Di atas tebing, Cao Yun hanya memandangi pasukan musuh yang terus masuk ke dalam hutan dengan mata jernih namun dingin. “Sekarang!.”
Anak-anak panah melesat dari balik kabut, suara siulan-siulan terdengar tajam memecah udara. Deretan terdepan pemberontak terjungkal satu per satu, tubuh mereka menutupi jalan. Namun yang di belakang terus mendorong maju, membuat barisan menjadi kacau balau. Perwira muda di samping Cao Yun berseru, “Jenderal, mereka masih terus masuk!” Cao Yun hanya mejawab dengan nada tenang. “Biarkan. Semakin banyak yang masuk, semakin sempit ruang gerak mereka. Kabarkan pada pasukan belakang agar bersiap menutup jalur!” Prajurit itu berlari melaksanakan perintah. Sementara itu, Cao Yun kembali menatap ke bawah. Matanya kini berubah tajam, tatapannya seperti predator yang baru saja menjebak mangsanya. Gelombang pasukan pun menyerbu masuk ke celah sempit itu, berdesakan seperti kawanan kerbau liar. Jalur yang hanya selebar empat orang membuat barisan mereka buyar, yang di depan terjepit oleh yang di belakang. Pasukan pemberontak semakin terdesak. Barisan mereka tersendat, mayat-mayat menutupi jalan sempit. Teriakan komandan mereka makin keras, memaksa anak buah untuk maju, tak peduli siapa yang terinjak di bawah kaki. Di sisi tebing, beberapa prajurit Cao Yun menarik tali yang sudah dipersiapkan sejak malam. Rangkaian kayu gelondongan yang disusun di puncak tebing mulai bergerak. “Lepaskan!” perintah Cao Yun lantang. Runtuhan kayu bergemuruh, meluncur deras menghantam jalur sempit itu. Jeritan bergema. Tubuh-tubuh pemberontak remuk tertimpa gelondongan. Barisan mereka buyar, sebagian mencoba lari ke belakang, namun jalan sudah sesak dan tertutup kawanan mereka sendiri. Perwira muda tadi kembali naik, wajahnya masih tegang tapi matanya berkilat. “Jenderal, jalur mereka kacau. Banyak yang terhimpit!” Cao Yun menatap dingin ke bawah. “Belum cukup. Mereka harus terjebak tanpa bisa keluar.” Ia mengangkat pedang, memberi tanda pada barisan pasukan kerajaan di belakang celah. Pasukan itu segera bergerak menutup jalur keluar, menghadang sisa pemberontak yang mencoba kabur. Suara gemuruh kayu yang berhenti bergulir kini digantikan deru panik ribuan musuh. Mereka terjebak di jalur sempit, diapit jurang, hutan, dan pasukan Cao Yun. “Lanjutkan serangan panah!” perintah Cao Yun. Hujan anak panah kembali turun, menyalak dari balik kabut. Tak ada ruang untuk berlindung. Darah mengalir membasahi tanah berbatu. Cao Yun berdiri tegak, pedangnya terangkat tinggi, suaranya lantang menggetarkan hati prajuritnya. “Musnahkan semua pasukan pengkhianat ini! Balaskan dendam Raja Kencana Biru!” Sorak balasan membahana dari pasukannya, menggema di antara kabut dan tebing, menenggelamkan jeritan musuh yang kian putus asa. Hujan panah mereda. Saat itulah Cao Yun menurunkan pedangnya, memberi isyarat baru. “Sekarang! Serang!” Pasukan kerajaan menyerbu dari dua sisi tebing, meluncur turun dengan formasi rapat. Pedang dan tombak terhunus, teriakan perang mereka mengguncang kabut pagi. Pemberontak yang masih hidup berusaha melawan, namun tubuh mereka terhimpit barisan sendiri. Gerak mereka lamban, formasi berantakan, banyak yang bahkan tidak bisa mengangkat pedang karena sesak. Benturan pertama terdengar bagai guntur. Prajurit Cao Yun menghantam dengan perisai, menebas dengan tombak. Barisan depan pemberontak runtuh seketika. Di tengah pertempuran, seorang perwira kerajaan mendekat, wajahnya berlumuran darah. “Jenderal! Mereka mulai pecah ke arah hutan!” Cao Yun mengangguk singkat. “Itu yang kita tunggu. Jangan biarkan mereka kembali berkumpul." 