Pangeran Shen Liang bersembunyi di balik pilar-pilar tinggi raksasa, tubuhnya menggigil hebat disertai keringat dingin mengucur membasahi dahinya.
Udara malam yang lembab bercampur bau dupa yang harum. Tapi kini ditambah bau amis darah para prajurit pengawal raja yang sudah tumbang. Bau kematian membuat perutnya mual. Dari celah sempit, dia menyaksikan ayah dan ibunya dipaksa berlutut di hadapan Jenderal Bao Jun. Orang yang dulu selalu menunduk hormat, kini berdiri dengan pedang terhunus dan pandangan mata penuh aura kejahatan. Bao Jun, Jenderal yang paling dipercaya oleh sang Raja ternyata berkhianat dan melakukan kudeta malam itu. “Kenapa kau melakukan ini, Bao Jun?” Sang Raja bertanya dengan mata merah dan tatapn tajam yang menusuk. Bao Jun hanya menyeringai, “Heh?! Mengapa Baginda bertanya? Bukankah sejak dulu dunia memang begini? Mereka yang lemah akan ditindas oleh yang lebih kuat.” “Kerajaanmu ini, Baginda-, sudah keropos. Para pejabatnya korup. Kerajaan ini hanya menggantungkan diri pada kejayaan masa lalu. Sekarang, kejayaan itu sudah usang, Baginda.” “Apa salahnya kalau aku menggantikanmu untuk berkuasa? Hahaha!” tawa Sang Jenderal menggema ke seluruh ruangan. Shen Liang ingin maju, ingin berteriak, tapi tubuhnya lumpuh. Seumur hidup, ia hanya mengenal kesenangan, kemewahan dan pesta-pesta pora. Tak pernah terbayangkan olehnya kalau ternyata dunianya begitu rapuh. Yang dia tahu, dirinya adalah pewaris tahta Kerajaan Kencana Biru. Kerajaan dengan ratusan ribu tentaranya. Satu-satunya hal yang dia mengerti bahwa dia bebas melakukan apa saja. Semua orang tunduk pada keinginannya. Dunia ada dalam genggamannya. Tapi sekarang, ketika seluruh keluarganya di ambang maut, dia bahkan tak mampu bergerak satu inci pun karena dirantai oleh ketakutan. Bao Jun berjalan perlahan menuju kursi singgasana. Cahaya pedang Jenderal Bao Jun berkilat saat menebas, jeritan Sang Ratu pecah, lalu lenyap. Raja Sheng Xiu menerima tebasan tanpa suara. Hanya matanya yang terus melotot dan mendelik tajam pada jenderal pengkhianat yang akan mengakhiri hidupnya. Darah menyembur di lantai giok lambang kemewahan dan keagungan Kerajan Kencana Biru yang telah berumur ratusan tahun. Shen Liang merasa dunia seakan runtuh. Ia menutup mulut rapat-rapat dengan tangan gemetar, menahan tangis yang terus mendesak keluar. Jenderal Bao Jun dan beberapa tentara pengawal akhirnya pergi dari ruang singgasana itu, langkah zirahnya bergema dan menghilang di balik pintu. Shen Liang menunggu beberapa saat. Saat merasa sudah aman, dia akhirnya pelan-pelan merangkak keluar. Di dekat singgasana, ia menemukan ayahnya yang ternyata masih hidup, namun terbaring pucat dan berlumuran darah. “Liang … cepat … dengarkan …!” suara Sang Raja parau dan nyaris hilang. “Baginda Raja …,” balas Shen Liang memanggil ayahnya dengan suara tertahan. Air mata tak berhenti membasahi penuh wajahnya. Dengan sisa tenaga, Raja Shen memberi petunjuk tentang ukiran giok di dinding. Shen Liang menekan kepala naga pada ukiran itu, lalu dinding batu di belakang singgasana bergeser, Tampak lorong gelap yang menurun ke bawah tanah. “Di sana …, pedang pusaka …, dan stempel kerajaan …, itu warisanmu …” Sang Raja berbisik lemah. “Ayah …, maafkan aku …!” Shen Liang bersujud di samping Sang Raja sambil berurai air mata. “Liang … pergilah, Nak! Selamatkan dirimu …!” Cahaya di mata Raja Shen perlahan meredup lalu lenyap seiring akhir kehidupannya. Kata-kata itu adalah kata terakhir dari Raja Shen sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Pangeran