Share

Kemarahan Sarina

Hampir setengah jam Inara berada di kamar mandi. Setelah keluar, ia melihat kekosongan. Pelayan yang tadi berada di kamar telah pergi. Inara menujukan mata ke pakaian yang ada di atas kasur, dress biru muda dengan corak bunga berwarna putih dan memiliki panjang hingga betisnya.

Kaki Inara berjalan mendekati kasur untuk mengambil pakaian itu. Tidak hanya ada dress, di sana juga ada pakaian dalam. Ia mengenakan semua yang telah disediakan pelayan itu dan berdiri di depan cermin besar meja rias, melihat penampilannya setelah terlepas dari dress putih yang selalu dikenakannya di gudang.

Matanya mendapati beberapa kosmetik di atas meja. Inara meyakini pelayan itu yang membawanya karena semalam belum ada. Ia duduk di bangku rias dan mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer.

Setelah mengeringkan rambut, Inara menyisirnya. Tangannya bergerak pelan menyisir rambutnya ke bawah dalam beban pikiran mengingat perkataan Qian yang berencana membuatkannya tinggal di hotel itu sampai kondisi berbadan dua sekaligus sembunyi dari keluarga Wirananda. Bibir Inara tersenyum mengingat kebaikan Qian padanya. Tapi, senyumannya menghilang setelah melihat kertas yang tampak dari pantulan cermin. Kertas itu berada di belakangnya, berada di atas meja yang ada di samping kasur. Inara menyelesaikan sisiran rambutnya dan menghampiri kertas itu. Terdapat sebuah kalimat dari Qian yang merupakan pesan untuknya.

'Aku akan kembali nanti malam. Jaga dirimu dan jangan stres. Gunakan ponsel yang ada di dalam laci meja untuk menghubungiku jika kamu membutuhkan sesuatu.'

Tangan Inara langsung menarik laci meja dan melihat ponsel siap pakai di dalamnya. Tangannya meraih gawai itu dan menyalakannya dengan bibir kembali tersenyum.

"Apa aku coba menghubunginya?" Inara berinisiatif.

Jari jempol Inara bermain membuka aplikasi telepon, ia melihat satu kontak tersimpan di ponsel iti dan itulah nomor Qian. Inara menghubungi nomor tersebut dengan perasaan grogi dan gugup yang terukir di wajahnya sampai tangannya sedikit gemetar.

"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi."

Telinga Inara hanya mendengar suara pemberitahuan kalau Qian sedang berada di jalur telepon lain. Oleh sebab itu, ia tidak ingin mencoba menghubunginya lagi karena tidak ingin mengganggu. Ponsel yang ada di tangannya diletakkan ke atas meja dan menutup laci meja. Lalu, ia mengarahkan pandangan menuju meja di depan sofa di mana ada beberapa menu makanan di sana. Ia berniat akan mendekati meja itu dan menikmati semua makan tersebut. Namun, ketika kakinya baru terangkat dan belum mendarat untuk melangkah, kepalanya pusing. Tangannya cepat memegang meja untuk bergantung agar tidak jatuh. Lampu meja yang ada di atas meja itu tumbang dan jatuh ke lantai hingga hancur. Mata Inara terbelalak kaget melihat dan mendengar benda itu jatuh.

"Mungkin karena kelelahan," katanya sambil beralih duduk di tepi kasur.

Sejenak ia diam dan secara pelan membaringkan tubuh ke atas kasur. Mata dipejam olehnya dan menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Beberapa menit kemudian, ia membuka mata dan menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba darahnya berdesir kencang, jantungnya berdetak cepat, dan memunculkan firasat buruk yang mengusik jiwanya.

"Mengapa perasaanku tiba-tiba begini?" keluh Inara, tidak bisa menenangkan dirinya.

Di tempat lain, di jalan tol, mobil Ditya yang dikemudikan Qian berjalan dengan kecepatan sedang. Tangan kirinya memegang ponsel dan sedang mendengar Sarina memarahinya karena kabur dari pernikahan.

"Kamu sudah membuat Mama malu, membuat malu keluarga. Kedua orang tua Cici menghina kami di hadapan semua tamu undangan. Bukankah kamu sudah setuju untuk menikahinya? Lalu, kenapa begini, Qian ...? Kamu sengaja mempermalukan kami?" Sarina mengoceh dalam kemarahan besarnya.

