Share

Kemarahan Sarina

Penulis: Windersone
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-10 16:46:33

Hampir setengah jam Inara berada di kamar mandi. Setelah keluar, ia melihat kekosongan. Pelayan yang tadi berada di kamar telah pergi. Inara menujukan mata ke pakaian yang ada di atas kasur, dress biru muda dengan corak bunga berwarna putih dan memiliki panjang hingga betisnya.

Kaki Inara berjalan mendekati kasur untuk mengambil pakaian itu. Tidak hanya ada dress, di sana juga ada pakaian dalam. Ia mengenakan semua yang telah disediakan pelayan itu dan berdiri di depan cermin besar meja rias, melihat penampilannya setelah terlepas dari dress putih yang selalu dikenakannya di gudang.

Matanya mendapati beberapa kosmetik di atas meja. Inara meyakini pelayan itu yang membawanya karena semalam belum ada. Ia duduk di bangku rias dan mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer.

Setelah mengeringkan rambut, Inara menyisirnya. Tangannya bergerak pelan menyisir rambutnya ke bawah dalam beban pikiran mengingat perkataan Qian yang berencana membuatkannya tinggal di hotel itu sampai kondisi berbadan dua sekaligus sembunyi dari keluarga Wirananda. Bibir Inara tersenyum mengingat kebaikan Qian padanya. Tapi, senyumannya menghilang setelah melihat kertas yang tampak dari pantulan cermin. Kertas itu berada di belakangnya, berada di atas meja yang ada di samping kasur. Inara menyelesaikan sisiran rambutnya dan menghampiri kertas itu. Terdapat sebuah kalimat dari Qian yang merupakan pesan untuknya.

'Aku akan kembali nanti malam. Jaga dirimu dan jangan stres. Gunakan ponsel yang ada di dalam laci meja untuk menghubungiku jika kamu membutuhkan sesuatu.'

Tangan Inara langsung menarik laci meja dan melihat ponsel siap pakai di dalamnya. Tangannya meraih gawai itu dan menyalakannya dengan bibir kembali tersenyum.

"Apa aku coba menghubunginya?" Inara berinisiatif.

Jari jempol Inara bermain membuka aplikasi telepon, ia melihat satu kontak tersimpan di ponsel iti dan itulah nomor Qian. Inara menghubungi nomor tersebut dengan perasaan grogi dan gugup yang terukir di wajahnya sampai tangannya sedikit gemetar.

"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi."

Telinga Inara hanya mendengar suara pemberitahuan kalau Qian sedang berada di jalur telepon lain. Oleh sebab itu, ia tidak ingin mencoba menghubunginya lagi karena tidak ingin mengganggu. Ponsel yang ada di tangannya diletakkan ke atas meja dan menutup laci meja. Lalu, ia mengarahkan pandangan menuju meja di depan sofa di mana ada beberapa menu makanan di sana. Ia berniat akan mendekati meja itu dan menikmati semua makan tersebut. Namun, ketika kakinya baru terangkat dan belum mendarat untuk melangkah, kepalanya pusing. Tangannya cepat memegang meja untuk bergantung agar tidak jatuh. Lampu meja yang ada di atas meja itu tumbang dan jatuh ke lantai hingga hancur. Mata Inara terbelalak kaget melihat dan mendengar benda itu jatuh.

"Mungkin karena kelelahan," katanya sambil beralih duduk di tepi kasur.

Sejenak ia diam dan secara pelan membaringkan tubuh ke atas kasur. Mata dipejam olehnya dan menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Beberapa menit kemudian, ia membuka mata dan menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba darahnya berdesir kencang, jantungnya berdetak cepat, dan memunculkan firasat buruk yang mengusik jiwanya.

"Mengapa perasaanku tiba-tiba begini?" keluh Inara, tidak bisa menenangkan dirinya.

Di tempat lain, di jalan tol, mobil Ditya yang dikemudikan Qian berjalan dengan kecepatan sedang. Tangan kirinya memegang ponsel dan sedang mendengar Sarina memarahinya karena kabur dari pernikahan.