'Beri tanda pada Serigala Hitam, habisi sebelum mereka sempat bernapas.” Pasukan Serigala Hitam adalah sqlah skuad andalan Jenderal Cao Yun. Mereka sangat cepat, gesit, lincah dan mampu bergerak tanpa suara. Mirip dengan kemampuan Mei Lan. Pasukan Serigala Hitam segera bergerak, menyebar ke hutan, mereka keluar-masuk kabut bagai bayangan. Teriakan musuh terdengar terputus-putus, satu per satu roboh tanpa sempat melawan. Cao Yun turun dari tebing, melangkah di antara mayat yang berserakan. Tatapannya tajam, penuh kendali. Setiap perintahnya terukur, tidak ada gerakan pasukan yang sia-sia. Pasukan Jenderal Cao Yun terus menghantam, perlahan tapi pasti. Sisa-sisa pemberontak yang tadinya penuh semangat kini tinggal kepanikan tanpa arah. Pertempuran makin kacau. Jeritan musuh bercampur dengan denting logam dan gelegar langkah pasukan kerajaan yang terus menekan. Cao Yun mengangkat tangan, memberi aba-aba terakhir. “Tutup lingkaran!” Seolah badai menyapu dari segala arah, lima ratus prajurit kerajaan merapatkan barisan. Mereka menutup celah, membentuk dinding baja yang mengepung sisa pemberontak. Tak ada jalan keluar, tidak ke hutan, tidak ke jurang, bahkan udara terasa sesak oleh lingkaran perisai yang makin mengecil. Pemberontak mencoba menyerbu ke satu titik, berteriak nekat. Namun barisan Cao Yun terlalu rapat. Tombak-tombak menyambut, menancap bersamaan, menahan gelombang itu hingga patah. “Habisi.” Suara Cao Yun rendah, nyaris tanpa emosi. Pasukannya bergerak serentak. Pedang dan tombak terayun bagai ombak yang menghantam batu rapuh. Teriakan lawan berubah menjadi erangan putus asa, lalu senyap satu per satu. Kabut pagi kini berwarna merah. Tanah lembab berubah jadi lumpur bercampur darah. Di tengah kepungan, hanya beberapa puluh pemberontak tersisa, lutut mereka goyah, mata penuh ngeri. Ada yang menjatuhkan pedang, ada yang berteriak minta ampun. Namun lingkaran tak terbuka, tak ada belas kasih. Perlahan, lingkaran baja itu menutup rapat. Dan seketika, semua lenyap dalam kilatan besi. Pasukan pemberontak berjumlah dua ribu orang habis tak bersisa. Seorang prajurit pengintai berlari tergesa, wajahnya pucat, nafasnya memburu. Ia berlutut di hadapan Cao Yun. “Lapor, Jenderal! Xu Jian datang dari arah timur, membawa dua ribu pasukan!” Para perwira menoleh serentak. Suara bisik-bisik tegang memenuhi udara. Seorang perwira muda melangkah maju. “Jenderal …, kita bisa gunakan taktik yang sama. Hutan dan lembah ini masih bisa menjadi kuburan bagi mereka.” Cao Yun menggeleng pelan, sorot matanya dingin. “Tidak. Xu Jian bukan gerombolan pengejar biasa. Ia bukan orang yang bisa diperdaya dengan cara murahan." Ia menarik napas panjang, menatap ke arah barat yang diselimuti kabut tipis. “Ke barat,” ucapnya mantap. “Kita tarik mereka keluar dari hutan ini. Baru di sana aku akan memilih medan yang cocok untuk menghancurkan mereka.” Para perwira saling berpandangan, lalu menunduk serempak. “Siap, Jenderal!” * Matahari pagi mulai beranjak terik ketika Xu Jian berdiri di tengah lembah yang dipenuhi mayat. Ribuan tubuh prajurit berserakan, darah mereka menghitam di tanah. Bau anyir menusuk, bercampur dengan sayap gagak yang berkelebat. “Jenderal …, bagaimana mungkin hanya lima ratus orang bisa membantai habis pasukan