Home / Pendekar / Pendekar Pedang Gila / 2. Gadis Penyelamat

Share

2. Gadis Penyelamat

Author: DN KIYAN
last update Last Updated: 2025-08-26 19:09:16

Shen Liang masih terengah, wajahnya berlumur darah. Tangannya gemetar sambil menggenggam pedang pusaka.

Sementara si gadis yang barusan menyelamatkannya berdiri tenang dengan belati diselimuti cairan merah.

Tatapannya dingin, kontras dengan wajahnya yang manis.

Shen Liang menatapnya penuh keraguan.

“Siapa… kau?” suaranya serak, nyaris pecah.

“Mei Lan, tabib istana.” Ia menyebutkan namanya tanpa ragu, lalu menambahkan dengan nada datar, “Dan kalau tuan Pangeran ingin tetap hidup, ikut aku. Kita keluar lewat gerbang barat.”

Shen Liang berkerut, “Gerbang barat?” Ia menggeleng cepat. “Tidak-tidak …! Di sana penuh dengan pasukan pemberontak.”

Mei Lan mendengus kesal. “Tuan Pangeran, saat ini tidak ada tempat yang aman untukmu. Kalau Tuan mau selamat, cukup ikuti perintahku!”

Nada dingin itu menusuk harga diri Shen Liang. Wajahnya memerah, diliputi rasa takut bercampur malu.

Selama ini semua orang di istana menunduk hormat kepadanya, tapi gadis ini bicara tanpa sedikit pun memperlihatkan rasa sungkan.

Kecuali sebutan Tuan Pangeran.

Mei Lan menarik salah satu mayat prajurit, “Ganti pakaianmu dengan seragam prajurit ini, Pangeran!”

“Hah?! Apa kau sudah gila? Pakaiannya penuh darah, bau pula!” balas Shen Liang dengan wajah kusut.

Mei Lan menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala.

‘Sudahlah manja, bodoh pula’, Mei Lan membatin.

“Pangeran, kau akan menyamar jadi prajurit. Kita keluar di gerbang barat di mana mereka berkumpul, justru karena pengawasan di sana lemah.”

Sang Pangeran hanya bisa melongo mendengar penjelasan Mei Lan. “Tapi dari mana aku tau kalau kau bukan pengkhianat juga? Bisa saja kau menjebakku.”

Gantian Mei Lan yang melongo.

‘Tolol sampai ke tulang,' kembali Mei Lan membatin.

“Kalau aku juga pengkhianat, sudah kubiarkan pangeran terbunuh tadi.”

Untuk sesaat Shen Liang sempat ragu, namun dia tidak punya pilihan lain. Akhirnya mengikuti perintah Mei Lan. Dia mengganti pakaiannya dengan pakaian prajurit.

Wajahnya meringis jijik, sementara Mei Lan hanya tersenyum sinis melihat pemandangan itu.

*

Malam kian larut. Api yang membakar ibu kota masih menjilat langit, sementara dentingan senjata dan jeritan samar-samar terdengar dari kejauhan di seluruh penjuru ibu kota.

Shen Liang berjalan di samping Mei Lan dengan kepala tertunduk. Seragam prajurit yang melekat di tubuhnya masih berbau darah anyir, campur bau keringat apek membuat perutnya terasa mual.

Tangannya bergetar setiap kali ia menekan gagang pedang pusaka yang disembunyikan di balik jubah.

Di kejauhan, tembok barat nampak menjulang dengan kokohnya. Api obor menerangi sekitarnya, menampakkan siluet para prajurit yang berjaga.

“Tenang saja,” bisik Mei Lan lirih, matanya tetap menatap lurus ke depan. “Kalau kau gugup begitu, mereka bisa curiga.”

Shen Liang menggertakkan gigi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia mengangguk pelan, namun tubuhnya tetap kaku.

Tiba-tiba, tiga prajurit menghadang langkah mereka. Salah satunya mengacungkan tombak ke arah mereka.

“Berhenti! Kalian dari pasukan mana?”

Shen Liang sontak menegakkan kepala, matanya membelalak. Suaranya tercekat di tenggorokan.

