Tangan kanan Danu mengirimkan pukulan namun dengan mudah Karim menepisnya. Hampir dua belas kali Danu mengirimkan pukulan, dua belas kali tendangan dengan tenaga penuh, sebanyak itu pula Karim menangkisnya. Permata tidak kalah cekatan, dia telah mengirimkan belasan tendangan dan pukulan kuatnya, nihil, tidak ada yang mengenai sasaran.
Karim memasang busur panah itu di pundaknya, tanpa merasa bersalah ia tertawa keras-keras, “Hahaha! Kalian bukan lawanku!”
Danu bertambah geram, ini bukanlah soal harga diri, tepi lebih dari itu. Ini adalah tentang amanah yang Danu emban dari Rangkasa, menjaga tempat Serat Agung sekarang tengah berada.
Tangan mengepal, rahang mengatup kuat, Danu konsentrasi penuh. Permata tidak pernah melihat Danu seperti itu, matanya terpejam dengan sendirinya menyaksikan kengerian itu. “Hati-hati, Danu!” ujar Permata, Danu bergeming.
“Haa....” Pukulan Danu mengarah pada wajah Karim.
Bug...
“Baiklah, selamat jalan dan sekali lagi maafkan kami!” kata Rosan sebagai penghantar perpisahan dengan Danu juga Permata.Kali ini Karim dengan hati yang tulus meminta maaf, “Danu, Permata, maafkan aku yang telah membuat kalian marah!”Danu tersenyum, Permata mengangguk beberapa kali. Danu berkata, “Tidak ada yang salah, itu hanya ketidaksengajaan kecil yang terlalu kau besar-besarkan!”“Terima kasih. Kalian berdua adalah ksatria terbaik yang pernah aku kenal dalam perjalananku!” Karim memuji.“Begitu pula dengan kalian!” Permata melihat Karim dan Rosan bergantian. “Kalian adalah dua putra raja yang akan mempersatukan dunia!”Rosan menyambutnya dengan tawa, Karim tersenyum malu dikatakan sebagai putra raja terbaik.“Tidak banyak putra raja yang bersedia untuk melakukan tugas berat seperti kalian!” ujar Danu, kagum dan takjub dengan kepribadian mereka.
“Siap?” tanya Rosan setengah berteriak.“SIAP!” Bertiga serempak membalas sebagai jawaban.Empat batu meluncur sekaligus, batu itu lebih besar dari kepala orang dewasa. Debu mengepul mengiringinya, batu itu meluncur cepat sekali menuruni lereng perbukitan.Bum...Bluk...Suara batu beradu dengan dinding bukit yang sebagian besar permukaannya juga berupa batu. Batu-batu itu adalah bebatuan yang dikirimkan oleh burung ababil pada kisah di kejauhan.Empat batu mengenai kepala para prajurit di bawah sana. Mereka terjatuh dari kuda, jatuh ke bawah, kemudian nasibnya tidak ada yang mengetahui, apakah mati atau masih hidup. Empat batu lagi mereka luncurkan, tanpa mengenal kasihan batu itu mengenai empat orang lagi, jatuh ke bawah dan membawa beberapa temannya karena terbentur. Kuda-kuda mereka ketakutan. Empat batu lagi meluncur dari atas dengan kekuatan penuh.Bum...Blur..Blar...Tapi itu semua
“Kita harus segera melakukan sesuatu, Rosan!” ujar Karim, dia benar-benar tidak bisa konsentrasi untuk menghadapi para prajurit di depan sana, para prajurit yang bersembunyi di balik bukit juga bebatuan besar.“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Karim. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menunggu para pasukan bangsat itu kehabisan anak panah dan kita bertarung jarak dekat!” sahut Rosan, matanya tidak lepas dari pandangan yang mengarah tajam ke depan, ia sama sekali tidak kehilangan konsentrasi entah bagaimanapun keadaannya.Karim tidak sependapat dengan kakaknya. “Kita tidak bisa hanya menunggu, Rosan. Siapa yang melangkah lebih cepat maka akan sampai terlebih dahulu!”“Percuma berjalan lebih dahulu dan cepat,” Rosan memandang Karim sekejap, lalu kembali menatap ke depan, “jika langkah kita salah!” lanjutnya.Gelengan kepala kecewa dari Karim terdengar, ia benar-benar berbeda sifat dengan Ro
Nasib manusia memang tidak ada yang tahu. Tapi, manusia harus percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia tetaplah dengan sebuah tujuan. Tidak akan ada manusia yang mengetahui nasib, sekali pun dia adalah seseorang yang bisa menebaknya, ia hanya bisa menebak tapi tidak bisa memastikan. Namun di antara itu semua ada sebuah hal yang bisa manusia pastikan, bahwa kebenaran akan selalu menang bagaimana pun caranya. Jika tidak menang di dalam dunia, maka ia akan menang di hari kebangkitan kelak.Wajah Danu pucat sekali, namun ia masih bisa bertahan dan memberikan perlawanan bersama tiga orang temannya. Permata benar-benar khawatir, tapi ia tahu diri juga tidak bisa berbuat banyak untuk membantu, para prajurit telah mengepung gua dari depan, mereka benar-benar terkurung di dalamnya. Sesekali mereka menarik busur dan meluncurkan anak panah, dan empat orang itu mati-matian menghindar.“Jika harus mati di sini, maka aku sangat bersyukur sekali bisa mengenal kalian berdua!&rdqu