dua ribu orang? Mustahil tanpa bantuan iblis," seru salah seorang perwira Xu Jian. Sang Jenderal menoleh sekilas dengan tatapan bagaikan bilah pedang. “Bukan iblis.” Suaranya datar, dingin. “Ini perbuatan Cao Yun.” “Sudah kalian lihat sendiri nasib yang menimpa pada dua ribu prajurit ini, apa kalian berani meremehkan lawan kali ini. Meskipun jumlah mereka jaub lebih sedikit?” Keheningan menekan. Para perwira menunduk lebih dalam, keringat dingin mengalir di pelipis mereka. Xu Jian hanya menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Hahaha! Cao Yun memang berbahaya. Tapi kalian tak perlu khawatir. Di bawah perintahku, kita yang akan menghabisi cecunguk itu.” Langkah Xu Jian berderap meninggalkan lembah dengan mantel hitamnya yang berkibar, sementara pasukannya mengikuti dengan hati dicekam bayangan nama satu orang: Cao Yun.“Mei Lan! Seranganmu terlalu dangkal!” teriak Cao Yun sambil menahan gempuran pedang naga Shen Liang yang hampir merobek pundaknya. Suara benturan logam menggema keras, percikan cahaya Qi liar beterbangan ke udara. Formasi Bintang bukan hanya soal posisi. Itu tarian maut, di mana tiap langkah dan tiap tebasan harus seirama, setara, tanpa keraguan sedikit pun. Satu orang goyah, seluruh formasi bisa runtuh. Mei Lan menggertakkan giginya. Dadanya naik-turun, keringat bercampur darah menetes dari pelipis. Dirinya sadar jenderal Cao Yun benar. Belatinya terlalu ringan, terlalu hati-hati. Ada keraguan di tangannya setiap kali bilahnya hampir menusuk tubuh Shen Liang. “Maaf, Jenderal…” suaranya nyaris tak terdengar, tapi sorot matanya mulai mengeras. Cao Yun menekan pedangnya, lalu berteriak lantang: “Serigala! Serang!” Wu Ling dan Wu Lan langsung melesat bagai bayangan hitam. Wu Ling menusuk dengan pedang pendeknya beruntun, kilatan baja berdesir seperti hujan rintik. Wu Lan
Mo Tian menatap tajam pedang pusaka berkepala naga itu. Jemarinya yang kurus tapi bertenaga menyentuh permukaan bilahnya, seakan mencoba membaca jejak waktu dari dingin logam tersebut.“Sejak kapan Pangeran memegang pedang ini?" “Murid tidak tahu pasti, Guru. Hamba hanya melihat pedang itu selalu ada di sisinya.”Mei Lan ikut menyambung, “Seingatku… sejak hari aku pertama kali menemuinya.""Saat itu istana sudah dilalap api kudeta. Pangeran Shen Liang lolos dengan luka-luka parah, tapi pedang ini tergenggam erat di tangannya. Sejak hari itu, pedang ini tak pernah lepas darinya.”Mo Tian mengangguk tipis, seolah-olah jawaban itu meneguhkan kecurigaannya. Matanya memicing menatap Shen Liang yang terbaring, lalu kembali pada bilah pusaka yang memantulkan cahaya temaram gua.“Qi Liar ini memang telah berakar dalam tubuhnya,” gumamnya pelan, “namun terasa baru". "Biasanya Qi yang berakar sudah bersemayam puluhan bahkan ratusan tahun dalam garis darah pemiliknya. Tapi kasus Pangeran ini b
Wu Ling hanya terdiam, keringat dingin merembes di pelipisnya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya: apakah sosok di depan mereka punya lebih dari satu wujud? Atau suara di luar tadi hanyalah dari kekuatan anehnya?Kalau ternyata itu memang kekuatannya, orang tua di hadapan mereka ini, tentu tak terukur kesaktiannya.Sosok tua berjubah putih itu membuka matanya perlahan. Sepasang mata yang jernih, setenang dan sedalam danau gunung, menatap mereka semua. Dalam tatapan itu, Wu bersaudara dan Mei Lan merasa seperti seluruh tubuh mereka bisa dibaca hingga ke tulang.Hening menekan. Hanya suara gemericik air terjun kecil yang mengisi udara.Cao Yun melangkah maju, lalu berlutut kembali dengan kedua tangan merapat di depan dada. Suaranya dalam, seperti penuh penyesalan.“Guru, murid menghaturkan beribu maaf karena telah berani melanggar perintahmu. Guru sudah melarangku menginjakkan kaki di gunung ini lagi … tapi keadaan memaksa. Murid merasa tak punya pilihan lain.”Orang tua berjubah putih i