Shen Liang berjalan gontai dalam diam. Dadanya sesak, air mata jatuh deras. Ia ingin tinggal, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Satu-satunya pilihan hanyalah masuk ke lorong itu mencari warisan yang diberitahukan ayahnya. Warisan yang lebih dia rasakan seperti kutukan. Shen Liang bersujud tiga kali di hadapan mayat kedua orang tuanya lalu beranjak memasuki lorong rahasia itu. * Lorong itu terasa sempit dan dingin. Dinding batu berlumut lembab dan bau tanah memenuhi udara. Dia lalu terduduk dan bersandar. “Haaaaahh!" "Haaaaaaahhhh …!!” Teriakan Shen Liang yang menyayat bergema di lorong sempit itu. “Tidak …! Ini pasti mimpi …!” ia berulang-ulang berbisik pada dirinya sendiri. Tapi bau darah yang masih menempel di hidung menegaskan-, semua itu nyata. Penyesalan menghantamnya, selama ini ia hanya tertawa dan meremehkan latihan bela diri, dan kini kebodohan itu menampakkan wajahnya yang sebenarnya. Ratusan hari tertawa terganti oleh tangis hanya dalam satu malam. Dirinya hanya pangeran manja, tak siap menghadapi dunianya yang ternyata rapuh. Tahta dan warisannya dirampok orang dan dia tak bisa berbuat apa-apa Lorong itu berakhir pada sebuah ruangan kecil. Di sana tersimpan pedang pusaka berkilau samar berwarna biru, berdampingan dengan stempel giok kerajaan yang berwarna hijau dengan ukiran-ukiran yang juga biru. Sang Pangeran menggenggam keduanya dengan tangan gemetar, benda-benda itu terasa lebih berat daripada yang sanggup ia pikul. Di ruangan itu terdapat pintu di sebelah kanan menuju lorong selanjutnya. Perjalanan mulai menanjak. Shen Liang terus menyusuri lorong bawah tanah itu, entah sudah berapa puluh meter dia berjalan. Rupanya lorong itu berujung di satu ruangan dalam gedung tabib istana. Udara malam menyambutnya. Dari jendela, ia melihat ibu kota dengan suasana kacau balau. Api menjilat-jilat langit. Dari kejauhan terdengar jeritan-jeritan bercampur denting senjata. Ia berdiri terpaku, pedang dan stempel digenggam dengan tangan yang masih terus menggigil. Dunia Pangeran Shen Liang sudah berubah jadi neraka. Dia keluar dari gedung dan menuju gerbang timur, berjalan seadanya dengan pikiran kosong. Langkahnya terhenti ketika seorang prajurit pemberontak muncul dari balik reruntuhan. “Pangeran?!” suara itu terdengar membentak dengan nada ejekan, “Tak kusangka kau masih hidup.” Shen Liang terlonjak, dia mengeluarkan pedang pusaka dari sarungnya. Tapi genggamannya kaku, gerakannya kikuk sambil melangkah mundur. Saat tebasan pertama datang, ia menangkis asal-asalan. Benturan logam mengguncang tangannya, hampir membuat pedang terlepas. “Hahahaha ..,” prajurit itu tertawa mengejek, lalu menyerang lagi. Shen Liang terhuyung, nafasnya kacau. Penyesalan membanjiri dadanya. Seluruh latihan yang dulu dianggap main-main kini terasa sebagai dosa. Tiga prajurit lain muncul dari balik asap mengepungnya. Sabetan dan pukulan bertubi-tubi menghantam. Shen Liang jatuh tersungkur saat mendapatkan tendangan lutut yang mendarat telak di ulu hatinya. Dia dipukul, disiksa tanpa ampun. Pedangnya nyaris terlepas, darah entah dari mana menetes di gagang. Sang Pangeran pewaris tahta Kerajaan Kencana Biru kini jadi bulan-bulanan para prajurit pemberontak. ‘Bocah tolol . . .' Dalam kesadarannya yang memudar, Shen Liang mendengar bisikan. Anehnya bisikan itu seperti berada dalam kepalanya. Suara bisikan itu terdengar serak dan berat. Hawa dingin merayap perlahan dari bilah pedang masuk ke nadinya. Pelan-pelan terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Bisikan-bisikan