Share

Pertemuan

“Bagaimana, Pak! Apa saya diterima bekerja di sini?” tanya Lita setelah mengambil tasnya dan kembali menghadap Adrian.

Adrian langsung membalikkan badan mendengar pertanyaan Lita. Saat ia melihat mata Lita yang memerah, membuat Adrian makin merasa bersalah. “Oh, tidak! Aku sudah membuatnya sedih," batinnya.

“Ya, kamu diterima bekerja di sini!” jawab Adrian masih tetap menjaga kewibawaannya, walaupun ia ingin meminta maaf lagi.

“Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya per—“

“Sebagai sekretaris saya." Adrian memotong ucapan Lita.

 Lita langsung mengerutkan keningnya keheranan. “Tapi, Pak, saya hanya ingin menjadi staf biasa saja. Saya juga belum punya pengalaman sebagai sekretaris."

“Saya sedang membutuhkan sekretaris,” bohongnya.

“Tapi, Pak!” Lita tetap berusaha menolak.

Mendengar Lita terus menolak, Adrian langsung menghampiri Lita dan berdiri tepat di hadapannya. “Saya tidak suka penolakan!"

Lita terkejut ketika Adrian berdiri di hadapannya ia pun memundurkan langkahnya.

“Ba—baik, Pak. Saya permisi.” Lita langsung membalikkan badan untuk  keluar dari ruangan. Namun, baru saja ia melangkah, satu tangan kekar melingkari perut ratanya dan satu tangan lagi melingkari lehernya.

“Maafkan perbuatan saya tadi. Maaf karena saya tidak bisa menahan hasrat saya. Saya sedang merindukan seseorang yang tak bisa saya sentuh. Tolong jangan berpikir buruk tentang saya di pertemuan kedua kita ini. Saya tidak pernah berani menyentuh wanita mana pun sebelumnya, tapi bukan berarti saya ingin melecehkanmu tadi. Saya benar-benar minta maaf,” sesal Adrian.

Lita hanya bisa menundukkan kepala berusaha menahan tangis tanpa membalas permohonan maaf pria yang sudah menjadi bosnya sekarang. “Permisi, Pak!” Lita melanjutkan kembali langkah yang tadi terhenti tanpa dapat dicegah Adrian.

“Aku berani menyentuhmu karena kau istriku,” gumam Adrian setelah Lita menutup pintu.

Setelah Lita pergi, Adrian duduk di sofa yang ada di dekatnya. Ia duduk sambil meremas rambutnya dengan kedua tangannya. “Arrrrgghh ... Kak Danu, maaf. Aku membuatnya sedih. Aku tidak bisa menahan hasratku saat berdekatan dengannya,” rutuk Adrian.

Setelah merutuki diri sendiri, Adrian langsung memanggil seseorang melalui ponselnya. “Fara, tolong pindahkan Leni, sekretarisku ke bagian marketing,” perintah Adrian.

Bukan tanpa alasan Adrian menjadikan Lita sebagai sekretaris. Ia sudah lama menanti kelulusan Lita hanya untuk membuatnya bekerja di perusahaan miliknya. Hal itu Adrian lakukan agar bisa semakin dekat dengan Lita, karena ia ingin menimbulkan rasa cinta di antara mereka berdua. Selain itu, Adrian juga bisa selalu melindungi Lita dari jangkauan Lukman sesuai dengan janjinya kepada Danu.

Pada rencana awal, Adrian memerintahkan Fara mendekati Lita untuk membujuknya agar mau bekerja di perusahaannya. Namun, belum sempat rencana itu terlaksana, Lita sudah lebih dulu mendatanginya. Tawaran bekerja sebagai OB pada Lita tadi, hanyalah sebagai alibi agar Lita tidak merasa curiga jika langsung di jadikan sebagai sekretaris, meskipun ia tidak menginginkan posisi itu.

        *****

Lita langsung melempar tasnya ke kursi penumpang yang ada di sebelah kemudi begitu ia membuka pintu mobilnya. “Dasar, Adrian pembunuh mesum!”

Buuukh ... Lita menutup pintu mobilnya penuh emosi.

Dengan nafas yang menderu, Lita mengambil sebuah foto pria yang selalu ia bawa. “Bang! Si Pembunuh itu menyentuhku,” adunya sedikit terisak pada foto abang kesayangannya.

