Sebuah perahu sopek dengan ujung runcing melaju perlahan menyisir pantai timur Swarnadwipa yang tenang. Layar perahu berwarna putih masih terlihat tergulung ditiangnya. Cuaca masih begitu tenang. Belum ada ada yang berhembus. Dua orang pemuda yang menaikinya, dengan tenang mengayuh dayung sambil bersiul gembira."Pagi yang indah!" seru salah seorang dari mereka sambil menyiram air pada temannya."Sial kau Sarpa!" ujar pemuda yang disiram dengan jengkel. Ia lalu meletakkan dayung ditangannya dan balik menyiram temannya. Keduanya terus bermain air laut, bak bocah yang baru saja mendapatkan mainan baru.Dua orang pemuda itu ternyata Sarpa dan Kacung.Sarpa dengan gesit menghindari siraman air dari Kacung. Keduanya lantas tergelak bersama. Seolah telah bebas dari suatu beban besar."Kacung...! Hahaha...namamu kacung bukan? Seorang senapati muda Kedatuan Melayu yang harus rela berperan jadi 'kacung'! Pesuruh orang licik macam Rajaputra Aruna hahaha...!""Aih kau Sarpa...! Hahaha...sampai h
Pagi beranjak siang. Embun-embun mulai luruh satu persatu dari pucuk dedaun dan beranjak mengering. Suara binatang malam telah berganti suara burung Pipit yang terbang ringan dari dahan ke dahan perdu semak. Semua terjadi dibawah cahaya matahari yang pelan tapi pasti terus meninggi.Di pagi itu, suasana di Delta Kematian dan sekitarnya sangat mencekam. Keindahan pagi telah dirampas oleh pemandangan mengerikan. Di sana-sini terlihat mayat-mayat berserakan. Ratusan mayat prajurit Sriwijaya dan pemberontak terlihat mengambang di permukaan air Sungai Komering yang tenang. Banyak juga yang menyangkut di akar-akar pohon rengas atau pohon lain. Sebagian sudah hanyut terbawa oleh arus Sungai Komering.Suasana jadi makin mencekam, saat berekor-ekor buaya muncul pergi menyeret mayat-mayat untuk sarapan pagi. Silih berganti, di tengah air Sungai Komering yang telah berubah warna jadi coklat kemerahan karena darah.Di kejauhan, di salah satu cabang pohon loa besar, Rajaputra Aruna berdiri dengan
Siang yang terik. Sinar matahari bebas mencengkeram permukaan bumi. Cahayanya keperakan menimpa permukaan air laut yang warnanya mulai kecoklatan. Hujan di hulu sebuah muara sungai membawa berton-ton lumpur. Kerja alam membuat air di mulut muara sebuah sungai seperti dibatasi antara warna coklat dan biru. Itulah muara sungai Batanghari [1]. Sungai yang mengalirkan sejarah para raja-raja dari masa lampau hingga ke masa mendatang."Demi Sang Hyang Adi Budha! Batanghari Aditya! Hahaha...Maaaak! Baaaak! Aku pulaaaang...!"Ahaaai...kita hampir sampai Candra! Uuuh...alangkah rindunya aku dengan kampung halaman!"Candra dan Aditya bukan main girang telah sampai ke tempat yang akan mengantarkan mereka pulang ke kampung halaman. Bertahun-tahun mereka harus manahan rindu yang menggelegak.Sambil mengarahkan perahu layar agar tak tertabrak pokok-pokok kayu yang hanyut, Aditya juga Candra tak henti berucap syukur pada Sang Hyang Adi Buddha karena perjalanan mereka lancar dan tak menemui rintangan
Beberapa saat lamanya, suasana di Delta Kematian tenang dan sunyi. Sesekali hanya terdengar suara monyet, tupai, dan binatang lain. Mereka berlarian kesana kemari berburu makanan. Bagi mereka, seolah tak pernah terjadi pertempuran besar di Delta Kematian.Keheningan yang ditingkahi suara-suara alam itu dimanfaatkan Sadnya untuk mencari tahu asal suara perempuan yang memanggilnya tadi. Matanya menatap tajam ke tiap penjuru Delta Kematian. Berulang kali ia lakukan. Berulang kali juga ia tak menemukan yang dicari."Aneh," desis Sadnya penasaran. Disebelahnya, Rampog memperhatikan dengan heran perilaku Sadnya. Rampog kemudian memberanikan diri bertanya pada Sadnya."Pendekar, kulihat kau dari tadi gelisah. Kulihat juga matamu kesana kemari mencari sesuatu. Ada apakah gerangan?"Sadnya tak bereaksi. Ia terus melemparkan pandangan ke tempat jauh. Sesekali matanya membentur ke tempat Rajaputra Aruna berada."Pendekar! Kau dengar suaraku?" tanya Rampog kembali."Eh...iya Rampog. Kau bilang ap