Irawan Wirananda, ayah Qian, duduk di samping wanita paruh baya itu sambil mengelus punggungnya untuk membuat snag istri tenang. Ditya bersama putra sulung mereka, Lohan, duduk menahan amarah kepada Qian karena membuat Sarina sedih dan dipermalukan. Mereka sedang duduk di rumah tamu dengan dua pembantu rumah tangga yang memperhatikan mereka dari pintu dapur, termasuk Narsih.

"Aku tidak bisa menikahinya karena aku punya istri, Ma," celetuk Qian.

"Istri?" respon Sarina kaget sampai ekspresi marahnya berubah.

Semua diam, membuat ruang tamu yang mereka tempati terasa sunyi. Pikiran Sarina langsung tertuju kepada Inara. Pandangannya mengarah ke pintu gudang belakang yang terlihat dari jendela belakang rumah yang mengarah langsung ke sana.

"Jangan sampai Nyonya Sarina ke sana. Jika dia melihat Non Inara tidak ada di gudang, dia akan marah besar dan bisa membunuhku," kata Narsih dalam hati dalam kecemasan.

Sarina meletakkan ponsel ke atas meja. Lalu, ia berjalan keluar dari ruang tamu menuju gudang itu yang terpisah dari bagian rumah. Irawan, Ditya, dan Lohan mengikutinya. Sarina berpikir kalau Qian tahu mengenai keberadaan Inara di gudang itu.

Narsih juga mengikuti mereka.

Sarina berdiri di depan pintu gudang sambil mengingat dirinya sudah lama tidak memasuki gudang itu sejak Inara diasingkan di sana. Sarina berteriak memanggil Narsih untuk datang membawakan kunci gudang itu.

Narsih berjalan pelan karena takut. Ketakutan itu tampak jelas di wajahnya sampai tubuhnya berkeringat dingin.

"Ini, Nyonya." Narsih menyodorkan kunci itu dengan kepala tertunduk.

Sarina merampasnya dengan kasar karena amarahnya.

"Kenapa Mama ingin membuka pintu gudang itu?" Ditya bingung, karena ia tidak tahu kakak iparnya yang disebut gila, selama ini di kurung di sana.

Lohan juga tidak mengetahuinya. Putra sulung dan putra bungsu Wirananda itu bingung melihat tingkah sang Ibu.

"Pa?" Ditya bertanya kepada Irawan.

"Lihat saja," balas Irawan.

Ditya dan Lohan berjalan masuk ke gudang itu mengikuti Sarina yang lebih dulu masuk setelah membuka pintu. Di belakang mereka, Irawan ikut masuk.

Mata Sarina berkeliling memperhatikan isi gudang itu. Wujud Inara sudah tidak terlihat di sana, kecuali sebatang kasur, meja dengan makanan yang lengkap ada di atasnya, beberapa kotak barang rongsokan, dan coretan kapur di dinding.

"Di mana dia? Narsih ...!" Sarina kembali berteriak keras.

Narsih melangkah masuk dengan kepala tertunduk takut. Sikap Narsih sudah terbaca oleh Sarina, ia tahu semua itu ada hubungannya dengannya. Pembantu di bagian dapur itu tampak pasrah.

Tamparan keras diberikan Sarina ke pipi Narsih tanpa berbicara sepatah katapun. Sarina bersikap seolah dirinya penguasa, pemilik hidup setiap orang yang memiliki materi lebih rendah darinya. Marahnya kepada Qian ikut terlampiaskan kepada Narsih. Ketiga pria yang ada di gudang itu kaget, kedua mata mereka membesar kaget dengan tubuh sejenak mematung dalam diam dan hanya menyaksikan.

"Kenapa Mama menampar Bi Narsih?" Ditya membela pembantu kesayangan itu yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri.

"Diam!" Sarina mengarahkan jari telunjuk kepada Ditya untuk menahannya ikut campur. "Dia berhak menerima itu," lanjut Sarina.

"Sudah!" Irawan menahan Ditya untuk tidak ikut bicara.

Irawan mengajak Ditya dan Lohan meninggalkan tempat itu, membiarkan Sarina dan Narsih berbicara di sana. Lohan berjalan mengikuti mereka, tapi pandangannya masih tertuju ke belakang, memperhatikan dinding yang digaris oleh Inara. Dahi Lohan mengerut penasaran dengan apa yang sesungguhnya terjadi di gudang itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status