"Bang, aku merasa agak aneh dengan proses interviewnya. Bukankah security itu bilang, jika si Pembunuh itu tidak pernah menginterview langsung calon pegawainya, dan setahuku, jika melamar kerja akan ada psikotes, medical tes yang membutuhkan waktu dua Minggu lamanya. Lalu interview yang membuat grogi dan tegang, tapi ini tidak ada. Dia juga tidak menanyakan pendidikanku atau apa pun tentang keunggulanku dalam bekerja, malah aku yang selalu menyebutkannya, Bang. Ah ... tapi sudahlah itu tidak penting, yang penting sekarang aku bisa bekerja di perusahaan Adrian dan memulai rencanaku untukmu, Bang.”

Puas mengadu, Lita langsung tancap gas meninggalkan kantor Adrian menuju apartemennya langsung, karena ia tak terbiasa singgah di berbagai tempat. Lita adalah tipe orang yang tertutup dan tidak mudah bergaul. Lita juga tak memiliki banyak teman dan sahabat. Bahkan, Lita tak mengenal banyak para tetangga apartemennya, karena ia lebih sering menghabiskan waktunya di dalam apartemen sambil menonton drakor atau Bollywood kesukaan.

Begitu tiba depan pintu, langkah Lita terhenti saat mendengar bunyi tanda chat masuk di aplikasi ponselnya.

Lita mengerutkan keningnya melihat pesan dari nomor tak di kenal. “Selamat atas pekerjaan barumu. Dari, Suamimu.” Pesan yang diakhiri dengan emoticon mengirimkan sebuah ciuman dengan gambar hati di depan mulut, membuat Lita lagi-lagi bergidik geli membacanya.

“Hei, Suami! Apa kau tahu, istrimu baru saja disentuh oleh pria lain. Seharusnya kau datang menolong istrimu ini dengan mendobrak pintu seperti di serial drakor yang sering kutonton. Atau kalau kau tetap merahasiakan identitasmu, kau bisa memakai topeng seperti Spiderman atau pun Batman, lalu kau datang dengan menerobos kaca melalui udara seperti di film-film Hollywood,” omel Lita setelah membaca pesan sambil membuka pintu apartemen.

“Tunggu!” Lita langsung menatap kembali ponsel yang baru saja ingin ditaruh.

“Dia tahu nomor ponselku? Bahkan, dia tahu aku baru saja mendapat pekerjaan. Itu berarti dia ada di sekitarku! Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia tidak menemuiku jika dia tahu aku istrinya? Apa jangan-jangan aku adalah istri simpanan? Aaarrrgh ... Bang Danu, semoga saja kau menikahkan aku dengan orang yang benar.” Lita mengacak-acak rambutnya frustrasi.

“Aku harus segera membersihkan diri untuk menghapus jejak-jejak si Pembunuh itu di tubuhku.” Lita langsung menuju kamar tanpa berniat istirahat terlebih dahulu.

      *****

Sementara itu, Di ruang kerja yang ada di mansionnya, Adrian sedang duduk sambil memejamkan matanya. Pikirannya sejak tadi terus terbayang pada kejadian tadi siang.

"jangan Pak! Saya sudah bersuami.” Kata-kata itu sejak tadi terus berputar di kepalanya.

“Itu berarti, secara tidak langsung dia menganggap aku ada. Walaupun dia tidak tahu siapa aku sebenarnya.”

Sebuah senyuman kembali terukir di bibirnya ketika Adrian teringat kata-kata Lita saat memohon untuk diterima bekerja di kantornya. “Dia bilang membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Apa uang yang selalu kukirimkan selama ini masih kurang, hingga ia butuh pekerjaan? Baiklah aku akan menambahkan nominalnya agar ia tidak kekurangan lagi.” Adrian langsung menegakkan tubuhnya untuk mengambil dua buah buku kecil di laci mejanya.

Dua buku berbeda warna, tapi sama-sama berlogo garuda itu sudah dua tahun lebih ia miliki. Adrian tersenyum sendiri saat teringat kembali bagaimana cara ia bisa memiliki buku itu. Pernikahan yang menurutnya konyol, karena menikahi gadis saat sedang tidur. Itu semua berawal dari sebuah janji kepada seorang kakak yang terlalu menyayangi adiknya.

Dua tahun lalu ...

