Share

Pendekar Golok Melasa Kepappang
Pendekar Golok Melasa Kepappang
Author: Ken Matahari

Di Tepi Sungai Musi

Di Tepi Sungai Musi

Tahun 605 Saka. Bendera merah putih memenuhi tanah lapang di sebuah perkampungan yang terletak di tepi Sungai Musi. Kampung tersebut dikenal dengan nama Mukha Upang[1]. Semua sudut tanah lapang banjir darah. Mulai dari tepi sungai hingga hutan berawa-rawa dipenuhi ribuan prajurit kedua belah pihak. Baik yang tewas atau terluka. Pertempuran sendiri hampir usai. Pasukan Sriwijaya berhasil mengalahkan pasukan Mukha Upang.

Penyerbuan yang dilakukan Sriwijaya terhadap Mukha Upang dilakukan setelah beberapa saat sebelumnya Sriwijaya berhasil mengalahkan Kedatuan Melayu dan merebut kutaraja Minanga Tamwan[2].

Pertempuran terakhir yang tersisa adalah pertarungan antara Tumenggung Mukha Upang, Balin, melawan Senapati Utama Buntala dari pasukan Sriwijaya. Pertempuran keduanya berlangsung seimbang. Pasukan Sriwijaya yang telah memenangkan pertempuran kemudian bergerombol membentuk lingkaran. Mengitari keduanya.

Dalam pertempuran Balin melawan Buntala, berkali-kali senjata keduanya berbenturan. Mereka juga saling tebas. Lambat laun, ketika tenaga mulai terkuras, Balin mulai unggul dari Buntala. Wajah Buntala pucat dengan nafas terengah-engah. Ia merasa, sebuah kekuatan kasat mata menyedot seluruh energinya.

"Trang...! Aaah...!"

Terdengar kedua senjata beradu keras. Disusul dengan jeritan Buntala. Dalam satu serangan Balin, tendangan Balin mendarat tepat diperut Buntala dan berhasil menjatuhkan Buntala. Pedang Buntala terlempar beberapa depa akibat benturan itu.

"Hahaha...bagaimana rasanya senapati tua? Kau sudah merasakan kekuatan Golok Melasa Kepappangku!" kata Balin terbahak melihat Buntala roboh. Dengan sinis, Balin melanjutkan kalimatnya, "Bukankah tenagamu tersedot habis? Hahaha...menyerahlah! Aku akan mengampunimu teman! Dengan syarat kau menyerah dan mau membantuku memenggal kepala Sri Jayanasa!"

Buntala meludah ke tanah sambil berusaha bangkit. Muak ia mendengar kata-kata Balin, pengkhianat yang di masa lalu merupakan teman karibnya.

"Cuih...! Tak akan pernah aku menyerah pada seorang pengkhianat seperti kau Balin! Golok busuk itu juga hanya pantas dipakai untuk menyembelih kerbau!"

"Hahaha...percuma saja kau melawan Buntala! Sebentar lagi Golok Melasa Kepappang ini akan membuat kejang-kejang dan mati penasaran!"

"Jangan banyak omong Balin! Majulah! Lakukan apa yang kau mau!"

"Hahaha...dasar tua bangka tak tahu diuntung! Sebagai teman, aku sudah menawarkan pengampunan padamu! Jangan salahkan aku jika kau segera bertemu dengan setan penunggu neraka! Kini, bersiaplah kau mati penasaran!"

Balin mengangkat Golok Melasa Kepappang tinggi. Serangannya mengincar leher Buntala. Buntala menghadapi Balin dengan tangan kosong. Ia merasa serangan terakhir Balin ini akan jadi akhir hidupnya.

Mengetahui nyawa senapati utama andalan Sriwijaya di ujung tanduk, sorak sorai pasukan Sriwijaya sontak terhenti. Wajah mereka tegang. Kemenangan Sriwijaya hari harus dibayar mahal.

Balin melesat ke arah Buntala. Mulutnya menyeringai buas. Wajah Tumenggung Mukha Upang haus darah seperti golok pusaka dalam genggamannya. Beberapa depa di hadapan Balin, Buntala pasrah menanti ajal.

Ketika golok di tangan Balin hampir memecahkan kepala Buntala, tiba-tiba sesosok bayangan melesat dan menangkis bacokan golok Balin.

