Share

Gerbang Barat

Author: DN KIYAN
last update Last Updated: 2025-08-26 19:15:18

Udara malam menusuk dingin ketika mereka melangkah keluar dari lorong demi lorong menuju gerbang barat. Obor-obor menyala, bayangan prajurit berjaga meliuk-liuk panjang di tanah.

Shen Liang menunduk dalam-dalam. Jantungnya berdegup seperti genderang perang, keringat dingin mengalir di pelipis meski udara malam membeku. 

Seragam prajurit pengkhianat yang melekat di tubuhnya terasa berat, dia baru sadar, termyata bau darah makin lama bukannya menghilang, malah makin menusuk hidung.

Di sampingnya, Mei Lan berjalan mantap dengan wajah tanpa ragu. 

Dua prajurit jaga melirik curiga ketika mereka melintas. Tombak-tombak di tangan mereka berkilat diterpa cahaya obor. Untuk sesaat, Shen Liang merasa nafasnya berhenti.

Namun Mei Lan tidak mengubah langkah, wajahnya tetap datar. Saat prajurit itu hendak bicara, salah satunya hanya mengibaskan tangan malas.

“Lewat!”

Shen Liang kembali menghembuskan nafas panjang yang dia tahan setiap kali berpapasan dengan para prajurit jaga. 

Langkah mereka makin hati-hati saat memasuki gang sempit di antara rumah-rumah kayu. Api di kejauhan membuat bayangan mereka menari di dinding.

Tiba-tiba terdengar derap langkah mendekat. Suara zirah beradu, bercampur obrolan kasar prajurit pemberontak.

Mei Lan langsung mendorong Shen Liang ke dinding, tubuhnya menempel rapat. Ia memberi isyarat dengan jari di depan bibir.

Tiga prajurit lewat hanya beberapa langkah di depan mereka. Obrolan mereka terdengar jelas.

“Pangeran tolol itu pasti sudah mati. Mana mungkin dia bisa keluar,” tukas salah seorang penjaga.

“Hahaha, kalau pun hidup, palingan jadi tikus yang bersembunyi di selokan,” sambung yang lainnya.

Shen Liang menggertakkan giginya. Wajahnya memerah, marah bercampur takut. 

Para prajurit itu berhenti sebentar. Salah satunya menoleh, menatap lurus ke arah gang tempat mereka bersembunyi.

Shen Liang menutup mata, tubuhnya seakan membatu.

Ternyata prajurit itu hanya mengeluarkan dahak dan meludah ke tanah sebelum melangkah lagi. 

Shen Liang dan Mei Lan terus melanjutkan perjalanan sampai akhirnya tiba di gerbang barat.

Shen Liang akhirnya mengerti kata-kata Mei Lan. Di gerbang barat memang dipenuhi prajurit pemberontak tapi pengawasan lebih longgar. 

Tidak ada prajurit yang mengenalinya. Hanya prajurit penjaga istana utama yang mengenali wajah Sang Pangeran. Mereka semua mungkin ditugaskan berjaga di gerbang timur. 

“Berhenti.” Suara tegas salah satu penjaga menghentikan langkah mereka. Mata prajurit itu sempat menyipit, lalu melebar sedikit. “Mei Lan? Tabib istana?”

Mei Lan pura-pura terkejut. “Oh, Prajurit Han. Rupanya kau yang berjaga malam ini.” Ia menundukkan kepala sebentar.

“Aku mendapat perintah mendadak dari atasan. Ada perwira luka parah yang butuh ramuan khusus, tanaman itu hanya bisa kudapat di luar kota.”

Perwira Han mendengus. “Tengah malam begini? Kau pikir aku bisa percaya begitu saja?”

Mei Lan tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Shen Liang yang menunduk. “Itulah sebabnya aku membawa pengawalku ini. Dia prajurit yang juga terluka cukup parah. Kau lihat sendiri jalannya goyah, bukan?”

Dada Shen Liang berdebar kencang, tapi segera memegangi perutnya pura-pura sakit. Ia meringis berlebihan, hampir tampak seperti sandiwara murahan.

Perwira Han menatap lama, matanya penuh curiga. Namun akhirnya ia mengangkat tangannya malas. “Terserah. Cepat saja, jangan bikin masalah!”

Gerbang perlahan terbuka. Udara malam yang dingin menyapa wajah Shen Liang. Untuk pertama kalinya, ia melihat langit terbuka tanpa atap istana yang megah. 

Sesaat Dadanya terasa sedikit lapang. 

Namun. kegembiraan itu tak bertahan lama. Dari balik tembok, terdengar keributan. Teriakan para prajurit menggema, obor berjatuhan, dan suara logam beradu memenuhi udara.

