Beranda / Pendekar / Pendekar Pedang Gila / 6. Jenderal Ahli Strategi

Share

6. Jenderal Ahli Strategi

Penulis: DN KIYAN
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-13 00:21:09

“Mohon maaf Jenderal …, Pangeran Shen Liang berhasil lolos semalam,” lapor salah seorang prajurit sambil menunduk dalam-dalam.

Brak!

Bao Jun menggebrak meja sampai hancur berantakan. Urat-urat di pelipisnya menonjol, matanya menyala bagai api membakar kabut.

Di sudut ruangan, Prajurit Han yang semalam bertugas sebagai penjaga pintu gerbang barat, hanya berlutut dengan tubuh gemetar.

Namun pedang Bao Jun sudah melayang tanpa kata. Kepala Han terpisah dari tubuh, darahnya menyembur membasahi lantai batu.

Belum lagi amarah Jenderal Bao Jun reda, Seorang prajurit lain masuk terburu-buru dan langsung berlutut.

“Lapor, Jenderal! Jenderal Cao Yun muncul di hutan utara. Kamk mendengar kabar bahwa dialah dalang sampai Pangeran Shen Liang bisa kabur dari istana dan melarikan diri.

Mata Bao Jun melotot merah dibalik janggutnya yang brewok, rahangnya mengeras, genggamannya mengepal hingga sendinya berderak. Tatapannya penuh murka.

Mendengar nama Cao Yun disebut semakin menyulut bara dalam dadanya.

Sejak awal, ia tidak pernah suka pada si Jenderal Muda. Karir Cao Yun begitu cepat meraih pangkat tinggi. Baru tiga puluh tahun usianya, sudah menyandang gelar jenderal.

Sementara dirinya, yang puluhan tahun mengabdi dan mengangkat pedang untuk kerajaan, harus menunggu lama hingga dipercaya memimpin pasukan utama.

Keadilan Raja, begitu orang menyebutnya. Tapi bagi Bao Jun, itu hanyalah penghinaan. Seakan kerja kerasnya tak sebanding dengan kejayaan seorang pemuda yang datang dengan wajah dingin dan segudang prestasi.

Dan lebih dari semua itu Cao Yun pernah hampir menggagalkan rencana kudetanya. Untung saat itu mendiang Raja Shen Xiu masih percaya padanya.

“Panggilkan Xu Jian!” suara Bao Jun berat, namun tegas.

Tidak berapa lama, seorang lelaki masuk dengan langkah tenang. Tubuhnya tinggi, matanya cekung, tatapannya tajam bagai serigala yang mencium bau darah.

Dialah Xu Jian. Salah satu Jenderal paling kejam yang dimiliki Bao Jun, ahli memburu musuh hingga ke sarang terakhir.

Bao Jun menatapnya lekat-lekat, sorot matanya masih menyala. “Pangeran Shen Liang …, belum mati. Dan di sisinya ada Cao Yun.”

Xu Jian hanya tersenyum tipis, sebuah senyum dingin tanpa ampun.

“Cari mereka,” desis Bao Jun, tangannya mengepal. “Kejar sampai ujung hutan, sampai ujung negeri sekalipun. Robek pasukan Cao Yun. Bawa kepalanya padaku. Lalu seret Pangeran itu hidup-hidup di hadapanku!"

Xu Jian menunduk dalam-dalam, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Suara langkahnya bergaung, pelan namun membawa ancaman yang lebih menakutkan daripada teriakan perang.

Bao Jun berdiri di tengah serpihan meja. Murka dan iri yang telah lama ia pendam kini menyatu menjadi dendam yang tak bisa dipadamkan.

***

Mei Lan menggenggam kendali kuda dengan mantap, tubuhnya condong ke depan, mata menatap lurus menembus jalan setapak di hutan.

Wajah manis gadis mungil itu nampak kusut dan berkerut. Sejak tadi Pangeran Shen Liang duduk di belakangnya dengan posisi kikuk, nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan.

“Jangan bergerak terlalu banyak,” gerutunya pelan. “Kau hanya membuat kuda ini gelisah.”

