Accueil / Pendekar / Pendekar Pedang Gila / 5. Kesetiaan Seorang Prajurit

Share

5. Kesetiaan Seorang Prajurit

Auteur: DN KIYAN
last update Dernière mise à jour: 2025-08-26 19:18:08

Wuss wuss wuss

Tiba-tiba dari arah bukit di belakang mereka ratusan anak panah melesat serentak. Langit seakan dipenuhi kerumunan tawon berwarna hitam.

Jeritan pecah. Tubuh-tubuh pasukan pemberontak terhuyung, roboh di bawah hujan anak-anak panah yang melesat tanpa ampun. Formasi mereka buyar, teriakan perintah bercampur dengan teriakan kematian.

Shen Liang hanya bisa melongo melihat pemandangan di depannya. Serangan panah itu terus datang dengan beruntun.

Mei Lan menatap dengan sorot mata yang jernih, kali ini tersenyum lebih jelas, “Mereka datang …” bisiknya.

Di kejauhan, terdengar teriakan dan bunyi denting senjata beradu.

Para pasukan pemberontak yang berhasil kabur dari serangan panah rupanya dihadang oleh pasukan lain.

Dari balik kabut, pasukan bersenjata lengkap muncul dengan bendera kerajaan. Di barisan depan, seorang lelaki bertubuh tegap dengan wajah penuh wibawa menunggang kuda hitam.

Tatapannya tajam, suaranya lantang bagai guntur. “Prajurit kerajaan! Basmi semua pemberontak ini!”

Pasukan kerajaan menerjang masuk, pedang beradu, tombak menghantam.

Kabut pagi kini dipenuhi suara perang, teriakan, dan darah kembali menodai tanah.

Sisa pasukan pemberontak dihabisi tanpa sisa.

Kuda hitam berhenti hanya beberapa langkah di hadapan Shen Liang yang masih terduduk lemas.

Lelaki itu turun langsung melompat berlutut dengan hormat.

“Sembah sujud hamba, Jenderal Cao Yun, kepada Paduka Pangeran.”

Shen Liang tertegun. Dadanya masih berguncang hebat. Di hadapan kekacauan dan penyelamatan yang datang tiba-tiba, Shen Liang hanya bisa terdiam. Perasaannya campur aduk antara lega, terkejut, dan perasaan asing yang sulit ia mengerti.

*

Jenderal Cao Yun.

Nama itu bukan hanya sekadar panggilan seorang panglima. Dialah Kepala Pasukan Khusus Kerajaan. Pasukan yang digembleng bukan hanya untuk bertempur, melainkan juga untuk mengintai, memburu, dan menumpas dalam senyap.

Di bawah kendalinya, tak hanya pedang dan tombak, tapi juga jaringan mata-mata yang bertebaran hingga pelosok negeri.

Setiap bisikan rakyat jelata, setiap desas-desus di kedai arak, setiap surat rahasia yang beredar di pasar gelap, semua tidak akan lolos dan akhirnya sampai ke telinga Cao Yun.

Dirinya pernah menyusun laporan tentang gelagat Jenderal Bao Jun yang tengah menyiapkan rencana kudeta. Namun Sang Raja tidak percaya padanya.

Rupanya Raja terlalu percaya pada Jenderal Bao Jun yang sudah puluhan tahun menjabat sebagai Panglima Tertinggi kerajaan.

Kini, di tengah kabut hutan yang dipenuhi darah, semua yang dulu diabaikan menjelma kenyataan.

Pemberontakan pecah, dan kebenaran yang dibawa Cao Yun hadir terbukti adanya, dibayar dengan nyawa prajurit, rakyat dan termasuk nyawa Sang Raja beserta seluruh keluarganya.

*

Shen Liang masih terduduk dengan tubuh gemetar. Pedang di tangannya terlepas, jatuh beradu dengan tanah basah. Tatapannya menancap ke arah Jenderal Cao Yun yang baru saja berlutut.

“Kenapa kau terlambat?!” suaranya parau, hampir pecah oleh emosi. “Kalau kau datang lebih cepat, semua ini tidak akan terjadi!”

Cao Yun hanya menunduk dengan raut wajah suram. “Ampun, Paduka. Hamba diutus Jenderal Bao Jun ke perbatasan. Dalihnya untuk membasmi kawanan bandit."