asing, dingin, namun membakar, memenuhi kepalanya. Bisikan nafsu dan aura membunuh. Pandangannya mulai kabur, Shen Liang antara sadar dan tidak, mulai tertawa cekikikan. “Hihihihi … Hahahahaha!” “Hiiiaaaaah, hahahahaha!” Mata Shen Liang berkilat liar. Dia bangkit dan langsung menebas ke arah para prajurit. Satu orang prajurit langsung terkapar tanpa nyawa. Tiga prajurit lainnya beringsut mundur beberapa langkah dengan sikap siaga. Sementara Sang Pangeran lagi-lagi cekikkan dan terbahak-bahak. “Ada apa dengannya?” tanya salah satu prajurit. Ketiganya saling berpandangan. Salah satunya terkekeh sambil menyeringai, “Heheh, paling dia sudah gila karena kehilangan mahkota dan keluarganya. Serang!” Prajurit itu berteriak sambil melompat menerjang ke arah Shen Liang dengan sabetan pedangnya. Dua lainnya ikut menyusul. Namun, di luar dugaan. Jeritan pecah! Darah muncrat ke segala arah, dua prajurit tumbang hanya dalam beberapa jurus. Sampai hanya tersisa satu. Shen Liang terengah, wajahnya berlumuran darah, sedangkan bola matanya berputar-putar liar. Perlahan kesadarannya mulai kembali. Dia kebingungan, hatinya dicekam perasaan ngeri melihat mayat-mayat prajurit bergelimpangan. Apakah benar semua itu dirinya yang lakukan? Prajurit terakhir sambil memegang perutnya yang berdarah meludah dan mendengus. Dia tak sudi dikalahkan oleh seorang Pangeran manja dan sudah jadi gila. Prajurit terakhir maju, pedang teracung. Shen Liang yang kehabisan tenaga tahu ajal sudah dekat. Namun, tiba-tiba prajurit itu ambruk di tempatnya berdiri. Terkapar tanpa suara. Shen Liang mendongak. Nampak siluet seorang sosok gadis berdiri dengan belati berlumuran darah. Wajah manisnya terlihat samar diterangi cahaya api. Usianya mungkin tak jauh beda dengan Shen Liang, sekitar 17 tahun. Tapi kontras dengan wajah manis itu, sorot matanya dingin dan tajam. “Kalau kau terus bengong begitu, umurmu takkan panjang, Pangeran,” suara wanita itu setengah berbisik dan terdengar datar. Shen Liang hanya terdiam, dada naik turun cepat, tak tahu apakah harus bersyukur atau takut pada sosok asing itu. ***** BersambungWuss wuss wussTiba-tiba dari arah bukit di belakang mereka ratusan anak panah melesat serentak. Langit seakan dipenuhi kerumunan tawon berwarna hitam.Jeritan pecah. Tubuh-tubuh pasukan pemberontak terhuyung, roboh di bawah hujan anak-anak panah yang melesat tanpa ampun. Formasi mereka buyar, teriakan perintah bercampur dengan teriakan kematian.Shen Liang hanya bisa melongo melihat pemandangan di depannya. Serangan panah itu terus datang dengan beruntun. Mei Lan menatap dengan sorot mata yang jernih, kali ini tersenyum lebih jelas, “Mereka datang …” bisiknya.Di kejauhan, terdengar teriakan dan bunyi denting senjata beradu.Para pasukan pemberontak yang berhasil kabur dari serangan panah rupanya dihadang oleh pasukan lain.Dari balik kabut, pasukan bersenjata lengkap muncul dengan bendera kerajaan. Di barisan depan, seorang lelaki bertubuh tegap dengan wajah penuh wibawa menunggang kuda hitam.Tatapannya tajam, suaranya lantang bagai guntur. “Prajurit kerajaan! Basmi semua pemberon