Shen Liang menoleh panik ke belakang. “Apa yang terjadi…?”

Mei Lan mencengkeram lengannya kuat. “Jangan peduli! Jalan terus!”

“Mungkin mereka menemukan mayat-mayat prajurit yang kubunuh tadi’. Mei Lan membatin.

*

Langkah mereka makin jauh meninggalkan dinding kota. Hutan tipis berganti padang tanah lapang.

Di wajah terukir Shen Liang senyum lega, meski napasnya tersengal. 

“Akhirnya!”

“Akhirnya kita… benar-benar berhasil keluar…” gumamnya. Suaranya bergetar campuran girang dan tak percaya.

Namun wajah Mei Lan sama sekali tak berubah. Tatapannya tajam menembus malam. “Jangan dulu bersorak, Pangeran. Pelarian baru saja dimulai.”

Shen Liang hendak membantah, tapi pandangannya terhenti. Dari balik pepohonan, langit malam yang hitam kelam ternoda cahaya merah. Seperti obor raksasa menelan langit.

“Apa itu?!” ia bergumam kaget.

Mereka berjalan mendekat. Bau hangus makin menyengat, disertai suara kayu patah dan letupan api. 

Tak lama, pemandangan itu terbentang jelas di depan mata. Sebuah desa, rata dengan tanah, dilahap api.

Rumah-rumah jerami tinggal kerangka. Asap tebal menggulung ke langit. Dari sela-sela api, terdengar tangisan samar, jeritan tertahan, lalu sunyi.

Shen Liang mematung. Kakinya tak sanggup melangkah. Matanya membesar, tubuhnya bergetar hebat. “Ini… ini desa? Mereka… semua…”

Mei Lan menoleh sekilas, wajahnya tetap datar. “Inilah dunia di luar istana, Pangeran. Dunia yang mungkin tak pernah kau lihat.”

Sepanjang hidupnya, Pangeran Liang tak pernah sekalipun keluar dari tembok Istana Ibu Kota. Si Pangeran manja itu terlalu nyaman dengan surganya.

Shen Liang mundur setapak, dadanya sesak. Untuk pertama kalinya, dinding emas istana runtuh di matanya, digantikan oleh kenyataan yang lebih kejam dari mimpi buruk.

Langkah Shen Liang terhenti di depan reruntuhan sebuah rumah yang sudah jadi arang.

Asap tipis masih mengepul dari tiang kayu hangus. Di antara tumpukan abu, sesuatu berkilat terkena cahaya api. Shen Liang menunduk dan seketika wajahnya pucat pasi.

Itu bukan benda. Itu tulang lengan mungil, masih menempel pada tubuh kecil yang hangus setengah. 

Di pelukan mayat itu, sebuah boneka kain terbakar, kepalanya sudah hilang, hanya sisa lengan robek yang menggantung.

Shen Liang mundur selangkah, tangannya gemetar. Perutnya bergejolak. Ia hampir memuntahkan isi perutnya, tapi hanya udara kering yang keluar.

“Tidak … tidak …” suaranya pecah. “Kenapa … seorang anak kecil …?”

Mei Lan menoleh singkat, ekspresinya tak berubah. Ia menarik lengan Shen Liang dengan kasar. “Jangan berhenti! Kalau kau terus menatap, kau tak akan bisa berjalan lagi.”

Shen Liang menepis tangannya, wajahnya dipenuhi amarah bercampur ngeri. “Apa kau tidak melihat?! Itu seorang anak kecil, bagaimana bisa kau begitu tenang?!”

Mata Mei Lan dingin menusuk. “Kalau kau ingin berhenti menangisi setiap mayat, kita tidak akan pernah selamat dari tempat ini.”

Shen Liang tercekat, kehilangan kata-kata. Dadanya naik turun cepat, air mata menggenang di pelupuk mata.

Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar kecil, rapuh, dan tak berdaya.

Mereka terus berjalan melewati jalan tanah yang berlumur abu. Angin malam membawa bau anyir darah bercampur asap.

Di pinggir jalan, tergeletak puluhan mayat rakyat jelata, wajah mereka menghitam terbakar atau tertusuk senjata. 

Shen Liang sudah terlalu lemah untuk bereaksi. Kakinya gemetar, langkahnya seperti menyeret diri.

Tiba-tiba ia berhenti. Matanya membesar.

Di antara tumpukan mayat, seorang lelaki tua tergeletak telentang. Tubuhnya penuh luka, dada tertembus tombak. Tapi wajahnya masih bisa dikenali. Janggut putih tipis, mata setengah terbuka.

Shen Liang menutup mulut dengan tangan, suara tercekat keluar di sela napas. “Itu … itu Pang Wu …!”

