Share

Darah Pertama

Author: DN KIYAN
last update Last Updated: 2025-08-26 19:16:32

Mei Lan tanpa banyak bicara menggenggam lengan Shen Liang. “Ikut aku!” bisiknya pendek. 

Melihat jumlah musuh yang terlalu banyak, Mei Lan memutuskan agar mereka lari dari situ.

Lagipula arena pertarungan yang lapang tidak menguntungkan dirinya. Kalau hanya sendiri dia masih bisa melakukan perlawanan. 

Mereka menyelinap, berlari lebih jauh ke dalam hutan yang gelap, hanya berbekal bunyi serangga dan desir angin sebagai penunjuk arah.

Sesekali, Mei Lan menyalakan kembali obor untuk memastikan keadaan, lalu segera memadamkannya lagi agar tidak menarik perhatian. 

Shen Liang menelan ludah, setiap kali cahaya padam, jantungnya serasa ikut berhenti.

Batang-batang pohon menjulang, bayangannya seperti tangan hitam yang siap meraih mereka. Di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing, mungkin juga serigala.

Akhirnya, setelah dirasa cukup jauh, Mei Lan berhenti. Ia menurunkan bungkusan kain tipis yang dibawanya, lalu duduk bersandar pada akar besar. 

“Kita bermalam di sini,” katanya datar, seakan tidur di hutan adalah hal biasa.

Shen Liang berdiri kaku. Matanya menatap gelap pekat di sekeliling. Udara lembab menusuk hidungnya, tanah lembek menempel di sepatunya. 

Selama ini ia terbiasa tidur di atas kasur empuk nan mewah, pelayan yang menyalakan pelita, dan musik lembut sebelum tidur. 

Kini, satu-satunya yang menemaninya hanyalah suara hutan dan bau apek bercampur anyir darah kering di pakaiannya.

“Bagaimana bisa tidur… di tempat seperti ini,” gumamnya lirih, hampir bergetar.

Mei Lan hanya menutup mata, seakan tidak peduli keluhan itu.

Shen Liang gelisah. Ia berbaring dan bangkit berulang-ulang, menatap ke sekeliling, seakan ada bayangan bisa meloncat dan menerkam kapan saja. 

Wajah-wajah kematian memenuhi kepalanya. Mulai dari wajah Raja dan Ratu. Wajah para penduduk kota dan desa. Wajah pasukan pemberontak yang dia bunuh saat kehilangan kesadaran.

Tubuhnya sakit dan letih, rasa takut menguasai dirinya.

Namun perlahan, kelopak matanya makin terasa berat. Si Pangeran manja akhirnya tertidur dengan bayangan-bayangan kematian.

Diiringi suara jangkrik dan binatang-binatang malam.

*

Hari akhirmya beranjak pagi.

Shen Liang terlonjak bangun dengan nafas tertahan. Mulutnya sedang dibekap oleh Mei Lan. Matanya melotot saat melihat Mei Lan menempel telunjuk di bibirnya.

Samar-samar, Shen Liang mendengar derap langkah prajurit, lantang memecah kesunyian pagi yang seharusnya damai.

Mei Lan menajamkan pendengaran, menghitung dengan tatapan dingin. “Lebih dari sepuluh orang,” ucapnya pelan, “Mungkin dua puluh.”

Shen Liang tertegun, rasa kantuknya lenyap seketika. Dadanya bergemuruh, napas tercekat. “Dua puluh …?!”

Mei Lan menariknya bangkit dan mereka lari masuk lebih jauh ke dalam hutan. Tidak berapa lama mereka berhenti di bawah sebuah pohon besar.

Mei Lan lalu berbisik cepat. “Pangeran larilah lebih dulu ke utara, ikuti sinar matahari, jangan berhenti! Aku akan menahan mereka.”

Shen Liang menatap Mei Lan dengan wajah pucat pasi. Perasaan takut mengepungnya, sedangkan Mei Lan hanya balas menatapnya tajam.

Suara langkah prajurit semakin dekat, dedaunan bergetar karena gerakan banyak orang. 

Shen Liang menggertakkan gigi, tubuhnya gemetar. Tapi akhirnya, ia berlari menembus kabut pagi. Sedangkan Mei Lan melesat entah ke mana.

