Beribu depa dari pos penjagaan pasukan Sriwijaya yang telah luluh lantak, terjadi kesibukan luar biasa di pos penjagaan pasukan Sriwijaya kedua.Pos penjagaan dua ini lebih dikenal oleh penduduk di sekitar dan para pedagang yang sering melintasinya dengan nama Delta Kematian.Wujud Delta Kematian adalah sebuah daratan di tengah sungai yang terbentuk akibat pengendapan lumpur tanah yang terbawa dari hulu Sungai Komering. Hingga saat ini, tak ada yang tahu pasti sejak kapan terbentuk dan berapa usia Delta Kematian.Daratan setinggi sepuluh meter dengan lebar lima belas meter dan panjang seratus lima puluh meter itu dulunya adalah markas sebuah puak begal sungai Budak Rimba.Sebelum dihabisi oleh prajurit Sriwijaya, puak begal sungai Budak Rimba dikenal kejam dan mematikan. Setiap kapal dagang yang menuju Danau Ranau di hulu atau sebaliknya, harus melewati jalur kekuasaan Puak Budak Rimba ini. Dengan begitu, bagi pedagang yang tetap nekat dapat dikatakan hanya menyetor nyawa saja.Puak B
Lima prajurit Sriwijaya yang diutus oleh Mekhanai telah menaiki dataran Delta Kematian. Wajah kelimanya pucat pasi. Bagi mereka berlima seperti tak ada kata istirahat. Begitu sampai di dataran Delta Kematian, Senapati Madya Abinawa langsung menemui mereka di bawah salah satu pokok pohon loa."Bagaimana keadaan kalian prajurit?" tanya Senapati Madya Abinawa pada mereka berlima."Amba Senapati. Kondisi Amba dan teman-teman baik saja Senapati...," jawab salah seorang prajurit yang merupakan pimpinan kelimanya.Abinawa dengan hati-hati menanyai mereka lagi."Siapa yang mengutus kalian berlima kemari? Lalu kenapa wajah kalian begitu pucat?"Kelimanya tak langsung menjawab pertanyaan Abinawa. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Baru kemudian, pimpinan mereka menjawab."Amba Senapati. Kami berlima diutus oleh komandan pos penjagaan pertama, Mekhanai.""Aku mengerti! Katakan apa yang terjadi di pos penjagaan pertama?""Pos penjagaan pertama hancur Senapati!" jawab prajurit itu sambil m
"Biarkan aku masuk! Aku bawa pesan penting dari Mekhanai dan Senapati Madya Abinawa!" teriak dua orang prajurit utusan Senapati Madya Abinawa di depan gapura istana Kedatuan Sriwijaya.Langkah keduanya dihadang oleh beberapa orang prajurit jaga.Salah seorang prajurit yang merupakan komandan regu, maju ke depan dua prajurit dari pos penjagaan pertama. Dengan tegas ia tak memberi izin."Maafkan aku tak bisa memberimu jalan! Aku hanya menjalankan perintah! Saat ini Kutaraja Minanga Tamwan dan istana Sriwijaya dalam kondisi darurat! Kami siaga penuh dan tak bisa sembarangan memasukkan siapapun ke istana tanpa izin Pangeran Indrawarman!"Penolakan itu cepat direspon oleh dua prajurit utusan Senapati Madya Abinawa."Kalau begitu, kuminta segera temui Pangeran Indrawarman! Tolong sampaikan pada Pangeran Indrawarman, aku Jali, prajurit utusan Mekhanai dan Senapati Madya Abinawa dari pos penjagaan! Ada pesan yang harus disampaikan langsung pada Beliau!""Kalau itu kepentingan kalian, tunggula
Angin pagi bertiup semilir. Suasana tenang meliputi pos penjagaan pertama yang sehari sebelumnya luluh lantak. Di lokasi tak terlihat lagi mayat-mayat pasukan Sriwijaya. Yang tersisa hanya puing-puing bekas gubuk jaga yang gosong terbakar.Setelah berhasil membumihanguskan pos penjagaan pertama, Rajaputra Aruna memutuskan beristirahat semalam di bekas pos penjagaan pertama tersebut.Keputusan Rajaputra Aruna dipengaruhi kemenangan yang baru saja ia dapatkan. Kemenangan atas pos penjagaan pertama pasukan Sriwijaya otomatis menaikkan moral tempur Rajaputra Aruna dan pasukannya.Pagi itu, senyum Rajaputra Aruna terkembang lebar. Betapa tidak, kemenangannya dilengkapi dengan puluhan perahu yang berhasil dirampas dari pasukan Sriwijaya. Belum lagi kedatangan pasukan gelombang terakhir yang dipimpin Senapati Madya Sarpa kemarin sore juga makin menggenapi kebahagiaannya.Kedatangan Sarpa dan ribuan prajurit yang terpaksa menempuh perjalanan darat karena ulah Tandrun Luah yang berhasil membak