Hari belum terlalu siang ketika Aditya dan Candra sampai di rumah Senapati Utama Kartikeya. Keduanya memutuskan untuk tidak langsung datang ke rumah senapati utama Kedatuan Melayu tersebut. Aditya serta Candra memilih mengintai dari jauh terlebih dahulu.Dari sebuah kedai tuak kecil di seberang rumah Kartikeya, keduanya mengintai. Pemiliknya adalah seorang lelaki paruh baya. Dari tempat mereka, bisa dilihat dengan jelas rumah besar milik Senapati Utama Kartikeya. Tampak jelas rumah itu seluruhnya terbuat dari kayu. Konstruksinya sengaja dibuat tinggi. Orang-orang lokal biasanya menyebutnya rumah panggung. Konstruksi tinggi dipilih supaya rumah panggung milik Kartikeya tersebut bisa beradaptasi dengan banjir Batanghari yang sewaktu-waktu bisa terjadi.Suasana kedai tuak yang masih sepi, memberikan keleluasaan pada Aditya dan Candra untuk memperhatikan keadaan rumah Kartikeya dengan teliti. Rumah besar berhalaman lebar tersebut tampak hening. Hanya tampak seorang tukang kebun yang beker
"Pendekar!" teriak Rampog sambil sigap menarik tangan Sadnya kuat. Keduanya lantas terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk. Mau tak mau tubuh Sadnya menimpa Rampog.Keduanya lekas bangun dan duduk bersisian."Pendekar, ada apa denganmu?"Sadnya yang belum sepenuhnya sadar, merespon panggilan Rampog seperti orang linglung. Ia menoleh ke arah Rampog sebentar. Lalu terhenyak. Kesadarannya kembali.Keringat dingin mengalir di tengkuk Sandya. Andai saja Rampog tak segera menariknya, ia tentu sudah tercebur ke dalam air sungai Komering. Ia juga tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya. Bisa saja puluhan buaya telah melumat tubuhnya.Sambil perlahan duduk bersila di lantai perahu, Sadnya mulai menenangkan diri. Beberapa saat lalu, kesadaran dirinya tak mampu ia kendalikan. Justru suara perempuan muda misterius yang berasal dari Rajaputra Aruna yang berhasil menguasai batinnya.Kelemahan Sadnya menjadi terkuak. Keringnya perasaan Sadnya menyebabkan hati Sadnya labil dan memp
Rombongan regu prajurit Sriwijaya telah sampai di muka kedai tuak Pak Cik. Mereka terdiri atas lima orang prajurit. Kelimanya berhenti persis di depan pintu masuk kedai. Menariknya, salah satu dari kelimanya adalah seorang perempuan. Jika dilihat dari tanda kepangkatan, ia bahkan memiliki pangkat tertinggi di antara keempat prajurit lainnya.Candra, Aditya, dan Pak Cik dengan malas langsung berdiri begitu kelima prajurit Sriwijaya tersebut turun dari kuda dan menuju pintu kedai. Dalam situasi dominasi militer Sriwijaya sekarang, tetap duduk sambil menenggak tuak akan dianggap sebagai sikap tak sopan. Bahkan bisa dianggap sebagai sikap melawan.Gadis muda berusia dua puluh tahunan itu lalu berjalan mendahului keempat rekannya. Dengan langkah tegap ia berjalan paling depan."Tara," desis Pak Cik nyaris tak terdengar. Aditya yang berdiri paling dekat dengan Pak Cik cepat mengarahkan pandangannya pada lelaki paruh baya tersebut."Siapa dia Pak Cik?" tanya Aditya."Aku tak bisa jelaskan se
Pilinan helai rambut Antu Banyu membumbung tinggi, lalu menukik cepat ke arah Sadnya. Juntaiannya mirip tentakel atau tangan-tangan gurita yang digunakan untuk memburu mangsa. Bedanya, jika tentakel gurita berjumlah delapan buah, sedangkan tentakel rambut Antu Banyu jumlahnya jauh lebih banyak.Dalam hitungan detik, puluhan tentakel rambut Antu Banyu berhasil mengurung Sadnya dari semua penjuru. Saking rapatnya, hampir tak ada celah bagi Sadnya untuk mengelak. Apalagi meloloskan diri.Sebelum benar-benar menerkam tubuh Sadnya, puluhan tentakel rambut Antu Banyu tersebut berhenti sejenak. Dalam jarak kira-kira dua depa, puluhan tentakel itu bergerak dinamis seperti menunggu komando.Sadnya yang baru kali ini menghadapi ilmu setan menghasut manusia dibuat keheranan. "Ilmu setan macam apa pula ini? Semua berubah dengan cepat. Tadi gadis muda dengan suara merdu. Kini, muncul iblis neraka dengan rambut mengerikan!"Baru saja Sadnya berujar dalam hati, tiba-tiba suasana kembali berganti. Se