Mei Lan berlari cepat, langkahnya nyaris tanpa suara di atas tanah lembab. Ia sengaja menampakkan diri sesaat di celah pepohonan, lalu menghilang lagi.

Prajurit-prajurit itu terpancing, teriakan mereka pecah dan berhamburan mengejarnya.

Hutan yang sunyi mendadak riuh. Suara ranting patah, teriakan perintah, dan derap kaki saling bersahutan. Mei Lan berbelok beberapa kali membuat mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil.

Satu prajurit terpisah jauh dari rombongan. Sebelum sempat menyadari bahaya, bilah belati sudah menembus tenggorokannya. Tubuhnya terjatuh tanpa suara.

Dua orang lain menyusul, tapi tak sempat mengangkat senjata. Gerakan cepat Mei Lan bagai bayangan, satu kilatan belati, lalu hening kembali.

Yang keempat mencoba melawan, pedangnya beradu sekejap dengan belati pendek. Namun tenaga dan kecepatannya jauh di bawah Mei Lan. 

Satu putaran tubuh, satu tusukan singkat, prajurit itu pun roboh di tanah basah.

Sayangnya hal itu itu tak berlangsung lama. Suara teriakan menggema lagi. Dari segala arah, belasan prajurit mengepung.

Mei Lan berhenti, nafasnya stabil meski keringat menetes di pelipis. Belati kembar tergenggam erat di tangannya, matanya menatap tajam lingkaran musuh yang semakin rapat.

Kabut pagi menyelimuti mereka, seakan hutan pun menahan napas menunggu darah kembali jatuh ke tanah.

Lingkaran prajurit itu akhirnya menutup rapat. Seruan perang pecah, belasan tombak dan pedang terhunus bersamaan.

Mei Lan menerjang lebih dulu. Belati di tangannya berkilat singkat, tubuhnya melesat di antara celah-celah sempit kumpulan pasukan pemberontak itu.

Darah pertama muncrat, lalu disusul teriakan kematian. Gadis itu terus menerus bergerak bagai bayangan. Meskipun tubuhnya juga menerima serangan, si mungil licin nan lincah itu tak bisa ditangkap.

Satu demi satu roboh. Lima, enam, tujuh… hingga sepuluh prajurit tak lagi bangkit dari tanah berselimut kabut pagi.

Sayangnya tubuh Mei Lan pun mulai melemah. Sayatan panjang di lengannya, tusukan di bahu, dan luka sobek di pinggang membuat geraknya melambat. 

Nafasnya berat, darah menetes dari jemari yang masih menggenggam belati.

Tersisa tujuh orang yang mengepung. Tanpa ragu, Mei Lan kembali menerjang. Dengan sisa tenaganya, ia menjatuhkan lima prajurit lagi, darah mereka bercecer di dedaunan basah.

Tinggal dua, Mei Lan terhuyung, kakinya goyah. Mei Lan tersenyum sinis dan mendengus pelan.

Dirinya sadar kalau ajalnya mungkin akan segera tiba . . .

*

Shen Liang terus berlari tapi kemudian berhenti. Dia memilih bersembunyi di bawah sebuah pohon beringin raksasa dengan pedang terhunus.

Suara bentakan dan teriakan terdengar dari kejauhan. Dia menyaksikan Mei Lan yang berlari dengan kondisi terluka parah dan dua orang prajurit pemberontak siap membunuh sang tabib istana mungil tersebut.

‘Bunuh mereka’ . . .

Shen Liang mendengar bisikan suara yang serak dari dalam kepalanya.

Shen Liang bergerak hanya dengan instingnya. Kalau Mei Lan sampai terbunuh, hanya menunggu waktu giliran dirinya yang juga ditamatkan para pemberontak itu.

Saat ini, Mei Lan satu-satunya harapan dia bertahan hidup.

Shen Liang muncul dari balik kabut, dia melesat sampai pedang di tangannya menusuk punggung salah satu prajurit sampai tembus. 

Tubuh musuh ambruk, matanya terbelalak.

Rekannya kaget tak percaya. Dia beralih menyerang Shen Liang tapi belati Mei Lan sudah lebih dulu menancap di lehernya.

Sunyi kembali turun. Kabut pagi bercampur darah yang menodai tanah. Mei Lan berlutut terengah, tubuh berlumur luka.