Mei Lan menoleh sekilas. “Kau mengenalnya?”

“Dia … dia prajurit pengawal istana. Sejak aku kecil, dia sering berjaga di depan gerbang kediaman pangeran. Dia selalu tersenyum padaku …”

Suara Shen Liang pecah, air mata menetes tanpa bisa ditahan. Ia jatuh berlutut di samping mayat itu, tangannya gemetar menyentuh pakaian robek yang masih basah oleh darah yang mulai mengental.

“Bagaimana mungkin …? Ia prajurit setia … Mengapa ia ada di sini … mengapa ia mati seperti ini?!”

Mei Lan hanya menatap tajam dan dingin. 

Shen Liang menggeleng keras, suaranya parau. “Tidak … tidak … kalau orang seperti Pang Wu saja bisa mati, lalu … lalu siapa yang akan melindungi kita?!”

Mei Lan tidak menjawab. Ia hanya meraih lengan Shen Liang dan menariknya berdiri.

Tatapannya keras, menusuk bagai belati.

“Tak ada lagi yang akan melindungimu, Pangeran. Mulai sekarang, hanya dirimu sendiri.”

Shen Liang terdiam, tubuhnya lunglai. Kata-kata itu menancap dalam, lebih tajam daripada luka pedang mana pun.

*

Shen Liang berlari terengah, napasnya memburu seakan paru-parunya hendak meledak. 

Kegelapan hutan malam hanya diterangi cahaya bulan yang pucat, membuat setiap bayangan tampak seperti musuh yang mengintai.

Mei Lan tiba-tiba menghentikan langkahnya, telinganya tajam menangkap suara asing. Ia merapatkan tubuh ke batang pohon besar, lalu berbisik cepat, “Ada orang mengejar.”

Shen Liang menegang. Baru saja ia hendak bertanya, dari arah semak terdengar gemerisik keras. 

Beberapa sosok prajurit pemberontak muncul, wajah-wajah garang mereka terpantul samar cahaya obor.

“Jejaknya ke arah sini!” salah seorang berseru.

Shen Liang mundur selangkah, lututnya goyah. Tangannya mencengkeram gagang pedang, tapi telapak tangannya basah oleh keringat. 

Ia ingin bersembunyi, ingin kembali ke istana yang nyaman, ingin semua ini hanya mimpi buruk.

Namun, langkah kaki semakin mendekat. Tiga prajurit sudah menghunus senjata, menyorotkan mata penuh curiga ke sekeliling.

Mei Lan berdiri di depan, dua belatinya siap. Tapi kali ini jumlah musuh tak sedikit. Wajahnya tetap dingin, meski matanya sempat melirik sekilas pada Shen Liang.

“Bersiaplah, Pangeran,” ucapnya rendah.

Shen Liang menelan ludah, nyaris tersedak. Kakinya gemetar, tubuhnya ingin kabur, tapi tak ada jalan lagi. 

Untuk pertama kalinya, ia benar-benar terpojok dan tak bisa hanya bersembunyi di balik keberanian orang lain.

*****

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Gila   Kesetiaan Seorang Prajurit

    Wuss wuss wussTiba-tiba dari arah bukit di belakang mereka ratusan anak panah melesat serentak. Langit seakan dipenuhi kerumunan tawon berwarna hitam.Jeritan pecah. Tubuh-tubuh pasukan pemberontak terhuyung, roboh di bawah hujan anak-anak panah yang melesat tanpa ampun. Formasi mereka buyar, teriakan perintah bercampur dengan teriakan kematian.Shen Liang hanya bisa melongo melihat pemandangan di depannya. Serangan panah itu terus datang dengan beruntun. Mei Lan menatap dengan sorot mata yang jernih, kali ini tersenyum lebih jelas, “Mereka datang …” bisiknya.Di kejauhan, terdengar teriakan dan bunyi denting senjata beradu.Para pasukan pemberontak yang berhasil kabur dari serangan panah rupanya dihadang oleh pasukan lain.Dari balik kabut, pasukan bersenjata lengkap muncul dengan bendera kerajaan. Di barisan depan, seorang lelaki bertubuh tegap dengan wajah penuh wibawa menunggang kuda hitam.Tatapannya tajam, suaranya lantang bagai guntur. “Prajurit kerajaan! Basmi semua pemberon

