Tiga pegunungan yang dikenal dengan sebutan Gunung Tiga Maut itu membangun sebuah lembah mematikan. Dari ketiga gunung tersebut mengalirlah dua sungai, yang pada akhirnya mengalir menjadi satu.
Dua sungai tersebut mengalir dari celah-celah Gunung Tiga Maut. Sungai yang mengalir dari celah selatan airnya sangat dingin. Sedang sungai yang mengalir dari celah barat airnya sedikit hangat. Dua sungai itulah yang disebut dengan Sungai Keabadian.
Tidak mudah untuk sampai pada Sungai Keabadian. Jebakan-jebakan yang berasal dari alam, atau jebakan-jebakan yang berasal dari manusia selalu menunggu setiap saat. Mengintai dari balik-balik semak. Jalan setapak pun tidak tampak sebab satu tahun sekali belum tentu ada manusia yang melaluinya.
Apakah tidak ada yang berminat? Bukan masalah minat atau tidak minat. Tapi mereka lebih dahulu gagal sebelum memasuki kawasan Gunung Tiga Maut yang sebenarnya. Jadilah jalan setapak tidak terbentuk.
Ketika matahari hampir tumbang, sinarnya yang kemerah-merahan meredup, berjalanlah seorang pemuda dengan pakaian serba hitam. Rambutnya tergerai angin tidak beraturan. Keringat membasahi tubuh.
Matanya berkunang-kunang, wajahnya menafan lelah. Hampir empat belas hari dia menaiki Gunung Tiga Maut, belum sampai juga pada lembahnya.
“Aku harus menguatkan tekat,” kata lelaki itu kepada dirinya sendiri.
Tangan pemuda itu meraih akar pohon yang melingkari batu besar, dia berusaha menaiki pegunungan yang terjal. Ah, ternya akar pohon itu tidak terlalu kuat untuk menahan dirinya. Akar itu lepas dari bebatuan.
Buk...
“Aduh...,” seru pemuda itu. Tubuhnya terjatuh menimpa bebatuan di bawah tebing.
Belum hilang rasa sakit yang dia rasa sebab menimpa bebatuan, dari arah atas terjun bebas sebuah batu seukuran kepala. Dengan sisa tenaga yang ada dan dengan menahan rasa sakit pemuda itu berusaha menghindar.
Bruk...
Meski dia cepat menghindar, tapi tangan kanannya tetap tertimpa batu seukuran kepala itu.
“Aduh..,” dia mengaduh untuk yang kedua kalinya.
“Pantas saja tidak banyak manusia yang berhasil sampai di puncak Gunung Tiga Maut. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja.”
Pemuda itu kembali bangkit, meraih akar-akar pohon yang melilit batu, menaiki tebing terjal. “Apakah tidak ada jalan yang lebih buruk dari ini?” kata pemuda itu kepada dirinya sendiri.
Tangan kanannya meraih akar yang melilit batu padas, sedang tangan kirinya meraih sebuah dahan pohoh seukuran kaki orang dewasa. Hampir saja dia kembali terjatuh sebab tangan kirinya yang ragu-ragu berpegangan.
“Syukurlah,” katanya pada diri sendiri. Kakinya berpijak pada batu padas. Keringat dingin kembali mengucur dari sekujur tubuhnya.
Masih butuh dua ratus meter lagi pendakian hingga akhirnya sampai di puncak Gunung Tiga Maut. Semakin ke atas, tebing semakin terjal. Bahkan semakin ke atas, akar-akar tumbuhan semakin hilang, menyisakan bebatuan padas berlubang kecil. Lereng juga semakin tegak. Lengah satu kali saja maka akan terjatuh. Entah apa yang menunggu di bawah sana.
Tinggi lereng keseluruhan hampir enam ratus meter. Dan sekarang, pemuda itu telah menaiki lereng hingga ketinggian empat ratus meter.
