Hening.
Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak. Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis. Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?” Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.” Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam. Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.” Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?” “Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.” Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau jangan bilang… kau mau—” “Membedahnya,” sela Li Feng dengan nada putus asa. “Tentu saja, dia akan bilang itu.” Qin Shan menatap mereka berdua. “Aku tidak bercanda. Aku bisa merasakannya. Ada sesuatu yang bersembunyi di dalam.” Li Mei menjerit kecil. “Tapi itu menjijikkan, Qin Shan! Lihat darahnya saja aku hampir muntah!” Qin Shan menatapnya tenang. “Kalau kau takut, mundurlah sedikit.” “Tapi—” “Percayalah padaku,” ucap Qin Shan lirih. “Aku tahu apa yang kulakukan.” Li Feng menghela napas panjang. “Kalimat itu selalu jadi pertanda hal buruk terjadi.” Tapi meskipun mulutnya mengeluh, ia ikut maju dan bersiap membantu. Qin Shan mengangkat tangannya. Sisa garis darah petir di tubuhnya memercik samar. Dengan satu hentakan, ia menyalurkan energi itu ke tangan kanan. BZTT! Petir kecil menyambar, mengenai sisik emas ular, menimbulkan suara krkkk! panjang. Retakan muncul. “Sekali lagi,” gumamnya. Petir kedua menghantam, dan kali ini sisik itu pecah, membuka celah besar di kepala monster. Cairan gelap muncrat keluar. Li Mei menjerit sambil menutup hidung. “Aduh! Bau banget! Kau benar-benar gila!” Li Feng bersin keras. “Aku rasa ini hukuman karena ikut ide bodohmu!” Tapi Qin Shan tetap fokus. Ia menyibak sisa daging dengan tangan kosong, sementara Li Feng akhirnya menyerah dan ikut menarik potongan sisik yang terlepas. Saat lapisan dalam tubuh ular itu terbuka, tiba-tiba terlihat batu hitam berbentuk persegi. Mereka bertiga membeku. Li Feng melotot. “Itu… batu?” Li Mei menatap tak percaya. “Kau… jangan bercanda. Itu seperti… pintu?” Qin Shan menyentuh permukaan batu itu. Dingin dan halus, tapi memancarkan aura kuno. Ia menarik napas panjang. “Pintu batu. Tersegel di dalam tubuhnya.” Li Feng menatap heran. “Siapa yang bisa menyembunyikan pintu di dalam monster sebesar ini?” “Bukan siapa,” jawab Qin Shan pelan. “Tapi sesuatu.” Li Mei menggeleng panik. “Qin Shan, aku nggak suka arah pembicaraan ini.” Qin Shan menatap lurus ke pintu itu. “Kau pikir aku suka? Tapi kau lihat sendiri. Ular ini bukan penjaga biasa. Sesuatu disembunyikan di balik sini.” Li Feng menghela napas berat. “Baiklah. Tapi kalau kita semua mati, aku akan menghantui rohmu.” Qin Shan tersenyum samar. “Kalau kita mati, berarti roh kita bakal jalan bareng.” Setelah membersihkan sedikit sisa jaringan yang menutupi batu itu, mereka bertiga menemukan alur ukiran halus berbentuk bunga teratai di tengah permukaannya. Li Mei menunjuk ragu. “Qin Shan… ini teratai lagi, kan?” “Ya,” sahut Qin Shan pelan, matanya berkilat. “Simbol yang sama dengan yang muncul di tubuhku waktu latihan pertama dulu.” Li Feng menatapnya tajam. “Jadi… ini semua berkaitan?” “Kurasa begitu.” Qin Shan menyentuh ukiran itu. Batu bergetar pelan. Tiba-tiba terdengar suara berat krkkkk! dari balik pintu. Batu itu bergeser sedikit, seolah menjawab sentuhan Qin Shan. Udara dingin langsung menyembur keluar, menusuk tulang. Li Mei berteriak kecil. “A-apa yang kau lakukan?! Jangan buka dulu!” Qin Shan menatapnya. “Satu-satunya cara tahu kebenarannya… adalah masuk.” Pintu itu terbuka dengan suara berderit panjang. Dari dalamnya keluar lorong gelap yang berputar turun ke bawah tanah. Aroma lembap bercampur tanah tua memenuhi udara. Li Feng menyalakan