Shen Liang masih terengah, wajahnya berlumur darah. Tangannya gemetar sambil menggenggam pedang pusaka.
Sementara si gadis yang barusan menyelamatkannya berdiri tenang dengan belati diselimuti cairan merah. Tatapannya dingin, kontras dengan wajahnya yang manis. Shen Liang menatapnya penuh keraguan. “Siapa… kau?” suaranya serak, nyaris pecah. “Mei Lan, tabib istana.” Ia menyebutkan namanya tanpa ragu, lalu menambahkan dengan nada datar, “Dan kalau tuan Pangeran ingin tetap hidup, ikut aku. Kita keluar lewat gerbang barat.” Shen Liang berkerut, “Gerbang barat?” Ia menggeleng cepat. “Tidak-tidak …! Di sana penuh dengan pasukan pemberontak.” Mei Lan mendengus kesal. “Tuan Pangeran, saat ini tidak ada tempat yang aman untukmu. Kalau Tuan mau selamat, cukup ikuti perintahku!” Nada dingin itu menusuk harga diri Shen Liang. Wajahnya memerah, diliputi rasa takut bercampur malu. Selama ini semua orang di istana menunduk hormat kepadanya, tapi gadis ini bicara tanpa sedikit pun memperlihatkan rasa sungkan. Kecuali sebutan Tuan Pangeran. Mei Lan menarik salah satu mayat prajurit, “Ganti pakaianmu dengan seragam prajurit ini, Pangeran!” “Hah?! Apa kau sudah gila? Pakaiannya penuh darah, bau pula!” balas Shen Liang dengan wajah kusut. Mei Lan menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala. ‘Sudahlah manja, bodoh pula’, Mei Lan membatin. “Pangeran, kau akan menyamar jadi prajurit. Kita keluar di gerbang barat di mana mereka berkumpul, justru karena pengawasan di sana lemah.” Sang Pangeran hanya bisa melongo mendengar penjelasan Mei Lan. “Tapi dari mana aku tau kalau kau bukan pengkhianat juga? Bisa saja kau menjebakku.” Gantian Mei Lan yang melongo. ‘Tolol sampai ke tulang,' kembali Mei Lan membatin. “Kalau aku juga pengkhianat, sudah kubiarkan pangeran terbunuh tadi.” Untuk sesaat Shen Liang sempat ragu, namun dia tidak punya pilihan lain. Akhirnya mengikuti perintah Mei Lan. Dia mengganti pakaiannya dengan pakaian prajurit. Wajahnya meringis jijik, sementara Mei Lan hanya tersenyum sinis melihat pemandangan itu. * Malam kian larut. Api yang membakar ibu kota masih menjilat langit, sementara dentingan senjata dan jeritan samar-samar terdengar dari kejauhan di seluruh penjuru ibu kota. Shen Liang berjalan di samping Mei Lan dengan kepala tertunduk. Seragam prajurit yang melekat di tubuhnya masih berbau darah anyir, campur bau keringat apek membuat perutnya terasa mual. Tangannya bergetar setiap kali ia menekan gagang pedang pusaka yang disembunyikan di balik jubah. Di kejauhan, tembok barat nampak menjulang dengan kokohnya. Api obor menerangi sekitarnya, menampakkan siluet para prajurit yang berjaga. “Tenang saja,” bisik Mei Lan lirih, matanya tetap menatap lurus ke depan. “Kalau kau gugup begitu, mereka bisa curiga.” Shen Liang menggertakkan gigi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia mengangguk pelan, namun tubuhnya tetap kaku. Tiba-tiba, tiga prajurit menghadang langkah mereka. Salah satunya mengacungkan tombak ke arah mereka. “Berhenti! Kalian dari pasukan mana?” Shen Liang sontak menegakkan kepala, matanya membelalak. Suaranya tercekat di tenggorokan. Mei Lan bergerak cepat, menarik lengan Shen Liang lalu mendorongnya sedikit ke depan. Ia memberi hormat seadanya, suaranya terdengar tenang. “Prajurit ini terluka parah. Aku tabib istana, aku ingin membawanya ke markas untuk diobati.” Ketiga prajurit itu saling pandang. Sorot mata mereka penuh curiga. Salah satunya mendekat, menyoroti wajah Shen Liang dengan obor. “Kenapa wajahmu pucat begitu? Dan kenapa jalannya goyah?!” Shen Liang membeku, jantungnya berdebar kencang. Tangannya mulai terangkat ingin menutupi wajahnya. Namun Mei Lan mendahului, bersuara ketus, “Bodoh! Karena dia kena hantaman di ulu hati. Kalau tidak segera ditangani, dia mati. Aku ditugaskan untuk mengobati para prajurit yang terluka.” Nada tajam itu membuat prajurit tersebut mundur setapak. Tapi yang