“Nah, syukurlah! Di atas sana ada terasering yang bisa aku gunakan untuk istirahat malam ini.” Matanya menatap cerah selapang tanah yang berukuran tiga meter lebih, di atas sana. Dia kembali semangat mengais dan mengais akar-akar tanaman. Beberapa kali ia terpaksa mengais batu yang menempel pada lereng gunung, sebab tidak ada akar terdekat yang bisa ia gunakan. Ia semakin dekat dengan tempat peristirahatan untuk malam ini.
Matahari telah sempurna hilang. Awan kemerah-merahan beranjak pergi digantikan awan hitam keabu-abuan. Pemuda itu belum kunjung sampai juga di terasing untuk bermalam.
Tangan kiri pemuda itu meraih sebuah akar yang melilit batu seukuran kepala. Tangan kanannya berusaha meraih akar pohon di atasnya. “Nah, semoga saja sampai.”
Tapi ternyata tidak semudah yang dia bayangkan. Ketika tangan kanannya satu senti dari akar pohon di atasnya, sebuah anak panah melesat menyasar tangan kanan pemuda tersebut. “Keparat. Apakah ada manusia di alam seperti ini?” Tangan kanan pemuda itu sekarang berpegangan pada akar yang sama dengan tangan kiri. Kakinya memijak batu seadanya.
Matanya memandang kiri-kanan, dari asal muasal anak panah. Tidak ada siapa-siapa. “Ah, paling itu adalah anak panah pemburu yang tengah membidik sembarangan.” batin dia.
Tangan kanannya kembali berusaha meraih akar pohon semula. Tapi ketika tangannya satu senti dari akar tersebut, tiba-tiba anak panah kembali menyasar, membidik tangannya.
Matanya menatap tajam asal anak panah. “Hai, siapa saja kau, keluarlah! Jangan jadi pengecut.” Pemuda itu berteriak marah.
Tidak ada jawaban. Lengang. Bahkan suara angin sekalipun tidak terdengar.
Dia harus segera naik. Satu, sebab akar pohon itu tidak mampu menahan tubuhnya lebih lama lagi. Dua, hari semakin gelap. Pendakian tebing ini tidak akan bisa berlanjut jika gelap menyelimuti. Alhasil, apapun akibatnya pemuda itu harus segera naik. Entah anak panah itu kembali datang atau tidak.
Perlahan tangan kanannya kembali meraih dahan pohon seukuran tangan orang dewasa. Sepertinya kali ini aman, tidak ada anak panah yang kembali menyasar tangannya. Tubuh pemuda itu kembali naik satu meter.
Kakinya berpijak pada dahan pohon yang sekiranya mampu menahan berat tubuhnya. Tangan kirinya meraih dahan yang tidak jauh dari kepalanya, berhasil.
Tangan kanannya kembali meraih batu yang setengah terkubur di lereng pegunungan, sedikit kesulitan, batu itu setengah besar. Tangan kirinya buru-buru meraih akar yang melilit batu, kakinya terangkat menopang tubuhnya untuk naik. Berhasil. Tubuhnya kembali naik satu meter.
Sampai beberapa saat akhirnya pemuda itu berhasil naik sampai tanah terasering. Wajahnya tersenyum bangga. “Ah, tidak akan ada yang bisa menghalangiku lagi.”
Salah, ternyata pemuda itu sangat salah. Sebuah anak panah kembali melesat, menyasar tangan kanannya.
Wush...
Syukurlah, setidaknya telinganya masih bisa mendengar desingan anak panah itu. Dengan sigap tangannya bergerak naik. Anak panah itu mengenai sebuah dahan pohon menancap di sana. Belum sempat tangannya turun, sebuah anak panah kembali mendesing menyasar lehernya.
Wush...
Kali ini dia terpaksa mengayunkan tubuhnya ke belakang, meliuk seperti karet terbakar panasnya api. Itu semua belum selesai. Dua anak panah kembali mendesing bersamaan, menyasar kaki dan kepalanya. Ah, kali ini pemuda itu terbang ke atas. Tubuhnya salto bebas.
