Share

Berusaha Menemuinya

Auteur: Windersone
last update Dernière mise à jour: 2023-12-13 23:00:07

'Kamu pembawa sial!'

Suara Sarina terekam jelas saat memakinya.

Inara membuka mata secara pelan dan memandangi langit-langit kamar rumah sakit. Kemudian, matanya beralih menatap Lohan yang duduk dengan kedua tangan menyilang di samping kasur yang ditidurinya. Wanita dalam setelan baju rumah sakit warna biru itu sangat mengenalinya wajah Lohan karena pernah melihatnya di foto keluarga besar Wirananda. 

"Kenapa kakaknya Qian ada di sini? Kenapa aku di sini?" tanya Inara sambil mengingat kejadian pagi ini. 

Ekspresinya berubah kaget setelah ingat kalau dirinya tertabrak mobil karena syok mendengar kabar kecelakaan Qian dan ingin ke kediaman Wirananda sesegera mungkin untuk mencari tahu keberadaan Qian yang dibawa ke rumah sakit mana? 

"Kondisi Qian, bagaimana? Dia …." 

Inara bertanya sambil duduk dengan Lohan yang ikut sontak ingin membantu. Tapi, ia kembali duduk dan menarik kecemasan setelah melihat wanita itu baik-baik saja. 

"Dia baik-baik saja. Kamu bersamanya semalam?" tanya Lohan. 

Inara menganggukkan kepala dengan wajah sedikit takut sampai ia menarik wajah ke belakang dan menundukkan kepala. 

"Untuk beberapa hari kedepan kamu di sini dulu dan jangan pergi ke mana-mana. Jika Mama sampai menemukanmu, aku tidak bisa menahan kemarahannya. Jangan khawatirkan Qian, dia baik-baik saja," kata Lohan, dingin.

"Dia di mana? Aku ingin bertemu dengannya sebentar saja," balas Inara, cemas. 

"Kamu tidak bisa menemuinya saat ini. Tolong mengertilah." Lohan mencoba untuk membuatnya paham. 

"Baik," turut Inara.

Dokter wanita masuk bersama seorang perawat, mereka memeriksa kondisinya lebih lanjut. 

"Kamu baik-baik saja. Hanya butuh pemulihan beberapa hari di sini," kata dokter. 

"Terima kasih, dokter," ucap Inara. 

"Sama-sama," balas dokter itu. "Pak Lohan, saya melihat Bu Sarina sedang mencari Anda di lobi," lanjut dokter itu berbicara.

Lohan berdiri sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana dan berjalan keluar dari kamar itu tanpa berpamitan pada Inara, ia hanya menatap wanita itu dengan raut wajah datarnya. 

Dokter dan perawat menganggukkan kepala sambil tersenyum kepada Inara dan ikut meninggalkan kamar itu. 

"Mama Sarina ada di sini karena tahu aku ada di sini juga atau … Qian juga dirawat di sini? Kalau begitu, aku harus melihatnya. Tapi, bagaimana kalau perkataan Kak Lohan benar kalau Mama menemukanku dan memperlakukanku dengan kasar lagi?" Inara jadi ragu. "Kalau begitu, aku akan cari waktu luang untuk menjenguknya saat Mama tidak ada," kata Inara. 

Sore hari berganti malam, Inara masih terpikir pada Qian dan mencemaskan kondisinya. Setelah menahan diri sejak pagi, kali ini ia tidak bisa menahan diri lagi. Inara bangkit dari kasur rumah sakit dan berjalan keluar setelah melepaskan tempelan selang impus yang menusuk pergelangan tangannya. Ia berjalan dengan langkah lambat karena kakinya masih terasa sakit, ia sedikit menyeret kaki kirinya dengan tangan bergantung ke dinding karena takut jatuh. 

"Di mana Qian berada? Aku ke resepsionis rumah sakit saja untuk bertemu. Ini sudah malam, Mama pasti sudah pulang," asumsi Inara. 