lain masih menyipitkan mata, jelas belum puas. “Kalau begitu… buka penutup kepalanya. Aku ingin lihat wajahnya lebih jelas.” Shen Liang tercekat, darahnya seperti berhenti mengalir. “Silahkan saja,” jawab Mei Lan menyipitkan mata seakan tak peduli. Shen Liang hanya bisa pasrah namun di luar dugaannya, si prajurit penjaga meloloskan mereka. “Ya sudah. Lanjutkan!” sahut si prajurit. Shen Liang masih menahan nafas begitu mereka melewati penjagaan pertama. Langkahnya limbung, namun matanya sempat melirik ke arah Mei Lan. “Ha …, aku tak percaya mereka begitu saja membiarkan kita lewat,” bisiknya sambil menahan tawa kecil yang lebih terdengar seperti ejekan. “Ternyata kau cukup pandai juga.” Mei Lan tak menoleh, hanya mendesis lirih, “Kita belum aman, Pangeran.” Mereka bergerak menembus jalanan gelap, memilih jalur-jalur tersepi, menghindari kerumunan prajurit yang sibuk menjarah dan membakar rumah-rumah. Api di kejauhan mewarnai langit merah pekat, asap hitam menyesakkan dada. Langkah mereka kembali terhenti. Kali ini lima prajurit menghadang tepat di depan lorong menuju gerbang barat. Sorot mata mereka mencurigai setiap gerakan. Salah satu dari mereka menuding dengan tombaknya. “Hei, kau! Apa itu yang menyembul di balik bajumu?” Shen Liang membeku. Dari celah seragam yang longgar, gagang pedang pusaka tampak samar oleh cahaya obor. Wajahnya memucat. “Pe… pedang ini…” Shen Liang tergagap, keringat dingin mengucur deras. Namun sebelum ia sempat berbohong, Mei Lan bergerak lebih cepat daripada kilatan cahaya obor. Tangannya menyambar dua belati yang terselip di pinggangnya. Sret! Belatinya menembus tenggorokan prajurit terdekat. Tubuhnya melesat ringan, langkahnya senyap, hampir tak terlihat jelas di antara bayangan. Ia berputar sekali, menepis tombak dengan lengan kiri, lalu mengiris urat leher prajurit kedua. Tiga lawan tersisa sempat mengangkat senjata, namun semuanya sia-sia. Mei Lan merunduk rendah, menebas urat paha prajurit ketiga hingga terjatuh, kemudian menancapkan belatinya ke dada. Prajurit keempat dan kelima mencoba menyerang bersamaan, tapi gerakannya terlalu lambat dibanding kelincahan Mei Lan. Ia menyelinap di antara serangan mereka, menusukkan belati ke bawah ketiak satu orang, lalu melempar belatinya menancap tepat di tenggorokan yang lain. Semua itu hanya berlangsung dalam beberapa kedipan mata. Kini lima mayat tergeletak, darah mereka membentuk genangan hitam di jalan berbatu. Mei Lan berdiri tegak, napasnya masih tenang, seolah ia baru saja merapikan rambut, bukan menghabisi lima nyawa. Shen Liang berdiri terpaku, mulutnya ternganga. Darah hangat mengalir di antara batu jalan, menyisakan bau amis yang menusuk hidung. Mei Lan menyeka belatinya ke pakaian salah satu mayat, lalu kembali melangkah seolah tak terjadi apa-apa. “Jangan bengong! Jalan masih panjang.” ***** BersambungWuss wuss wussTiba-tiba dari arah bukit di belakang mereka ratusan anak panah melesat serentak. Langit seakan dipenuhi kerumunan tawon berwarna hitam.Jeritan pecah. Tubuh-tubuh pasukan pemberontak terhuyung, roboh di bawah hujan anak-anak panah yang melesat tanpa ampun. Formasi mereka buyar, teriakan perintah bercampur dengan teriakan kematian.Shen Liang hanya bisa melongo melihat pemandangan di depannya. Serangan panah itu terus datang dengan beruntun. Mei Lan menatap dengan sorot mata yang jernih, kali ini tersenyum lebih jelas, “Mereka datang …” bisiknya.Di kejauhan, terdengar teriakan dan bunyi denting senjata beradu.Para pasukan pemberontak yang berhasil kabur dari serangan panah rupanya dihadang oleh pasukan lain.Dari balik kabut, pasukan bersenjata lengkap muncul dengan bendera kerajaan. Di barisan depan, seorang lelaki bertubuh tegap dengan wajah penuh wibawa menunggang kuda hitam.Tatapannya tajam, suaranya lantang bagai guntur. “Prajurit kerajaan! Basmi semua pemberon