"Hamba sudah pernah mengingatkan paduka Raja, kalau Jenderal Bao Jun akan melakukan kudeta tapi beliau tidak percaya. Juga,- ..."

Cao Yun tiba-tiba terdiam.

"Juga kenapa?" tanya Shen Liang kening berkerut.

"Sekali lagi mohon maaf paduka, jenderal yang lain juga membelot dan berpihak pada Bao Jun."

Shen Liang hanya bisa terdiam mendengar penjelasan Cao Yun.

Di tengah keheningan itu, Mei Lan perlahan bangkit meski tubuhnya berlumur luka. Nafasnya tersengal, namun matanya jernih. Ia menatap Cao Yun lama, lalu berpaling pada Shen Liang.

“Mohon maaf paduka. Saat ini, satu-satunya Jenderal yang masih setia pada anda hanya Jenderal Cao Yun seorang."

“Aku bukan sekadar tabib istana. Sejak awal, aku adalah bawahan Jenderal Cao Yun. Aku menyamar, untuk mengawasi pergerakan di dalam istana dan memastikan keselamatan keluarga Raja.”

"Sayangnya, hanya anda saja yang bisa aku selamatkan."

Hening sejenak. Hanya suara angin yang melewati pepohonan, membawa bau darah yang mengering di tanah.

Pangeran Shen Liang hanya bisa tertegun mendengar penjelasan dua orang penyelamatnya.

“Kalau begitu kenapa kau tidak ikut membelot bersama Bao Jun dan jenderal lainnya? Kenapa kau tidak ikut berkhianat seperti mereka?” kali ini Shen Liang bertanya dengan nada pelan.

"Bukankah aku ini sekarag hanya Pangeran tanpa kerajaan? Untuk apa kau tetap setia padaku? Apa untunnya?"

Shen Liang bertanya dengan nada bergetar. Matanya mulai nampak berkaca-kaca.

Cao Yun mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya tegas, suaranya mantap tanpa ragu.

“Karena hamba adalah seorang prajurit. Sumpah hamba hanya pada kerajaan, bukan pada ambisi pribadi.”

Ia berhenti sejenak, lalu menarik napas panjang.

“Selain itu, hamba merasa berutang budi pada mendiang Baginda Raja. Bagi hamba, beliau adalah raja yang adil."

Cao Yun mengatakan yang sebenarnya. Berkat keadilan sang Raja yang melihat kerja keras dan prestasi Cao Yun, dirinya bisa mendapatkan pangkat Jenderal dalam usia yang masih sangat muda.

Jenderal Cao Yun baru berusia 35 tahun.

Shen Liang terdiam, jari-jarinya mengepal, "Tapi rupanya Raja yang adil saja tidak cukup Cao Yun. Raja itu sudah dibunuh oleh Jenderalnya sendiri yang paling dia percaya."

Jenderal Cao Yun hanya terdiam menanggapi perkataan Sang Pangeran sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Diam-diam, Cao Yun juga merasa berduka karena kehilangan Sang Raja.

Kabut yang menggantung di hutan seakan menebal, menyelubungi keheningan yang lahir setelah kata-kata itu.

Tiba-tiba terdengar suara siulan melengking memecah keheningan.

Suara iti berasal dari anak panah milik pasukan Cao Yun yang dirancang khusus bisa berbunyi melengking saat dilepaskan. Anak panah ini hanya dipakai khusus untuk komunikasi jarak jauh.

Shen Liang tersentak, mengira musuh kembali mengepung. Namun wajah Cao Yun justru tetap tenang.

“Itu bukan serangan,” ucapnya mantap. “Itu adalah sandi. Pasukanku memberi tanda kalau musuh sedang bergerak mendekat.”

Ia lalu menoleh pada Mei Lan, nada suaranya tegas, tak terbantahkan.

"Mei Lan, lanjutkan tugasmu. Larilah bersama Pangeran sesuai rencana!"

Mei Lan hanya balas memgangguk dengan sorot mata yang juga tegas. Mei Lan yang sudah mendapatkan pertolongan dan pengobatan sudah bisa bergerak lagi, meskipun kondisinya masih terluka cukup parah.

"Kau sendiri bagaimana, Jenderal?!" tanya Shen Liang setengah berteriak.

"Maaf, Paduka. Hamba belum bisa menemani pelarian paduka. Saya akan menghalau pasukan yang mengejar."

Mata Shen Liang berkaca-kaca tapi dia menggertakkan rahangnya.