Belum sampai tubuhnya menyentuh tanah, tiba-tiba belasan batu seukuran kepalan tangan beterbangan menyerang dirinya. Nyiur angin dingin bertiup. Dengan susah payah pemuda itu menghindar. Sesekali dia harus menggunakan ajian peringan tubuh, meski itu sangat menguras energinya.
Wush...
Sebuah anak panah kembali menyasar perutnya. Dengan mudah pemuda itu bisa menghindar.
Dari arah tidak begitu jauh, dari bawah sebuah pohon beringin, terdengar suara tepuk tangan beberapa kali. Plok... plok... plok... terdengar berjeda dua detik dari masing-masing tepukan.
“Hai, Pemuda! Sepertinya kemampuan pendengaranmu sedikit bisa membantu.” Suara itu terdengar kabur oleh suara angin.
Mata pemuda itu memandang asal suara. Dia menemukan sebuah sosok tinggi hitam, mata orang yang berkata itu berpendar-pendar kekuningan.
Pemuda itu berkata, “Siapa kau berani-beraninya menyerangku...?”
Belum selesai dia berbicara, sebuah anak panah kembali menyassarnya.
Wush...
Tepat mengenai perutnya. Pemuda itu tidak bisa menghindar sama sekali. Tubuhnya terkulai jatuh. Tidak sadarkan diri.
Matanya mengerjap-ngerjap, hampir tiga jam pemuda itu tidak sadarkan diri. Rembulan tampak mengulurkan sinar kekuningannya dari celah-celah daun beringin. Hewan malam bernyanyi, terdengar menggema ke segala arah. “Uhuk... uhuk...” Pemuda itu terbatuk. Dia teringat bahwa beberapa waktu lalu ada yang menyerangnya. Anak panah. Pemuda itu ingat bahwa anak panah terakhir tepat mengenai perutnya. Tangannya meraba-raba perut yang terkena anak panah. Aneh, tidak ada bekas luka. Namun, rasa nyeri masih sedikit terasa. “Akhirnya kau bangun juga, Anak muda!” Terdengar suara berat dari pohon beringin besar itu. Sosoknya keluar beberapa saat selanjutnya. “Kau sudah terlalu lama mengotori tempat suciku.” Mata pemuda itu menyelidik. Siapa gerangan pemilik suara berat itu? “Siapa namamu? Dan apa tujuan burukmu?” orang itu kembali berkata. Suaranya berat dan dalam. “Setinggi apa derajatmu sehingga kau berani bertanya nama dan tujuanku?” tanya pemuda it
Lereng itu tengah diselimuti kabut. Sayup-sayup cahaya matahari pagi menerobos dedaunan. Daun pohon beringin itu hampir menyentuh tanah. Dari bawah sana terdengar kokokan ayam. Tentunya itu adalah ayam hutan. “Uhuk... uhuk...” Danu baru saja terbangun dari tidurnya. Tidur? Ah, entahlah, pingsan atau tidur. Seingatnya tadi malam dia bertarung hebat dengan Rangkasa, sosok tua yang sepertinya menghuni terasering lereng itu. Lalu Rangkasa mengeluarkan jurus hebat, memukul angin, lebih memukul dengan angin. Tubuhnya terangkat oleh angin pukulan Rangkasa. Lalu, terjun bebas. Kemudian... “Ah, kenapa aku berada di tempat keparat ini lagi?” Danu tersadar dari lamunannya. Dia baru sadar bahwa dia sekarang kembali berada di sebuah lereng terasering, dengan pohon beringin yang daunnya hampir menyentuh tanah. Matanya memandang sekeliling, tidak ada orang. “Ke mana Rangkasa keparat itu pergi?” kata Danu melampiaskan geramnya. Dia berusaha bang
“Selamat datang di Lereng Agung ini!” kata Rangkasa menyambut sosok itu.“Tidak usah banyak cakap, keparat! Cepat kau berikan apa yang seharusnya menjadi hak seorang Narga.” Matanya memelotot. Giginya bergemerutuk. Rahangnya mengatup keras-keras. Sepertinya sosok yang menamakan diri dengan Narga itu tengah marah.“Apa yang kau bicarakan, Narga? Apakah kau tetap mengaku-ngaku seperti belasan tahun lalu? Apakah kau belum sadar bahwa tidak ada yang berhak atas benda itu?” Rangkasa mengibas-ngibaskan jubahnya.Danu yang mendengarkan dari bawah pohon beringin belum mengetahui arah pembicaraan. Ia hanya mendengarkan dengan sesekali duduk, berdiri, kemudian duduk kembali. Sampai akhirnya sesuatu yang tidak diduganya terjadi.“Oh, ternyata belasan tahun aku meninggalkan tempat ini, kau sudah mempunyai seorang murid, Rangkasa?” kata Narga, tangannya menunjuk Danu. Sontak Danu bertambah bingung.“Lalu sek