Shen Liang menunduk dengan wajah memerah. Tangannya ragu hendak berpegangan, akhirnya hanya mencengkeram pelana agar tidak terjatuh.

Dari tubuh Mei Lan didepannya tercium samar wangi stroberi yang lembut terbawa angin.

Sesaat hatinya bergetar. Bukan rasa suka, bukan pula nafsu, hanya benih kekaguman yang tumbuh diam-diam. Dari belakang, gadis ini tampak mungil dan rapuh.

Siapa yang akan menyangka kalau gadis mungil itu adalah pembunuh berdarah dingin yang mampu menumbangkan lusinan prajurit dalam sekejap.

“Mei Lan, apa Jenderal Cao Yun akan baik-baik saja?” tanya Sang Pangeran setengah berteriak, nada suaranya terdengar khawatir.

Mei Lan tersenyum tipis tanpa menoleh, “Atasanku itu akan baik-baik saja, Pangeran. Ilmu silat Jenderal memang tinggi, tapi yang paling ditakuti orang pada Jenderal Cao Yun itu isi kepalanya.”

"Maksudmu, Jenderal Cao Yun ahli strategi?"

Mei Lan hanya menoleh sekilas dengan senyum sebagai jawaban. Menangkap raut wajah Mei Lan dari belakang, Sang Pangeranpun merasa lega.

Kuda tiba-tiba melompat kecil melewati batang pohon tumbang. Shen Liang refleks terhuyung, tangannya tanpa sadar memegang pinggang Mei Lan.

Gadis itu menghela napas sebal, tapi tidak menyingkirkan tangan Sang Pangeran. Seandainya bukan karena tugas, sudah dibantingnya Pangeran manja itu.

Si Pangeran manja ini bahkan tidak tau cara menunggangi kuda.

*

Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan. Derap kuda terdengar samar dari kejauhan, tanda pasukan pengejar semakin mendekat.

Jenderal Cao Yun berdiri tegak di atas sebuah batu besar, menatap jalur sempit di bawahnya. Di satu sisi ada sebuah jurang curam.

Di sisi lain yang lain ada hutan lebat. Jalan itu hanya cukup untuk dilewati tiga atau empat prajurit berdampingan.

Seorang perwira muda mendekat dengan wajah cemas. “Jenderal! jumlah mereka jauh lebih banyak. Dua ribu orang. Kita hanya lima ratus. Apa kita tidak sebaiknya mundur lebih jauh?”

Cao Yun tersenyum tipis dengan sorot matanya yang dingin. “Mundur itu masuk akal. Kalau dii tanah lapang, kita memang akan kewalahan."

"Tapi di sini,” dia menunjuk ke jalur sempit itu, “jumlah mereka yang banyak akan menjadi beban mereka sendiri.”

Perwira itu menelan ludah mendengar penjelasan Sang Jenderal.

Angin berhembus, membawa bau tanah basah. Para prajurit yang mendengar percakapan itu menegakkan punggung mereka, rasa gentar perlahan berganti keyakinan akan menang.

Cao Yun menghunus pedangnya, kilau bilahnya berpendar samar di balik kabut. “Siapkan barisan di sini! Biarkan mereka masuk. Begitu terjebak, mereka tidak akan punya jalan keluar.”

Kabut kian tebal, samar menutupi jejak pasukan Cao Yun yang tersebar di balik pepohonan. Langit seakan memihak pada mereka.

Suara langkah ribuan pasukan pemberontak semakin dekat, derap mereka mengguncang tanah.

Seorang prajurit pengintai tergopoh-gopoh berlari ke hadapan komandan pasukan yang nampak percaya diri di atas kudanya.

Dia segera berlutut dan memberi hormat "Lapor, Tuan Perwira. Pasukan musuh tidak nampak di area hutan. Perkiraan kami mereka sudah menyiapkan jebakan di area hutan."

"Hah!" Sang Komandan membentak keras, "memangnya jebakan macam apa yang mau mereka siapkan. Kita berjumlah dua ribu. Mereka hanya lima ratus orang."

"Sebelum Jenderal Xu Jian tiba, kita sudah harus membereskan mereka. Ini saatnya kita unjuk gigi dan menebar jasa. Hahaha!"

