Share

Awal Rencana

Puluhan notifikasi mengganggu tidur Lita pagi itu, entah pesan dari siapa hingga membuat Lita geram. Dengan sedikit emosi, Lita segera mengambil ponselnya yang ada di atas nakas.

“Astaga ...! Para pengangguran anget pagi-pagi udah ganggu tidur gue,” ujar Lita setelah melihat banyaknya pesan dari grup yang hanya berisikan lima orang. Yang ia juluki ‘Pengangguran anget’ melalui notifikasi ponsel yang sejak tadi mengganggu tidurnya.

Tak berniat melihat isi pesannya, Lita segera menuju kamar mandi untuk membasuh wajah dan menyikat gigi tanpa berniat untuk mandi, karena memang ia tipe wanita yang malas mandi pagi.

“Pagi, Bang.” Lita menyapa foto Danu seperti biasa, setelah ia menyelesaikan kegiatannya di kamar mandi “Bang, aku kangen dimarahi Abang, kalau aku sedang malas mandi.”

Lita teringat omelan Danu jika ia sedang malas mandi. "Litaaaa ... Jadi anak gadis jangan jorok. Nanti tidak ada yang mau menikahimu, kalau kamu malas mandi,” omel Danu ketika melihat Lita menghampiri dirinya di meja makan.

Bukanya takut dengan omelan Danu, Lita malah memeluk Danu dari belakang yang tengah duduk menunggunya. “Kalau tidak ada pria yang mau menikahiku, Itu berarti aku akan selalu sama Abang," goda Lita lalu melepas pelukannya dan duduk di depan Danu untuk sarapan.

"Wiiiiih ... Enak, nih, kayaknya!" mata Lita berbinar melihat nasi goreng buatan Danu dengan toping sosis dan telur mata sapi di atasnya.

“Jika kamu tidak menikah, lalu kapan Abang menikah?” Danu tidak memedulikan pujian Lita atas masakannya.

Kalau begitu, Abang harus cari calon istri yang malas mandi pagi sepertiku,” balas Lita tak mau kalah. Danu hanya tersenyum mendengar jawaban adik cantiknya ini.

Setetes air mata kembali membasahi pipi mulus Lita saat teringat kembali kenangannya bersama Danu, hingga sebuah suara mengganggu lamunannya.

Lita segera menghapus air matanya lalu mengambil ponsel untuk melihat pesan yang sejak tadi mengganggunya.

Putri:

Gila! Cowok ganteng dari mana, tuh? Caption Putri di bawah foto wisuda kemarin yang ia kirim ke grup pertemanan mereka.

Desi:

Mana cowok ganteng? tanya Desi penasaran

Tia:

Iya, mana cowok ganteng, sih, Put? timpal Tia ikut penasaran.

Sambil membaca pesan, Lita juga ikut penasaran dengan sosok pria yang Putri bilang ganteng, karena tidak ada pria yang ikut berfoto dengan mereka kemarin.

Mira:

Si Putri kelamaan jomblo, jadi tingkat kehaluanya udah akut. Hahaha, ledek Mira.

Sepertinya memang tidak ada yang melihat sosok pria yang Putri maksud.

Putri:

Pada rabun semua kayanya mata lu-lu pada. Cowok bening gitu gak ada yang liat.

Putri kembali mengirimkan foto yang sama. Tetapi, kali ini diberi lingkaran merah pada sosok pria yang berdiri agak jauh di belakang kami saat foto.

Mata Lita langsung tertuju pada sosok pria berkaca mata hitam dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana dan mata yang tertuju ke arah dirinya.

“Pria itu ...?” Lita memperhatikan sambil berpikir.

“Bukankah itu pria yang berjalan di belakangku kemarin. Mobilnya juga parkir di sebelah mobilku,” ucap Lita setelah teringat dengan sosok pria yang mengikutinya hingga Lita masuk ke area apartemennya.

Lita kembali fokus pada percakapan teman-temannya di grup, tanpa berniat untuk ikut saling berbalas pesan.

Tia:

Lah, iya! Bening banget, tuh, laki, balas Tia yang sepertinya sudah menyadari sosok pria yang putri maksud.

Mira:

Iya, bener! Cakep banget. Bisa-bisanya hati lembut gue tidak mendeteksi kehadiran cowok ganteng.

Desi:

Si Mira, masih ngiler aja liat cowok ganteng. Inget, Mir, bulan depan lu udah jadi istri orang. Ini khusus buat jomblo kaya gue sama Lita.