Akhirnya Danu mencari sebuah tempat yang tepat untuk bermalam. Entah kenapa setelah berpindah tempat dan waktu matanya menjadi mengantuk. Danu berjalan menuju sebuah pohon besar di tepian jalan setapak. Ia akan tidur di atas dahan pohon besar itu. Suasana hening. Langkah kaki Danu yang menginjak dedaunan terdengar begitu keras. Sesekali kakinya menginjak ranting-ranting kering yang berserakan di bawah setiap pohon. Hutan ini sepertinya jarang dijamah manusia. Alami. Danu memanjat pohon besar. Mudah saja bagi manusia yang telah mencapai empat ratus meter lereng Gunung Tiga Maut untuk memanjat pohon besar itu. Ditambah lagi dengan kemampuan untuk meringankan tubuh yang Danu miliki, itu akan sangat-sangat mudah. Beberapa saat kemudian Danu telah berada di atas sebuah dahan pohon. Dahan itu besar, lebih dari cukup untuk membaringkan diri dan menjaga keseimbangan. Samar-samar bintang-gemintang tampak dari celah dedaunan. Sinarnya terang, namun tidak cukup untuk me
“Siapa namamu?” tanya orang tua itu tanpa basi-basi.“Danu Amarta,” jawab Danu.“Dari mana kamu berasal?” tanya orang tua itu lagi.“Aku berasal dari Prambon,” jawab Danu.“Prambon?” kata orang tua itu dengan nada bertanya. Apakah ada yang salah dengan Prambon?“Apakah ada yang salah dengan Prambon, Tuan?” tanya Danu. Ia berusaha bersikap sopan.“Ah, jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku bapak atau apalah. Tidak ada yang salah dengan Prambon. Tapi, bukankah itu adalah sebuah nama kota yang jauh? Ada perlu apa sampai-sampai kamu berada di desa Macanan?”“Sebenarnya aku juga bingung, Bapak!” Danu memanggil orang tua itu setengah canggung.“Maksudnya?” tanya orang tua itu.Danu ragu-ragu untuk menceritakan apa yang dia alami beberapa hari lalu, atau bahkan tadi malam. Dia belum mengenal orang tua ini,
Beberapa saat menunggu, akhirnya Diana keluar membawa sebuah nampan besar. Ada beberapa piring dari anyaman akar di sana, beberapa lembar daun yang nantinya digunakan untuk alas makan. Dua kali Diana membawa nampan untuk menghidangkan sarapan.“Nah, Diana, kau temani Danu sarapan!” kata Abimana.“Kenapa tidak bapak saja?” tanya Diana. Sebal.“Tadi pagi-pagi bapak sudah makan di warung.” Tanpa banyak cakap lagi Abimana melangkah meninggalkan mereka berdua. Suasana menjadi canggung.“Makan!” perintah Diana.“Eh, bapak kamu tidak jahat,” kata Danu mencoba mencari bahan pembicaraan.“Siapa yang mengatakan bapakku jahat?” tanya Diana ketus. Tangannya memegang salah satu piring yang sudah dilapisi dengan daun jati. “Ini!” tangan Diana menyodorkan piring yang sudah terisi dengan nasi dan lauknya.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” kata Danu. Tangann
Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”“Kalau boleh tahu apakah dua hal
“Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri. “Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya. “Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali. “Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali. Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa. “Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu. “Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?