Home / Pendekar / Pendekar Pedang Gila / 4. Darah Pertama

Share

4. Darah Pertama

Author: DN KIYAN
last update Last Updated: 2025-08-26 19:16:32

Mei Lan tanpa banyak bicara menggenggam lengan Shen Liang. “Ikut aku!” bisiknya pendek.

Melihat jumlah musuh yang terlalu banyak, Mei Lan memutuskan agar mereka lari dari situ.

Lagipula arena pertarungan yang lapang tidak menguntungkan dirinya. Kalau hanya sendiri dia masih bisa melakukan perlawanan.

Mereka menyelinap, berlari lebih jauh ke dalam hutan yang gelap, hanya berbekal bunyi serangga dan desir angin sebagai penunjuk arah.

Sesekali, Mei Lan menyalakan kembali obor untuk memastikan keadaan, lalu segera memadamkannya lagi agar tidak menarik perhatian.

Shen Liang menelan ludah, setiap kali cahaya padam, jantungnya serasa ikut berhenti.

Batang-batang pohon menjulang, bayangannya seperti tangan hitam yang siap meraih mereka. Di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing, mungkin juga serigala.

Akhirnya, setelah dirasa cukup jauh, Mei Lan berhenti. Ia menurunkan bungkusan kain tipis yang dibawanya, lalu duduk bersandar pada akar besar.

“Kita bermalam di sini,” katanya datar, seakan tidur di hutan adalah hal biasa.

Shen Liang berdiri kaku. Matanya menatap gelap pekat di sekeliling. Udara lembab menusuk hidungnya, tanah lembek menempel di sepatunya.

Selama ini ia terbiasa tidur di atas kasur empuk nan mewah, pelayan yang menyalakan pelita, dan musik lembut sebelum tidur.

Kini, satu-satunya yang menemaninya hanyalah suara hutan dan bau apek bercampur anyir darah kering di pakaiannya.

“Bagaimana bisa tidur… di tempat seperti ini,” gumamnya lirih, hampir bergetar.

Mei Lan hanya menutup mata, seakan tidak peduli keluhan itu.

Shen Liang gelisah. Ia berbaring dan bangkit berulang-ulang, menatap ke sekeliling, seakan ada bayangan bisa meloncat dan menerkam kapan saja.

Wajah-wajah kematian memenuhi kepalanya. Mulai dari wajah Raja dan Ratu. Wajah para penduduk kota dan desa. Wajah pasukan pemberontak yang dia bunuh saat kehilangan kesadaran.

Tubuhnya sakit dan letih, rasa takut menguasai dirinya.

Namun perlahan, kelopak matanya makin terasa berat. Si Pangeran manja akhirnya tertidur dengan bayangan-bayangan kematian.

Diiringi suara jangkrik dan binatang-binatang malam.

*

Hari akhirmya beranjak pagi.

Shen Liang terlonjak bangun dengan nafas tertahan. Mulutnya sedang dibekap oleh Mei Lan. Matanya melotot saat melihat Mei Lan menempel telunjuk di bibirnya.

Samar-samar, Shen Liang mendengar derap langkah prajurit, lantang memecah kesunyian pagi yang seharusnya damai.

Mei Lan menajamkan pendengaran, menghitung dengan tatapan dingin. “Lebih dari sepuluh orang,” ucapnya pelan, “Mungkin dua puluh.”

Shen Liang tertegun, rasa kantuknya lenyap seketika. Dadanya bergemuruh, napas tercekat. “Dua puluh …?!”

Mei Lan menariknya bangkit dan mereka lari masuk lebih jauh ke dalam hutan. Tidak berapa lama mereka berhenti di bawah sebuah pohon besar.

Mei Lan lalu berbisik cepat. “Pangeran larilah lebih dulu ke utara, ikuti sinar matahari, jangan berhenti! Aku akan menahan mereka.”

Shen Liang menatap Mei Lan dengan wajah pucat pasi. Perasaan takut mengepungnya, sedangkan Mei Lan hanya balas menatapnya tajam.

Suara langkah prajurit semakin dekat, dedaunan bergetar karena gerakan banyak orang.

Shen Liang menggertakkan gigi, tubuhnya gemetar. Tapi akhirnya, ia berlari menembus kabut pagi. Sedangkan Mei Lan melesat entah ke mana.

Mei Lan berlari cepat, langkahnya nyaris tanpa suara di atas tanah lembab. Ia sengaja menampakkan diri sesaat di celah pepohonan, lalu menghilang lagi.

Prajurit-prajurit itu terpancing, teriakan mereka pecah dan berhamburan mengejarnya.