obor. “Baiklah, kalau aku mati di dalam sini, aku akan menyalahkanmu sampai akhirat.” Qin Shan tertawa kecil. “Kau boleh menyalahkanku… asal ikut masuk dulu.” Li Mei mendengus. “Aku nggak percaya kita benar-benar melakukan ini.” Mereka bertiga melangkah masuk. Cahaya obor menari di dinding batu yang penuh ukiran kuno. Ukiran itu menggambarkan naga melingkar, petir menyambar, dan di tengahnya — bunga teratai mekar bercahaya. Li Mei menatap ukiran itu dengan dahi berkerut. “Lagi-lagi teratai. Apa artinya semua ini?” Li Feng menjawab pelan, “Mungkin semacam lambang sekte kuno?” Qin Shan menatap lebih lama, matanya tak lepas dari bentuk teratai. “Atau… kunci menuju Batu Teratai itu sendiri.” Suasana di lorong semakin menekan. Udara makin dingin, dan langkah kaki mereka menggema panjang. Li Feng tiba-tiba menoleh kanan-kiri. “Kau dengar itu?” Li Mei merapat ke Qin Shan. “Dengar apa?” “Suara… seperti ada yang berbisik.” Mereka berhenti. Suara samar memang terdengar, seperti napas panjang dari dinding batu. Li Mei menggigil. “Qin Shan, aku nggak suka tempat ini. Rasanya seperti… kita sedang diawasi.” Qin Shan menjawab tenang, “Memang ada yang mengawasi.” Li Mei membulatkan mata. “Apa?!” “Tapi bukan makhluk hidup. Aura sisa dari penjaga tempat ini,” jelasnya singkat. Li Feng meneguk ludah. “Aura atau roh, sama saja. Keduanya sama menakutkannya.” Mereka terus berjalan hingga akhirnya lorong itu melebar menjadi ruangan batu besar. Di tengahnya berdiri pilar dengan relief teratai bersinar lembut kehijauan. Cahaya itu menyorot wajah mereka, membuat suasana terasa aneh — antara indah dan berbahaya. “Lihat itu,” ujar Li Mei pelan, mendekat dengan kagum. Relief itu berdenyut seperti jantung hidup. Ketika ia menyentuhnya, ruangan langsung bergetar halus. Cahaya hijau menyebar ke seluruh dinding. Ukiran naga dan petir di sekeliling mereka mulai bercahaya. Li Feng melangkah mundur. “Apa yang kau lakukan, Li Mei?!” “Aku cuma menyentuhnya!” “Tanganmu itu kutukan!” Qin Shan tidak memedulikan mereka. Ia menatap ukiran itu dengan pandangan dalam. Gambar seorang pria berjubah putih sedang memegang teratai bercahaya, dikelilingi naga dan api, muncul jelas di dinding. “Ini… bukan sekadar ukiran,” gumamnya. Li Feng menatap kagum. “Kau pikir ini sejarah?” “Mungkin,” jawab Qin Shan. “Atau peringatan.” Li Mei mendekat lagi. “Kalau ini tentang Batu Teratai, mungkin orang di gambar itu pemilik aslinya?” “Bisa jadi,” balas Qin Shan pelan. “Dan ular tadi… mungkin dijadikan penjaga untuk melindungi tempat ini.” Belum sempat mereka mencerna lebih jauh, lantai bergetar keras. Debu jatuh dari langit-langit, dan dinding di sisi kanan mulai retak. Li Feng berseru, “Oh tidak, apa lagi sekarang?!” Dari celah retakan itu, keluar kabut hitam pekat yang berubah bentuk menjadi sosok bayangan besar. Dua mata merah menyala menatap mereka dari kegelapan. Li Mei menjerit, “Itu… itu roh!” Li Feng langsung menghunus pedangnya. “Roh atau tidak, kalau menyerang aku tebas!” Qin Shan berdiri di depan, meski tubuhnya masih penuh luka. “Biar aku yang menahannya.” Li Mei memprotes keras, “Kau belum pulih, Qin Shan! Tubuhmu masih—” “Tapi aku satu-satunya yang bisa menahannya,” potongnya cepat. Bayangan itu menggeram pelan, lalu melesat maju. Cakarnya yang hitam menyapu udara, menimbulkan suara sssrrkk! tajam di dinding. Qin Shan mengangkat tangan, mengeluarkan petir kecil dari telapak tangannya dan meninju ke depan. DUARR! Petir meledak, tapi tubuh bayangan itu hanya bergetar lalu kembali menyatu. Li Feng mengumpat, “Tidak mempan?! Ini gila!” Li Mei cepat mengeluarkan jimat kecil, melemparkannya ke depan. Cahaya putih memancar, membuat bayangan itu sedikit mundur. “Itu roh penjaga!” teriak Li Mei. “Bukan makhluk biasa!” Qin