Mei Lan bergerak cepat, menarik lengan Shen Liang lalu mendorongnya sedikit ke depan. Ia memberi hormat seadanya, suaranya terdengar tenang.

“Prajurit ini terluka parah. Aku tabib istana, aku ingin membawanya ke markas untuk diobati.”

Ketiga prajurit itu saling pandang. Sorot mata mereka penuh curiga. Salah satunya mendekat, menyoroti wajah Shen Liang dengan obor.

“Kenapa wajahmu pucat begitu? Dan kenapa jalannya goyah?!”

Shen Liang membeku, jantungnya berdebar kencang. Tangannya mulai terangkat ingin menutupi wajahnya.

Namun Mei Lan mendahului, bersuara ketus,

“Bodoh! Karena dia kena hantaman di ulu hati. Kalau tidak segera ditangani, dia mati. Aku ditugaskan untuk mengobati para prajurit yang terluka.”

Nada tajam itu membuat prajurit tersebut mundur setapak.

Tapi yang lain masih menyipitkan mata, jelas belum puas.

“Kalau begitu… buka penutup kepalanya. Aku ingin lihat wajahnya lebih jelas.”

Shen Liang tercekat, darahnya seperti berhenti mengalir.

“Silahkan saja,” jawab Mei Lan menyipitkan mata seakan tak peduli.

Shen Liang hanya bisa pasrah namun di luar dugaannya, si prajurit penjaga meloloskan mereka.

“Ya sudah. Lanjutkan!” sahut si prajurit.

Shen Liang masih menahan nafas begitu mereka melewati penjagaan pertama. Langkahnya limbung, namun matanya sempat melirik ke arah Mei Lan.

“Ha …, aku tak percaya mereka begitu saja membiarkan kita lewat,” bisiknya sambil menahan tawa kecil yang lebih terdengar seperti ejekan. “Ternyata kau cukup pandai juga.”

Mei Lan tak menoleh, hanya mendesis lirih, “Kita belum aman, Pangeran.”

Mereka bergerak menembus jalanan gelap, memilih jalur-jalur tersepi, menghindari kerumunan prajurit yang sibuk menjarah dan membakar rumah-rumah.

Api di kejauhan mewarnai langit merah pekat, asap hitam menyesakkan dada.

Langkah mereka kembali terhenti. Kali ini lima prajurit menghadang tepat di depan lorong menuju gerbang barat. Sorot mata mereka mencurigai setiap gerakan.

Salah satu dari mereka menuding dengan tombaknya. “Hei, kau! Apa itu yang menyembul di balik bajumu?”

Shen Liang membeku. Dari celah seragam yang longgar, gagang pedang pusaka tampak samar oleh cahaya obor. Wajahnya memucat.

“Pe… pedang ini…” Shen Liang tergagap, keringat dingin mengucur deras.

Namun sebelum ia sempat berbohong, Mei Lan bergerak lebih cepat daripada kilatan cahaya obor. Tangannya menyambar dua belati yang terselip di pinggangnya.

Sret!

Belatinya menembus tenggorokan prajurit terdekat. Tubuhnya melesat ringan, langkahnya senyap, hampir tak terlihat jelas di antara bayangan.

Ia berputar sekali, menepis tombak dengan lengan kiri, lalu mengiris urat leher prajurit kedua.

Tiga lawan tersisa sempat mengangkat senjata, namun semuanya sia-sia. Mei Lan merunduk rendah, menebas urat paha prajurit ketiga hingga terjatuh, kemudian menancapkan belatinya ke dada.

Prajurit keempat dan kelima mencoba menyerang bersamaan, tapi gerakannya terlalu lambat dibanding kelincahan Mei Lan.

Ia menyelinap di antara serangan mereka, menusukkan belati ke bawah ketiak satu orang, lalu melempar belatinya menancap tepat di tenggorokan yang lain.

Semua itu hanya berlangsung dalam beberapa kedipan mata.

Kini lima mayat tergeletak, darah mereka membentuk genangan hitam di jalan berbatu.

Mei Lan berdiri tegak, napasnya masih tenang, seolah ia baru saja merapikan rambut, bukan menghabisi lima nyawa.