Inara melanjutkan kaki berjalan di lorong rumah sakit yang diapit oleh beberapa ruangan pasien kelas bawah yang berada di lantai satu. Ia lanjut berjalan menuju lobi, berdiri di hadapan resepsionis untuk bertanya mengenai keberadaan Qian.

"Pak Qian ada di lantai lima ruangan VIP 2," kata resepsionis rumah sakit berjenis kelamin perempuan itu.

Inara senang mendengarnya. Ia lanjut melangkah menuju lift yang akan mengantarkannya ke lantai lima. Langkah kakinya itu beriringan dengan perasaan bahagia bisa bertemu pria yang membuatnya jatuh cinta dengan hanya menghabiskan waktu satu malam saja bersamanya. Selain itu, ia mengagumi seorang Qian yang terlihat berpikir lebih logis dan lembut daripada anggota keluarga lain yang ditemuinya.

Setelah sampai di depan kamar VIP, Inara diam menenangkan perasaan dengan berharap Sarina tidak ada di dalam. Perlahan tangannya menarik turun handle pintu dan mendorongnya masuk dengan mata mencuri suasana di dalam ruangan itu melalui celah yang sedikit dibuat olehnya. Ia melihat kekosongan di sana, hanya ada sebatang tubuh Qian terbaring dalam balutan perban yang menempel di dahinya.

"Qian …," panggil Inara dengan suara kecil sambil menghampiri tubuh pria yang tidak sadarkan diri itu. 

"Pantas saja perasaanku tiba-tiba tidak sebaik sebelumnya tadi. Ternyata kamu mengalami semua ini. Maafkan aku," ucap Inara, merasa bersalah sambil menangis pria itu dengan tangan menggenggam erat tangan kanan suaminya itu.

"Kamu di sini?" tanya Lohan, membuatnya terkejut karena baru masuk. 

"I-iya. Aku tidak bisa diam saja di kamar. Maaf karena aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertemu dengannya," ucap Inara, mencoba menjelaskan perasaannya pada Lohan.

"Jika Mama yang memergokimu, entah apa yang akan terjadi. Untung saja aku yang bertugas menjaganya malam ini. Cepat kembali ke kamarmu sebelum Ditya masuk. Dia mungkin tidak mengenalmu, tetapi akan menjadikanmu sebagai topik utama dalam pembicaraannya bersama Mama saat mendapatimu di sini. Cepatlah!" suruh Lohan. 

"Iya." Inara menuruti perkataan kakak suaminya itu. 

Inara memperhatikan wajah Qian sambil mengingat setiap perkataan yang dilontarkan suaminya itu semalam. Kakinya melangkah mundur dengan raut wajah sedih dan prihatin yang tergambar melihat kondisi Qian yang cukup memprihatinkan. 

Pintu kamar kembali ditutup, Inara harus bersusah payah berjalan kembali ke kamarnya karena kesulitan berjalan akibat kakinya yang cedera. Ia sempat terjatuh setelah keluar dari lift. 

"Hati-hati, Kak," ucap Ditya sambil membantunya. 

Sejenak Inara terdiam dengan tubuh kembali berdiri berkat bantuan Ditya. Pria nakal dari tiga bersaudara itu memapahnya sambil bertanya letak kamarnya agar bisa diantarkan langsung ke sana setelah melihatnya yang terlihat kesulitan untuk berjalan. Inara menjawab pertanyaan itu dengan suasana hati masih tercengang melihat dan menyadari satu persatu keluarga Wirananda bertemu dengannya. 

"Kamar ini? Kakak dari mana tadi? Sudah tau sakit, mendingan istirahat saja sampai pulih, baru keluar. Mau memeriksa kondisi setiap pasien di sini?" tanya Ditya sambil bercanda. 

"Terima kasih," ucap Inara sambil tersenyum mendengar candaan ringan Ditya. 

"Bagi seorang Ditya, balasan ucapan terima kasih bukan sama-sama. Tetapi, balas nanti," ucap Ditya sambil menaikkan kedua alisnya dan tersenyum tipis kepada Inara. 