Hutan yang sunyi mendadak riuh. Suara ranting patah, teriakan perintah, dan derap kaki saling bersahutan. Mei Lan berbelok beberapa kali membuat mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil.

Satu prajurit terpisah jauh dari rombongan. Sebelum sempat menyadari bahaya, bilah belati sudah menembus tenggorokannya. Tubuhnya terjatuh tanpa suara.

Dua orang lain menyusul, tapi tak sempat mengangkat senjata. Gerakan cepat Mei Lan bagai bayangan, satu kilatan belati, lalu hening kembali.

Yang keempat mencoba melawan, pedangnya beradu sekejap dengan belati pendek. Namun tenaga dan kecepatannya jauh di bawah Mei Lan.

Satu putaran tubuh, satu tusukan singkat, prajurit itu pun roboh di tanah basah.

Sayangnya hal itu itu tak berlangsung lama. Suara teriakan menggema lagi. Dari segala arah, belasan prajurit mengepung.

Mei Lan berhenti, nafasnya stabil meski keringat menetes di pelipis. Belati kembar tergenggam erat di tangannya, matanya menatap tajam lingkaran musuh yang semakin rapat.

Kabut pagi menyelimuti mereka, seakan hutan pun menahan napas menunggu darah kembali jatuh ke tanah.

Lingkaran prajurit itu akhirnya menutup rapat. Seruan perang pecah, belasan tombak dan pedang terhunus bersamaan.

Mei Lan menerjang lebih dulu. Belati di tangannya berkilat singkat, tubuhnya melesat di antara celah-celah sempit kumpulan pasukan pemberontak itu.

Darah pertama muncrat, lalu disusul teriakan kematian. Gadis itu terus menerus bergerak bagai bayangan. Meskipun tubuhnya juga menerima serangan, si mungil licin nan lincah itu tak bisa ditangkap.

Satu demi satu roboh. Lima, enam, tujuh… hingga sepuluh prajurit tak lagi bangkit dari tanah berselimut kabut pagi.

Sayangnya tubuh Mei Lan pun mulai melemah. Sayatan panjang di lengannya, tusukan di bahu, dan luka sobek di pinggang membuat geraknya melambat.

Nafasnya berat, darah menetes dari jemari yang masih menggenggam belati.

Tersisa tujuh orang yang mengepung. Tanpa ragu, Mei Lan kembali menerjang. Dengan sisa tenaganya, ia menjatuhkan lima prajurit lagi, darah mereka bercecer di dedaunan basah.

Tinggal dua, Mei Lan terhuyung, kakinya goyah. Mei Lan tersenyum sinis dan mendengus pelan.

Dirinya sadar kalau ajalnya mungkin akan segera tiba . . .

*

Shen Liang terus berlari tapi kemudian berhenti. Dia memilih bersembunyi di bawah sebuah pohon beringin raksasa dengan pedang terhunus.

Suara bentakan dan teriakan terdengar dari kejauhan. Dia menyaksikan Mei Lan yang berlari dengan kondisi terluka parah dan dua orang prajurit pemberontak siap membunuh sang tabib istana mungil tersebut.

‘Bunuh mereka’ . . .

Shen Liang mendengar bisikan suara yang serak dari dalam kepalanya.

Shen Liang bergerak hanya dengan instingnya. Kalau Mei Lan sampai terbunuh, hanya menunggu waktu giliran dirinya yang juga ditamatkan para pemberontak itu.

Saat ini, Mei Lan satu-satunya harapan dia bertahan hidup.

Shen Liang muncul dari balik kabut, dia melesat sampai pedang di tangannya menusuk punggung salah satu prajurit sampai tembus.

Tubuh musuh ambruk, matanya terbelalak.

Rekannya kaget tak percaya. Dia beralih menyerang Shen Liang tapi belati Mei Lan sudah lebih dulu menancap di lehernya.

Sunyi kembali turun. Kabut pagi bercampur darah yang menodai tanah. Mei Lan berlutut terengah, tubuh berlumur luka.

Sementara Shen Liang masih gemetar memegang pedang yang berlumuran darah. Ini pertama kalinya dengan sadar dia membunuh seseorang.

Shen Liang mencabut pedang dari tubuh korbannya. Sang Pangeran berjalan mundur dan terhuyung sampai jatuh terduduk.

Wajahnya pucat, air mata perlahan keluar di kelopak matanya.

“Wahahaha …! Huaaa ha ha ha ha!”, suara tawanya menggema sekaligus menyayat.

“Huaaaahahahaha!”, mulut Shen Liang membuka lebar sambil mendongak ke atas langit.