Sementara Shen Liang masih gemetar memegang pedang yang berlumuran darah. Ini pertama kalinya dengan sadar dia membunuh seseorang.

Shen Liang mencabut pedang dari tubuh korbannya. Sang Pangeran berjalan mundur dan terhuyung sampai jatuh terduduk. 

Wajahnya pucat, air mata perlahan keluar di kelopak matanya.

“Wahahaha …! Huaaa ha ha ha ha!”, suara tawanya menggema sekaligus menyayat. 

“Huaaaahahahaha!”, mulut Shen Liang membuka lebar sambil mendongak ke atas langit.

“Haaaa ha ha ha ha!” 

Sudah tak jelas lagi Sang Pangeran itu sedang menangis atau tertawa. Perasaan senang karena selamat dari kematian ataukah duka karena baru saja melahirkan kematian.

Untuk pertama kalinya Mei Lan menatap sosok Shen Liang dengan perasaan iba.

Ternyata gema tawa Sang Pangeran berujung petaka. Dari kejauhan terdengar derap-derap langkah mendekat begitu cepat.

Kabut bergetar, dedaunan berguncang.

Bayangan hitam muncul satu per satu di antara pepohonan. Puluhan, mungkin lebih dari seratus orang pasukan pemberontak kini memenuhi tempat itu.

Shen Liang membeku, tubuhnya kaku. Matanya terbelalak menatap lautan prajurit pemberontak yang mengepung rapat dari segala arah.

Shen Liang hanya bisa pasrah menatap takdirnya. Dia mendongak ke langit. Beginikah akhir kehidupan seorang pangeran manja.

Dia menoleh ke arah Mei Lan. Gadis mungil yang sedang terluka parah itu malah menyunggingkan senyum tipis di bibirnya yang manis.

"Selamat Pangeran, kau menang."

Shen Liang hanya tersenyum sinis. Gadis penyelamatnya itu memang mengerikan. Bisa-bisanya dia tersenyum dan bercanda omong kosong sementara kematian sudah di depan mata.

*****

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Gila   Kesetiaan Seorang Prajurit

    Wuss wuss wussTiba-tiba dari arah bukit di belakang mereka ratusan anak panah melesat serentak. Langit seakan dipenuhi kerumunan tawon berwarna hitam.Jeritan pecah. Tubuh-tubuh pasukan pemberontak terhuyung, roboh di bawah hujan anak-anak panah yang melesat tanpa ampun. Formasi mereka buyar, teriakan perintah bercampur dengan teriakan kematian.Shen Liang hanya bisa melongo melihat pemandangan di depannya. Serangan panah itu terus datang dengan beruntun. Mei Lan menatap dengan sorot mata yang jernih, kali ini tersenyum lebih jelas, “Mereka datang …” bisiknya.Di kejauhan, terdengar teriakan dan bunyi denting senjata beradu.Para pasukan pemberontak yang berhasil kabur dari serangan panah rupanya dihadang oleh pasukan lain.Dari balik kabut, pasukan bersenjata lengkap muncul dengan bendera kerajaan. Di barisan depan, seorang lelaki bertubuh tegap dengan wajah penuh wibawa menunggang kuda hitam.Tatapannya tajam, suaranya lantang bagai guntur. “Prajurit kerajaan! Basmi semua pemberon

  • Pendekar Pedang Gila   Darah Pertama

    Mei Lan tanpa banyak bicara menggenggam lengan Shen Liang. “Ikut aku!” bisiknya pendek. Melihat jumlah musuh yang terlalu banyak, Mei Lan memutuskan agar mereka lari dari situ.Lagipula arena pertarungan yang lapang tidak menguntungkan dirinya. Kalau hanya sendiri dia masih bisa melakukan perlawanan. Mereka menyelinap, berlari lebih jauh ke dalam hutan yang gelap, hanya berbekal bunyi serangga dan desir angin sebagai penunjuk arah.Sesekali, Mei Lan menyalakan kembali obor untuk memastikan keadaan, lalu segera memadamkannya lagi agar tidak menarik perhatian. Shen Liang menelan ludah, setiap kali cahaya padam, jantungnya serasa ikut berhenti.Batang-batang pohon menjulang, bayangannya seperti tangan hitam yang siap meraih mereka. Di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing, mungkin juga serigala.Akhirnya, setelah dirasa cukup jauh, Mei Lan berhenti. Ia menurunkan bungkusan kain tipis yang dibawanya, lalu duduk bersandar pada akar besar. “Kita bermalam di sini,” katanya datar, sea

