Share

Melamar Pekerjaan

Pagi hari ini, Lita seperti orang kebakaran jenggot lari ke sana ke sini di dalam kamarnya mengejar waktu. Bahkan, saat memakai celana bahan berwarna hitam ia lakukan sambil berlari kecil untuk memilih kemeja yang akan ia pakai.

Pasalnya, hari ini ia berencana akan melamar pekerjaan di perusahaan milik Adrian, Dinata Grup, yang menjadi awal rencananya.

Semalam, ia tidur sangat larut setelah menemukan kecocokan wajah Adrian dengan pria yang ada di foto Putri kemarin.

“Itu berarti, dia sudah beberapa kali ada di dekatku,” ujar Lita terus memikirkan hingga pukul tiga dini hari. Alhasil, dia bangun kesiangan pagi ini.

Begitu merasa dirinya sudah rapi, Lita langsung keluar dari apartemennya menuju parkiran, kemudian melajukan mobilnya menuju tempat tujuan.

“Aduh! Bagaimana ini? Mana ada pelamar melamar kerja jam sepuluh pagi, tanpa diperintah pula. Ah ... semoga saja semua berjalan lancar. Demi Bang Danu. Semangat!” Lita menyemangati diri.

Begitu tiba di depan kantor Adrian, Lita bingung harus bagaimana karena ini pertama kalinya ia melamar pekerjaan.

Sebenarnya, jika bukan karena balas dendam, mungkin Lita tidak berniat untuk segera mencari pekerjaan. Walaupun sebatang kara, hidup Lita tetap terjamin dengan uang yang terus mengalir dari ATM Danu hingga saat ini. Bahkan, terkadang dalam satu bulan ada beberapa kali transfer yang masuk dengan jumlah yang berkali-kali lipat. Sedangkan Lita bukan tipe wanita yang boros.

Sebenarnya Lita pernah penyelidik dari mana uang tersebut berasal. Tetapi, semua seperti buntu. Ia hanya mengetahui Danu.S sebagai nama pengirim, selebihnya dia tidak mengetahui apa pun.“

"Bukankah jika orang melamar kerja harus bertanya pada security?” tanya Lita pada diri sendiri, karena ia bingung harus apa. “Ya sudah, aku ke pos security saja.” Lita langsung melangkahkan kaki menuju pos security.

“Permisi, Pak. Apa di kantor ini ada lowongan pekerjaan?” tanya Lita ramah.

"Maaf, Nona. Untuk saat ini kami sedang tidak membuka lowongan pekerjaan,” jawab pria berkumis tebal itu dengan ramah.

Senyum Lita sedikit memudar. Tetapi ia tak akan menyerah begitu saja. “Eee ... coba Bapak cek dulu, mungkin saja sekarang sudah ada,” bujuk Lita.

“Tidak ada, Nona. Kalaupun perusahaan ini sedang membuka lowongan pekerjaan, pasti melalui situs resmi bukan melalui security seperti saya,” jawab pak security dengan nada lembut. Namun, penuh penekanan, seolah-olah ia menunjukkan kejengkelannya.

“Atau begini saja, Bapak pertemukan saya dengan pemilik perusahaan ini, biar saya yang bicara dan menunjukkan keunggulan saya langsung.”

“Maaf, Nona. Di sini tidak bisa seperti itu.” 

“Pak, Bapak belum mencobanya kenapa sudah bilang tidak bisa.” Lita masih berusaha membujuk, walaupun si Bapak security sudah menunjukkan terang-terangan wajah jengkelnya.

“Tapi, memang itu peraturan di sini, Nona. Lagi pula Pak Adrian tidak pernah mewawancara langsung calon pegawai yang akan bekerja di sini. Semua calon pegawai akan melakukan tes melalui bagian HRD.”

“Ya sudah, kalau begitu, Bapak antarkan saya menemui tim HRD,” usul Lita.

“Sudah saya bilang, saat ini sedang tidak ada lowongan. Jadi percuma saja jika Nona datang menemui tim HRD.”

