"Namaku Diao Chan, putri angkat Tuan Wang Yun." Dia sedikit melipat kaki ke depan dengan anggun ketika memperkenalkan diri, semakin membuat Cao Cao kagum. "Jenderal Cao Cao, Ayah meminta Tuan menunggu di Paviliun belakang."
Cao Cao tertawa kecil mendengar permintaan itu. "Cepat sekali arah angin berhembus berganti?"
"Tuan," suara Diao Chan terdengar lembut. "Ayah pasti menganggapmu sebagai tamu istimewa."
"Dari seekor anjing, menjadi tamu kehormatan. Baiklah, baiklah, silakan tunjukkan tempatnya. Asal ada arak, aku akan menunggu sampai pagi."
Sebenarnya Cao Cao masih dongkol lantaran diusir, tetapi siapa yang bisa menolak ajakan dari gadis secantik Diao Chan?
Gadis itu benar-benar membawa Cao Cao ke paviliun paling bela
Sementara itu, Nu An yang kembali ke desanya akhirnya sampai juga ke tujuan. Cukup lama dia berkelana karena banyaknya pemberontakan yang dia temui di jalan.Dia terpaksa memutar mengambil jalan lain yang sangat jauh. Di perjalanan pun dia melihat banyaknya pengungsi. Tak jarang dia harus kabur ketika para bandit menyergap rombongan pengungsi di jalan. Tiada pasukan kekaisaran yang menolong. Sungguh keadaan yang tidak kondusif untuk para pengungsi.Langkahnya melambat melihat desa yang dulu indah ditumbuhi banyak bunga dan penuh tawa, sekarang tinggal puing-puing.Kiri dan kanan, rumah-rumah kayu hanya tinggal reruntuhan belaka, sawah yang dulu subur sekarang ditumbuhi ilalang tinggi. Hanya sedikit penduduk di sana yang berusaha bercocok tanam di sawah. Tiada kerbau yang membantu petani dalam menggarap sawah.
Bagaimana jika Nu An maju, tapi malah dikenali? Lagi pula dia tidak punya senjata. Nu An memilih hendak kabur menjauhi masalah, tapi …."Jangan lukai Adikku!" Suara teriakan Sima Shi membuatnya tidak tega.Dia memandang kembali ke jalan sepi. Seorang perampok gendut menghampiri Sima Shi, menagih uang. Sementara seorang perampok kurus menyandera Sima Zhou dan seorang perampok berbadan kekar menjaga di sekitar.Terbayang bagaimana kejadian tempo hari, tragedi tragis di mana dia tak sengaja menusuk Sima Zhou. Dia memejam, mengepal. Pertarungan dalam jiwa terjadi.Nu An tersadar. Ini saat yang tepat untuk menebus kesalahan. Dia mengambil batang kayu, menyerang tiga perampok.Tanpa banyak bicara dia memukul punggung s
Zhou melangkah lunglai bersama kakaknya. Sementara Bian dan Qiu protes. "Sudah aku bilang harusnya lewat jalan lain, atau tunda saja," keluh Bian yang berada dalam tubuh Zhou. "Benar," tambah Qiu. "Bian mencari uang dengan sulit, kamu dengan bodohnya membuang uang. Andai kamu tidak beli bakpao--" "Diam!" sahut Zhou tanpa sadar menjawab. Sima Shi yang mendengar hal ini salah paham, mengetuk kepala adiknya. "Dasar tidak sopan!" "Kita harus terus maju, Kak," jawab Zhou sambil mengelus kepalanya yang menjadi korban ketukan. "Setelah menyeberangi sungai, kita akan sampai ke Huasan. Semangat, Kak!" "Sok tahu." "Serius, aku tadi bertanya pada Paman yang memberi suling."