  • Pendekar Pedang Gila   Darah Pertama

    Mei Lan tanpa banyak bicara menggenggam lengan Shen Liang. “Ikut aku!” bisiknya pendek. Melihat jumlah musuh yang terlalu banyak, Mei Lan memutuskan agar mereka lari dari situ.Lagipula arena pertarungan yang lapang tidak menguntungkan dirinya. Kalau hanya sendiri dia masih bisa melakukan perlawanan. Mereka menyelinap, berlari lebih jauh ke dalam hutan yang gelap, hanya berbekal bunyi serangga dan desir angin sebagai penunjuk arah.Sesekali, Mei Lan menyalakan kembali obor untuk memastikan keadaan, lalu segera memadamkannya lagi agar tidak menarik perhatian. Shen Liang menelan ludah, setiap kali cahaya padam, jantungnya serasa ikut berhenti.Batang-batang pohon menjulang, bayangannya seperti tangan hitam yang siap meraih mereka. Di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing, mungkin juga serigala.Akhirnya, setelah dirasa cukup jauh, Mei Lan berhenti. Ia menurunkan bungkusan kain tipis yang dibawanya, lalu duduk bersandar pada akar besar. “Kita bermalam di sini,” katanya datar, sea

  • Pendekar Pedang Gila   Gerbang Barat

    Udara malam menusuk dingin ketika mereka melangkah keluar dari lorong demi lorong menuju gerbang barat. Obor-obor menyala, bayangan prajurit berjaga meliuk-liuk panjang di tanah.Shen Liang menunduk dalam-dalam. Jantungnya berdegup seperti genderang perang, keringat dingin mengalir di pelipis meski udara malam membeku. Seragam prajurit pengkhianat yang melekat di tubuhnya terasa berat, dia baru sadar, termyata bau darah makin lama bukannya menghilang, malah makin menusuk hidung.Di sampingnya, Mei Lan berjalan mantap dengan wajah tanpa ragu. Dua prajurit jaga melirik curiga ketika mereka melintas. Tombak-tombak di tangan mereka berkilat diterpa cahaya obor. Untuk sesaat, Shen Liang merasa nafasnya berhenti.Namun Mei Lan tidak mengubah langkah, wajahnya tetap datar. Saat prajurit itu hendak bicara, salah satunya hanya mengibaskan tangan malas.“Lewat!”Shen Liang kembali menghembuskan nafas panjang yang dia tahan setiap kali berpapasan dengan para prajurit jaga. Langkah mereka maki

  • Pendekar Pedang Gila   Gadis Penyelamat

    Shen Liang masih terengah, wajahnya berlumur darah. Tangannya gemetar sambil menggenggam pedang pusaka. Sementara si gadis yang barusan menyelamatkannya berdiri tenang dengan belati diselimuti cairan merah. Tatapannya dingin, kontras dengan wajahnya yang manis.Shen Liang menatapnya penuh keraguan.“Siapa… kau?” suaranya serak, nyaris pecah.“Mei Lan, tabib istana.” Ia menyebutkan namanya tanpa ragu, lalu menambahkan dengan nada datar, “Dan kalau tuan Pangeran ingin tetap hidup, ikut aku. Kita keluar lewat gerbang barat.”Shen Liang berkerut, “Gerbang barat?” Ia menggeleng cepat. “Tidak-tidak …! Di sana penuh dengan pasukan pemberontak.”Mei Lan mendengus kesal. “Tuan Pangeran, saat ini tidak ada tempat yang aman untukmu. Kalau Tuan mau selamat, cukup ikuti perintahku!”Nada dingin itu menusuk harga diri Shen Liang. Wajahnya memerah, diliputi rasa takut bercampur malu. Selama ini semua orang di istana menunduk hormat kepadanya, tapi gadis ini bicara tanpa sedikit pun memperlihatkan

  • Pendekar Pedang Gila   Kudeta Berdarah

    Pangeran Shen Liang bersembunyi di balik pilar-pilar tinggi raksasa, tubuhnya menggigil hebat disertai keringat dingin mengucur membasahi dahinya. Udara malam yang lembab bercampur bau dupa yang harum. Tapi kini ditambah bau amis darah para prajurit pengawal raja yang sudah tumbang. Bau kematian membuat perutnya mual. Dari celah sempit, dia menyaksikan ayah dan ibunya dipaksa berlutut di hadapan Jenderal Bao Jun. Orang yang dulu selalu menunduk hormat, kini berdiri dengan pedang terhunus dan pandangan mata penuh aura kejahatan. Bao Jun, Jenderal yang paling dipercaya oleh sang Raja ternyata berkhianat dan melakukan kudeta malam itu. “Kenapa kau melakukan ini, Bao Jun?” Sang Raja bertanya dengan mata merah dan tatapn tajam yang menusuk. Bao Jun hanya menyeringai, “Heh?! Mengapa Baginda bertanya? Bukankah sejak dulu dunia memang begini? Mereka yang lemah akan ditindas oleh yang lebih kuat.” “Kerajaanmu ini, Baginda-, sudah keropos. Para pejabatnya korup. Kerajaan ini hanya mengg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status