"Justru karena di sini berbahaya, maka tempat ini paling aman untuk bersembunyi," jawab Cao Yun pada Wu Lan dengan pandangan berbinar."Lagipula, kaliankan Pasukan Serigala yang bergerak bagaikan kilat. Membunuh dengan cepat. Hantu mana yang berani menggangu kalian?""Tch," Wu Lan hanya mendengus singkat mendengar jawaban Jenderal Cao Yun.Tentu saja Wu Lan tak takut dengan manusia. Entah berapa liter darah yang pernah mampir di senjata cakar besinyaTapi kalau lawannya makhluk antah berantah, hantu, dedemit atau semacamnya, bahkan dirinya si ratu Serigala paling buas, tidak yakin kalau cakarnya bisa banyak berguna.Wu Ling dan Mei Lan hanya menahan tawa melihat kontradiksi seorang Perwira Pasukan Serigala Hitam bernama Wu Lan. Kejam, beringas, berdarah dingin tapi takut hantu.Pendakian panjang akhirnya membawa mereka tiba di puncak. Kabut yang tebal perlahan tersibak, menyingkap sebuah dataran luas.Di tengah puncak itu terbentang lapangan alami yang dikelilingi ngarai-ngarai raksas
Seminggu kemudian. Kabut pagi masih menggantung di sekitar desa kecil itu. Embun terasa segar membasahi halaman bambu di belakang rumah Guo Shan. Wu Lan bergerak cepat, cakarnya berkelebat, menyambar ke arah Mei Lan. Tapi Serigala Kecil itu memiringkan tubuhnya lincah, kaki kirinya menjejak tanah dan tubuhnya berputar, menangkis serangan dengan kedua belatinya. Trang! Bunyi senjata beradu nyaring. Mei Lan terdorong dua langkah ke belakang, bahunya naik-turun menahan nafas, wajahnya pucat namun matanya bersinar penuh semangat. “Heheh …, belum pulih sepenuhnya, tapi gerakanmu lumayan cepat,” ujar Wu Lan, sudut bibirnya terangkat. Mei Lan mengusap keringat di pelipisnya dan menyeringai tipis. “Aku tidak bisa berlama-lama lemah. Kita masih dalam pengejaran.” Jenderal Cao Yun dan Wu Ling berkelebat muncul dari arah hutan Wu Lan dan Mei Lan serempak langsung menunduk hormat. “Jenderal!” Cao Yun berjalan mendekat, tatapannya menyapu singkat lalu berhenti pada wajah Mei Lan.
Shen… Liang…” suara Mei Lan yang lemah menembus kabut darah dan kegilaan. “Shen Liang…” Mei Lan melangkah terseok-seok dan perlahan, menembus lingkaran para pasukan Serigala Hitam menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan tiba-tiba datang menghadang, di depan “Oi, Mei Lan! Kau mau bunuh diri, ya?!” Tapi Mei Lan nampak tidak peduli. Dia terus saja berjalan menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan berniat memukul tengkuk Mei Lan untuk membuatnya pingsan. Tapi Jenderal Cao Yun tiba-tiba bersuara. "Biarkan dia!" Tanpa mereka sadari Sang Jenderal juga sudah muncul di arena pertarungan. Pandangan matanya berbinar dengan sorot mata yang bening saat melihat Mei Lan yang semakin mendekat ke arah Shen Liang. Jenderal Cao Yun seakan-akan menikmati sebuah pertunjukan. Wu bersaudara saling menatap. Para pasukan Serigala Hitam siaga penuh. Karena bila Si Pangeran Gila kembali mengamuk, mereka sudah siap menyerang dengan Formasi Bintang Sembilan. Juga, sebisa mungkin mereka harus berusaha menyelamatka