"Tidak bisakah kamu diam dan jangan membuat keributan di kamarku? Atau memang sudah menjadi kebiasaanmu mengganggu milik orang lain?" Miana membuka suaranya dengan dingin dan datar.
"Aku tidak bermaksud seperti itu, Mia. Aku hanya ...."
"Masuk ke kamar orang lain tanpa izin hanya untuk membuatku marah, apa perilaku menjijikkan seperti itu sudah menjadi kebiasaanmu, Siska?" tanya Miana kembali memotong perkataan Siska.
Yah, yang masuk tanpa izin ke kamar Miana memang Siska. Tengah malam begini, apa yang dilakukan Siska di dalam kamarnya kalau bukan untuk menunjukkan kemesraannya bersama Rendi yang sudah mereka lalui? pikir Miana.
"Aku hanya ingin menyapamu, Mia. Sejak siang aku dan Mas Rendi kembali dari KUA, aku belum menyapamu meski hanya sebentar saja. Aku belum memiliki waktu untuk itu. Karenanya saat sekarang aku memiliki sedikit waktu, aku ingin menyapamu meski sebentar," kelit Siska sembari tersenyum kecut dengan wajah memelas. Siska merasa apa yang dilakukannya sama sekali tidak ada kesalahan.
'Sejak siang belum memiliki waktu untuk menyapaku?'
'Lalu sekarang dia ingin menyapaku sebentar karena memiliki waktu sedikit?'
Miana membatin sembari tersenyum getir. Dia mengasihani dirinya sendiri yang harus berada dalam posisi sekarang.
Meski sakit hati, tetapi Miana tidak akan menunjukkan kepada Siska. Miana bukan orang bodoh yang tidak tahu sifat Siska sebenarnya. Jadi, dia tidak memiliki waktu untuk berbasa-basi dan bersandiwara.
"Kamu tidak perlu repot-repot menyapaku, Siska. Kita sudah saling mengenal sebelumnya. Jadi, tidak perlu bersikap seolah kita ini orang asing yang butuh perkenalan untuk saling menyapa," balas Miana membuat Siska tersenyum penuh maksud.
"Ah, syukurlah kalau kamu sudah mengenalku. Sepertinya Mas Rendi sudah menceritakan siapa aku dan bagaimana hubungan kami. Dia benar-benar suami idaman masa depan," jawab Siska tersipu malu yang justru terlihat memuakkan di mata Miana.
"Aku tidak menyangka kalau pria yang sudah menjadi suamiku sungguh mengagumkan. Dia sangat berhasrat padaku di atas ranjang. Ya, walau durasi ketahanannya masih jauh dari yang aku harapkan. Setidaknya Mas Rendi mampu memberikan sedikit kepuasan padaku dengan pemanasan dan santapan inti kami," lanjut Siska berbicara tanpa malu melihat Miana.
Siska tertunduk melihat kedua tangannya yang saling bertautan. Dia berbicara seperti itu tanpa mau tahu ada hati perih yang mendengarnya.
Meski menundukkan dengan wajah malu-malu, Siska menyembunyikan senyuman kemenangan di sudut bibirnya.
"Tidak perlu berbicara urusanmu di atas ranjang bersama Mas Rendi hanya untuk memanas-manasi aku. Semua usahamu tidak berhasil." Masih dengan mempertahankan ketenangan dan nada dinginnya, Miana membalas perkataan Siska.
"Aku sama sekali tidak cemburu dan aku juga tidak berminat melakukannya bersama Mas Rendi," lanjut Miana berhasil membuat Siska melihatnya dengan cepat. Ada sedikit keterkejutan di wajah Siska dan Miana menyadari hal itu.
"Aku khawatir menjadi wanita yang hanya digunakan sebagai pelampiasan hasrat dan pembuangan sp*rma saja oleh Mas Rendi. Dari pada seperti itu, aku lebih berminat menyewa pria di luaran sana yang sudah terbukti kemampuannya. Dari pada bersama seseorang yang tidak cukup memuaskan," imbuh Miana membuat Siska geram mengetahui pancingannya tidak mempan.