Inara tertawa ringan melihat tingkahnya. 

"Semoga lekas sembuh. Kalau begitu, saya pergi dulu," pamit Ditya, berjalan meninggalkan kamar itu. 

"Mereka bertiga memiliki sifat dan karakter masing-masing. Kak Lohan bersama karakter dingin dan cueknya, Qian orang yang sangat lembut dan romantis, sedangkan Ditya orang yang ramah dan humoris. Mengapa Mama Sarina begitu galak, ya? Semua anak-anaknya orang baik," kata Inara, memasang raut wajah letih.

Inara kembali berbaring sambil berdoa dalam diam dan sunyinya kamar kalau suaminya itu baik-baik saja. 

"Semoga Qian bisa sadar dan kami bisa bersama lagi. Perkataannya malam itu sungguh memberikan secercah harapan dan nyawa bagiku untuk bisa menjalani kehidupan berikutnya dengan bahagia," kata Inara, menaruh harapan pada Qian. 

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Bayinya Perempuan (Ending)

    Usai makan, usai melepaskan kepulangan keluarga mereka, Inara dan Qian memasuki kamar yang sudah disiapkan Tias dan Erlanda untuk mereka di kediaman mereka, di mana mereka bisa tempati saat berkunjung seperti malam ini. Inara dan Qian tidak kembali ke kediaman mereka. Untuk pertama kalinya mereka menginap di rumah itu untuk menghargai Tias dan Erlanda yang selalu meminta mereka menginap. “Melelahkan,” ucap Inara sambil duduk di tepi kasur yang empuk di kamar itu. Pintu kamar ditutup Qian dan pria itu bergegas melepaskan kancing kemeja sambil memutar badan ke belakang dan tangannya berhenti lanjut melepaskan kancing baju itu setelah melihat Inara duduk dalam kelelahan. Ekspresi pria itu mulai menampakkan kekecewaan dan kembali memasang kancing bajunya. Sesuatu muncul di benak kalian terhadap apa yang ingin dilakukan Qian sebelumnya? Benar, itu benar. Pria itu duduk di samping Inara dan memijat kedua pundak istrinya itu dari belakang. Tampak wanita itu menikmati dan membetulkan posi

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Tandatangani

    LIMA BULAN KEMUDIAN ….Qian mengemudikan mobil di mana Inara duduk di sampingnya, mereka akan menghabiskan waktu seharian di hari Minggu yang kebetulan cerah. Mereka akan ke taman, menikmati suasana taman yang biasa dikunjungi oleh anak-anak. Wanita yang kini sudah hamil lima bulan lebih itu mengidam ingin melihat suasana taman yang dipenuhi oleh anak-anak kecil. Setelah mobil terparkir, Qian merangkul pinggang istrinya itu keluar dari mobil, membimbing memasuki area taman dengan kehati-hatian sampai duduk di bangku salah satu taman yang kebetulan berada di bawah pohon yang rindang. “Kamu duduk di sini dulu. Biar aku belikan beberapa minuman dan makanan di minimarket seberang,” pesan Qian yang takut Inara ke mana-mana. Pria itu berlalu pergi setelah Inara menganggukkan kepala. Baru beberapa menit Qian pergi, deringan telepon terdengar dari tas yang ditaruh di sisi kanannya. Dirogoh olehnya tas jinjing itu dan mengeluarkan ponsel kepemilikan Qian yang dititipkan suaminya itu ketika

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Menapa Kalian Menatapku Begitu?

