Share

Chapter 5 - Bukan lawan sepadan

"Gila!"

Menyentak dengan tenaga penuh akhirnya Abby terlepas dari dekapan yang membuat sesak itu.

Sorotnya yang tajam dan tersirat kebenciaan begitu menghunas pada sepasang mata biru langit di hadapannya.

Tidak habis pikir dengan kerja otak lelaki itu, sangat tidak memiliki perasaan, bisa-bisanya merencanakan untuk memisahkan ibu dan anak yang sendari bayi merah bersama.

Setelah perjuangannya mengandung melahirkan dan membesarkan tentu saja Abby tidak akan sudi akan tawaran gila lelaki sialan ini.

"Aku tau kau memang kejam tapi aku tidak berpikir kau berencana memisahkan ku dengan putriku sendiri hanya karena menolak tawaranmu!"

Dan Gabriel hanya mengendikan bahunya seakan tak peduli.

"Kau yang memperumitnya, aku jelas menawarkan hal simpel," ucapnya dengan tangan yang kini terulur menuju pipi halus sang little girlnya, mengelusnya seringai bulu.

"... Kembali padaku, kau akan tetap bersama anak kita dan melepaskan pekerjaan ini, tapi jika kau tak mau maka sebaliknya."

Abby Mengepalkan tangannya menahan emosi, energinya bener-bener akan terkuras habis jika terus berdebat tanpa arah tujuan karena tidak ada yang mau mengalah.

Gabriel sangat suka berbuat sesukanya, seperti dulu. Seakan di dunianya tak ada yang bisa menolak apa lagi menentang, keinginannya harus terpenuhi.

"Oh c'mon baby kenapa kau berpikir rumit sekali!"

Rasanya Abby ingin membenturkan kepala lelaki itu ke dinding keras di belakangnya agar sedikit saja di beri jalan benar oleh tuhan.

Dan bisa-bisanya dia bertanya begitu? Seakan di antara mereka tidak pernah terjadi perang besar.

Bertemu kembali setelah bertahun-tahun, lelaki itu masih sama hanya lebih mature saja di bagian wajah dan tubuh, sedangkan akhlaknya benar-bener nol tak terselamatkan.

Pikir Abby semakin dewasa lelaki itu akan berubah tapi ternyata pemikirannya salah malah semakin bertambah parah.

"Kau berkata dengan begitu enteng sekali seakan tak pernah ada sesuatu yang terjadi di antara kita."

Gabriel terdiam mendengar nada dingin itu, seakan termenung.

"Oke fine, aku—kita memang bersalah, satu sama lain," Abby mendengus mendengar pembelaan diri itu. Tetap saja si berengsek ini.

Ouhh ingatkan Abby telah berapa banyak mengumpat hari ini?!

"... oke oke salahku sepenuhnya, tapi saat mengetahui kau mengandung, ada rasa tak nyaman di hatiku. Aku ingin memperbaiki semuanya, dan kau harus ingat kau masih istriku."

Maaf saja Abby berprasangka buruk, tapi yakin lah Abby tahu lelaki itu bagaimana.

"Berhenti berakting, kau buruk sekali saat memainkan peran."

Dan gota!

Bener sekali, tawa itu menyahut setelah sekian detik terasa sunyi.

"Kalau begitu apa yang kau tunggu, kau bisa melepaskan kehidupan miskin di sini, dan di rumah lama kau akan mendapatkan semuanya."

Abby tertawa sinis mendengarnya. Lelaki itu pikir dirinya sejenis jalang begitu, bertukar uang membuatnya senang, apa lagi menyerahkan Lucyana sebagai umpannya. Gila saja!

"Otakmu sepertinya macet, dan aku tidak butuh uang. Aku bisa melakukan apa pun sekarang, tidak seperti dulu—yang apa-apa selalu mengikuti perintah bodohmu!"

Gabriel terpaku dengan rahang yang mulai mengeras, ada perkataan yang menyinggingnya. Sedang Abby tidak gentar menatap begis meski tak bisa di pungkiri rasa takut merajarela dalam dirinya.

Tentu saja Gabriel bukan lawan sepadannya, lelaki itu—ahh astaga, dia hanya punya keberanian untuk saat ini.

Ah atau dirinya pindah saja untuk mengindar tapi tetap saja semua itu tidak lah mudah. Butuh rencana matang-matang, terlebih budget yang tidak memadai, dan Abby pun tak punya list harus menyambangi kota mana.