"Trang...!" suara golok dan pedang beradu keras.

Mendapat hadangan tak terduga, Balin berjumpalitan mundur. Tak cukup, ia kembali melompat beberapa kali menghindari serangan pedang milik sosok manusia yang menyelamatkan Buntala.

Balin gusar bukan main.

"Bangsat! Siapa kau bajingan? Berani-beraninya kau ikut campur urusanku!"

Bukannya menjawab, sosok penolong Buntala yang ternyata masih muda itu malah tersenyum mengejek. Melihat tanda keprajuritannya, tampak ia seorang senapati madya.

"Jawab pertanyaanku bangsat!" Balin makin gusar. Senapati itu tetap diam. Matanya menatap tajam pada Balin.

Melihat serangan Balin gagal, sorak sorai prajurit Sriwijaya kembali terdengar. Mereka girang bukan main. Apalagi nyawa Buntala, senapati yang mereka hormati berhasil selamat.

"Sadnya..! Sadnya..! Sadnya..!"

Begitulah mereka meneriakkan nama senapati muda tersebut.

Di sisi lain, sadar nyawanya berhasil diselamatkan Sadnya, Buntala menepi dan bergabung dengan kerumunan prajurit Sriwijaya. Tinggal Balin dan Sadnya berdiri berhadapan di tengah lingkaran. Keduanya ibarat ayam aduan menyabung nyawa di arena pertaruhan.

Dua pasang mata mereka saling menatap tajam. Saling memperhatikan gerak tubuh lawan.

"Balin! Namaku Sadnya!" ujar Sadnya memperkenalkan diri. Sesungging senyum tenang terbit dibibirnya. Dalam usia yang belum genap dua puluh tahun, kematangan mental Sadnya mampu mengimbangi percaya diri tinggi milik Balin.

"Hahaha...bagus! Jangan sampai aku membunuh lawan yang tak kuketahui namanya!"

Sadnya tersenyum. Ia menanti ucapan Balin selanjutnya.

"Cih...senapati ingusan! Kini bersiaplah pergi ke neraka!"

"Kau yang pergi ke neraka pengkhianat Sriwijaya!" jawab Sadnya garang.

Murka Balin mendengarnya. Tak pernah seumur hidup ia disebut pengkhianat. Apalagi oleh seorang senapati kemarin sore seperti Sadnya.

"Bocah tengik! Jangan sampai kau mati penasaran tercincang oleh Golok Melasa Kepappang ini!" amuk Balin sambil mengangkat Golok Melasa Kepala sejajar dengan kepala dan langsung menyerang Sadnya dengan buas.

"Ciaaaatt...! Mampus kau anjing kurap!"

Serangan pertama Balin mengarah ke dada Sadnya. Serangan Golok Melasa Kepappang menimbulkan pusaran angin berbau amis darah.

Melihat Balin menyerang, Sadnya bukannya mundur. Ia malah maju menyambut serangan Balin dengan gerakan aneh. Sebelum maju ke depan, Sadnya terlebih dahulu meletakkan kedua tangan sejajar dengan kaki. Sadnya membungkuk sedikit ke belakang. Badannya kemudian melenting ringan. Melompat garang seperti seekor harimau.

Ketika jarak antara Balin dan Sadnya tinggal dua depa, Balin menebaskan Golok Melasa Kepappang ke dada Sadnya. Tapi lagi-lagi Balin tak menduga apa yang dilakukan oleh Sadnya. Bukannya menangkis serangan Balin, tubuh Sadnya malah terangkat naik satu depa dari tinggi tubuh Balin. Ini dilakukan Sadnya bukan untuk menghindar. Tapi sebaliknya, untuk menyerang Balin! Serangan bertemu serangan!

Posisi Sadnya menguntungkan. Tubuhnya yang lebih tinggi dari Balin. Sadnya punya ruang untuk menyerang langsung kepala Balin.

Menyadari posisinya lebih lemah, Balin cepat menarik Golok Melasa Kepappang dan membangun pertahanan. Balin benar. Sedikit saja terlambat, maka isi kepalanya pasti buyar. Karena dengan cepat Sadnya menukik ke bawah sambil mengayunkan pedang ke kepala Balin.