    Di hadapan semua orang, terutama di hadapan Inara yang sudah duduk di samping Elmi, mendengar semua cerita dari Devi dari awal sampai kejadian bayi tertukar itu terjadi. Sepanjang cerita itu berlangsung, Elmi dan Tias sama-sama menangis, satu karena kebenaran Inara bulan putri kandungnya dan satu lagi menangis karena rasa haru bisa bertemu putri yang dianggapnya telah meninggal selama ini. “Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Devi dengan wajah meminta belas kasih mereka. “Wah … ini tidak bisa didiamkan. Harus dibawa ke jalur hukum, nih,” celetuk Ditya. “Diam,” tegur Lohan dengan suara kecil kepada sang adik.Inara jadi bingung sendiri, entah harus mengekspresikan hal tersebut dengan bahagia atau malah sedih. Tias bangkit dari tempat duduknya, tidak sabar ingin memeluk wanita itu setelah menahan diri sejak tadi. Dalam pelukan itu Inara masih diam, masih bingung untuk bertingkah. Ia malah menatap Elmi yang diam bersedih, yang membuat hatinya ikut bersedih. Bergegas Inara melepaskan p

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Jadi, Inara Anak Kita?

    Erlanda menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan sikap Sarina terhadap putrinya. Berbeda dengan Tias, istri pria paruh baya itu malah memperhatikan Inara yang berjalan memunggunginya sampai wanita itu memasuki kamar. Ekspresi murung tergambar di wajah wanita itu. “Kami benar-benar kecewa, Bu Sarina,” ucap Erlanda dan hendak mengikuti jejak Cici. Namun, diamnya Tias dalam lamunan sedih wanita itu membuat Erlanda terhenti dan menggenggam pergelangan tangan kanan istrinya itu, menyadarkan Tias. Lanjut, membawa wanita itu keluar dari rumah itu dengan kepala Tias menoleh ke belakang, tidak memperhatikan jalannya saat berjalan. Tias menghentikan langkah kakinya di depan rumah tersebut setelah mendengar suara deringan telepon dari saku celananya. Itu ikut menghentikan langkah Erlanda dan pria itu memperhatikan Tias menerima sambungan telepon dari seseorang yang tampak membuat istrinya itu terharu sampai meneteskan air mata. “Suster tidak berbohong, kan?” tanya Tias. Sejenak

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Kamu Percaya, kan?

    Ekspresi Sarina berubah sedih setelah mendengar penjelasan dokter di luar kamar Qian, di mana juga ada Inara yang berdiri di sisi kanannya. Sarina terperangah, merasa tidak percaya putra kesayangan itu melupakan dirinya dan hanya mengingat Inara karena hanya wanita itu yang berkesan di memorinya Qian. “Tolong jangan paksa pasien untuk mengingat. Karena cedera yang sebelumnya pernah dialaminya membuat otaknya cukup rusak. Jika dipaksa mengingat, pasien bisa kehilangan nyawa atau bodoh,” terang dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Dokter paruh baya itu melewati keberadaan Sarina dan Inara, meninggalkan mereka di depan kamar itu. “Qian tidak mengingatku,” kata Sarina, menangis. Inara memperhatikan kesedihan di wajah mertuanya itu yang membuatnya ikut bersedih. Inara melangkah mendekati Sarina, memberanikan diri memeluk ibu mertuanya itu untuk menyalurkan energi agar wanita itu bisa lebih kuat dengan kesedihannya. “Qian pasti bisa mengingat Mama lagi. Orang yang paling disayanginya

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Merenggut Hak Kebebasan

    Irawan memarahi Sarina habis-habisan setelah berhasil menyeret istrinya itu keluar dari gedung rumah sakit. Tidak hanya Irawan, kedua putranya juga ikut menyerbunya dengan kata-kata marah setelah melihat sikap dan ucapan kasar Sarina kesekian kalinya kepada Inara. “Mama kapan sadar kalau perbuatan Mama itu salah! Mama tidak pernah melihat sisi baik anak itu,” kata Irawan dalam kemarahan yang sebelumnya tidak pernah diperlihatkan kepada sang istri. “Kak Inara sudah banyak menderita karena Mama. Jika Mama yang berada di posisinya apa Mama sanggup menanggungnya?” Ditya ikut memarahi sang ibu. “Dia kehilangan anaknya karena Mama. Waktu, masa depannya hancur karena Mama dan sekarang Mama ingin memisahkannya dari Qian yang jelas-jelas putra Mama itu sangat mencintainya. Aku tidak tau masalah apa yang Mama alami di masa lalu, tapi tidak sepantasnya Mama memperlakukannya begitu,” ucap Lohan, di mana jiwa tenangnya ikut terguncang setelah jenuh melihat perbuatan ibunya itu kepada Inara. “M

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Tolong ...!