"Ke mana saja kalian, matahari nyaris tenggelam, baru tiba!" Senyum di bibir Zhou sirna ketika Qiao menepuk keras kepalanya. Gadis itu langsung menggandeng, membawa Zhou masuk ke penginapan. Tanpa mereka sadari Shi melihat bagaimana gadis itu menggenggam tangan adiknya. Ada perasaan dongkol, cemburu, tapi Zhou masih kecil, mungkin saja Qiao melakukan ini karena menganggap Zhou sebagai adik. Shi memandang telapak tangan. Walau pikiran berkata seperti itu tapi dia … benar-benar ingin digandeng. "Kak, ayo sini!" keluh Zhou melambai-lambai di dalam penginapan, membuat Shi tersadar dari lamunan. Shu berlari kecil menyusul keduanya. Mereka bertiga menaiki anak tangga menuju kamar di lantai empat. Nyaris tiada kamar kosong di setiap lantai.
Liu Bian kembali ke dunia bawah sadar setelah matahari terbenam. Baru juga menapakkan kaki di kebun bunga, suara ribut menyambut. "Zhou biadab!" teriak Qiu mengejar Zhou. "Berani sekali kamu menciumku!" "Hanya pipi, apa salah?" Bian menarik kerah belakang hanfu yang Zhou kenakan sembari mencegah Qiu menangkapnya. "Zhou, aku minta tolong jangan terlalu dekat dengan Nona Qiao." "Kenapa?" Zhou mesem- mesem. "Hayo, kamu suka dia ya?" Qiu menjambak rambut Zhou dari samping. Dia benar-benar marah. "Mulutmu jaga! Qiao tidak suka Bian, dia suka kamu bodoh! Kan badan yang kalian pakai badanmu!"
Sementara itu pagi di kediaman Cao Cao di kota Luoyang, Cao Cao memberi instruksi bagi para pelayan rumah untuk merapikan barang-barang. "Taruh di atas kereta kuda nomor tiga," ucapnya. "Suamiku." Seorang wanita cantik berbadan kurus menghampiri Cao Cao. "Kenapa mengangkut barang-barang sebanyak ini?" Cao Cao mengecup pipi Cao Liu, istri pertama yang tercinta. "Jaga Ayahku, ya. Katanya dia sakit." "Iya aku paham, tapi kenapa harus membawa barang banyak. Cao Ang bisa di sini bersamamu." "Mereka ikut saja denganmu, tanpamu pasti mereka menggangguku," keluh Cao memasang wajah manja. Istrinya mencubit hidung Cao Cao. "Kamu mengusir kami karena ingin menikah lagi?"
Membuat Lu Bu bertemu dengan Diao Chan tidak sulit. Membuat Diao Chan suka Lu Bu juga akan mudah. Walau Lu Bu kasar, memiliki wajah tampan serta badan kekar idaman wanita. Cao Cao mengajak Lu Bu menyamar menjadi warga biasa dan bertemu Diao Chan di pasar. Pasar sangat ramai oleh penjual dan pembeli, jalanan becek, aroma campur aduk. Keduanya berdesakan mencari bidadari. "Mana dia? Kamu tidak bohong, kan?" tanya Lu Bu, berjinjit-jinjit mencoba mencari Diao Chan. "Harusnya aku membawa pasukan, biar mereka menariknya ke hadapanku." "Haiya, jika kamu melakukan itu Diao Chan bakal takut. Kamu mau cinta sejati atau cinta terpaksa?" Lu Bu terkekeh. "Sejati, lah."
"Apa yang kamu lakukan dengan belati itu?" tanya Hua Xiong. "Jatuhkan atau kubunuh kamu!" Cao Cao semakin panik ketika Dong Zhuo melotot tajam kepadanya. Belati telah keluar dari sarung, jelas tidak mudah mengarang alasan untuk keluar dari situasi ini. "Mau apa kamu, hmm!" sentak Dong Zhuo. Cao Cao langsung bertekuk lutut, tertunduk menyajikan belati dengan kedua tangan pada Dong Zhuo. "Hamba ingin memberi belati sakti kepada Tuan." Hua Xiong bertukar pandang bingung dengan Dong Zhuo. Dong Zhuo bangkit mengambil belati, mengamati dengan seksama benda itu. "Ini pisau dapur?" "Itu b