Ternyata benda kuning emas itu adalah sekumpulan jarum beracun milik Lancang Puri. Rupanya Lancang Puri mendengar suara orang berlari dan ia mengikutinya sampai tempat tersebut. Jarum beracun ganas yang mematikan itu tak bisa dihindari lagi oleh Harimau Jantan. Tubuhnya mengejang dan dalam sekejap ia telah tumbang menjadi hangus seperti nasib kedua pendeta kakak-beradik itu. Semua pakaian dan goloknya juga ikut terbakar. Tetapi Kitab Lorong Waktu tetap utuh tanpa bekas hangus sedikit pun. Melihat Harimau Jantan mati hangus, Angin Betina segera menerjang mayat itu sebelum rubuh.
Wuuutt...!
Bresss...! Mayat itu terpental dan Kitab Lorong Waktu sudah berada di tangan Angin Betina.
Lancang Puri berang. "Jahanam! Serahkan kitab itu!" teriaknya keras-keras.
Angin Betina hanya memandang dengan mata galaknya tapi dengan senyum kemenangan. Sementara itu kitab diselipkan di sabuk hitam yang melilit pada pinggangnya. Pedang masih bersarung tetap digenggam di tangan
"Kurang ajar! Uuh... celaka kalau begini!" gumamnya penuh gerutu.Pande Bungkus memandang penuh heran kepada Gembong Alas yang clingak-clinguk dengan pantat songgeng ke belakang. Bahkan tiba-tiba ia berlari melesat menuruni tanggul, mencari tempat yang enak untuk buang air besar."Kenapa dia tadi, Kang?""Mules!" jawab Baraka. "Sebaiknya tinggalkan dia sekarang juga!""Aku tak tahu harus pergi ke mana, Kang. Rumahku kebanjiran, hanyut sampai atap-atapnya segala, Kang. Hmmm... bagaimana kalau aku ikut kau saja, Kang?""Ke mana arah pergiku belum tentu sama dengan arahmu.""Ke mana saja aku ikutlah! Ibuku sudah tiada, ayahku juga sudah tiada. Aku tidak punya kakak tak punya adik. Rumah pun sekarang sudah tak punya. Jadi ke mana saja aku pergi tak ada yang melarang, tak ada yang kupikirkan lagi!""Terserah kau kalau mau ikut aku!" Baraka segera bergegas pergi dengan berjalan kaki menyusuri tepian tanggul. Pande Bungkus mengikutinya Semen
Rasa penasaran Baraka akhirnya dinyatakan dalam bentuk pertanyaan, "Apakah kau adik kakek itu tadi?"Anak muda itu gelengkan kepala. "Aku tidak punya kakak hantu, Kang.""Hantu...?""Kakek tua itu tadi pasti hantu. Buktinya dia bisa berubah jadi asap dan lenyap begitu saja!" katanya dengan wajah masih menegang."Tidak. Dia bukan hantu. Dia orang berilmu tinggl," kata Baraka."ilmu apa itu tadi, Kang?""Itu namanya ilmu Lesu Diri""Hebat sekali?!" gumam anak muda itu. "Apa artinya ilmu Lesu Diri Itu?""Lesu Diri artinya Lenyap Susah Dicari!" sambil Baraka sunggingkan senyum geli karena ia memang asai jawab saja. Tapi anak muda itu menggumam sambil manggut-manggut seakan percaya betul dengan jawaban Baraka."Ooo... Lesu Diri...? Lenyap Susah.... Dicari? Aneh juga namanya.""Nama aneh karena kita baru mendengarnya. Kalau sudah sering mendengar menjadi tidak aneh iagi. Sama halnya dengan namaku; Baraka. Kalau orang ba
Pemuda itu bercelana hitam, mengenakan rompi merah dan berkalung ketapel. Ditaksir oleh Baraka, usianya sekitar delapan belas tahun. Masih sangat muda, tapi mempunyai wajah yang tampan. Bulu matanya lentik dan lebat untuk ukuran seorang pemuda. Hidungnya bangir, kulitnya coklat sawo matang. Rambutnya ikal bergelombang, agak panjang, diikat dengan kain putih. Ikat kepala itu hampir saja ikut terbawa hanyut. Untung masih sempat tersangkut di bawah telinga."Apakah dia selamat?" tegur sebuah suara yang mengejutkan Baraka, sebab suara itu datang dari belakangnya. Ketika Baraka palingkan wajah, ternyata kakek serba putih ituiah yang menegurnya.Baraka yang heran itu segera membatin, "Cepat sekali ia tiba di belakangku? Padahal jarak jembatan dengan tempat ini cukup jauh. Apakah dia terbang melintasi permukaan air sungai? Hmmm... tak salah dugaanku, dia pasti orang berilmu tinggi."Kemudian Baraka menjawab sapaan tadi, "Dia selamat, Kek. Cuma, napasnya masih terengah-
