhìzūn atau Hòu Jūn yang telah lama mengamatinya. Ada ketenangan dalam langkahnya, seolah setiap jejak kaki telah diperhitungkan dengan matang."Aku kira kau akan membiarkanku kelaparan," keluh Huànyǐng dengan nada manja yang sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu."Ayo masuk!" Tiānyin tidak menanggapi kelahannya, namun nada suaranya terdengar lembut. Dia mengisyaratkan Huànyǐng untuk mengikutinya kembali ke dalam kamar."Yuè Èr Gēge, kau memang yang paling mengerti diriku..." Huànyǐng bersorak gembira ketika mereka masuk ke dalam kamar dan Tiānyin mulai membuka keranjang bambu di atas meja rendah.Satu persatu hidangan dikeluarkan dengan hati-hati. Sup kepiting asparagus yang masih mengepul hangat, daging asam manis
Huànyǐng duduk bersila di hadapan meja rendah yang hanya dihiasi secawan teh yang telah lama tak mengepul. Uap hangat yang dulu membubung tipis kini telah sirna, meninggalkan cairan yang dingin dan pahit. Perutnya menggeliat lapar, mengingatkannya pada kenyataan bahwa sejak tadi sore dia belum menyantap apapun.Shengyuan tadi hanya berkata, "Dàoyì Zhenjun berkata tidak perlu menghidangkan makanan untuk Murong Gōngzǐ," setelah pemuda itu membantu mengatur pakaian gantinya. Kini dia sendirian di Shuǐyùn Tíng, kelaparan meski tubuhnya tak merasakan dingin berkat energi Heibing Hùfú yang masih mengalir dalam tubuh Murong Yi."Meow..." Yu Shi mengeong pelan dari sudut kamar, suaranya terdengar seperti bertanya."Ada apa?" Huànyǐng menoleh pada kucing spiritual berbulu putih itu dengan suara yang hampir berbisik.Yu Shi melompat dengan lincah ke pangkuannya, mata keemasan itu menatapnya dengan tatapan tajam yang khas kucing spiritual tingkat tinggi. "Hei bocah, kemana saja kau selama ini?"
"Chénxī, turunkan aku ya," pinta Huànyǐng memelas, suaranya berubah menjadi lembut dan penuh harap. "Aku tidak akan berbuat macam-macam, janjinya.""Sebentar lagi kita sampai," sahut Tiānyin mengabaikan permintaan Huànyǐng, langkahnya tidak melambat sedikit pun."Shuǐyùn Tíng, masih jauh," sahut Huànyǐng dengan nada yang mulai putus asa.Tiānyin berhenti di tengah jalan yang diapit oleh pohon-pohon bambu yang bergoyang lembut tertiup angin sore. Lalu dengan perlahan menurunkan Huànyǐng.Huànyǐng tersenyum senang lalu meregangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah lama berada dalam posisi yang tidak nyaman. Dia menggerakkan leher dan bahunya untuk melemaskan otot-otot yang tegang."Chénxī, aku tinggal di Zǐténg Ju saja ya?" pintanya lagi dengan nada yang penuh harap.Tiānyin menggelengkan kepala dengan tegas, tatapannya dingin dan tidak bisa dibantah.
Héxié Zhìzūn tersenyum menatap sang adik yang tak bergeming meski orang yang dipanggulnya terus memukuli punggungnya dengan gerakan yang tidak beraturan. Tiānyin berjalan dengan langkah yang mantap, tidak terpengaruh sedikit pun oleh protes keras dari pemuda yang dipanggulnnya."Sepertinya Tiānyin sedang merasa sangat bahagia," gumamnya pelan lalu menggelengkan kepalanya dan melanjutkan langkahnya yang tadi sempat tertunda.Sementara itu Tiānyin membawa Huànyǐng masuk ke Kediaman Aroma Wisteria. Bangunan-bangunan bambu yang sederhana namun indah menjulang di antara pepohonan yang rimbun. Konstruksi bambu yang dianyam dengan rapi menampilkan keindahan arsitektur yang asri dan menyatu dengan alam.Mereka menaiki tangga batu yang menanjak, melewati jalan setapak berlapis batu yang dinaungi pohon wisteria. Cabang-cabang wisteria yang berbunga lebat membentuk lorong ungu yang memukau, kelopak-kelopak yang berguguran menari-nari di udara seperti hujan bunga.Aroma wisteria yang lembut berca
Huànyǐng menatap sosok berjubah biru langit itu dan tiba-tiba sebuah kerinduan menyeruak dalam hatinya yang membuatnya hampir tak sanggup menahan tangis. Héxié Zhìzūn, sahabat karib sang kakak, Jiàn Wéi, yang juga merupakan kakak Tiānyin dan sudah dianggap sebagai kakak olehnya."Héxié Zhìzūn," gumamnya pelan, suaranya bergetar menahan haru.Tiānyin mengangguk lalu mengajak Huànyǐng mendekat. Langkah mereka melambat, seolah enggan mengganggu ketenangan sore yang mulai turun."Xiōngzhǎng!" dengan sopan Tiānyin memberi hormat diikuti murid-muridnya yang mengekor di belakang.Héxié Zhìzūn tersenyum lembut, matanya yang bijaksana menatap ramah pemuda bertopeng jelek di sebelah Tiānyin. "Kau membawa tamu rupanya!" ucapnya dengan nada hangat yang khas.Tiba-tiba saja, tanpa bisa dicegah oleh Tiānyin, Huànyǐng menubruk Héxié Zhìzūn dengan gerakan yang tak terkendali. Tubuhnya yang masih lema
Perahu kayu kecil bergoyang perlahan saat menyentuh dermaga batu di tepi Sungai Ungu Gelap. Tiānyin segera berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Huànyǐng turun dari perahu. Langit sore mewarnai permukaan air dengan kilau keemasan yang memukau."Aku bisa berjalan sendiri, Chénxī," bisik Huànyǐng lirih, meski tangannya berpegangan erat di pinggang pria itu.Tiānyin tidak berkata apa-apa dan hanya memapahnya dengan hati-hati. Gerakan kakinya stabil, memastikan Huànyǐng tidak terjatuh saat melangkah di atas dermaga batu yang licin.Para yunior mengikuti mereka dengan patuh dan diam, meski ada banyak pertanyaan berkelebat di benak mereka. Hòu Jūn dan Shengyuan saling bertukar pandang, masih penasaran mengapa guru mereka begitu perhatian pada pemuda bertopeng jelek yang tampak aneh itu.Huànyǐng melirik mereka dan tersenyum kecil di balik topengnya. "Mereka sangat patuh, sama seperti dirimu dulu," ucapnya pelan sambil memandang kedua pemuda yang berjalan di belakang mereka.Tiāny