Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.
“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.” Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.” Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.” Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lantai batu, menciptakan retakan besar. “Kau… manusia kecil… berani menginjak wilayah suci ini?” Li Mei mundur dua langkah, wajahnya memucat. “Ia… berbicara?” Suara roh itu berat dan serak, seperti logam beradu. “Kalian tidak pantas menyentuh peninggalan Sang Leluhur Teratai! Pergilah sebelum kalian hancur bersama cahaya kalian!” Qin Shan menggenggam tinjunya, petir kecil menari di sekujur lengannya. “Kalau kau memang penjaga warisan itu… maka uji aku! Aku tidak akan mundur!” Li Feng mendengus tak percaya. “Kau gila, Qin Shan! Kita baru saja hampir mati melawan ular emas, dan sekarang—kau mau menantang bayangan hidup?!” “Kalau kita kabur sekarang,” jawab Qin Shan datar, “semua yang kita alami tadi tidak berarti apa-apa.” Roh itu meraung, kabut hitamnya menyebar seperti ombak ganas. Seketika ruangan itu berubah menjadi lautan bayangan yang menelan cahaya. Qin Shan melompat ke depan, tinjunya meledak dengan kilatan petir. BOOM! Tubrukan itu membuat udara bergetar. Petir dan kabut bertarung dalam pusaran kekuatan. Namun dalam sekejap, tubuh roh itu terpecah menjadi puluhan bayangan yang mengepung Qin Shan dari segala arah. “Qin Shan! Hati-hati!” teriak Li Mei panik. Ia mengangkat jimatnya, tapi cahaya putihnya nyaris tak menembus kabut tebal itu. Li Feng maju dengan pedang di tangan. “Aku bantu dia!” Ia menebas ke arah bayangan terdekat, namun serangannya hanya menembus udara kosong. “Sial! Kabutnya hidup!” Dari tengah kabut, terdengar tawa mengerikan. “Manusia… bodoh… senjata kalian tak berarti apa-apa di sini.” Li Feng mundur sambil mengumpat pelan. “Bagaimana cara melawan kabut?!” Qin Shan menyipitkan mata, berusaha berpikir cepat di tengah tekanan spiritual yang menindihnya. Ia teringat ukiran di dinding – bunga teratai yang menyala setiap kali terkena cahaya. “Tempat ini… bukan sekadar ruang perang,” katanya pelan, meski suaranya tertahan napas berat. “Ini… ujian.” Li Feng menatapnya heran. “Ujian? Kau masih sempat mikir soal itu?” Qin Shan mengabaikannya. Ia menoleh cepat ke arah Li Mei. “Li Mei! Gunakan jimatmu ke arah relief teratai di dinding!” “Apa? Tapi—” “Cepat! Percaya padaku!” Li Mei menatap matanya sejenak, lalu mengangguk. Ia mengangkat jimat putih itu tinggi-tinggi, lalu berdoa singkat. “Cahaya suci, lindungi kami!” Kilatan putih melesat dari jimatnya, memantul ke salah satu ukiran bunga teratai. Seketika dinding batu itu menyala, menyebarkan cahaya hijau lembut ke seluruh ruangan. Kabut hitam yang menyelimuti mereka menipis perlahan, seperti tersapu oleh angin suci. Roh penjaga meraung keras, tubuhnya bergetar hebat. “Cahaya ini… kutukan bagi bayangan!” Li Feng menatap takjub. “Itu berhasil?!” Qin Shan tak menjawab. Ia sudah memusatkan seluruh energi garis darahnya. Petir mengalir dari dadanya, menjalar ke kedua tangan. Tubuh mungilnya diselimuti cahaya biru dan hijau yang beradu, menciptakan percikan energi seperti naga kecil yang menari di udara. “Sekarang giliran kita!” teriaknya. Ia melompat tinggi, menembus kabut yang tersisa. Roh penjaga berusaha menangkis, tapi cahaya teratai di dinding membuat tubuhnya goyah. Qin Shan meninju dengan kekuatan penuh, suara ledakan petir menggema. “Ini jalan kami!” Tinju petir itu menembus dada roh penjaga, dan suara menggelegar memenuhi seluruh ruangan. Kabut hitam itu pecah seperti kaca, tercerai-berai menjadi debu gelap yang lenyap disapu angin spiritual. Keheningan menggantung sesaat. Li Feng menjatuhkan diri ke lantai, napasnya berat. “Aku… hampir mati tadi.” Li Mei berjongkok di sebelahnya, menahan air mata. “Kupikir kita tidak akan keluar hidup-hidup…” Qin Shan berdiri terpaku, dadanya naik turun cepat. Cahaya hijau dari relief kini berkumpul di pilar tengah. Retakan kecil muncul di batu, lalu meluas disertai suara krakkkk yang menggema. Li Feng terlonjak. “Apa yang terjadi lagi sekarang?” Dari celah itu, keluarlah sebuah batu kristal berwarna hijau keemasan, berbentuk seperti kelopak teratai. Batu itu melayang perlahan ke udara, memancarkan aura suci yang begitu murni hingga udara di sekitar mereka terasa ringan dan segar. Li Mei menatap takjub. “Indah sekali… seperti bunga yang hidup.” Li Feng menelan ludah. “Energi sebesar ini… kalau sekte-sekte besar tahu, mereka akan saling membunuh untuk merebutnya.” Qin Shan melangkah maju perlahan. Tangannya bergetar saat menyentuh Batu