Tuk... tuk... tuk... Terdengar suara tumbukan menggema di seisi ruangan gua. Itu adalah suara Permata yang menumbuk dedaunan menggunakan batu sebagai ramuan untuk luka Danu. Wajah Danu pucat dan semakin pucat, sepertinya itu bukan saja akibat dari luka diperutnya, tapi ada luka lain yang Danu sembunyikan dari Permata. Permata membubuhkan tumbukan itu pada perut Danu yang mengalami luka, sedikit gugup Permata melakukannya. Ini adalah kali kedua Permata menyentuh langsung perut Danu dan yang pertama adalah beberapa hari lalu, ketika Danu baru terluka. Danu sendiri berusaha menahan geli yang ia rasakan, sebab tangan lembut Permata menyentuhnya dengan halus. Danu pandangi mata Permata yang begitu serius memandang lukanya, tangannya cekatan bak seorang ibu yang tak ingin anaknya menangis. “Semoga cepat sembuh, Danu!” kata Permata sembari mengipasi luka Danu dengan daun jati yang sudah mengering, warnanya coklat tua. “Semoga saja!” sahut Danu, ia meringis b
“Danu, ayolah aku inginkanmu malam ini!” Permata merajut, wajahnya dibuat semenawan mungkin.“Tidak, Permata! Aku tidak berani melakukannya!” sahut Danu, ia berusaha memalingkan wajah.Namun Permata tidak membiarkan Danu lepas begitu saja, ia menghadkan kembali wajah Danu padanya. Permata benar-benar kehilangan kendali dalam dirinya, dia menginginkan Danu malam ini.“Aku takut jika kamu akan hamil, Permata!” Danu menjelaskan apa yang membuat dirinya tidak berani.“Tidak akan. Aku akan membuat ramuan yang bisa membuat aku tidak hamil!” jelas Permata.“Tidak, Permata! Itu adalah sebuah perbuatan gila dan akan membahayakan dirimu!” terang Danu.Beberapa saat diam, Permata kembali merayu dan meremas-remas telapak tangan Danu, mengelus-elusnya.“Danu, aku sungguh tidak tahan lagi!” Permata merayu, matanya menyipit, mulutnya dibulatkan agar Danu tergoda.“G
“Sepertinya aku sudah bisa melanjutkan perjalanan sendiri, Permata!” kata Danu dengan begitu semangatnya.“Syukurlah. Tapi aku rasa apa tidak lebih baik kau hanya duduk di belakangku?” Mata Permata menyelidik.“Aku rasa aku sudah lebih dari sehat untuk mengendarai kuda sendiri!” sahut Danu, ia tidak ingin lagi Permata mengkhawatirkannya, ia berlari-lari kecil sebagai bukti kepada Permata bahwa ia benar-benar sudah sehat.“Baiklah, kalau begitu sekarang kita berangkat!” ajak Permata, dia naik kuda terlebih dahulu.Dua kuda itu masih sangat sehat, lebih dari cukup untuk perjalanan selama satu bulan lebih, kuda mereka adalah kuda yang memang biasa digunakan untuk berkelana dan bertempur.Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan, kini memasuki wilayah hutan yang sepertinya jarang sekali diambah manusia. Iya, hutan itu adalah sebuah hutan yang hanya digunakan untuk menyimpan dan menghasilkan oksigen, m
Sekarang hewan itu jumlahnya tidak kurang dari seratus ekor, semakin bertambah dan semakin bertambah lagi. Bagaimana pun sekarang walaupun hewan itu tidak terlalu kuat, namun jika jumlah mereka begitu banyak, maka manusia bukanlah tandingannya. Sekarang tidak ada jalan lagi untuk Danu dan Permata untuk berlari, hewan mirip monyet itu telah mengepung mereka dengan membentuk sebuah lingkaran mengepung. “Ini akan menjadi cerita terbaru kita, Permata!” Danu berusaha menyikapinya dengan tenang. Permata juga berusaha untuk tetap mengeluarkan senyumnya. Hewan -hewan itu memegang anak panah dari kayu bakar, setiap ekor memegangnya erat-erat menunggu kesempatan terbaik untuk melepasnya. Danu mengamati cara hewan itu melemparkan kayunya. Pertama-tama tangan mereka ditarik ke belakang, sedang tangan yang tidak memegang apa-apa diayunkan santai. Kaki mereka membentuk sebuah sudut yang tidak terlalu besar, namun tidak terlalu sempit, semua itu Danu amati dengan baik, menc