“Pak! Bapak, ‘kan, belum mencobanya, kenapa selalu bilang tidak bisa,” rengek Lita. Tidak peduli jika sang Bapak security jengkel dengan tingkah Lita. Yang penting ia harus bisa bekerja di perusahaan Adrian.

“Maaf, Nona. Silakan anda pergi dari sini.” Bapak security mengulurkan tangannya ke arah jalan keluar kantor.

“Tapi, Pak! Saya butuh pekerjaan. Saya baru saja lulus kuliah dan saya hanya sebatang kara. Apa Bapak tidak kasihan melihat saya? Bukankah perusahaan ini baru saja melakukan kerja sama dengan perusahaan luar negeri, pasti perusahaan ini akan membutuhkan pegawai lebih banyak lagi.” Lita memasang wajah sendunya.

“Mohon maaf, Nona. Itu bukan kapasitas saya untuk menentukan calon pegawai di sini. Mungkin Anda bisa datang lain kali.” Bapak security mulai mendorong Lita.

“Tapi, Pak! Saya butuh pekerjaan sekarang,” elak Lita berusaha menahan dorongan Bapak security. walaupun pada akhirnya ia kalah dan pergi meninggalkan pos security.

“Huuuh ... sombong sekali dia. Jika Bang Danu tahu kau mendorongku, kau pasti akan babak belur dibuatnya,” gerutu Lita sambil menuju area depan gedung. Bukan untuk pulang, karena mobilnya masih terparkir rapi di parkiran gedung, tapi untuk berpikir bagai mana cara ia bisa bekerja di perusahaan milik Adrian ini.

Sedangkan di dalam ruangan ber-AC, seorang pria tengah tersenyum menyaksikan rekaman CCTV yang mengarah ke pos security. “Gadis pintar. Kau sudah datang sebelum aku pancing,” ucapnya.

Setelah melihat kepergian dari gadis yang ia pantau sejak tadi, Adrian langsung menghubungi seseorang.

 “Sekarang waktunya kau mendatangi dia.” Perintah Adrian lalu menutup sambungan teleponnya.

 Setelah salah satu anak buahnya yang selalu mengikuti Lita memberi tahu  bahwa, Lita Pergi menuju kantornya, Adrian langsung memantau semua bagian kantornya melalui CCTV. Bahkan, sejak mobil Lita tiba di pekarangan kantornya, Adrian sudah stand by di depan layar komputernya. 

      *****

Saat sedang asyik menggerutu sambil duduk di pinggir trotoar, tiba-tiba seorang wanita yang terbilang masih muda dengan blazer dan celana panjang serba hitam yang membuatnya lebih terlihat seperti pengawal dari pada pegawai kantor. Wanita itu berdiri di sampingnya sambil berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.

Senyum Lita kembali mengembang begitu ia melihat ID CARD yang mengantung di leher wanita itu.

“Pagi, Mbak Fara,” sapa Lita sok akrab setelah membaca nama yang tertera di ID CARD, padahal dirinya bukanlah tipe orang yang seperti itu. Namun, demi sebuah tujuan ia rela merubah diri.

"Siang, juga,” balas wanita bernama Fara, sekaligus menyindir waktu yang Lita tadi sebutkan, karena sekarang waktu menunjukkan pukul sebelas lebih tiga puluh menit.

Lita hanya tersenyum sedikit malu. “Maaf.”

“Tidak apa-apa. Ada apa?”

“Mbak, apakah Mbak salah satu pegawai kantor ini?” tanya Lita sambil menunggu ke arah gedung yang menjulang tinggi.

“Iya, saya adalah kepala HRD di kantor ini. Ada apa?”

Senyum yang sudah mengembang makin merekah dengan mata yang berbinar penuh harap. “Mbak, apa Mbak bisa bantu saya? Saya sangat butuh pekerjaan. Saya baru saja lulus kuliah dan saya juga hanya sebatang kara di dunia ini. Kasihanilah saya, Mbak. Saya butuh pekerjaan agar bisa bertahan hidup.” Cecar Lita sedikit berbohong agar wanita itu menaruh rasa iba.

Fara hanya tersenyum mendengar bujukan Lita. “Ya sudah. Mari ikuti saya.”