Putri:

Gue juga jomblo. Kok, gue gak disebut, protes putri.

Tia:

Gue juga jomblo, dua Minggu yang lalu, timpal Tia mengingatkan durasi kejombloanya.

Mira:

Gue butuh cuci mata kali ....

Tia:

Gue laporin si Ben, lo, Mir, ancam Tia.

Desi:

Woy! Si Lita ke mana ini, gak nongol-nongol?

Putri:

Si Lita, putri tidur. Pasti lagi molor, tuh, bocah, balas Putri yang hapal kebiasaan Lita.

Lita yang namanya mulai disebut hanya tersenyum saja melihat teman-temannya berbalas pesan.

Setelah puas membaca semua pesan, Lita segera beranjak dari duduknya di tepi kasur untuk segera ke ruang tamu. Begitu tiba di ruang tamu, ia segera menyalakan televisi yang ada di depannya.

“Adrian Dinata, pewaris tunggal keluarga Dinata kini benar-benar menunjukkan taringnya di dunia bisnis. Ia baru saja berhasil menjalin kerja sama dengan perusahaan besar di New York. Kerja sama yang terjalin antara Dinata Grup dan Dynamik Company digadang-gadang akan bisa meningkatkan perekonomian Indonesia."

Lita langsung membelalakkan matanya begitu mendengar nama yang selama ini jadi mimpi buruk untuknya menjadi topik berita pagi ini.

“Bukankah itu pria yang pernah menolongku waktu itu?” Lita langsung teringat peristiwa penjambretan yang ia alami beberapa bulan lalu.

“Maling ... maling ... Mal—“ teriakan Lita terhenti saat seorang pria menghampirinya

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Adrian

“Mas, tolong, tas saya dijambret!” jawab Lita panik sambil menunjuk ke arah lelaki yang berlari membawa tasnya.

Adrian langsung mengejar lelaki yang Lita maksud sebelum terlalu jauh berlari. Melihat Adrian dan beberapa warga mengejar pria yang membawa kabur tasnya, Lita ikut berlari hingga langkah maling dihentikan warga yang berhasil menangkapnya.

“Ini tasmu. Lain kali kau harus hati!” Adrian langsung memberikan tas yang ia rebut dari maling yang saat ini sedang dikeroyok warga.

“Terima kasih, Mas,” ucap Lita tanpa melihat Adrian, matanya tetap fokus pada penjambret hingga ia menghampiri pria itu untuk menghentikan warga yang tengah emosi.

Melihat Lita berlari menuju kerumunan warga, Adrian langsung menarik pergelangan tangannya. “Lita! Kau mau ke mana?!”

Mendengar namanya disebut oleh pria yang baru pertama kali ditemuinya, Lita merasa heran, tapi ini bukan saat yang tepat untuk bertanya atau protes. “Kalau tidak ada yang menolongnya, dia bisa mati!" jawab Lita.

“Biarkan saja. Itu karena ulahnya sendiri.” Adrian berusaha mencegah.

Lita hanya melihat pria yang sudah lemah tak berdaya melalui celah-celah kaki warga. Ia kembali teringat saat-saat Danu dipukul hingga akhirnya pergi. Lita langsung menghentakkan tangannya agar terlepas dari genggaman pria yang baru ditemuinya.

“Lita!” teriak Adrian saat Lita berlari menerobos kerumunan warga.

“Bang Danu ...!” Lita langsung memeluk tubuh si Penjambret, seolah-olah ia adalah Danu yang sedang dipukuli. Lita Memberikan tubuhnya untuk melindungi pria yang sudah tidak berdaya lagi agar terhindar dari pukulan para warga.

Seperti sudah benar-benar terbakar emosi, warga tak peduli jika Lita yang akhirnya mereka pukuli.

“Berhenti ... berhenti ...!” Adrian berusaha menghentikan warga.

Bukan karena ia kasihan dengan si Jambret, tapi ia takut Lita yang akan babak belur jika ia tidak menghentikan warga. Sedangkan Lita masih tetap memeluk erat si Penjambret, walaupun bertubi-tubi pukulan dan tendangan menghampiri punggung juga kepalanya. Hingga akhirnya petugas keamanan yang ada di sekitar dan beberapa bodyguardnya ikut membantu lalu membawa jambret itu pergi.

