“Apa! Mantan kekasih?” pekik Adrian.
“Ya! Aku adalah mantan kekasihnya.”
“Lalu, untuk apa kau mengawasi apartemennya?”
“Aku tidak mengawasinya. Aku hanya ingin berkunjung, tapi Ita tidak pernah keluar, sampai akhirnya anak buah bodohmu menangkapku,” keluh si Pria.
“Untuk apa kau berkunjung ke apartemennya?”
“Aku masih mencintainya dan sepertinya Ita juga masih mencintaiku,” bangga si Pria.
“Percaya diri sekali kau."
“Tentu!”
“Apa yang membuatmu percaya diri?”
“Karena dulu, saat aku memutuskan hubungan dengannya, Ita menangis dan memohon kepadaku."
Adrian mengepalkan tangannya, geram mendengar si Pria bercerita seakan-akan Lita sangat mencintainya. "Lalu kenapa kalian putus?”
“Aku tidak suka selalu diawasi kakaknya semenjak aku membuatnya demam,” jawab si Pria.
“Demam?” tanya Adrian penasaran.
“Apa kau bisa suruh anak buahmu melepas ikatanku dulu? Aku sudah sangat tidak nyaman,” pi
“Ceraikan istrimu!” perintah si Penodong.Adrian diam sejenak, lalu tiba-tiba melempar botol minuman yang ia pegang ke arah belakang tanpa berbalik, agar bisa mengalihkan perhatian si Penodong.Beberapa detik merasa pistol tak lagi menempel di punggungnya, Adrian langsung membalikkan badan kemudian mencengkeram kerah si Penodong.“Kau?!” Adrian langsung melepas cengkeraman tangannya saat melihat Levin tersenyum. “Sedang apa kau di sini?”“Aku sedang berjaga-jaga, Tuan. Maaf mengagetkanmu. Aku hanya ingin mengerjaimu,” ucap Levin sambil menahan senyum.Adrian hanya mendengus mendengar alasan Levin. “Apa berjaga-jaga harus masuk ke dalam?”“Maaf, Tuan, saya terpaksa melakukannya karena sore tadi seorang wanita masuk ke kamar Nyonya melalui balkon unit sebelah.”“Wanita?!”“Sekarang wanita itu ada di sebelah kamar Nyonya. Saya mengikatnya di
Adrian benar-benar menulikan telinganya dari semua permohonan dan tangisan Lita. Bibirnya terus menelusuri leher dan wajah Lita, bahkan Adrian membuat beberapa tanda di leher dan dada Lita, seolah ingin menunjukkan kepemilikannya pada tubuh Lita.Lita yang sudah tak punya tenaga lagi untuk melawan, hanya bisa pasrah saat Adrian meremas bagian sensitifnya. “Maafkan aku, Suamiku,” batin Lita.Saat Adrian akan mengangkat handuk yang sudah tidak melilit lagi di tubuh istrinya, Adrian mendengar perkataan Lita, meskipun puluhan permohonannya ia abaikan sejak tadi.“Bang Danu, tolong aku ...," lirih Lita pelan, tapi Adrian bisa mendengarnya dengan jelas.“Kak Danu,” batin Adrian. Seketika ia langsung menghentikan semua pergerakan di tubuh Lita.“Lita, maaf ... maafkan aku. Jangan membenciku setelah ini.” Adrian memeluk tubuh Lita.Adrian mengeratkan pelukannya pada tubuh Lita yang terus bergetar. Ia tidak p
Sejak tadi, Lita terus memikirkan ungkapan perasaan Adrian, meskipun di depan Adrian ia terlihat tidak peduli, tapi di otaknya terus teringat perkataan Adrian. Lita bukan memikirkan cara membalas perasaan Adrian, tapi ia sedang memikirkan caranya membalas dendam pada Adrian. “Aku tidak bisa mengganggu perusahaannya, karena itu akan menyusahkan banyak orang. Apa aku harus ‘bermain’ dengan perasaannya? Pura-pura mencintai, lalu setelah itu aku meninggalkannya sampai dia jadi gila. Ah ... tidak, tidak, kalau dia gila tidak akan ada yang memimpin perusahaan ini. Lalu perusahaan bangkrut, itu sama saja akan menyusahkan banyak orang. Lagi pula aku tidak mau melibatkan perasaan dalam dendamku ini.” “Atau aku mensabotase mobilnya saja, dan membuat dia kecelakaan lalu meninggal? Tetapi jika dia meninggal, perusahaan juga tidak akan ada yang memimpin dan bangkrut. Ah ... tidak, itu juga akan menyusahkan banyak orang. Lagi pula, terlalu seram jika harus bermain nyawa. Itu tidak