Miana tidak tahu seberapa lama durasi ketahanan Rendi di atas ranjang karena mereka memang belum pernah melakukannya. Namun, dari perkataan Siska, Miana dapat menyimpulkan kalau suaminya tidak cukup perkasa. Bukan suaminya, tetapi suami mereka.
'Sial, kenapa Miana hanya berekspresi tenang seperti itu? Seharusnya walau dia tidak berminat, tapi wajahnya tetap menampilkan kecemburuan dan kemarahan. Bukan malah menantangku seperti itu,' geram Siska dalam hati sembari mengepalkan kedua tangannya.
'Ini semua gara-gara Rendi sial*n itu! Aku pikir dia bisa bertahan lama. Ternyata cuma 15 menit paling lama. Aku jadi tidak memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan di depan Miana. Ya, walau berkata jujur tetap bisa saja menusuk hati Miana tanpa aku tahu,' batin Siska menyalahkan Rendi yang tidak sesuai harapan.
"Aku tahu kamu tidak rela berbagi suami denganku, Miana, tapi aku pikir Mas Rendi menikahi ku setelah mendapatkan izin darimu. Namun, setelah aku tidak melihatmu hadir di acara pernikahan kami dari sana aku tahu kalau kamu tidak merelakan Mas Rendi bersamaku," sesal Siska mencoba bersilat lidah setelah berhasil menguasai emosinya.
"Aku kesini untuk berbagi cerita denganmu. Apakah pengalaman malam pertammu juga seperti itu. Maksudnya, memang Mas Rendi yang kurang lama atau karena dia yang tidak berminat denganku."
"Aku pikir, Mas Rendi hanya ingin melakukannya bersamamu karena itu berkali-kali kami bergulat sejak siang, belum ada hasil memuaskan yang diberikan kepadaku," tambah Siska dengan nada bersedih di akhir kalimatnya.
"Berhenti mengatakan urusan ranjang, Siska. Aku harap kamu sudah mengerti batasannya sebagai istri yang baik. Meski kau juga istrinya bukan berarti kamu bisa bebas seperti itu," balas Miana dengan nada bergetar.
Siska tahu alasan yang membuat Rendi menikahinya dua hari setelah menikah dengan Miana, tetapi Siska tidak perduli akan alasan itu. Karenanya saat ini dia sengaja menceritakan apa yang sudah dilaluinya bersama Rendi. Padahal mereka menikah secara sederhana tanpa pesta. Berbeda dengan Miana sebelumnya.
"Sekarang sebaiknya ...."
"Waktuku sudah habis. Mas Rendi hanya memberiku istirahat sebentar sebelum melanjutkan permainan kami."
"Aku izin mengambil air minum agar bisa terlepas darinya. Tidak mungkin aku lebih lama di sini bersamamu. Bisa-bisa Mas Rendi akan curiga kalau aku tidak segera kembali. Aku pergi dulu, Miana. Semoga cerita ini kita sambung lain waktu."
Siska sengaja memotong perkataan Miana sebelum wanita itu mengusirnya. Sangat pantang bagi seorang Siska diusir oleh orang lain.
Walau Siska tidak tahu pasti apakah kata-katanya mempan atau tidak untuk menusuk Miana, tetapi sedikitnya dia mendapatkan kepuasan di hari pertama menjadi istri Rendi setelah sedikit bermain-main dengan kakak madunya.
Begitu Siska pergi dan menutup pintu, Miana langsung terjatuh di lantai yang dingin. Cuaca tidak lagi berpetir. Hujan juga sudah reda meski udara masih dingin. Namun, tidak dengan hati Miana.
"Sakit, Siska. Hatiku sakit mendengar certamu. Malam pertama pengantin yang aku nantikan, malam penuh kebahagiaan yang seharusnya aku milikki justru menjadi duri di kehidupan ku," gumam Miana sembari terisak.
"Aku tenang di depanmu, aku acuh mendengarmu, tapi hatiku bergetar. Pengabdianku sebagai seorang istri, baktiku yang seharusnya sudah aku lakukan untuk pertama kali hancur lebur tanpa sisa dalam sekejap."
"Aku iri, Siska. Aku iri padamu yang bisa merasakan kehangatan dekapan suamiku. Pria yang paling aku cintai, aku hanya bisa menantikan kedatangannya untuk kami bisa bersatu."
