Share

Kecelakaan Di Pertigaan

Qian meletakkan ponsel ke laci mobil bagian depan. Kemudian, tangannya lengkap menggenggam setir mobil, mengendalikannya dengan kecepatan sedang. Perasaan kacau menarik keresahan di hati dan pikirannya. Rencana yang sempat diceritakan kepada Inara mulai diragukan akan keberhasilannya. Ia juga merasa bersalah karena kembali melibatkan wanita yang sudah disiksa oleh ibunya itu..

"Kenapa aku terlalu gegabah? Seharusnya aku tidak lagi melibatkan Inara." Qian kesal pada dirinya sendiri.

Ponselnya kembali berdering. Orang yang menghubunginya kali ini adalah Lohan, sang kakak yang kini berdiri di teras rumah sambil memperhatikan kepergian Narsih yang diusir dari rumah itu.

Qian kembali meletakkan ponsel itu ke laci, ia enggan menjawabnya sambungan telepon Lohan karena hubungan mereka juga tidak harmonis. Ia berasumsi dengan tebakan kalau Lohan akan memarahinya.

"Dia pasti senang karena memiliki bahan untuk diperdebatkan denganku," kata Qian sambil menatap fokus ke depan.

Lohan tidak menyerah, ia kembali menghubungi nomor teleponnya sampai panggilan tidak terjawab terdata sebaya sepuluh kali sampai membuat Qian kesal dan akhirnya menjawab sambungan teleponnya.

"Apa?" tanya Qian, judes.

"Kamu di mana? Gara-gara kamu, semua orang dimarahi. Bi Narsih juga sudah diusir Mama," ujar Lohan, emosi, tapi cara bicaranya masih menunjukkan sisi ketenangan.

"Kenapa? Oh ... aku mengerti." Cerita Inara semalam teringat oleh-nya.

Qian memutuskan sambungan telepon dan meletakkan ponsel kembali ke laci mobil. Tapi, ponsel itu jatuh ke lantai, ia meraih alat komunikasi itu dengan sesekali memperhatikan jalan.

Suara klakson mobil lain terdengar nyaring di telinganya, matanya beralih tertuju ke sisi kanan dan melihat truk melaju dengan kecepatan kencang dari sisi kanan tepat di pertigaan jalan. Truk itu menodong mobil bagian samping Qian sampai mobil itu terdorong ke depan dan belong ke samping mengenai tiang listrik di tepi jalan. Kondisi mobil hancur parah di setiap sisi kanan dan kiri.

Pandangan Qian mulai buram dengan indera pendengaran menangkap suara keramaian di luar mobil. Darah mengalir di pelipis, juga dari hidungnya. Pandangan yang buram itu akhirnya menjadi gelap, ia tidak sadarkan diri. Tapi, sebelum kesadaran itu hilang, suara Inara terngiang di telinganya.

***

Setelah mendapatkan berita kecelakaan, mereka langsung ke rumah sakit. Seluruh anggota keluarga Wirananda berlari di salah satu lorong rumah sakit yang mengantarkan mereka ke ruang operasi berada. Yuda, sang paman yang merupakan seorang dokter sudah menindaklanjuti kondisi keponakannya itu yang harus segera dioperasi.

"Qian. Qian ...." Sarina memukul pintu ruang operasi karena tidak sabar untuk melihat wujud sang anak.

"Diam dan tenang. Biarkan Yuda yang menangani kondisinya," kata Irawan sambil memeluk Sarina dari belakang.

Wanita paruh baya itu menangis tersedu-sedu dan tidak terkendali melihat putra yang paling disayang olehnya sekarat di meja operasi. Irawan sampai memeluknya dari belakang agar Sarina tidak memukul pintu ruang operasi yang bisa mengacaukan konsentrasi dokter dan perawat dalam. Lohan memperhatikan kesedihan Sarina yang membuatnya selalu iri karena ibunya itu yang pilih kasih dan membeda-bedakan kasih sayang antara dirinya dan Qian.

Meskipun sering bertikai, Lohan tetap sedih dengan musibah yang menimpa sang adik. Perasaannya ikut tidak tenang, itu terukir jelas di ekspresi wajahnya.

Perasaan Inara juga tidak tenang, ia duduk di tepi kasur dengan mata menatap ponsel di atas meja. Inara ragu untuk menghubungi Qian karena takut mengganggu. Namun, pada akhirnya ia melakukan panggilan telepon ke nomor pria yang menidurinya semalam itu. Nomor yang dihubunginya tidak aktif. Jelas, ponsel Qian mati karena rusak dalam kecelakaan itu. Ponsel itu berada di salah satu tangan polisi yang menangani kecelakaan dan sedang berjalan di lorong rumah sakit, mengantarkan ponsel itu kepada anggota keluarga Qian.