    Keluarnya Qian dari kamar Cici yang ditempati oleh wanita itu selama beberapa hari ini, bersambut masuknya seorang pria ke sana. Pria itu adalah orang yang sempat berdebat bersama Qian di taman rumah sakit. Sendi, pria itu teman dekat Cici yang tidak diketahui Qian orang yang selalu menghubungi istri keduanya itu. Sendi tempat curhat Cici mengenai hubungan rumah tangganya bersama Qian dan tidak diketahui oleh wanita itu kalau Sendi menyukainya secara diam-diam, itu sebabnya pria itu marah besar kepada Qian yang menjadi penyebab Cici masuk rumah sakit. Pria itu masuk tidak hanya dengan tangan kosong, ada buket bunga mawar indah di tangan kanannya. Sendi sengaja mengambil peluang memasuki kamar Cici setelah Qian keluar. “Bagaimana kabarmu?” tanya Sendi sambil melangkah masuk setelah menutup pintu. Buket bunga mawar merah itu disodorkan ke arah Cici yang duduk bersandar di atas ranjang kamar itu. Cici tercengang kaget, bersama perasaan takut mulai muncul di jiwanya. “Kamu bertemu Qia

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Aku Harus Berbuat Apa?

    Inara merasakan sesuatu menyentuh beberapa helai rambut di dekat pelipisnya, perlahan Inara membuka mata dan menemukan Qian duduk bersandar di sampingnya. Bergegas Inara duduk, dibantu Qian yang tidak ingin sang istri kesulitan. Bibir Inara tersenyum ringan menatap sang suami, perasaannya bahagia. “Kapan kembali?” tanya Inara. Wanita itu menoleh ke sisi kanan, menatap jam di atas meja yang menunjukkan pukul dua belas malam. Bukannya menjawab, pria itu memeluknya, mendarat kepala ke pundak kiri Inara dengan tangan memeluk tubuh Inara dari samping. “Kenapa?” tanya Inara, penasaran dengan tingkah Qian. “Hanya rindu.” Tangan kiri Qian mengelus perut Inara, bertingkah seperti anak kecil. “Bagaimana kondisi Cici?” tanya Inara, penasaran. “Setelah dia tidur, aku ke sini,” jawab Qian dan diam, tampak memikirkan sesuatu. Diamnya Qian menarik perhatian Inara, wanita itu menurunkan pandangan setelah menoleh ke kiri, menatap wajah Qian yang melamunkan sesuatu. Inara membetulkan posisi du

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Bersamanya

    Cici meneteskan air mata dengan bibir tersenyum ringan saat melihat Qian yang ditunggu-tunggunya setelah sadar berdiri di pintu kamar di mana dirinya berada. Ia terharu suami yang tidak memikirkannya itu menjenguknya dan membuatnya beranggapan pria itu masih peduli padanya yang berarti masih ada peluang bagi Qian mencintainya. Tias dan Erlanda menoleh ke belakang setelah melihat perubahan di wajah wanita itu. Mereka berdua, terutama Erlanda menatap sinis Qian dan tatapan pria paruh baya itu bisa dimaklumi Qian padanya. Siapapun orang tua yang berada di posisi mereka, pasti akan marah, begitupun dengan dirinya sendiri. "Kamu sudah datang. Aku menunggumu sejak aku sadar," kata Cici dengan suara berat. Qian menganggukkan kepala dengan senyuman, lalu mendekati Cici setelah kedua mertuanya itu memberikan ruang untuk bisa berdiri di samping Cici. Wanita yang terbaring di atas kasur tidak bisa menggerakkan badannya, hanya tangan sebelah kanan saja karena tangan kirinya patah sementara, beg

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status