"Kamu sudah membuat Mama malu, membuat malu keluarga. Kedua orang tua Cici menghina kami di hadapan semua tamu undangan. Bukankah kamu sudah setuju untuk menikahinya? Lalu, kenapa begini, Qian ...? Kamu sengaja mempermalukan kami?" Sarina mengoceh dalam kemarahan besarnya.

Irawan Wirananda, ayah Qian, duduk di samping wanita paruh baya itu sambil mengelus punggungnya untuk membuat snag istri tenang. Ditya bersama putra sulung mereka, Lohan, duduk menahan amarah kepada Qian karena membuat Sarina sedih dan dipermalukan. Mereka sedang duduk di rumah tamu dengan dua pembantu rumah tangga yang memperhatikan mereka dari pintu dapur, termasuk Narsih.

"Aku tidak bisa menikahinya karena aku punya istri, Ma," celetuk Qian.

"Istri?" respon Sarina kaget sampai ekspresi marahnya berubah.

Semua diam, membuat ruang tamu yang mereka tempati terasa sunyi. Pikiran Sarina langsung tertuju kepada Inara. Pandangannya mengarah ke pintu gudang belakang yang terlihat dari jendela belakang rumah yang mengarah langsung ke sana.

"Jangan sampai Nyonya Sarina ke sana. Jika dia melihat Non Inara tidak ada di gudang, dia akan marah besar dan bisa membunuhku," kata Narsih dalam hati dalam kecemasan.

Sarina meletakkan ponsel ke atas meja. Lalu, ia berjalan keluar dari ruang tamu menuju gudang itu yang terpisah dari bagian rumah. Irawan, Ditya, dan Lohan mengikutinya. Sarina berpikir kalau Qian tahu mengenai keberadaan Inara di gudang itu.

Narsih juga mengikuti mereka.

Sarina berdiri di depan pintu gudang sambil mengingat dirinya sudah lama tidak memasuki gudang itu sejak Inara diasingkan di sana. Sarina berteriak memanggil Narsih untuk datang membawakan kunci gudang itu.

Narsih berjalan pelan karena takut. Ketakutan itu tampak jelas di wajahnya sampai tubuhnya berkeringat dingin.

"Ini, Nyonya." Narsih menyodorkan kunci itu dengan kepala tertunduk.

Sarina merampasnya dengan kasar karena amarahnya.

"Kenapa Mama ingin membuka pintu gudang itu?" Ditya bingung, karena ia tidak tahu kakak iparnya yang disebut gila, selama ini di kurung di sana.

Lohan juga tidak mengetahuinya. Putra sulung dan putra bungsu Wirananda itu bingung melihat tingkah sang Ibu.

"Pa?" Ditya bertanya kepada Irawan.

"Lihat saja," balas Irawan.

Ditya dan Lohan berjalan masuk ke gudang itu mengikuti Sarina yang lebih dulu masuk setelah membuka pintu. Di belakang mereka, Irawan ikut masuk.

Mata Sarina berkeliling memperhatikan isi gudang itu. Wujud Inara sudah tidak terlihat di sana, kecuali sebatang kasur, meja dengan makanan yang lengkap ada di atasnya, beberapa kotak barang rongsokan, dan coretan kapur di dinding.

"Di mana dia? Narsih ...!" Sarina kembali berteriak keras.

Narsih melangkah masuk dengan kepala tertunduk takut. Sikap Narsih sudah terbaca oleh Sarina, ia tahu semua itu ada hubungannya dengannya. Pembantu di bagian dapur itu tampak pasrah.

Tamparan keras diberikan Sarina ke pipi Narsih tanpa berbicara sepatah katapun. Sarina bersikap seolah dirinya penguasa, pemilik hidup setiap orang yang memiliki materi lebih rendah darinya. Marahnya kepada Qian ikut terlampiaskan kepada Narsih. Ketiga pria yang ada di gudang itu kaget, kedua mata mereka membesar kaget dengan tubuh sejenak mematung dalam diam dan hanya menyaksikan.