"Aku menantikan momen paling berharga menyerahkan diriku sepenuhnya sebagai pembuktian cinta selama ini dengan cara halal, tapi semuanya tidak dapat aku wujudkan. Justru aku mendapatkan tusukkan paling menyakitkan yang tak pernah ku bayangkan."
Miana terus terisak sembari berbicara seolah Siska ada di hadapannya. Namun, bukan Siska yang bermuka dua seperti itu, melainkan Siska yang berhati mulia dan bisa menjadi tempat curahan hatinya.
Hati Miana sebenarnya sudah sakit semenjak kedatangan Siska ke kamarnya. Bukan hanya melihat wajah bahagia Siska yang membuatnya sakit, tetapi banyaknya bercak merah di leher wanita itu sudah membuktikan semua yang terjadi di kamar bersama Rendi.
Terlebih perkataan Siska bait demi bait. Semuanya menjadi jarum beracun yang semakin mematikan hati Miana. Namun, Miana menahannya demi menahan agar Siska tidak lebih bahagia dari ini atas penderitaannya.
"Tidak dapat dipungkiri, sebagai wanita dewasa normal dan bersuami, aku menantikan kehangatan malam pertama kita, Mas. Terlepas aku yang sakit akan sikapmu, tapi cinta itu masih tumbuh kuat di hatiku."
***
Pagi hari.
Ibu Rendi datang berkunjung ke rumah mereka. Saat ini weekend dan menjadikannya datang lebih pagi berniat untuk sarapan bersama anak kesayangannya.
Tidak hanya sendiri, ibu Rendi membawa serta putri dan menantunya. Kedatangannya kali ini sekaligus ingin melihat kedua istri anaknya.
"Tidak bisakah kamu membuka pintu lebih cepat, Miana?" tanya Ibu Rendi dengan dingin dan datar sarat akan ketidaksukaan di sana.
"Ibu," sapa Siska dengan riang sebelum Miana menjawab pertanyaan itu.
"Sayang, bagaimana keadaanmu? Cukup sehat?"
"Bukan hanya cukup, Bu, aku bahkan sangat sehat," jawab Siska sembari memeluk ibu mertuanya.
Mereka berpelukan masih dengan di depan pintu. Siska mengedipkan sebelah mata genitnya kepada Geri, Suami dari Tina, kakak kandung Rendi.
Tentu saja Tina tidak menyadari hal itu. Dia langsung menerobos masuk sebelum dipersilakan oleh Miana. Tina enggan melihat istri pertama adiknya.
'Apa itu tadi? Siska bermain mata dengan Mas Geri? Apa aku tidak salah lihat?' batin Miana merasa ada yang tidak pada tempatnya. Terlebih lagi saat tanpa sengaja dia melihat balasan Geri yang sedikit memberikan kecupan bibir dengan isyarat kepada Siska.
'Sepertinya aku tidak salah. Siska memang bermain mata dengan Mas Geri. Bahkan Mas Geri juga tidak segan memberikan balasannya. Aku akan membongkar rahasia Siska,' batin Miana sembari berjalan mengikuti mereka ke dalam."Mia, kamu cuma masak segini? Memangnya ini cukup buat sarapan kita?" Lastri, Ibu Rendi langsung melayangkan protes begitu melihat menu yang tersaji di meja makan."Ibu tidak bilang kalau akan berkunjung ke sini. Jadi, aku hanya masak seadanya. Tadi aku sudah minta bibik belanja lebih banyak untuk mengisi kulkas," jawab Miana apa adanya."Biar aku masak lagi, Bu. Ibu makanlah yang banyak. Aku dan Mas Rendi bisa makan setelah kalian nanti. Aku bisa masak mie instan untuk sarapan," sela Siska dalam pembicaraan Miana dan Lastri."Kamu memang menantu yang baik, Siska. Sudah sempurna, tidak cacat, dan mengerti bagaimana seharusnya bersikap pada ibu mertua," ujar Lastri menanggapi Siska dengan ramah."Tidak kayak si onoh yang bisanya cuma numpang hidup. Mau diceraikan saja,