Adrian tak dapat melambatkan laju mobilnya setelah berhasil memancing si Pengendara SUV yang mengikutinya sejak tadi. Adrian tahu kenapa Danu, si Pengendara SUV itu mengikutinya, ia terus menggiring Danu agar tetap mengikutinya hingga ke tempat yang ia rencanakan.

“Kak, aku pulang ke Indonesia hanya ingin melihatmu ketika kau dewasa. Tetapi, kau malah ingin membunuhku karena si Tua bangka itu,” ucapnya saat melihat mobil Danu melalui kaca spion.

Setelah sampai di tempat yang ia rencanakan, Adrian menghentikan mobilnya dan segera keluar dari mobil untuk bertemu dan berbicara dengan kakak yang ia rindukan.

Melihat Adrian keluar dari mobilnya, Danu pun keluar sambil mengacungkan pistol ke arah Adrian.

Adrian tetap berusaha tersenyum dan memasang wajah santainya, meskipun hatinya sedih melihat tatapan Danu yang penuh amarah.

Tanpa basa-basi Danu langsung mengarahkan pistol tepat di depan kening Adrian. Adrian langsung menepisnya dengan lembut sambil tersenyum.

“Kakak harus menyelidiki sasaran dulu, sebelum melepaskan pelatuk pistol Kakak."

“Aku bukan kakakmu,” jawab Danu ketus.

“Apa Kakak tidak mengenaliku?”

“Tidak perlu banyak bicara dan berhenti memanggilku kakak. Tugasku hanya membunuhmu.” Danu kembali mengacungkan pistol ke kening Adrian.

“Sebelum pelatuk pistol itu bergerak, orang-orangku pasti sudah membunuh Kakak lebih dulu.”

“Orang-orangmu?” tanya Danu heran, karena ia tak melihat satu orang pun di tanah lapang ini selain dirinya dan Adrian.

Adrian langsung mengangkat satu tangannya dan menjentikkan jari. Puluhan orang pun keluar dari balik semak-semak.

Seketika wajah Danu menegang. Ia yakin benar, sejak Adrian keluar dari kantornya tidak ada satu pun bodyguard yang mengikutinya. Danu pikir ia sudah berhasil menjebak Adrian, tapi sepertinya Adrian lah yang berhasil menjebak dirinya.

“Kakak tidak perlu takut, anak buahku tidak akan membunuh Kakak.” Adrian mencoba meyakinkan Danu saat melihat ketegangan di wajahnya.

“Siapa kau sebenarnya? Kenapa sejak tadi kau selalu memanggilku kakak?”

“Kakak benar-benar tidak mengenaliku?” Danu tak menjawab, ia malah mengerutkan keningnya semakin dalam.

“Mungkin aku bisa mengingatkanmu melalui bekas luka gigitan seekor anjing di paha kananmu.” Adrian mencoba mengingatkan Danu.

“Gigitan?” tanya Danu makin heran, tapi seketika wajahnya berubah cerah begitu ia menemukan ingatan masa kecilnya.

Danu ingat, ketika ia mengajarkan seorang anak lelaki menaiki sepeda lalu terjatuh karena dikejar seekor Anjing peliharaan. Karena takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan, ia mengalihkan perhatian anjing tersebut hingga anjing itu berbalik menyerangnya dan menghasilkan delapan belas jahitan di paha kanannya.

“Adri? Kau Adri, anak dari om Lian Dinata?” tanya Danu dengan wajah semringah.

“Ya, Kak! Aku Adri, bocah laki-laki yang membuatmu kabur dari rumah lalu kembali ke panti asuhan, dan bukan Om Lian, tapi Papah. Dulu kau memanggilnya papah, Kak.” Mereka pun saling memeluk untuk melepaskan rindu.

“Maaf, aku tidak mengenalimu,” sesal Danu setelah melepaskan pelukannya.

“Aku sangat merindukanmu, Kak. Aku pulang ke Indonesia hanya ingin bertemu denganmu, tapi ternyata kau malah bekerja dengan si Tua bangka itu.”

"Koko Lukman, maksudmu?”

“Iya! Dia adalah ayah sambungku?”

“Ayah sambung?! Lalu Om Lian, eee ... maksudku papah?”

“Papah sudah meninggal, Kak, setelah mamah menikah dengan si Tua bangka.” Adrian amat sangat tidak sudi untuk menyebutkan nama Lukman.

“Lalu, Tante Mery?”