"Kenapa Mama menampar Bi Narsih?" Ditya membela pembantu kesayangan itu yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri.

"Diam!" Sarina mengarahkan jari telunjuk kepada Ditya untuk menahannya ikut campur. "Dia berhak menerima itu," lanjut Sarina.

"Sudah!" Irawan menahan Ditya untuk tidak ikut bicara.

Irawan mengajak Ditya dan Lohan meninggalkan tempat itu, membiarkan Sarina dan Narsih berbicara di sana. Lohan berjalan mengikuti mereka, tapi pandangannya masih tertuju ke belakang, memperhatikan dinding yang digaris oleh Inara. Dahi Lohan mengerut penasaran dengan apa yang sesungguhnya terjadi di gudang itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Bayinya Perempuan (Ending)

    Usai makan, usai melepaskan kepulangan keluarga mereka, Inara dan Qian memasuki kamar yang sudah disiapkan Tias dan Erlanda untuk mereka di kediaman mereka, di mana mereka bisa tempati saat berkunjung seperti malam ini. Inara dan Qian tidak kembali ke kediaman mereka. Untuk pertama kalinya mereka menginap di rumah itu untuk menghargai Tias dan Erlanda yang selalu meminta mereka menginap. “Melelahkan,” ucap Inara sambil duduk di tepi kasur yang empuk di kamar itu. Pintu kamar ditutup Qian dan pria itu bergegas melepaskan kancing kemeja sambil memutar badan ke belakang dan tangannya berhenti lanjut melepaskan kancing baju itu setelah melihat Inara duduk dalam kelelahan. Ekspresi pria itu mulai menampakkan kekecewaan dan kembali memasang kancing bajunya. Sesuatu muncul di benak kalian terhadap apa yang ingin dilakukan Qian sebelumnya? Benar, itu benar. Pria itu duduk di samping Inara dan memijat kedua pundak istrinya itu dari belakang. Tampak wanita itu menikmati dan membetulkan posi

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Tandatangani

    LIMA BULAN KEMUDIAN ….Qian mengemudikan mobil di mana Inara duduk di sampingnya, mereka akan menghabiskan waktu seharian di hari Minggu yang kebetulan cerah. Mereka akan ke taman, menikmati suasana taman yang biasa dikunjungi oleh anak-anak. Wanita yang kini sudah hamil lima bulan lebih itu mengidam ingin melihat suasana taman yang dipenuhi oleh anak-anak kecil. Setelah mobil terparkir, Qian merangkul pinggang istrinya itu keluar dari mobil, membimbing memasuki area taman dengan kehati-hatian sampai duduk di bangku salah satu taman yang kebetulan berada di bawah pohon yang rindang. “Kamu duduk di sini dulu. Biar aku belikan beberapa minuman dan makanan di minimarket seberang,” pesan Qian yang takut Inara ke mana-mana. Pria itu berlalu pergi setelah Inara menganggukkan kepala. Baru beberapa menit Qian pergi, deringan telepon terdengar dari tas yang ditaruh di sisi kanannya. Dirogoh olehnya tas jinjing itu dan mengeluarkan ponsel kepemilikan Qian yang dititipkan suaminya itu ketika

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Menapa Kalian Menatapku Begitu?

    Di hadapan semua orang, terutama di hadapan Inara yang sudah duduk di samping Elmi, mendengar semua cerita dari Devi dari awal sampai kejadian bayi tertukar itu terjadi. Sepanjang cerita itu berlangsung, Elmi dan Tias sama-sama menangis, satu karena kebenaran Inara bulan putri kandungnya dan satu lagi menangis karena rasa haru bisa bertemu putri yang dianggapnya telah meninggal selama ini. “Sekali lagi saya minta maaf,” ucap Devi dengan wajah meminta belas kasih mereka. “Wah … ini tidak bisa didiamkan. Harus dibawa ke jalur hukum, nih,” celetuk Ditya. “Diam,” tegur Lohan dengan suara kecil kepada sang adik.Inara jadi bingung sendiri, entah harus mengekspresikan hal tersebut dengan bahagia atau malah sedih. Tias bangkit dari tempat duduknya, tidak sabar ingin memeluk wanita itu setelah menahan diri sejak tadi. Dalam pelukan itu Inara masih diam, masih bingung untuk bertingkah. Ia malah menatap Elmi yang diam bersedih, yang membuat hatinya ikut bersedih. Bergegas Inara melepaskan p

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Jadi, Inara Anak Kita?