Prook ... Prook ....Lita memanggil driver ojek yang ada di sekitar kantor dengan bertepuk tangan. “Bang, ikutin mobil itu, ya!” perintah Lita pada driver yang menghampirinya.“Harus lewat aplikasi, Mbak!” ucap si Driver.“Saya bayar lebih, deh, Bang,” Lita mencoba bernegosiasi.“Ya udah, ayo!” ajak si Driver.Sang Driver langsung tancap gas saat Lita sudah menaiki motornya. Baik mata Lita maupun mata si Driver tak lepas dari Toyota Alphard yang sedang mereka ikuti, walaupun sempat beberapa kali tersalip kendaraan lain. Namun, dengan kejelian sang Driver, mereka berhasil mengikuti sampai di depan restoran khas Italia.“Ok, Bang, sampe sini aja!” Lita langsung memberikan dua lembar uang pecahan seratus ribuan yang ada di saku kemejanya kepada sang Driver, lalu berlari memasuki restoran.“Terima kasih, Mbak!” teriak si Driver. “Ck ... penampilan berantakan git
Dari toilet menuju mobil, Lita dan Adrian jalan beriringan. Begitu Adrian akan membukakan pintu untuk Lita, tiba-tiba Lita menangis dan memeluk Adrian. “Lita, kau kenapa?” tanya Adrian heran. “Lihat itu!” jawab Lita sambil menangis menunjuk kaca di pintu mobil. Adrian langsung melihat apa yang Lita tunjukkan. Ia merasa heran apa yang membuat Lita menangis, karena ia tak menemukan apa pun di pantulan kaca selain Lita dan dirinya. “Tidak ada yang aneh dengan kaca mobilku,” ucap Adrian. “Kaca mobilmu memang tidak aneh, tapi aku yang aneh!” “Kau?!” Lita mengangguk lalu melepas pelukannya. “Lihat! Aku berantakan sekali, pantas saja tadi mantan kekasihmu terus memanggilku pengemis dan penipu. Aku terlihat menyeramkan, Pak.” Lita menangis layaknya anak kecil yang sedang mengadu pada ayahnya. Adrian membersihkan jejak air mata yang ada di pipi Lita, kemudian memutar tubuh Lita dan membuka ikat rambutnya. Adrian menyisir rambut Lita den
“Sepertinya kau sedang berjauhan dengan suami? Bagaimana jika suamimu adalah aku?” Adrian menatap mata Lita dalam-dalam. Seketika Lita menegang. “Tidak mungkin Bang Danu menjodohkan aku dengan pembunuh,” batin Lita. "Apa kau sedang menghalalkan segala cara dengan tiba-tiba menjadi suamiku?” Lita balik bertanya. “Jangan jawab pertanyaan dengan pertanyaan!” “Pertanyaanmu yang membuat aku bertanya!" “Tujuanku bertanya agar mendapat jawaban bukan pertanyaan!” Mata Adrian terus menatap mata Lita. “Tapi pertanyaanmu seperti pernyataan.” Lita juga balas menatap mata Adrian. “Jika menurutmu pertanyaanku adalah pernyataan, apa itu artinya kau setuju jika aku adalah suamimu?" “Apa pertanyaanku tadi seperti sebuah persetujuan hingga kau ingin menegaskan statusmu?” “Kau pintar mendebat sekarang!" “Karena aku banyak belajar dari pendebat sepertimu, Pak!" “Kau semakin membuatku tertarik.” “Kau se
“Bukankah tadi kau bilang ini hari Sabtu?”“Ya!” jawab Adrian keheranan.“Astaga ... kenapa aku bisa melupakannya!”“Ada apa, Lita?”“Pak! Apa kau bisa mengantarkan aku pulang?”“Iya, katakan dulu, ada apa, Lita ....” Adrian ikutan panik“Sahabatku Mira, menikah hari ini dan resepsi pernikahannya nanti malam. Aku harus bersiap-siap dari sekarang, ini sudah jam dua siang!” Lita berlari menuju pintu masuk.“Lita, tunggu aku!” teriak Adrian.Lita tiba-tiba menghentikan larinya, bukan karena panggilan Adrian, tapi karena ide yang muncul di otaknya. “Waktu itu, ketampanan Pak Adrian membuat heboh grup chat pertemananku. Bagaimana jika sekarang aku mengajak Pak Adrian datang ke resepsi Mira, pasti mereka akan iri padaku dan akan bilang ‘Lita kau pandai sekali mencari pasangan’.” Lita tersenyum membayangkannya, lalu
Adrian terus berpikir hingga jarak dengan panggung mempelai semakin dekat. “Lita, tunggu!”“Ada apa, Pak?!”“Eee ... Apa kau membawa tissue?”“Sepertinya ada beberapa di tasku.” Lita langsung melihat tas yang sejak tadi menggantung di bahunya. "Ini.” Lita memberikan satu pack tissue kecil.“Kau tutupi sebagian wajahmu dengan tissue. Jangan kau buka hingga turun dari panggung. Jika temanmu bertanya, katakan saja kau sedang flu, dan jangan sampai mempelai pria melihat wajahmu!"“Memangnya kenapa, Pak?!” protes Lita.“Aku tidak mau mempelai pria jatuh cinta setelah melihat kecantikanmu," ucap Adrian berbohong agar Lita tidak panik.“Aku tidak mau!”Adrian merangkul pinggang Lita. “Kalau kau tidak mau, jangan salahkan jika aku menciummu di atas panggung,” bisik Adrian.“Ish ... aku menyesal mengajakmu ke sini!"