Shen Liang berdiri terpaku, mulutnya ternganga. Darah hangat mengalir di antara batu jalan, menyisakan bau amis yang menusuk hidung.

Mei Lan menyeka belatinya ke pakaian salah satu mayat, lalu kembali melangkah seolah tak terjadi apa-apa.

“Jangan bengong! Jalan masih panjang.”

*****

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jac
Mei Lan keren. ......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Gila   24. Sosok Qi Liar

    “Mei Lan! Seranganmu terlalu dangkal!” teriak Cao Yun sambil menahan gempuran pedang naga Shen Liang yang hampir merobek pundaknya. Suara benturan logam menggema keras, percikan cahaya Qi liar beterbangan ke udara. Formasi Bintang bukan hanya soal posisi. Itu tarian maut, di mana tiap langkah dan tiap tebasan harus seirama, setara, tanpa keraguan sedikit pun. Satu orang goyah, seluruh formasi bisa runtuh. Mei Lan menggertakkan giginya. Dadanya naik-turun, keringat bercampur darah menetes dari pelipis. Dirinya sadar jenderal Cao Yun benar. Belatinya terlalu ringan, terlalu hati-hati. Ada keraguan di tangannya setiap kali bilahnya hampir menusuk tubuh Shen Liang. “Maaf, Jenderal…” suaranya nyaris tak terdengar, tapi sorot matanya mulai mengeras. Cao Yun menekan pedangnya, lalu berteriak lantang: “Serigala! Serang!” Wu Ling dan Wu Lan langsung melesat bagai bayangan hitam. Wu Ling menusuk dengan pedang pendeknya beruntun, kilatan baja berdesir seperti hujan rintik. Wu Lan

  • Pendekar Pedang Gila   23. Ritual Penyegelan

    Mo Tian menatap tajam pedang pusaka berkepala naga itu. Jemarinya yang kurus tapi bertenaga menyentuh permukaan bilahnya, seakan mencoba membaca jejak waktu dari dingin logam tersebut.“Sejak kapan Pangeran memegang pedang ini?" “Murid tidak tahu pasti, Guru. Hamba hanya melihat pedang itu selalu ada di sisinya.”Mei Lan ikut menyambung, “Seingatku… sejak hari aku pertama kali menemuinya.""Saat itu istana sudah dilalap api kudeta. Pangeran Shen Liang lolos dengan luka-luka parah, tapi pedang ini tergenggam erat di tangannya. Sejak hari itu, pedang ini tak pernah lepas darinya.”Mo Tian mengangguk tipis, seolah-olah jawaban itu meneguhkan kecurigaannya. Matanya memicing menatap Shen Liang yang terbaring, lalu kembali pada bilah pusaka yang memantulkan cahaya temaram gua.“Qi Liar ini memang telah berakar dalam tubuhnya,” gumamnya pelan, “namun terasa baru". "Biasanya Qi yang berakar sudah bersemayam puluhan bahkan ratusan tahun dalam garis darah pemiliknya. Tapi kasus Pangeran ini b

  • Pendekar Pedang Gila   22. Qi Liar

    Wu Ling hanya terdiam, keringat dingin merembes di pelipisnya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya: apakah sosok di depan mereka punya lebih dari satu wujud? Atau suara di luar tadi hanyalah dari kekuatan anehnya?Kalau ternyata itu memang kekuatannya, orang tua di hadapan mereka ini, tentu tak terukur kesaktiannya.Sosok tua berjubah putih itu membuka matanya perlahan. Sepasang mata yang jernih, setenang dan sedalam danau gunung, menatap mereka semua. Dalam tatapan itu, Wu bersaudara dan Mei Lan merasa seperti seluruh tubuh mereka bisa dibaca hingga ke tulang.Hening menekan. Hanya suara gemericik air terjun kecil yang mengisi udara.Cao Yun melangkah maju, lalu berlutut kembali dengan kedua tangan merapat di depan dada. Suaranya dalam, seperti penuh penyesalan.“Guru, murid menghaturkan beribu maaf karena telah berani melanggar perintahmu. Guru sudah melarangku menginjakkan kaki di gunung ini lagi … tapi keadaan memaksa. Murid merasa tak punya pilihan lain.”Orang tua berjubah putih i