    Erlanda menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan sikap Sarina terhadap putrinya. Berbeda dengan Tias, istri pria paruh baya itu malah memperhatikan Inara yang berjalan memunggunginya sampai wanita itu memasuki kamar. Ekspresi murung tergambar di wajah wanita itu. “Kami benar-benar kecewa, Bu Sarina,” ucap Erlanda dan hendak mengikuti jejak Cici. Namun, diamnya Tias dalam lamunan sedih wanita itu membuat Erlanda terhenti dan menggenggam pergelangan tangan kanan istrinya itu, menyadarkan Tias. Lanjut, membawa wanita itu keluar dari rumah itu dengan kepala Tias menoleh ke belakang, tidak memperhatikan jalannya saat berjalan. Tias menghentikan langkah kakinya di depan rumah tersebut setelah mendengar suara deringan telepon dari saku celananya. Itu ikut menghentikan langkah Erlanda dan pria itu memperhatikan Tias menerima sambungan telepon dari seseorang yang tampak membuat istrinya itu terharu sampai meneteskan air mata. “Suster tidak berbohong, kan?” tanya Tias. Sejenak

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Kamu Percaya, kan?

    Ekspresi Sarina berubah sedih setelah mendengar penjelasan dokter di luar kamar Qian, di mana juga ada Inara yang berdiri di sisi kanannya. Sarina terperangah, merasa tidak percaya putra kesayangan itu melupakan dirinya dan hanya mengingat Inara karena hanya wanita itu yang berkesan di memorinya Qian. “Tolong jangan paksa pasien untuk mengingat. Karena cedera yang sebelumnya pernah dialaminya membuat otaknya cukup rusak. Jika dipaksa mengingat, pasien bisa kehilangan nyawa atau bodoh,” terang dokter berjenis kelamin laki-laki itu. Dokter paruh baya itu melewati keberadaan Sarina dan Inara, meninggalkan mereka di depan kamar itu. “Qian tidak mengingatku,” kata Sarina, menangis. Inara memperhatikan kesedihan di wajah mertuanya itu yang membuatnya ikut bersedih. Inara melangkah mendekati Sarina, memberanikan diri memeluk ibu mertuanya itu untuk menyalurkan energi agar wanita itu bisa lebih kuat dengan kesedihannya. “Qian pasti bisa mengingat Mama lagi. Orang yang paling disayanginya

  • Penantian Sang Istri Teraniaya   Merenggut Hak Kebebasan

    Irawan memarahi Sarina habis-habisan setelah berhasil menyeret istrinya itu keluar dari gedung rumah sakit. Tidak hanya Irawan, kedua putranya juga ikut menyerbunya dengan kata-kata marah setelah melihat sikap dan ucapan kasar Sarina kesekian kalinya kepada Inara. “Mama kapan sadar kalau perbuatan Mama itu salah! Mama tidak pernah melihat sisi baik anak itu,” kata Irawan dalam kemarahan yang sebelumnya tidak pernah diperlihatkan kepada sang istri. “Kak Inara sudah banyak menderita karena Mama. Jika Mama yang berada di posisinya apa Mama sanggup menanggungnya?” Ditya ikut memarahi sang ibu. “Dia kehilangan anaknya karena Mama. Waktu, masa depannya hancur karena Mama dan sekarang Mama ingin memisahkannya dari Qian yang jelas-jelas putra Mama itu sangat mencintainya. Aku tidak tau masalah apa yang Mama alami di masa lalu, tapi tidak sepantasnya Mama memperlakukannya begitu,” ucap Lohan, di mana jiwa tenangnya ikut terguncang setelah jenuh melihat perbuatan ibunya itu kepada Inara. “M

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status