“Dia juga sudah meninggal. Aku juga tidak tahu karena apa. Bahkan aku tidak menghadiri pemakamannya.”

“Kenapa?”

“Aku tidak bisa menceritakan di sini, Kak. Ikutlah denganku dan tinggallah bersamaku,” ajak Adrian.

"Akutidak bisa, aku tidak mungkin meninggalkan adikku sendirian.”

“Apa adikmu itu adalah adik perempuan yang dulu membuatmu menolak kembali ke rumahku, Kak?”

"Dari mana kau tahu kalau adikku perempuan?” selidik Danu

“Sore hari, setelah Kakak melindungiku dari serangan anjing waktu itu, aku melihat Mamah memukulimu di gudang. Saat Kakak baru pulang dari rumah sakit pun, aku juga melihat kalau Mamah sering menginjak lukamu hingga berdarah, tapi Kakak tidak mengatakannya pada Papah, bahkan padaku. Lalu beberapa hari setelah itu Kakak kabur dari rumah, aku merasa bersalah padamu. Aku berpikir karena aku, Mamah jadi membencimu, ternyata tidak. Mamah hanya mengkhawatirkan harta Papah yang akan diberikan pada selain aku jika kau tetap ada di rumah.”

“Aku memaksa Papah untuk menjemputmu kembali, tapi ibu panti bilang Kakak tidak mau meninggalkan adik perempuanmu. Aku menyuruh Papah untuk mengadopsi kalian berdua tapi Mamah tidak mengizinkannya. Lalu Papah berjanji, jika aku mau sekolah di Jerman dan tinggal bersama Kekekku, maka Papah akan mengadopsi kalian berdua. Aku selalu menunggu Papah menepati janji. Dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dari sembilan tahun menjadi dua belas tahun. Hingga akhirnya aku sadar, bahwa Papah hanya membohongiku. Sejak saat itu aku berniat akan mencari sendiri keberadaanmu, Kak.”

“Begitu aku tiba di Indonesia, aku langsung mendatangi panti asuhan tempat tinggalmu, tapi ibu panti bilang Kakak sudah pergi dari panti bersama adikmu. Aku terus mencarimu hingga aku mengetahui Kakak menjadi anak buah si tua bangka itu.”

“Aku tidak menyangka kau masih mengingat kakak cerobohmu ini.” Danu menepuk bahu Adrian yang sejak tadi dirangkulnya

“Aku adalah anak tunggal, dan selalu sendiri. Sejak pertama Kakak datang ke rumahku untuk menjadi kakakku, aku sudah sangat menyayangimu, Kak. Aku merasa memiliki teman. Saat di Jerman pun aku selalu berharap bisa bertemu denganmu dan mengajakmu tinggal bersamaku.”

“Maaf, aku tidak bisa.”

“Kenapa, Kak?”

“Koko menyuruhku untuk membunuhmu. Sekarang, aku hanya mempunyai dua pilihan kau yang mati, atau aku yang mati, dan sekarang aku tidak mungkin membunuhmu. Tetapi, jika aku mati, aku khawatir dengan Lita, dia hanya memiliki aku di dunia ini. Jika aku tetap hidup, aku khawatir Koko akan mengetahui keberadaan Lita dan membunuhnya.”

“Empat tahun bekerja padanya, aku tahu seberapa berbahayanya Koko. Ia sering membunuh dengan mudah orang-orang yang mengkhianatinya, termasuk juga aku. Apa lagi ini adalah pertama kalinya ia menyuruhku membunuh orang, dan aku malah mengkhianatinya. Jika aku tetap bertahan hidup, maka bukan mustahil jika Koko akan mengincar Lita, atau Mungkin jika aku mati Koko juga akan tetap mengincar Lita.”

“Kalau begitu, bawa Lita bersama Kakak dan kita akan tinggal bersama.”

"Tidak semudah itu, koneksi Koko ada di mana-mana dan orang-orang Koko sudah sangat mengenalku. Bersembunyi di mana pun koko pasti akan mengetahuinya."

"Kakak jangan meremehkan orang-orangku. Mereka juga tidak kalah hebat dari anak buah si Tua bangka itu.”

“Apa kau mau melakukan sesuatu untukku?” pinta Danu.

"Pasti Kak. Aku akan melakukan apa pun untukmu.

"Menikahlah dengan Lita."

"APA?!” Pekik Adrian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status