  • Pendekar Pedang Gila   Gerbang Barat

    Udara malam menusuk dingin ketika mereka melangkah keluar dari lorong demi lorong menuju gerbang barat. Obor-obor menyala, bayangan prajurit berjaga meliuk-liuk panjang di tanah.Shen Liang menunduk dalam-dalam. Jantungnya berdegup seperti genderang perang, keringat dingin mengalir di pelipis meski udara malam membeku. Seragam prajurit pengkhianat yang melekat di tubuhnya terasa berat, dia baru sadar, termyata bau darah makin lama bukannya menghilang, malah makin menusuk hidung.Di sampingnya, Mei Lan berjalan mantap dengan wajah tanpa ragu. Dua prajurit jaga melirik curiga ketika mereka melintas. Tombak-tombak di tangan mereka berkilat diterpa cahaya obor. Untuk sesaat, Shen Liang merasa nafasnya berhenti.Namun Mei Lan tidak mengubah langkah, wajahnya tetap datar. Saat prajurit itu hendak bicara, salah satunya hanya mengibaskan tangan malas.“Lewat!”Shen Liang kembali menghembuskan nafas panjang yang dia tahan setiap kali berpapasan dengan para prajurit jaga. Langkah mereka maki

  • Pendekar Pedang Gila   Gadis Penyelamat

    Shen Liang masih terengah, wajahnya berlumur darah. Tangannya gemetar sambil menggenggam pedang pusaka. Sementara si gadis yang barusan menyelamatkannya berdiri tenang dengan belati diselimuti cairan merah. Tatapannya dingin, kontras dengan wajahnya yang manis.Shen Liang menatapnya penuh keraguan.“Siapa… kau?” suaranya serak, nyaris pecah.“Mei Lan, tabib istana.” Ia menyebutkan namanya tanpa ragu, lalu menambahkan dengan nada datar, “Dan kalau tuan Pangeran ingin tetap hidup, ikut aku. Kita keluar lewat gerbang barat.”Shen Liang berkerut, “Gerbang barat?” Ia menggeleng cepat. “Tidak-tidak …! Di sana penuh dengan pasukan pemberontak.”Mei Lan mendengus kesal. “Tuan Pangeran, saat ini tidak ada tempat yang aman untukmu. Kalau Tuan mau selamat, cukup ikuti perintahku!”Nada dingin itu menusuk harga diri Shen Liang. Wajahnya memerah, diliputi rasa takut bercampur malu. Selama ini semua orang di istana menunduk hormat kepadanya, tapi gadis ini bicara tanpa sedikit pun memperlihatkan

  • Pendekar Pedang Gila   Kudeta Berdarah

    Pangeran Shen Liang bersembunyi di balik pilar-pilar tinggi raksasa, tubuhnya menggigil hebat disertai keringat dingin mengucur membasahi dahinya. Udara malam yang lembab bercampur bau dupa yang harum. Tapi kini ditambah bau amis darah para prajurit pengawal raja yang sudah tumbang. Bau kematian membuat perutnya mual. Dari celah sempit, dia menyaksikan ayah dan ibunya dipaksa berlutut di hadapan Jenderal Bao Jun. Orang yang dulu selalu menunduk hormat, kini berdiri dengan pedang terhunus dan pandangan mata penuh aura kejahatan. Bao Jun, Jenderal yang paling dipercaya oleh sang Raja ternyata berkhianat dan melakukan kudeta malam itu. “Kenapa kau melakukan ini, Bao Jun?” Sang Raja bertanya dengan mata merah dan tatapn tajam yang menusuk. Bao Jun hanya menyeringai, “Heh?! Mengapa Baginda bertanya? Bukankah sejak dulu dunia memang begini? Mereka yang lemah akan ditindas oleh yang lebih kuat.” “Kerajaanmu ini, Baginda-, sudah keropos. Para pejabatnya korup. Kerajaan ini hanya mengg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status