Puluhan perahu bermuatan ribuan prajurit Rajaputra Aruna siang itu melaju dengan kecepatan sedang. Di perahu paling depan, Pendekar Pisau Terbang tampak berdiri dengan gagah. Susul menyusul di belakangnya adalah perahu yang dinaiki oleh Rajaputra Aruna, Datuk Lepu, Senapati Madya, Sarpa, Kacung, dan lainnya."Gonnnnggg...! Gonnnggg...!" bunyi canang yang ditabuh keras berulang kali terdengar sampai ke ujung rawa-rawa.Rajaputra Aruna memang memerintahkan pasukannya untuk memukul canang keras-keras. Tujuannya adalah untuk menggetarkan lawan. Sembari menyatakan dalam bahasa lain bahwa merekalah pemenang pertempuran di pos penjagaan pertama.Rasa percaya diri tinggi dan moral pasukan yang yang terdongkrak akibat kemenangan di pertempuran sebelumnya, menyebabkan Rajaputra Aruna memutuskan menyerang Delta Kematian di siang hari.Keputusan Rajaputra Aruna juga berkait erat dengan racun yang digunakan Datuk Lepu.Efek yang ditimbulkan racun Datuk Lepu memiliki efektivitas berbeda-beda. Terga
Dua batu besar yang barusan menimpa kerumunan pasukan Rajaputra Aruna menimbulkan kerugian besar. Lima perahu pasukan Rajaputra Aruna langsung tumpas dan tenggelam bersama penumpangnya.Belum lagi Rajaputra Aruna dan Pisau Terbang sempat berpikir dan mengatur pasukan, lagi-lagi terdengar hantaman dua batu yang lain."Bummm..! Bummm..! Brak! Brak!"Lagi-lagi juga lima perahu dan ratusan prajurit jadi korban keganasan batu-batu besar pasukan Sriwijaya."Biadaaab...! Senjata macam apa ini?" Rajaputra Aruna marah dan bingung jadi satu. Seumur hidup, baru sekarang ia melihat batu-batu sebesar kepala kerbau bisa terbang terlontar seperti anak panah.Kerusakan yang ditimbulkan peluru batu manjanik terhadap pasukan Raputra Aruna sangat besar. Belum sampai setengah perjalanan dari mula-mula mereka diserang dengan hujan anak panah, sudah separuh lebih perahu pasukan Rajaputra Aruna tumpas. Celakanya, perahu-perahu itu tumpas bersama ratusan pasukan yang menaikinya. Ratusan prajurit lain yang ma
Siang mulai bergeser sore. Sinar matahari sudah bergeser tiga perempat ke arah barat. Sesekali masih terdengar nyaring suara burung elang yang berputar-putar di atas Kutaraja Minanga Tamwan.Saat itu suasana Kutara Minanga Tamwan hari itu mendadak sunyi.Jalan-jalan poros Minanga Tamwan yang biasa dipenuhi oleh pejalan kaki baik mereka yang berprofesi sebagai petani, pedagang, pegawai kerajaan atau mereka yang sekedar bersantai, kini sama sekali tampak. Yang ada hanya regu-regu prajurit Sriwijaya dalam kondisi siap tempur.Begitu juga dengan kedai-kedai minuman yang biasa ramai dikunjungi para lelaki. Kedai-kedai tersebut sejak pagi telah menutup pintu rapat-rapat. Suasana mencekam menguasai Kutaraja Minanga Tamwan.Tak jauh dari istana Sriwijaya, puluhan perahu yang datang dari hilir terlihat menepi di dermaga pelabuhan Sungai Komering. Dari lambungnya perahu-perahu itu menurunkan ratusan prajurit. Seorang senapati madya memimpin mereka. Ia terlihat menggenggam sebuah golok besar. M
Pagi yang cerah. Embun belum lagi kering. Ratusan burung rangkong terbang berpasang-pasangan. Sayap-sayap gagah mereka terbang membelah langit Sriwijaya dari arah timur menuju barat. Kaok mereka membahana, mendominasi ruang udara Kutaraja Minanga Tamwan yang senyap.Pagi itu, Kutaraja Minanga Tamwan sungguh-sungguh seperti kota mati yang ditinggalkan penghuninya.Sesuai dengan perintah Pangeran Indrawarman di pelabuhan Minanga Tamwan kemarin sore, pagi-pagi sekali Sadnya telah berada di beranda istana Minanga Tamwan.Wajah Sadnya keruh. Pikiran Sadnya masih terpukul oleh hilangnya golok melasa kepappang.Sambil berupaya menetralisir pikiran, Sadnya juga mesti bersabar sedikit menunggu Pangeran Indrawarman sedikit lama. Sebagai penganut Budha taat, Pangeran Indrawarman setiap pagi selalu melakukan puja di vihara istana.Letak vihara berada tepat di samping istana Sriwijaya. Pada kesempatan ini, Sadnya memperhatikan tempat peribadatan itu dengan seksama. Padahal ia sudah bertahun-tahun