Tentunya dengan penuh semangat, Lita menuruti perintah Fara. Ketika melewati  pos security, Lita melihat Bapak security yang tadi menolaknya. Ia menjulurkan lidahnya meledek.

“Kenapa gadis itu mengikuti bodyguard Pak Adrian?” gumam si Bapak security.

Lita terus mengikuti langkah Fara masuk ke dalam gedung dan menaiki Lift hingga ia sampai di sebuah ruangan dengan pintu yang berdiri kokoh.

Tok ... tok ... tok ....

“Masuk!” jawab seseorang yang ada di dalam ruangan.

Fara langsung membuka pintu begitu mendapatkan izin. “Siang, Pak,” sapanya.

Lita yang baru pertama kali bertemu dengan pimpinan sebuah perusahaan, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia pun ikut menyapa sambil membungkukkan badan.

“Siang, Pak,” sapanya. “Siang pembunuh.” Lanjutnya membatin.

“Pak, Nona-?” Fara berpura-pura bingung untuk menyebutkan nama majikannya, walaupun sebenarnya dia sudah tahu. Tetapi, demi menutupi penyamaran yang diperintahkan bosnya ia harus berpura-pura.

“Lita!” Lita segera menyebutkan namanya.

“Nona Lita ingin melamar pekerjaan di sini.” Ucap Fara.

“Kau boleh keluar,” perintah Adrian pada Fara.

Setelah Fara keluar meninggalkan Lita, Adrian segera beranjak dari duduknya dan menyandarkan bokongnya di sisi meja bagian depan, ia melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya terus menatap Lita tanpa mengatakan apa pun.

Lita yang sejak tadi menunduk dan sesekali melirik Adrian, merasa risih dengan tatapan Adrian. “Siang, pak,” sapa Lita kaku walaupun tadi ia sudah menyapa.

“Siang,” jawab Adrian singkat.

“Be—begini, Pak, saya sedang membutuhkan pekerjaan, saya baru saja lulus kuliah jurusan manajemen bisnis. Saya lulus dengan nilai yang cukup tinggi. Saya juga termasuk mahasiswa yang berprestasi di kampus. Jika Bapak menerima saya di perusahaan ini, saya akan menjadi pegawai yang kompeten dan profesional. Saya bersedia di tempakan di bagian mana pun,” ucap Lita menyebutkan semua keunggulan dirinya.

“Kalau begitu, kamu akan saya tempatkan di bagian OB.”

Lita langsung membelalakkan matanya. Yang benar saja, sia-sia Bang Danu menyekolahkannya sampai ke perguruan tinggi jika hanya untuk menjadi OB.

“Tapi, Pak! Bapak bisa menempatkan saya di bagian lain, sesuai dengan pendidikan saya.”

“Apa menurutmu pekerjaan sebagai OB hanya untuk orang-orang tidak berpendidikan?”

"Bukan begitu maksud saya, Pak!”

“Lalu?”

"Maksud saya, Bapak bisa menempatkan saya sebagai pegawai biasa, di divisi-divisi yang ada di perusahaan ini, sesuai dengan keahlian dan pendidikan saya.”

“keahlian? Apa kamu punya pengalaman kerja sebelumnya?”

“Belum, Pak!” jawab Lita sedikit lemah.

“Lalu, keahlian apa yang kamu maksud. Bukankan pekerjaan sebagai OB sering kamu lakukan di rumah, tentu kamu sudah ahli dalam urusan bersih-bersih.”

“Tapi, Pak! Tujuan saya melamar di sini bukan sebagai OB. Saya ke sini ingin melamar sebagai pegawai atau staf apa pun di sini.”

“Kalau begitu, silahkan kau cari perusahaan Lain.” Adrian langsung menegakkan tubuhnya untuk duduk kembali.

Lita langsung memberanikan diri menghampiri Adrian dan menahan pergerakannya.