"Tadi aku ke dapur, tapi tidak melihat Siska dan Mas Geri. Aku pikir mereka ada di sini karena pas aku ke taman belakang aku juga tidak melihat mereka. Ternyata mereka berada di tempat yang sedikit tersembunyi," papar Miana menjelaskan sembari pandangannya masih terarah kepada dua orang yang terlihat bergerak dari balik gorden. "Kamu jangan sembarangan bicara, Mia! Tidak mungkin Mas Geri dan Siska begitu. Mereka kakak adik walau hanya terhubung sebagai ipar. Tidak mungkin mereka macam-macam," sanggah Tina mulai merasakan panas saat matanya menangkap dengan jelas pergerakan maju mundur dari seseorang yang berada di belakang seorang wanita. "Kak, aku tidak nuduh macam-macam," sahut Miana membela diri. "Kita lihat siapa mereka." Rendi berdiri dan berjalan ke belakang dengan cepat. Tidak hanya Rendi, Miana, Tina, dan Lastri juga mengikuti di belakangnya. Mereka semua penasaran siapa orang yang membuat melakukan gerakan mencurigakan itu. Sebagai orang dewasa, tentu saja mereka semua
"Nggak majikan, nggak asisten rumah tangga, mereka sama aja. Masih pagi udah ganjen olahraga kayak nggak ada waktu lain," gerutu Miana melihat kegiatan olahraga Warsi di dalam kamar."Benar-benar sial nasibku. Pagiku harus diawali melihat kegiatan mereka yang tidak tahu malu. Mata suciku harus kotor dinodai oleh kegiatan dua pasang manusia yang tidak berguna itu!" decak Miana mengakhiri aksinya mengintip kegiatan Warsi. "Karena aku nggak bisa ganggu Siska sama Mas Rendi, jadi aku bisa buat Warsi menerima pelampiasanku. Salah siapa, waktu itu dia berbohong sampai membela Siska. Jelas-jelas aku lihat sendiri kalau Siska sama Mas Geri lagi ena-ena. Sekarang, waktunya kamu balas dendam." Miana menutup rapat pintu kamar Warsi. Selanjutnya, dia menggedor pintu itu dengan kuat sengaja untuk mengganggu kegiatan yang berada di dalam. "Warsi! Warsi! Kamu masih tidur?! Warsi!" teriak Miana dengan keras sembari terus menggedor pintu kamar Warsi. Terdengar suara Warsi menyahut dari dalam. Seme
"Apa yang Anda katakan, Dokter? Siska hamil?" Miana bertanya untuk memastikan dia tidak salah mendengar. "Benar, Bu. Bu Siska sedang hamil. Menurut pemeriksaan sementara saya, usia kehamilannya sekitar dua belas minggu, tapi hal itu baru bisa kita pastikan setelah mengalami pemeriksaan di rumah sakit," terang dokter. Dokter baru selesai memeriksa Siska. Dokter paruh baya itu menghadap Rendi dengan senyuman lebar di wajahnya. "Selamat, Pak Rendi. Anda akan segera menjadi seorang ayah." Selesai memberikan ucapan selamat, dokter izin pamit setelah menyarankan Siska untuk memeriksakan kandungannya ke rumah sakit. "Mas, aku hamil," ucap Siska dengan wajah berseri bahagia. Deg! Kenyataan ini langsung menyayat hati Miana. Dia menatap Rendi dan Siska dengan tidak percaya. Untuk kembali menyakinkan dirinya sendiri, Miana menghadap Rendi meminta penjelasan. "Ada apa ini, Mas? Siska, dia hamil dan usia kandungannya sudah tiga bulan sementara kalian menikah baru satu minggu. Kamu tidak
"Kenapa aku harus menjaga omonganku? Apa wanita hamil di luar nikah dan bangga atas kehamilan bersama calon suami orang, apa wanita seperti itu harus aku bilang wanita suci?" tantang Miana tanpa rasa takut. Hatinya sudah terlanjur sakit. Tidak ada lagi cara lain untuk mengobati selain dari meluapkan semua isi hatinya dengan menentang mereka."Kamu keterlaluan, Miana!" geram Rendi kembali mengangkat tangannya, tetapi harus terhenti mendengar Miana berteriak."Apa, Mas?! Kamu mau menamparku lagi? Ini, Mas, tampar! Tampar aku, Mas!" seru Miana. Miana menatap tidak percaya kalau tamparan itu justru datang dari suaminya. "Kamu percaya pada fitnah dan memilih menjadi orang asing untukku sebelum kita genap 24 jam menikah." Miana mundur, dia mengusap air matanya dengan cepat. Namun, arus sungai dari pelupuk matanya tetap tidak bisa dihentikan."Sementara dari kehamilan Siska dengan pernikahan kalian yang baru satu minggu, fakta membongkar rahasia besar. Nyatanya kalian sudah sering berhubung