Teratai itu. Begitu ujung jarinya menyentuh permukaannya, cahaya hijau menyelimuti tubuhnya. Hangat. Tenang. Semua luka di tubuhnya perlahan sembuh. Namun saat itu juga, suara lembut terdengar di dalam pikirannya. “Engkau yang berani melewati ujian… engkau yang tidak gentar di hadapan kegelapan… Batu Teratai kini menjadi milikmu.” Qin Shan membeku. Matanya melebar, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa jiwanya ditarik masuk ke dalam ruang lain—sebuah tempat penuh cahaya hijau lembut. Ia berdiri di tengah padang luas bercahaya hijau, dengan aliran air kecil dan langit berwarna zamrud. Udara di sini begitu tenang. “Ini… dunia kecil?” bisiknya. Suara misterius itu kembali bergema lembut. “Ya. Batu Teratai adalah kunci menuju dunia kecil. Tempatmu berlatih, bersembunyi, dan membangun kekuatan. Dunia ini tumbuh seiring dirimu. Rawatlah, maka ia akan menjadi pondasi masa depanmu.” Qin Shan menatap sekeliling. Ia menggenggam tanah hijau itu—hangat dan hidup. “Dunia ini… seolah menunggu aku untuk membentuknya.” Ketika ia sadar kembali, tubuhnya sudah berada di ruang batu lagi. Batu Teratai kini berada di tangannya, berkilau lembut, tapi auranya telah menyatu dengan dirinya. Li Feng menatapnya takjub. “Qin Shan… kau berhasil?” Qin Shan tersenyum kecil. “Ya. Batu ini sekarang milik kita.” Li Mei menghela napas lega. “Kau menakutkanku tadi… aku pikir roh itu akan menelanmu.” Qin Shan menoleh padanya dan tersenyum lembut. “Aku juga takut, Mei. Tapi kalau aku berhenti karena rasa takut… aku tidak akan pernah menjadi kuat.” Li Feng menepuk bahunya dengan pelan. “Kau memang keras kepala. Tapi kalau bukan karena itu, kita semua mungkin sudah mati.” Ketiganya tertawa kecil, meski kelelahan terlihat jelas di wajah mereka. Beberapa jam kemudian, mereka akhirnya keluar dari lorong batu. Hutan di luar masih dipenuhi kabut sore, dan bau darah ular emas belum hilang. Tapi udara kini terasa lebih ringan. Li Mei menatap langit di antara pepohonan. “Aneh… setelah semua yang kita alami, rasanya dunia di luar ini jadi terlihat lebih damai.” Li Feng menyampirkan pedangnya ke bahu. “Damai karena kita masih hidup, Mei.” Qin Shan berdiri di depan mereka, menatap Batu Teratai yang kini sudah redup dan tenang di genggamannya. “Ini… bukan akhir. Ini awal.” Li Mei menatapnya penasaran. “Awal dari apa?” Qin Shan menatap jauh ke arah puncak gunung, matanya menyala dengan tekad yang kuat. “Kita tidak akan lagi hanya melarikan diri. Mulai hari ini, kita akan melatih diri. Batu Teratai ini akan menjadi tempat kita tumbuh. Dunia kecil yang akan kita bangun sendiri.” Li Feng tertawa pendek. “Kedengarannya seperti mimpi besar, tapi aku tidak keberatan. Kalau kita bisa bertahan dari roh penjaga itu, mungkin saja kita memang ditakdirkan untuk hal besar.” Li Mei menatap dua kakaknya dengan senyum lembut. “Kalau begitu… aku ikut. Tapi dengan satu syarat.” Qin Shan menatapnya heran. “Apa itu?” “Jangan lagi buat aku hampir mati ketakutan,” jawabnya sambil mendengus. Qin Shan dan Li Feng saling pandang, lalu tertawa bersamaan. “Tentu saja,” kata Qin Shan pelan, “aku akan pastikan setelah ini… setiap pertarungan akan membuat kita lebih kuat, bukan lebih takut.” Kabut hutan mulai menipis, angin membawa aroma tanah basah yang segar. Tiga anak muda itu berdiri berdampingan, memandang ke arah matahari yang hampir tenggelam. Batu Teratai berkilau lembut di tangan Qin Shan, seolah ikut menyala bersama tekad mereka. “Mulai hari ini,” gumam Qin Shan pelan, “jalan kita baru saja dimulai.”Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.”Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.”Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.”Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lant
Hening.Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak.Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis.Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?”Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.”Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam.Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.”Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?”“Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.”Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau j
Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya send
Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh b
Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.Tatapan matanya melembut.“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian l
jalan yang sunyi.Langit pagi itu tampak muram.Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bila