GEMURUH yang terdengar adalah suara curahan air sungai yang mengalir deras. Banjir datang dari kulon. Tiga hari lamanya hujan turun di wilayah barat tanpa henti, sehingga mendatangkan banjir yang melanda beberapa perkampungan penduduk. Ada pun air sungai dibagian utara yang berlimpah-limpah itu adalah banjir kiriman dari barat.Banjir bukan hanya mengirimkan air saja, tapi juga mengirimkan bangkai ternak yang hanyut disapu sang banjir. Selain bangkai ternak juga ada mayat manusia yang tak sempat tertolong oleh ganasnya sang banjir. Atap rumah juga terapung-apung ikut hanyut bersama meja, bangku, almari, bakul nasi, centongnya tidak kelihatan, lalu... tempayan juga Ikut hanyut ke muara. Tikar yang hanyut dalam keadaan robek sana-sini, ada juga keranjang tempat rumput, dipan tanpa kasur, celengan dan masih banyak barang-barang lain yang dihanyut-kan oieh sang banjir.Beberapa penduduk di perkampungan dekat muara menyambut meriah acara banjir itu, karena mereka dapat meng
Dewi Pedang segera berbisik dalam geram, "Biarkan aku melawannya!"“Jangan!” bisik Setan Bodong yang didengar oleh Dewi Pedang dan Sumbaruni. "Dia bukan Baraka. Tak ada tanda merah di dahinya."Dewi Pedang dan Sumbaruni segera berpaling menatap Setan Bodong. Tapi yang ditatap tak mau balas memandang melainkan menatap ke arah panggung.Terdengar suara sang Nyai, "Terpaksa hukuman ini kulaksanakan karena keras kepala dari guru-gurunya...! Pemancung...! Penggai dia!"“Aaaa...!" suara jerit bersahutan ketika kepala tawanan itu dipenggal putus oleh algojo bertubuh besar. Tangis meratap dan jerit kematian membaur membuat gaduh suasana setempat. Para gadis yang simpati dan menaruh hati diam-diam kepada Baraka tak mampu menahan tangis. Bahkan Embun Salju jatuh pingsan, entah karena memendam cinta atau karena kasihan, tak jelas artinya. Kirana jatuh tersimpuh bagai kehilangan tenaga. Delima Gusti terpelanting membentur pohon karena tubuhnya juga
Mata si Tudung Hitam masih menatap ke sana-sini tanpa menghiraukan panasnya matahari yang membuat tubuhnya berkeringat ditutup jubah hitam yang rapat sampai leher itu. Ia masih menyebutkan nama-nama para undangan."Kirana...? Oh, Kirana juga datang bersama Jongos Daki?! Lalu di sana juga ada Ki Darma Paksi dan Arum Kafan, Ki Jangkar Langit, Sumping Rengganis yang dulu dikutuk jadi serigaia itu, juga... Tabib Awan Putih, Ki Medang Wengi, Roro Manis, oh... rombongan Ratu Pekat juga datang? Ya, ampuuun... dia bersama Badai Kelabu, Tengkorak Terbang dan, ah... si Singo Bodong dan Hantu Laut ikut juga. Waaah... seru juga kalau semuanya menyerang Peri Sendang Keramat. Hmmm... dia Batuk Maragam akhirnya datang juga bersama Camar Sembilu dan... Oh, mereka bertemu Bwana Sekarat dan Angin Betina. Apa yang mereka rembuk disana itu? Dan... hai, Dayang Selatan datang juga dan... oh, itu sepertinya Selendang Maut. Ya, Selendang Maut datang juga mendampingi Nyai Betari, ah... tak enak aku j