Shan menatap ke arah pilar teratai yang masih bersinar. “Kalau begitu, kita harus menghancurkan sumber energinya.” Li Feng melompat di sisi lain. “Aku serang dari kanan!” Mereka bergerak bersamaan — Qin Shan melepaskan ledakan petir, Li Feng menebas kabut hitam dengan pedang spiritual, Li Mei menjaga dari belakang dengan jimat cahaya. Pertarungan berlangsung sengit. Setiap kali petir menghantam, bayangan itu memecah lalu kembali menyatu. Li Feng berteriak, “Ini nggak ada habisnya!” Li Mei gemetar. “Qin Shan! Kalau ini terus, kita mati kehabisan tenaga!” Qin Shan memejamkan mata sesaat, mencoba merasakan aliran energi di ruangan itu. “Tunggu,” gumamnya, “roh ini terikat pada teratai di pilar itu…” Li Feng menoleh. “Maksudmu?” “Kalau aku bisa menghubungkan garis darahku ke energi teratai, mungkin aku bisa menyerap atau menenangkan rohnya.” Li Mei langsung menolak keras. “Tidak! Kau bisa mati, Qin Shan!” Qin Shan tersenyum kecil. “Kau selalu bilang itu tiap kali aku hampir mati.” “Karena tiap kali kau benar-benar hampir mati!” bentak Li Mei. Li Feng mendengus. “Berhentilah berdebat! Lakukan saja cepat sebelum makhluk itu membunuh kita!” Qin Shan menggertakkan gigi, menancapkan tangannya ke lantai batu dan mengalirkan energi petir ke arah pilar. Petir menjalar di permukaan batu, menyatu dengan cahaya hijau. Makhluk hitam itu menjerit keras, suaranya bergema seperti ribuan bisikan. Ruangan berguncang hebat. Cahaya petir dan cahaya hijau berpadu, menciptakan pusaran cahaya di tengah ruangan. Tubuh bayangan itu perlahan mulai terurai menjadi abu hitam, tersedot ke dalam teratai. Li Mei berpegangan pada lengan Li Feng, wajahnya tegang. “Apa yang terjadi?!” Li Feng menjawab, “Entah, tapi semoga bukan ledakan.” Beberapa detik kemudian, semuanya berhenti. Cahaya menghilang. Hening kembali. Qin Shan berlutut, napasnya terengah. Li Mei segera berlari memeluknya. “Kau bodoh! Lihat tubuhmu!” Qin Shan hanya tersenyum lemah. “Tapi kita masih hidup, kan?” Li Feng menatap sekeliling, kini ruangan itu terasa lebih tenang. Pilar teratai bersinar lembut, tanpa aura jahat lagi. Dari dasar pilar, muncul batu kristal kecil berbentuk teratai. Li Feng berbisik, “Itu… Batu Teratai?” Qin Shan menatapnya dengan mata penuh cahaya. “Tidak. Tapi itu… bagian dari jalannya.” Ia menggenggam batu itu erat. Di tubuhnya, garis darah petir bergetar pelan, seolah bereaksi dengan batu itu. Li Mei memandangnya dengan cemas. “Qin Shan… apa yang akan terjadi setelah ini?” Qin Shan tersenyum samar, menatap cahaya batu di tangannya. “Kita baru membuka pintu pertama,” ujarnya pelan. “Masih banyak rahasia yang menunggu di balik Batu Teratai.”Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.”Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.”Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.”Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lant
Hening.Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak.Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis.Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?”Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.”Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam.Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.”Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?”“Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.”Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau j
Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya send
Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh b
Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.Tatapan matanya melembut.“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian l
jalan yang sunyi.Langit pagi itu tampak muram.Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bila