“Kau ini bodoh atau apa?! Kau bisa mati jika tetap melindungi maling itu!” Adrian meluapkan emosinya setelah berhasil menarik Lita ke samping mobil Pajero sport miliknya.

Sedangkan Lita, masih sibuk menghapus Air matanya. “Maling itu juga pasti punya keluarga. Lalu, bagaimana nasib keluarganya jika orang yang dicintainya mati.”

“Itu buka urusanmu. Biarkan dia menanggung akibat dari perbuatannya.”

Bukanya menjawab, Lita malah membungkukkan badannya. “Terima kasih, Anda sudah menolong saya. Permisi!” Lita langsung pergi menghampiri mobilnya di sebuah minimarket tak jauh dari mobil Adrian berada.

Adrian tersenyum melihat sikap wanita yang  dilindunginya itu. “Ucapan terima kasih yang buruk,” gumamnya.

“Dia menyebutkan nama kak Danu saat menolong maling itu. Apa dia masih mengingatnya? Pantas saja kak Danu lebih memilih dirinya dari pada aku dulu,” monolog Adrian saat di dalam mobil.

Sedangkan di mobil lainnya, Lita sedang merutuki kebodohannya karena tak sempat bertanya dari mana pria itu tahu namanya. Bahkan dia dengan jelas mendengar dua kali pria asing itu menyebutkan namanya. “Dasar bodoh! Kenapa tidak bertanya dulu sebelum pergi,” rutuknya.

Ting tong ... ting tong ...

Suara bel membuyarkan lamunan Lita. Ia segera bangkit dari duduknya untuk membuka pintu. Lita langsung mengernyitkan keningnya saat melihat buket mawar putih kesukaannya dan boneka beruang berukuran besar berwarna hijau muda, warna favoritnya.

“Permisi, dengan Nona Arlita?” tanya si Kurir.

“Iya, saya sendiri.”

“Tuan suami mengirimkan ini untuk Anda, Nona.”

“Tuan suami?!" Lita keheranan dengan nama pengirim.

“Iya, Nona. Di sini tertulis atas nama suami dan ditujukan pada alamat Anda.” Sang Kurir menunjuk tulisan di kertas yang menggantung di antara mawar bertuliskan ‘Suamimu’.

Lita langsung membaca tulisan yang ditunjukkan si Kurir. “Selamat atas kelulusanmu. From. Your husband.”

Kemudian Lita membubuhkan tanda tangan di tempat yang ditunjukan kurir.

“Terima kasih, Nona.” Pamit si kurir. Lita hanya membalas dengan senyuman, kemudian menutup pintu dan meletakan boneka di sofa.

“Suami? Ini pertama kalinya dia mulai memberi petunjuk setelah dua tahun,” ujar Lita sambil berpikir.

“Ah ... sudahlah, ini tidak terlalu penting. Yang terpenting sekarang, mencari tahu siapa Adrian Dinata sebenarnya.” Lita langsung beranjak dari duduknya menuju kamar dan mengaktifkan layar laptop begitu ia tiba di kamarnya.

“Sekarang, kau akan menjadi saksi balas dendamku,” ucap Lita pada boneka beruang.

Jari-jari Lita langsung menari di atas keyboard laptopnya mengetik nama yang menjadi tujuannya.

‘Adrian Dinata, pria berusia 27 tahun dengan status lajang sukses membuat Indonesia bangga dengan segala prestasi yang diraihnya di dunia bisnis.’

“Cih ... pembunuh seperti dirinya untuk apa dibanggakan,” geramnya saat membaca semua hal baik tentang orang yang dibencinya.

“Sepertinya aku harus melamar pekerjaan di perusahaannya. Baru setelah itu, aku memulai rencanaku dan mencari siapa tiga lelaki berengs*k itu,” ujarnya dengan mata memanas menahan tangis.

“Ok, Boy! Kita akan memulai permainan besok, dan Adrian akan menjadi target pertama kita,” ucapnya dengan penuh senyuman memeluk boneka yang didudukkan di sampingnya.

Tiba-tiba Lita merasa memegang kertas yang tergantung di bagian paha boneka. "Untuk sementara biarkan si Hijau ini yang menemani tidurmu. Tak lama lagi, aku yang akan menemani malam-malammu.”

Lita membaca tulisan itu dengan bahu bergidik. “ish ... menjijikkan sekali,” gumamnya.

“Tenang saja ... Aku juga mencari dirimu disela-sela aksiku. Semoga kau bukan pria buruk rupa.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status