Tawa Si Komandan menggema di hutan itu.

Cao Yun mengangkat tangan, memberi isyarat. Puluhan prajuritnya segera bergerak cepat menuruni jalur sempit, pura-pura panik, menebar kesan pasukan kecil itu tengah melarikan diri.

“Kejar! Mereka di depan!” teriak para pemberontak,

Suara dari komandan mereka membelah udara tanpa tahu neraka sudah menunggu di depan.

*****

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pendekar Pedang Gila   24. Sosok Qi Liar

    “Mei Lan! Seranganmu terlalu dangkal!” teriak Cao Yun sambil menahan gempuran pedang naga Shen Liang yang hampir merobek pundaknya. Suara benturan logam menggema keras, percikan cahaya Qi liar beterbangan ke udara. Formasi Bintang bukan hanya soal posisi. Itu tarian maut, di mana tiap langkah dan tiap tebasan harus seirama, setara, tanpa keraguan sedikit pun. Satu orang goyah, seluruh formasi bisa runtuh. Mei Lan menggertakkan giginya. Dadanya naik-turun, keringat bercampur darah menetes dari pelipis. Dirinya sadar jenderal Cao Yun benar. Belatinya terlalu ringan, terlalu hati-hati. Ada keraguan di tangannya setiap kali bilahnya hampir menusuk tubuh Shen Liang. “Maaf, Jenderal…” suaranya nyaris tak terdengar, tapi sorot matanya mulai mengeras. Cao Yun menekan pedangnya, lalu berteriak lantang: “Serigala! Serang!” Wu Ling dan Wu Lan langsung melesat bagai bayangan hitam. Wu Ling menusuk dengan pedang pendeknya beruntun, kilatan baja berdesir seperti hujan rintik. Wu Lan

  • Pendekar Pedang Gila   23. Ritual Penyegelan

    Mo Tian menatap tajam pedang pusaka berkepala naga itu. Jemarinya yang kurus tapi bertenaga menyentuh permukaan bilahnya, seakan mencoba membaca jejak waktu dari dingin logam tersebut.“Sejak kapan Pangeran memegang pedang ini?" “Murid tidak tahu pasti, Guru. Hamba hanya melihat pedang itu selalu ada di sisinya.”Mei Lan ikut menyambung, “Seingatku… sejak hari aku pertama kali menemuinya.""Saat itu istana sudah dilalap api kudeta. Pangeran Shen Liang lolos dengan luka-luka parah, tapi pedang ini tergenggam erat di tangannya. Sejak hari itu, pedang ini tak pernah lepas darinya.”Mo Tian mengangguk tipis, seolah-olah jawaban itu meneguhkan kecurigaannya. Matanya memicing menatap Shen Liang yang terbaring, lalu kembali pada bilah pusaka yang memantulkan cahaya temaram gua.“Qi Liar ini memang telah berakar dalam tubuhnya,” gumamnya pelan, “namun terasa baru". "Biasanya Qi yang berakar sudah bersemayam puluhan bahkan ratusan tahun dalam garis darah pemiliknya. Tapi kasus Pangeran ini b

  • Pendekar Pedang Gila   22. Qi Liar

    Wu Ling hanya terdiam, keringat dingin merembes di pelipisnya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya: apakah sosok di depan mereka punya lebih dari satu wujud? Atau suara di luar tadi hanyalah dari kekuatan anehnya?Kalau ternyata itu memang kekuatannya, orang tua di hadapan mereka ini, tentu tak terukur kesaktiannya.Sosok tua berjubah putih itu membuka matanya perlahan. Sepasang mata yang jernih, setenang dan sedalam danau gunung, menatap mereka semua. Dalam tatapan itu, Wu bersaudara dan Mei Lan merasa seperti seluruh tubuh mereka bisa dibaca hingga ke tulang.Hening menekan. Hanya suara gemericik air terjun kecil yang mengisi udara.Cao Yun melangkah maju, lalu berlutut kembali dengan kedua tangan merapat di depan dada. Suaranya dalam, seperti penuh penyesalan.“Guru, murid menghaturkan beribu maaf karena telah berani melanggar perintahmu. Guru sudah melarangku menginjakkan kaki di gunung ini lagi … tapi keadaan memaksa. Murid merasa tak punya pilihan lain.”Orang tua berjubah putih i