“Haaaa ha ha ha ha!”

Sudah tak jelas lagi Sang Pangeran itu sedang menangis atau tertawa. Perasaan senang karena selamat dari kematian ataukah duka karena baru saja melahirkan kematian.

Untuk pertama kalinya Mei Lan menatap sosok Shen Liang dengan perasaan iba.

Ternyata gema tawa Sang Pangeran berujung petaka. Dari kejauhan terdengar derap-derap langkah mendekat begitu cepat.

Kabut bergetar, dedaunan berguncang.

Bayangan hitam muncul satu per satu di antara pepohonan. Puluhan, mungkin lebih dari seratus orang pasukan pemberontak kini memenuhi tempat itu.

Shen Liang membeku, tubuhnya kaku. Matanya terbelalak menatap lautan prajurit pemberontak yang mengepung rapat dari segala arah.

Shen Liang hanya bisa pasrah menatap takdirnya. Dia mendongak ke langit. Beginikah akhir kehidupan seorang pangeran manja.

Dia menoleh ke arah Mei Lan. Gadis mungil yang sedang terluka parah itu malah menyunggingkan senyum tipis di bibirnya yang manis.

"Selamat Pangeran, kau menang."

Shen Liang hanya tersenyum sinis. Gadis penyelamatnya itu memang mengerikan. Bisa-bisanya dia tersenyum dan bercanda omong kosong sementara kematian sudah di depan mata.

*****

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Gila   24. Sosok Qi Liar

    “Mei Lan! Seranganmu terlalu dangkal!” teriak Cao Yun sambil menahan gempuran pedang naga Shen Liang yang hampir merobek pundaknya. Suara benturan logam menggema keras, percikan cahaya Qi liar beterbangan ke udara. Formasi Bintang bukan hanya soal posisi. Itu tarian maut, di mana tiap langkah dan tiap tebasan harus seirama, setara, tanpa keraguan sedikit pun. Satu orang goyah, seluruh formasi bisa runtuh. Mei Lan menggertakkan giginya. Dadanya naik-turun, keringat bercampur darah menetes dari pelipis. Dirinya sadar jenderal Cao Yun benar. Belatinya terlalu ringan, terlalu hati-hati. Ada keraguan di tangannya setiap kali bilahnya hampir menusuk tubuh Shen Liang. “Maaf, Jenderal…” suaranya nyaris tak terdengar, tapi sorot matanya mulai mengeras. Cao Yun menekan pedangnya, lalu berteriak lantang: “Serigala! Serang!” Wu Ling dan Wu Lan langsung melesat bagai bayangan hitam. Wu Ling menusuk dengan pedang pendeknya beruntun, kilatan baja berdesir seperti hujan rintik. Wu Lan

  • Pendekar Pedang Gila   23. Ritual Penyegelan

    Mo Tian menatap tajam pedang pusaka berkepala naga itu. Jemarinya yang kurus tapi bertenaga menyentuh permukaan bilahnya, seakan mencoba membaca jejak waktu dari dingin logam tersebut.“Sejak kapan Pangeran memegang pedang ini?" “Murid tidak tahu pasti, Guru. Hamba hanya melihat pedang itu selalu ada di sisinya.”Mei Lan ikut menyambung, “Seingatku… sejak hari aku pertama kali menemuinya.""Saat itu istana sudah dilalap api kudeta. Pangeran Shen Liang lolos dengan luka-luka parah, tapi pedang ini tergenggam erat di tangannya. Sejak hari itu, pedang ini tak pernah lepas darinya.”Mo Tian mengangguk tipis, seolah-olah jawaban itu meneguhkan kecurigaannya. Matanya memicing menatap Shen Liang yang terbaring, lalu kembali pada bilah pusaka yang memantulkan cahaya temaram gua.“Qi Liar ini memang telah berakar dalam tubuhnya,” gumamnya pelan, “namun terasa baru". "Biasanya Qi yang berakar sudah bersemayam puluhan bahkan ratusan tahun dalam garis darah pemiliknya. Tapi kasus Pangeran ini b