"Permisi. Ini barang milik korban." Pria dengan seragam polisi lalu lintas itu memberikan ponsel dalam keadaan rusak itu kepada Lohan.

"Terima kasih, Pak. Bagaimana kasusnya? Murni kecelakaan?" tanya Lohan.

"Setelah memeriksa TKP. Semua alami kecelakaan. Truk yang menabrak mobil Pak Qian remnya blong," jelas polisi itu. "Kau begitu, saya pamit," ucap pria itu dan pergi setelah memberikan hormat kepada mereka.

"Semua pasti gara-gara wanita itu. Ini kesialan darinya. Dia pasti sudah bertemu dengan Qian dan dia yang menularkan kesialan itu," kata Sarina, menyalahkan Inara.

Perkataan Sarina masih membuat Lohan bingung dan penasaran. Apa hubungannya adik iparnya itu dengan gudang di belakang rumah? Isi benaknya masih mengungkit pertanyaan tadi, saat di mana Sarina tampak marah setelah membuka gudang yang isinya kosong.

Lohan memutuskan meninggalkan tempat itu dan berjalan keluar rumah sakit. Ia menghubungi nomor Narsih untuk berbicara mengenai gudang dan Inara, wanita yang hanya diketahui namanya saja, tidak dengan wajahnya.

"Halo, Bi? Ini benar-benar penting. Ceritakan kepadaku mengenai gudang itu dan Inara. Bukannya adik ipar ku itu berada di rumah sakit jiwa? Mengapa Mama bertingkah seolah Inara berada di gudang itu?" tanya Lohan.

"Benar, Den. Non Inara dikurung di gudang belakang rumah selama ini. Dia tidak gila dan tidak bisu, dia wanita normal yang sengaja diasingkan oleh Nyonya Sarina karena berasal dari keluarga miskin. Keluarga Non Inara juga sudah dipindahkan ke kota lain. Semuanya rencana Nyonya Sarina. Karena takut Den Qian yang sakit-sakitan tidak menikah dan menjadi bahan pembicaraan teman-temannya, dia menikahkannya bersama Non Inara dengan rumor tidak benar itu."

Narsih menceritakan semua yang terjadi secara rinci dengan perasaan yang sebenarnya masih takut untuk mengungkapkan kebenaran itu. Tapi, ia berani karena tidak akan bertemu Sarina lagi, ia akan kembali ke kampung halamannya dengan menaiki bus. Sekarang ia berada di terminal.

"Bisa kirimkan foto Inara kepadaku? Aku tidak tahu wajahnya," kata Lohan.

"Baik, Den."

Sambungan telepon mereka berakhir. Narsih langsung membuka sebuah aplikasi pesan dan mengirimkan satu-satunya foto Inara yang dimiliki di ponselnya.

Bunyi notifikasi pesan mengalihkan tujuan mata Lohan dari ambulans yang memasuki gerbang rumah sakit menuju layar ponselnya. Ia melihat foto Inara dalam balutan dress biru warna putih dengan rambut terurai bergelombang panjang dengan bibir tersenyum. Lohan tidak memungkiri adik ipar itu cantik, tetapi ia merasa prihatin setelah mendengar cerita singkat Narsih mengenai dirinya.

"Mama benar-benar mengambil hak kebebasan orang lain. Seharusnya wanita itu bisa menikmati hidupnya dalam kebebasan, tapi Mama malah mengurungnya seperti burung. Kasihan sekali," kata Lohan, memasang wajah prihatin, dan melayangkan mata ke arah mobil ambulans yang dikelilingi beberapa perawat dan petugas rumah sakit yang sedang mengeluarkan brankar dari dalamnya.

Wajah Inara yang ada di layar ponselnya tampak mirip dengan wajah wanita yang ada di atas brankar yang baru keluar dari mobil ambulans itu. Kedua bola mata Lohan melebar kaget dan meyakini kalau wanita itu benarlah Inara. Lohan berlari mengikuti brankar yang didorong masuk ke dalam rumah sakit.

"Dia kenapa?" tanya Lohan kepada salah satu petugas.

"Dia ditabrak motor di depan hotel Edelweis," jawab pria berseragam putih itu.

"Hotel Edelweis? Qian juga tidak pulang semalam. Lalu, dia menyebut istrinya kepada Mama. Mungkinkah dia bersama wanita ini berada di hotel? Tidak mungkin wanita yang tidak memiliki apa pun ini bisa menginap di sana," kata Lohan dalam hati bersama asumsi-asumsinya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status