  • Pendekar Pedang Gila   21. Roh Gunung Penyesalan

    "Justru karena di sini berbahaya, maka tempat ini paling aman untuk bersembunyi," jawab Cao Yun pada Wu Lan dengan pandangan berbinar."Lagipula, kaliankan Pasukan Serigala yang bergerak bagaikan kilat. Membunuh dengan cepat. Hantu mana yang berani menggangu kalian?""Tch," Wu Lan hanya mendengus singkat mendengar jawaban Jenderal Cao Yun.Tentu saja Wu Lan tak takut dengan manusia. Entah berapa liter darah yang pernah mampir di senjata cakar besinyaTapi kalau lawannya makhluk antah berantah, hantu, dedemit atau semacamnya, bahkan dirinya si ratu Serigala paling buas, tidak yakin kalau cakarnya bisa banyak berguna.Wu Ling dan Mei Lan hanya menahan tawa melihat kontradiksi seorang Perwira Pasukan Serigala Hitam bernama Wu Lan. Kejam, beringas, berdarah dingin tapi takut hantu.Pendakian panjang akhirnya membawa mereka tiba di puncak. Kabut yang tebal perlahan tersibak, menyingkap sebuah dataran luas.Di tengah puncak itu terbentang lapangan alami yang dikelilingi ngarai-ngarai raksas

  • Pendekar Pedang Gila   20. Berbelok ke Barat

    Seminggu kemudian. Kabut pagi masih menggantung di sekitar desa kecil itu. Embun terasa segar membasahi halaman bambu di belakang rumah Guo Shan. Wu Lan bergerak cepat, cakarnya berkelebat, menyambar ke arah Mei Lan. Tapi Serigala Kecil itu memiringkan tubuhnya lincah, kaki kirinya menjejak tanah dan tubuhnya berputar, menangkis serangan dengan kedua belatinya. Trang! Bunyi senjata beradu nyaring. Mei Lan terdorong dua langkah ke belakang, bahunya naik-turun menahan nafas, wajahnya pucat namun matanya bersinar penuh semangat. “Heheh …, belum pulih sepenuhnya, tapi gerakanmu lumayan cepat,” ujar Wu Lan, sudut bibirnya terangkat. Mei Lan mengusap keringat di pelipisnya dan menyeringai tipis. “Aku tidak bisa berlama-lama lemah. Kita masih dalam pengejaran.” Jenderal Cao Yun dan Wu Ling berkelebat muncul dari arah hutan Wu Lan dan Mei Lan serempak langsung menunduk hormat. “Jenderal!” Cao Yun berjalan mendekat, tatapannya menyapu singkat lalu berhenti pada wajah Mei Lan.

  • Pendekar Pedang Gila   19. Tanpa Rencana

    Shen… Liang…” suara Mei Lan yang lemah menembus kabut darah dan kegilaan. “Shen Liang…” Mei Lan melangkah terseok-seok dan perlahan, menembus lingkaran para pasukan Serigala Hitam menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan tiba-tiba datang menghadang, di depan “Oi, Mei Lan! Kau mau bunuh diri, ya?!” Tapi Mei Lan nampak tidak peduli. Dia terus saja berjalan menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan berniat memukul tengkuk Mei Lan untuk membuatnya pingsan. Tapi Jenderal Cao Yun tiba-tiba bersuara. "Biarkan dia!" Tanpa mereka sadari Sang Jenderal juga sudah muncul di arena pertarungan. Pandangan matanya berbinar dengan sorot mata yang bening saat melihat Mei Lan yang semakin mendekat ke arah Shen Liang. Jenderal Cao Yun seakan-akan menikmati sebuah pertunjukan. Wu bersaudara saling menatap. Para pasukan Serigala Hitam siaga penuh. Karena bila Si Pangeran Gila kembali mengamuk, mereka sudah siap menyerang dengan Formasi Bintang Sembilan. Juga, sebisa mungkin mereka harus berusaha menyelamatka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status