Mei Lan tanpa banyak bicara menggenggam lengan Shen Liang. “Ikut aku!” bisiknya pendek. Melihat jumlah musuh yang terlalu banyak, Mei Lan memutuskan agar mereka lari dari situ.Lagipula arena pertarungan yang lapang tidak menguntungkan dirinya. Kalau hanya sendiri dia masih bisa melakukan perlawanan. Mereka menyelinap, berlari lebih jauh ke dalam hutan yang gelap, hanya berbekal bunyi serangga dan desir angin sebagai penunjuk arah.Sesekali, Mei Lan menyalakan kembali obor untuk memastikan keadaan, lalu segera memadamkannya lagi agar tidak menarik perhatian. Shen Liang menelan ludah, setiap kali cahaya padam, jantungnya serasa ikut berhenti.Batang-batang pohon menjulang, bayangannya seperti tangan hitam yang siap meraih mereka. Di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing, mungkin juga serigala.Akhirnya, setelah dirasa cukup jauh, Mei Lan berhenti. Ia menurunkan bungkusan kain tipis yang dibawanya, lalu duduk bersandar pada akar besar. “Kita bermalam di sini,” katanya datar, sea
Udara malam menusuk dingin ketika mereka melangkah keluar dari lorong demi lorong menuju gerbang barat. Obor-obor menyala, bayangan prajurit berjaga meliuk-liuk panjang di tanah.Shen Liang menunduk dalam-dalam. Jantungnya berdegup seperti genderang perang, keringat dingin mengalir di pelipis meski udara malam membeku. Seragam prajurit pengkhianat yang melekat di tubuhnya terasa berat, dia baru sadar, termyata bau darah makin lama bukannya menghilang, malah makin menusuk hidung.Di sampingnya, Mei Lan berjalan mantap dengan wajah tanpa ragu. Dua prajurit jaga melirik curiga ketika mereka melintas. Tombak-tombak di tangan mereka berkilat diterpa cahaya obor. Untuk sesaat, Shen Liang merasa nafasnya berhenti.Namun Mei Lan tidak mengubah langkah, wajahnya tetap datar. Saat prajurit itu hendak bicara, salah satunya hanya mengibaskan tangan malas.“Lewat!”Shen Liang kembali menghembuskan nafas panjang yang dia tahan setiap kali berpapasan dengan para prajurit jaga. Langkah mereka maki
Shen Liang masih terengah, wajahnya berlumur darah. Tangannya gemetar sambil menggenggam pedang pusaka. Sementara si gadis yang barusan menyelamatkannya berdiri tenang dengan belati diselimuti cairan merah. Tatapannya dingin, kontras dengan wajahnya yang manis.Shen Liang menatapnya penuh keraguan.“Siapa… kau?” suaranya serak, nyaris pecah.“Mei Lan, tabib istana.” Ia menyebutkan namanya tanpa ragu, lalu menambahkan dengan nada datar, “Dan kalau tuan Pangeran ingin tetap hidup, ikut aku. Kita keluar lewat gerbang barat.”Shen Liang berkerut, “Gerbang barat?” Ia menggeleng cepat. “Tidak-tidak …! Di sana penuh dengan pasukan pemberontak.”Mei Lan mendengus kesal. “Tuan Pangeran, saat ini tidak ada tempat yang aman untukmu. Kalau Tuan mau selamat, cukup ikuti perintahku!”Nada dingin itu menusuk harga diri Shen Liang. Wajahnya memerah, diliputi rasa takut bercampur malu. Selama ini semua orang di istana menunduk hormat kepadanya, tapi gadis ini bicara tanpa sedikit pun memperlihatkan
Pangeran Shen Liang bersembunyi di balik pilar-pilar tinggi raksasa, tubuhnya menggigil hebat disertai keringat dingin mengucur membasahi dahinya. Udara malam yang lembab bercampur bau dupa yang harum. Tapi kini ditambah bau amis darah para prajurit pengawal raja yang sudah tumbang. Bau kematian membuat perutnya mual. Dari celah sempit, dia menyaksikan ayah dan ibunya dipaksa berlutut di hadapan Jenderal Bao Jun. Orang yang dulu selalu menunduk hormat, kini berdiri dengan pedang terhunus dan pandangan mata penuh aura kejahatan. Bao Jun, Jenderal yang paling dipercaya oleh sang Raja ternyata berkhianat dan melakukan kudeta malam itu. “Kenapa kau melakukan ini, Bao Jun?” Sang Raja bertanya dengan mata merah dan tatapn tajam yang menusuk. Bao Jun hanya menyeringai, “Heh?! Mengapa Baginda bertanya? Bukankah sejak dulu dunia memang begini? Mereka yang lemah akan ditindas oleh yang lebih kuat.” “Kerajaanmu ini, Baginda-, sudah keropos. Para pejabatnya korup. Kerajaan ini hanya mengg