"Trang...!" benturan antara Golok Melasa Kepappang dan pedang Sadnya memercikan bunga api. Saat benturan terjadi, Sadnya merasakan ada energi besar menarik ruhnya masuk ke dalam Golok Melasa Kepappang. Sadnya kaget setengah mati. Walau bisa melepaskan diri dari bekapan ruh misterius, tapi ia kehilangan banyak tenaga.

Setelah berhasil mengatur nafas yang tersengal, Sadnya tersadar kalau pedangnya patah karena benturan dengan Golok Melasa Kepappang.

"Pusaka macam apa Golok Melasa Kepappang itu? Pantas saja tenaga Senapati Utama Buntala tersedot habis," ujar Sadnya dalam hati. Keringat dingin membasahi keningnya.

Hal serupa juga terjadi pada Balin. Ia tak menduga, jika senapati yang dianggap ingusan itu hampir membuatnya jadi pecundang. Seumur hidup Balin, baru kali ini menghadapi lawan dengan jurus yang aneh. Gerakan Sadnya dari awal ketika menyelamatkan Buntala, begitu sukar diduga.

Pertarungan terus terjadi. Sadnya dan Balin telah melewatkan puluhan jurus. Keduanya mulai kelelahan. Yang mengherankan, kondisi Sadnya tidak seperti Buntala yang dengan cepat kehabisan tenaga. Sadnya masih terlihat lumayan bugar. Keadaan Sadnya itu membuat Balin bingung. Sebelumnya, tak seorangpun mampu bertahan dalam keadaan bugar menghadapi Balin dan Golok Melasa Kepappang.

Pada suatu kesempatan, Balin sedikit lengah. Sadnya berhasil menyayat dada Balin dengan ujung pedangnya. Sementara Balin belum seujung ramputpun menyentuh Sadnya. Balin menyeringai marah.

"Bangsat kau anak ingusan!" umpat Balin. Seluruh tubuhnya bergetar. Ia merasa dipermalukan. Tak hanya kulit Balit yang terluka, harga dirinyapun telah tersayat oleh Sadnya. Balin benar-benar murka.

Balin tak sadar, inilah yang ditunggu Sadnya. Hanya dengan kemarahan dan emosi yang tak terkontrol Balin bisa ditumpas. Setelah berhasil membobol pertahanan Balin tadi, ia jadi tahu seberapa jauh kemampuan bertarung dan kelemahan Balin.

Balin menyiapkan kuda-kuda untuk menyerang kembali. Sambil meludah, ia mengangkat Golok Melasa Kepappang di tangan menyilang dada.

Tiba-tiba, terdengar lengkingan keras Balin. Ia kembali menyerang.

"Ciaaaatt....! Mampus kau!" Balin melompat tinggi dan kembali menyerang Sadnya. Kali ini gerakannya lebih lugas dan melayang seperti burung. Ia yakin, Sadnya tak mungkin lolos dari serangannya.

Jarak antara Balin dan Sadnya tinggal sedepa. Bagi Balin, sesaat lagi ia merasa akan menyudahi pertarungan ini. Sebelum Golok Melasa Kepappang membelah tubuh Sadnya, Balin kembali berteriak.

"Pergi ke neraka kau anak Anjing!" pekik Balin sambil mengayunkan Golok Melasa Kepappang ke arah kepala Sadnya. Melihat itu, Sadnya begitu terkejut. Dia sadar bahwa andai Golok Melasa Kepappang mengenai kepala Sadnya, maka kepalanya bisa terbelah dalam sekejap!

Catatan:

[1] Nama Mukha Upang disebut dalam dalam prasasti Kedukan Bukit yang merupakan salah satu prasasti peninggalan Kedatuan Sriwijaya. Daerah itu kemungkinan sama dengan daerah sekitar Sungai Upang, salah satu anak Sungai Musi pada masa kini.

[2] Minanga Tamwan merupakan pusat Kedatuan Melayu yang telah ada pada tahun 645 M.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Ken Matahari
Kalo kata Sukarno, go to hell with your aid ...
goodnovel comment avatar
kailani gech
artinya melasa kepappang apa ya? bahasa sumatra kah?
goodnovel comment avatar
Fahmi
Pergi keneraka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status