“Pak, tolong terima saya. Saya hanya sebatang kara di dunia ini. Saya harus bekerja agar bisa bertahan hidup. Saya akan melakukan apa pun asal Bapak mau menerima saya bekerja di sini.” Lagi-lagi Lita mengeluarkan jurus merendahnya agar Adrian bisa merasa iba. Tidak peduli dengan berapa pun dan kepada siapa pun ia harus merendahkan diri, yang penting tujuannya tercapai.

“Apa pun?” tanya Adrian memicingkan mata.

Sebenarnya Adrian sedikit menahan tawanya saat Lita bilang membutuhkan uang untuk bertahan hidup, tapi ia tahan karena tidak ingin Lita tahu jika ia mengetahui seluk beluk kehidupan Lita.

“Iya, Pak! apa pun. Asal jangan menjadi OB. Bapak juga pernah menolong saya beberapa bulan lalu, saat tas saya dijambret orang, mungkin Bapak mau menolong saya lagi sekarang.” Lita memasang wajah memelas.

Adrian hanya terkekeh dengan permohonan Lita. “Kalau begitu taruh tasmu di sofa, lalu berdiri dengan tegak di sini,” perintah Adrian menunjuk lantai yang sangat dekat dengan dirinya jika Lita berdiri.

Walaupun merasa sedikit aneh dengan perintah Adrian, Lita tetap menuruti perintah calon bosnya.

“Baik, Pak!” Lita segera menaruh tasnya kemudian berdiri di depan Adrian, sesuai dengan perintahnya tadi.

“Ingat! Jangan melawan ataupun menolak dengan apa yang akan saya  lakukan. Jika kamu melakukannya, saya akan langsung mengusirmu.”

“Ba—baik, Pak!” balas Lita sedikit khawatir.

“Sekarang, pejamkan matamu!” Lita langsung memejamkan matanya segera.

Tak mau membuang waktu, Adrian langsung melakukan niatnya. Ia menarik tengkuk Lita dan melumat bibir yang sudah dua tahun ia nantikan.

Lita yang terkejut dengan perbuatan Adrian, hanya bisa membelalakkan matanya, ingin melawan, tapi ia kembali teringat dengan tujuannya membalas dendam.

“Demi Bang Danu,” batin Lita, ia pun membalas lumatan Adrian, bahkan kedua tangannya memeluk pinggang Adrian dengan erat. Sesaat ia terbuai dengan permainan Adrian. Wangi maskulin dari tubuh Adrian membuatnya hanyut.

Merasa tidak ada perlawanan, Adrian pun membalas pelukan Lita. Bahkan, yang awalnya hanya ingin mencium bibir Lita, Adrian malah turun menuju leher jenjang Lita tanpa perlawanan, membuat ia menikmati aksinya.

Adrian menjelajahi semua bagian wajah dan leher Lita, bahkan ia memutar posisi dan mendorong Lita ke meja kerjanya, hingga tangan Lita yang sedang memeluknya terlepas ke belakang untuk menopang tubuh mereka berdua.

Berbanding terbalik dengan Adrian yang sedang menikmati cumbuannya, Lita yang awalnya ikut menikmati, kini ia malah ingin cepat-cepat Adrian mengakhirinya. Jangankan mendesah, memejamkan mata tanda menikmati pun tidak Lita lakukan. Ia hanya bisa mengeluarkan air mata dari ekor matanya. Ia merasa jadi wanita rendahan demi sebuah dendam.

“Demi Bang Danu.” Hanya kalimat itu yang bisa menguatkan hatinya.

Lita memberanikan diri menolak, saat tangan Adrian ingin membuka kancing kemejanya. Dengan satu tangannya Ia menghentikan tangan Adrian. “Jangan, Pak! Saya sudah bersuami!”

Adrian langsung menghentikan cumbuannya dan menyandarkan keningnya di bahu Lita.

“Maafkan saya. Saya terbawa suasana,” sesal Adrian.

Lita langsung menggeser tubuhnya untuk menjauh dari Adrian. Meninggalkannya dengan wajah yang tertunduk lesu dengan kedua tangan menopang tubuhnya.

“Bagaimana, Pak, apa saya diterima bekerja di sini?” tanya Lita setelah mengambil tasnya dan kembali menghadap Adrian.

    

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status