Mei Lan tanpa banyak bicara menggenggam lengan Shen Liang. “Ikut aku!” bisiknya pendek. Melihat jumlah musuh yang terlalu banyak, Mei Lan memutuskan agar mereka lari dari situ.Lagipula arena pertarungan yang lapang tidak menguntungkan dirinya. Kalau hanya sendiri dia masih bisa melakukan perlawanan. Mereka menyelinap, berlari lebih jauh ke dalam hutan yang gelap, hanya berbekal bunyi serangga dan desir angin sebagai penunjuk arah.Sesekali, Mei Lan menyalakan kembali obor untuk memastikan keadaan, lalu segera memadamkannya lagi agar tidak menarik perhatian. Shen Liang menelan ludah, setiap kali cahaya padam, jantungnya serasa ikut berhenti.Batang-batang pohon menjulang, bayangannya seperti tangan hitam yang siap meraih mereka. Di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing, mungkin juga serigala.Akhirnya, setelah dirasa cukup jauh, Mei Lan berhenti. Ia menurunkan bungkusan kain tipis yang dibawanya, lalu duduk bersandar pada akar besar. “Kita bermalam di sini,” katanya datar, sea
Udara malam menusuk dingin ketika mereka melangkah keluar dari lorong demi lorong menuju gerbang barat. Obor-obor menyala, bayangan prajurit berjaga meliuk-liuk panjang di tanah.Shen Liang menunduk dalam-dalam. Jantungnya berdegup seperti genderang perang, keringat dingin mengalir di pelipis meski udara malam membeku. Seragam prajurit pengkhianat yang melekat di tubuhnya terasa berat, dia baru sadar, termyata bau darah makin lama bukannya menghilang, malah makin menusuk hidung.Di sampingnya, Mei Lan berjalan mantap dengan wajah tanpa ragu. Dua prajurit jaga melirik curiga ketika mereka melintas. Tombak-tombak di tangan mereka berkilat diterpa cahaya obor. Untuk sesaat, Shen Liang merasa nafasnya berhenti.Namun Mei Lan tidak mengubah langkah, wajahnya tetap datar. Saat prajurit itu hendak bicara, salah satunya hanya mengibaskan tangan malas.“Lewat!”Shen Liang kembali menghembuskan nafas panjang yang dia tahan setiap kali berpapasan dengan para prajurit jaga. Langkah mereka maki
Shen Liang masih terengah, wajahnya berlumur darah. Tangannya gemetar sambil menggenggam pedang pusaka. Sementara si gadis yang barusan menyelamatkannya berdiri tenang dengan belati diselimuti cairan merah. Tatapannya dingin, kontras dengan wajahnya yang manis.Shen Liang menatapnya penuh keraguan.“Siapa… kau?” suaranya serak, nyaris pecah.“Mei Lan, tabib istana.” Ia menyebutkan namanya tanpa ragu, lalu menambahkan dengan nada datar, “Dan kalau tuan Pangeran ingin tetap hidup, ikut aku. Kita keluar lewat gerbang barat.”Shen Liang berkerut, “Gerbang barat?” Ia menggeleng cepat. “Tidak-tidak …! Di sana penuh dengan pasukan pemberontak.”Mei Lan mendengus kesal. “Tuan Pangeran, saat ini tidak ada tempat yang aman untukmu. Kalau Tuan mau selamat, cukup ikuti perintahku!”Nada dingin itu menusuk harga diri Shen Liang. Wajahnya memerah, diliputi rasa takut bercampur malu. Selama ini semua orang di istana menunduk hormat kepadanya, tapi gadis ini bicara tanpa sedikit pun memperlihatkan
Pangeran Shen Liang bersembunyi di balik pilar-pilar tinggi raksasa, tubuhnya menggigil hebat disertai keringat dingin mengucur membasahi dahinya. Udara malam yang lembab bercampur bau dupa yang harum. Tapi kini ditambah bau amis darah para prajurit pengawal raja yang sudah tumbang. Bau kematian membuat perutnya mual. Dari celah sempit, dia menyaksikan ayah dan ibunya dipaksa berlutut di hadapan Jenderal Bao Jun. Orang yang dulu selalu menunduk hormat, kini berdiri dengan pedang terhunus dan pandangan mata penuh aura kejahatan. Bao Jun, Jenderal yang paling dipercaya oleh sang Raja ternyata berkhianat dan melakukan kudeta malam itu. “Kenapa kau melakukan ini, Bao Jun?” Sang Raja bertanya dengan mata merah dan tatapn tajam yang menusuk. Bao Jun hanya menyeringai, “Heh?! Mengapa Baginda bertanya? Bukankah sejak dulu dunia memang begini? Mereka yang lemah akan ditindas oleh yang lebih kuat.” “Kerajaanmu ini, Baginda-, sudah keropos. Para pejabatnya korup. Kerajaan ini hanya mengg