  • Pendekar Pedang Gila   22. Qi Liar

    Wu Ling hanya terdiam, keringat dingin merembes di pelipisnya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya: apakah sosok di depan mereka punya lebih dari satu wujud? Atau suara di luar tadi hanyalah dari kekuatan anehnya?Kalau ternyata itu memang kekuatannya, orang tua di hadapan mereka ini, tentu tak terukur kesaktiannya.Sosok tua berjubah putih itu membuka matanya perlahan. Sepasang mata yang jernih, setenang dan sedalam danau gunung, menatap mereka semua. Dalam tatapan itu, Wu bersaudara dan Mei Lan merasa seperti seluruh tubuh mereka bisa dibaca hingga ke tulang.Hening menekan. Hanya suara gemericik air terjun kecil yang mengisi udara.Cao Yun melangkah maju, lalu berlutut kembali dengan kedua tangan merapat di depan dada. Suaranya dalam, seperti penuh penyesalan.“Guru, murid menghaturkan beribu maaf karena telah berani melanggar perintahmu. Guru sudah melarangku menginjakkan kaki di gunung ini lagi … tapi keadaan memaksa. Murid merasa tak punya pilihan lain.”Orang tua berjubah putih i

  • Pendekar Pedang Gila   21. Roh Gunung Penyesalan

    "Justru karena di sini berbahaya, maka tempat ini paling aman untuk bersembunyi," jawab Cao Yun pada Wu Lan dengan pandangan berbinar."Lagipula, kaliankan Pasukan Serigala yang bergerak bagaikan kilat. Membunuh dengan cepat. Hantu mana yang berani menggangu kalian?""Tch," Wu Lan hanya mendengus singkat mendengar jawaban Jenderal Cao Yun.Tentu saja Wu Lan tak takut dengan manusia. Entah berapa liter darah yang pernah mampir di senjata cakar besinyaTapi kalau lawannya makhluk antah berantah, hantu, dedemit atau semacamnya, bahkan dirinya si ratu Serigala paling buas, tidak yakin kalau cakarnya bisa banyak berguna.Wu Ling dan Mei Lan hanya menahan tawa melihat kontradiksi seorang Perwira Pasukan Serigala Hitam bernama Wu Lan. Kejam, beringas, berdarah dingin tapi takut hantu.Pendakian panjang akhirnya membawa mereka tiba di puncak. Kabut yang tebal perlahan tersibak, menyingkap sebuah dataran luas.Di tengah puncak itu terbentang lapangan alami yang dikelilingi ngarai-ngarai raksas

  • Pendekar Pedang Gila   20. Berbelok ke Barat

    Seminggu kemudian. Kabut pagi masih menggantung di sekitar desa kecil itu. Embun terasa segar membasahi halaman bambu di belakang rumah Guo Shan. Wu Lan bergerak cepat, cakarnya berkelebat, menyambar ke arah Mei Lan. Tapi Serigala Kecil itu memiringkan tubuhnya lincah, kaki kirinya menjejak tanah dan tubuhnya berputar, menangkis serangan dengan kedua belatinya. Trang! Bunyi senjata beradu nyaring. Mei Lan terdorong dua langkah ke belakang, bahunya naik-turun menahan nafas, wajahnya pucat namun matanya bersinar penuh semangat. “Heheh …, belum pulih sepenuhnya, tapi gerakanmu lumayan cepat,” ujar Wu Lan, sudut bibirnya terangkat. Mei Lan mengusap keringat di pelipisnya dan menyeringai tipis. “Aku tidak bisa berlama-lama lemah. Kita masih dalam pengejaran.” Jenderal Cao Yun dan Wu Ling berkelebat muncul dari arah hutan Wu Lan dan Mei Lan serempak langsung menunduk hormat. “Jenderal!” Cao Yun berjalan mendekat, tatapannya menyapu singkat lalu berhenti pada wajah Mei Lan.

  • Pendekar Pedang Gila   19. Tanpa Rencana

    Shen… Liang…” suara Mei Lan yang lemah menembus kabut darah dan kegilaan. “Shen Liang…” Mei Lan melangkah terseok-seok dan perlahan, menembus lingkaran para pasukan Serigala Hitam menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan tiba-tiba datang menghadang, di depan “Oi, Mei Lan! Kau mau bunuh diri, ya?!” Tapi Mei Lan nampak tidak peduli. Dia terus saja berjalan menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan berniat memukul tengkuk Mei Lan untuk membuatnya pingsan. Tapi Jenderal Cao Yun tiba-tiba bersuara. "Biarkan dia!" Tanpa mereka sadari Sang Jenderal juga sudah muncul di arena pertarungan. Pandangan matanya berbinar dengan sorot mata yang bening saat melihat Mei Lan yang semakin mendekat ke arah Shen Liang. Jenderal Cao Yun seakan-akan menikmati sebuah pertunjukan. Wu bersaudara saling menatap. Para pasukan Serigala Hitam siaga penuh. Karena bila Si Pangeran Gila kembali mengamuk, mereka sudah siap menyerang dengan Formasi Bintang Sembilan. Juga, sebisa mungkin mereka harus berusaha menyelamatka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status