  • Pendekar Pedang Gila   21. Roh Gunung Penyesalan

    "Justru karena di sini berbahaya, maka tempat ini paling aman untuk bersembunyi," jawab Cao Yun pada Wu Lan dengan pandangan berbinar."Lagipula, kaliankan Pasukan Serigala yang bergerak bagaikan kilat. Membunuh dengan cepat. Hantu mana yang berani menggangu kalian?""Tch," Wu Lan hanya mendengus singkat mendengar jawaban Jenderal Cao Yun.Tentu saja Wu Lan tak takut dengan manusia. Entah berapa liter darah yang pernah mampir di senjata cakar besinyaTapi kalau lawannya makhluk antah berantah, hantu, dedemit atau semacamnya, bahkan dirinya si ratu Serigala paling buas, tidak yakin kalau cakarnya bisa banyak berguna.Wu Ling dan Mei Lan hanya menahan tawa melihat kontradiksi seorang Perwira Pasukan Serigala Hitam bernama Wu Lan. Kejam, beringas, berdarah dingin tapi takut hantu.Pendakian panjang akhirnya membawa mereka tiba di puncak. Kabut yang tebal perlahan tersibak, menyingkap sebuah dataran luas.Di tengah puncak itu terbentang lapangan alami yang dikelilingi ngarai-ngarai raksas

  • Pendekar Pedang Gila   20. Berbelok ke Barat

    Seminggu kemudian. Kabut pagi masih menggantung di sekitar desa kecil itu. Embun terasa segar membasahi halaman bambu di belakang rumah Guo Shan. Wu Lan bergerak cepat, cakarnya berkelebat, menyambar ke arah Mei Lan. Tapi Serigala Kecil itu memiringkan tubuhnya lincah, kaki kirinya menjejak tanah dan tubuhnya berputar, menangkis serangan dengan kedua belatinya. Trang! Bunyi senjata beradu nyaring. Mei Lan terdorong dua langkah ke belakang, bahunya naik-turun menahan nafas, wajahnya pucat namun matanya bersinar penuh semangat. “Heheh …, belum pulih sepenuhnya, tapi gerakanmu lumayan cepat,” ujar Wu Lan, sudut bibirnya terangkat. Mei Lan mengusap keringat di pelipisnya dan menyeringai tipis. “Aku tidak bisa berlama-lama lemah. Kita masih dalam pengejaran.” Jenderal Cao Yun dan Wu Ling berkelebat muncul dari arah hutan Wu Lan dan Mei Lan serempak langsung menunduk hormat. “Jenderal!” Cao Yun berjalan mendekat, tatapannya menyapu singkat lalu berhenti pada wajah Mei Lan.

  • Pendekar Pedang Gila   19. Tanpa Rencana

    Shen… Liang…” suara Mei Lan yang lemah menembus kabut darah dan kegilaan. “Shen Liang…” Mei Lan melangkah terseok-seok dan perlahan, menembus lingkaran para pasukan Serigala Hitam menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan tiba-tiba datang menghadang, di depan “Oi, Mei Lan! Kau mau bunuh diri, ya?!” Tapi Mei Lan nampak tidak peduli. Dia terus saja berjalan menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan berniat memukul tengkuk Mei Lan untuk membuatnya pingsan. Tapi Jenderal Cao Yun tiba-tiba bersuara. "Biarkan dia!" Tanpa mereka sadari Sang Jenderal juga sudah muncul di arena pertarungan. Pandangan matanya berbinar dengan sorot mata yang bening saat melihat Mei Lan yang semakin mendekat ke arah Shen Liang. Jenderal Cao Yun seakan-akan menikmati sebuah pertunjukan. Wu bersaudara saling menatap. Para pasukan Serigala Hitam siaga penuh. Karena bila Si Pangeran Gila kembali mengamuk, mereka sudah siap menyerang dengan Formasi Bintang Sembilan. Juga, sebisa mungkin mereka harus berusaha menyelamatka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status