"Aku menyesal pernah mencintaimu, Mas. Aku menyesal masih memperjuangkan kamu yang akan menikah dengan Siska pagi itu." Miana menatap Siska dan Rendi bergantian. Tidak terlihat wajah penyesalan dari mereka berdua. Justru dalam pandangan Miana , Siska menahan senyumannya."Menyesallah, Miana. Semua itu tidak ada gunanya karena kita akan segera bercerai. Aku talak kamu, Miana," ucap Rendi disambut senyum bahagia dari Siska dan tetesan air mata dari Miana. "Aku berjanji akan membalas sakit hatiku!" janji Miana kemudian pergi dari sana. Dia sudah tidak tahan lagi berada diantara orang-orang munafik.***Pagi hari.Miana sedang duduk menghadap cermin menatap dirinya sendiri. Air mata yang keluar dihapus dengan cepat."Tidak, Mia, kamu tidak boleh menangis. Pria seperti itu tidak pantas menjadi suamimu," gumam Miana menasehati dirinya sendiri. "Aku harus mulai rencana pertama. Aku akan mencari dalang di balik pembuat video rekaman bercint* itu. Walaupun wajah perempuan di dalam video itu
"Sejak tadi aku terus mengikuti Siska dan Mas Geri. Aku tidak mau kehilangan jejak mereka berdua." Miana mencoba menyiram minyak agar amarah Rendi semakin membesar. 'Wajah Mas Rendi sudah terlihat sangat memerah menahan amarah. Sebentar lagi aku akan melihat pertunjukan yang menyenangkan. Oh, selamat bersenang-senang, Miana,' batin Miana senang. Rendi menatap Siska dan Geri. Benar saja, mereka sedang berada di kasir untuk membayar belanjaan. Tanpa menunggu lebih lama, Rendi berjalan mendekat diikuti Miana di belakangnya."Siska," panggil Rendi."Ngapain kamu di sini sama Mas Geri?" lanjut Rendi bertanya."Mas Rendi." Siska dan Geri menatap Rendi bersamaan."Rendi."Siska melihat Miana yang berada di belakang Rendi dan tengah tersenyum kepadanya. Dari sini Siska langsung mengerti kenapa Rendi bisa datang menemuinya. Namun, bukan kemarahan yang Siska tampilkan, tetapi senyuman tipis misterius kepada Miana. Setelah itu dilanjutkan dengan Siska yang berhambur ke pelukan Rendi sembari b
"A ... apa, Mas? Jangan main-main dengan kata-kata itu, Mas." Miana yang baru masuk rumah ternyata disambut dengan kata-kata menyakitkan itu. "Aku sedang tidak berminat main-main denganmu, Miana. Aku benar-benar mentalakmu," kata Rendi kembali mengulang kata-katanya."Apa salahku, Mas? Kenapa kamu tega talak aku?" Miana menjatuhkan barang-barang yang ada di tangannya. Dia menangis tidak percaya dengan pendengarannya."Kamu salah karena kamu sudah berani memfitnah Sarah dan Mas Geri. Kamu berusaha mempengaruhiku, Miana. Jauh-jauh aku datang ke mall hanya untuk melihat kebohongan yang kamu ciptakan. Dan bodohnya aku percaya pada kata-katamu!" marah Rendi."Ibu, maafkan aku yang sudah jalan dengan Mas Geri, Bu. Aku sungguh tidak sengaja bertemu dengan kakak ipar di mall. Kalau Ibu tidak percaya, Ibu bisa menghubungi kak Tina untuk menanyakan kebenarannya. Mas Geri sudah meminta izin pada kak Tina, Bu." Siska masih terus menangis dipelukan Lastri sejak pertama kali kembali ke rumah."Ibu