Dan pikirnya setelah bertahun-tahun Gabriel akan membiarkannya, tapi ternyata kemunculannya kini yang entah di sengaja atau tidak membuat kekacauan dalam kehidupan barunya.

"Dengar..."

Drett

Kring

Baru akan merangkai perkataan yang telah siap dari kepala, ucapan Gabriel terhenti kala atensi tertuju pada getar dan dering yang berasal dari saku jasnya.

Mengambil ponselnya, dan hanya tatap datar yang pria itu perlihatkan kala melihat nama si penelepon.

Dan Gabriel mengabaikannya. Lanjut menyelesaikan ucapannya.

"Aku—"

Dret

"Shit!" Umpatnya kesal, kala si penelepon tampaknya tidak menyerah, mendengus Gabriel akhirnya menggeser ikon hijau di ponselnya itu.

"Sudah ku bilang aku tidak mau di ganggu!" Semprot pada Brian—si penelepon.

"Maaf tuan, ada info yang harus tuan dengar segera."

"Apa?" Sahut dingin Gabriel.

"..."

"Apa?"

Dengan raut kakunya Abby memperhatikan raut wajah terkejut yang di tampakan sekilas oleh Gabriel, sebelum kemudian raut itu begitu dingin namun tampak kosong.

"Pak tua itu mati. Kapan?"

Mati? Siapa yang mati? Batin Abby bertanya-tanya, namun seakan tersadar wanita itu mencoba tak peduli. Bukan urusannya!

Yang harus di lakukan saat ini adalah...

"ABBYANA!!"

Gabriel yang kecolongan berteriak keras  kala Abby dengan gesit melangkah kabur darinya.

"Tuan Anda harus segera berkemas. Dan  nyonya ingin Anda hadir di pemakan."

Sialan

Sialan!

Apa harus dalam waktu ini?!

Tapi Gabriel tidak mengabaikan berita ini, apa lagi setelah sekian lama dia menunggu.

Dan pada akhirnya lelaki membiarkan Abby pergi. Toh wanita itu tidak akan bisa lepas dari jangkauannya.

***

Sedangkan di Italia, di sebuah bangunan mewah bernuansa klasik modern.

Suasana berkabung melingkupi sebuah kamar besar yang di ranjang tidurnya terdapat sesosok kakek berselimut sampai dada dengan mata tertutup.

Telah meninggal.

Isak tangis yang mengiri tak dapat terelak dari seorang wanita muda dengan rambut blonde cokelatnya.

"Grandpa, wake up please...." raungnya dalam kepiluan, sambil menggoyang kan bahu tambun sang kakek, pipi keripitnya pun tak luput dari tepukan tangannya.

"Grandpa sudah berjanji akan selalu menemaniku,"

"Dizzy, c'mon baby kau tidak boleh seperti ini,"

"No no, Mommy grandpa..."

wanita dewasa berdress formal selutut itu mengeleng mencoba menenangkan.

"Ayo, kita pergi dulu," ajaknya menarik sang putri yang terus merengek di sisi mertuanya yang telah tiada.

"Tidak mau,"

Tapi pada akhirnya penolakan itu membuahkan hasil, wanita bernama Dizzy itu berhasil di geret keluar.

Dan ternyata saat tiba di luar kamar yang hanya terdapat dua penjaga di pintu, raut dua orang itu berubah datar.

"Gota."

Dengan smirk tipisnya yang penuh makna, wanita itu menyusut air mata di bawah pelupuk matanya.

"Aktingmu memang patut di acungi jompol nak."

Dizzy menyeringai, "Siapa dulu, princess Dizzy."

"Tapi apa yang akan terjadi pada Gabriel. Kakak mu itu pasti tak akan tinggal diam."

"Tenang mom, akan akan mengurusnya." Ucapnya misterius.

"Dizzy, Elina..."

Dan seketika dua raut wajah itu kembali berubah suram dan menyedihkan kala seseorang sadar arah tangga menghampiri setengah berlari.

"Om, " Dizzy memeluk om dari ayahnya itu.

"Aku baru mendapat kabar satu jam yang lalu, dan perjalanan kesini lumayan jauh sekali." Ucap sang om.

"Tidak apa, Daddy masih di kamar." Beritahu Elina.

Dan segera lelaki berusia setengah abad itu menuju kamar yang sudah beberapa langkah di hadapannya, meninggalkan

Dua orang perempuan yang kembali menampakan smirk liciknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status