"Kau tidak boleh mati, Cao Yun. Itu perintahku!"

Sang Jenderal tersenyum mendengar perintah itu sambil mengangguk tegas pada Shen Liang.

Sementara Mei Lan diam-diam cukup terkejut dengan aura Sang Pangeran yang berubah tiba-tiba.

'Heh, rupanya anak raja tetaplah anak raja,' Mei Lan membatin dengan senyum sinis.

*****

Bersambung

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Gila   24. Sosok Qi Liar

    “Mei Lan! Seranganmu terlalu dangkal!” teriak Cao Yun sambil menahan gempuran pedang naga Shen Liang yang hampir merobek pundaknya. Suara benturan logam menggema keras, percikan cahaya Qi liar beterbangan ke udara. Formasi Bintang bukan hanya soal posisi. Itu tarian maut, di mana tiap langkah dan tiap tebasan harus seirama, setara, tanpa keraguan sedikit pun. Satu orang goyah, seluruh formasi bisa runtuh. Mei Lan menggertakkan giginya. Dadanya naik-turun, keringat bercampur darah menetes dari pelipis. Dirinya sadar jenderal Cao Yun benar. Belatinya terlalu ringan, terlalu hati-hati. Ada keraguan di tangannya setiap kali bilahnya hampir menusuk tubuh Shen Liang. “Maaf, Jenderal…” suaranya nyaris tak terdengar, tapi sorot matanya mulai mengeras. Cao Yun menekan pedangnya, lalu berteriak lantang: “Serigala! Serang!” Wu Ling dan Wu Lan langsung melesat bagai bayangan hitam. Wu Ling menusuk dengan pedang pendeknya beruntun, kilatan baja berdesir seperti hujan rintik. Wu Lan

  • Pendekar Pedang Gila   23. Ritual Penyegelan

    Mo Tian menatap tajam pedang pusaka berkepala naga itu. Jemarinya yang kurus tapi bertenaga menyentuh permukaan bilahnya, seakan mencoba membaca jejak waktu dari dingin logam tersebut.“Sejak kapan Pangeran memegang pedang ini?" “Murid tidak tahu pasti, Guru. Hamba hanya melihat pedang itu selalu ada di sisinya.”Mei Lan ikut menyambung, “Seingatku… sejak hari aku pertama kali menemuinya.""Saat itu istana sudah dilalap api kudeta. Pangeran Shen Liang lolos dengan luka-luka parah, tapi pedang ini tergenggam erat di tangannya. Sejak hari itu, pedang ini tak pernah lepas darinya.”Mo Tian mengangguk tipis, seolah-olah jawaban itu meneguhkan kecurigaannya. Matanya memicing menatap Shen Liang yang terbaring, lalu kembali pada bilah pusaka yang memantulkan cahaya temaram gua.“Qi Liar ini memang telah berakar dalam tubuhnya,” gumamnya pelan, “namun terasa baru". "Biasanya Qi yang berakar sudah bersemayam puluhan bahkan ratusan tahun dalam garis darah pemiliknya. Tapi kasus Pangeran ini b

  • Pendekar Pedang Gila   22. Qi Liar

    Wu Ling hanya terdiam, keringat dingin merembes di pelipisnya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya: apakah sosok di depan mereka punya lebih dari satu wujud? Atau suara di luar tadi hanyalah dari kekuatan anehnya?Kalau ternyata itu memang kekuatannya, orang tua di hadapan mereka ini, tentu tak terukur kesaktiannya.Sosok tua berjubah putih itu membuka matanya perlahan. Sepasang mata yang jernih, setenang dan sedalam danau gunung, menatap mereka semua. Dalam tatapan itu, Wu bersaudara dan Mei Lan merasa seperti seluruh tubuh mereka bisa dibaca hingga ke tulang.Hening menekan. Hanya suara gemericik air terjun kecil yang mengisi udara.Cao Yun melangkah maju, lalu berlutut kembali dengan kedua tangan merapat di depan dada. Suaranya dalam, seperti penuh penyesalan.“Guru, murid menghaturkan beribu maaf karena telah berani melanggar perintahmu. Guru sudah melarangku menginjakkan kaki di gunung ini lagi … tapi keadaan memaksa. Murid merasa tak punya pilihan lain.”Orang tua berjubah putih i

  • Pendekar Pedang Gila   21. Roh Gunung Penyesalan

    "Justru karena di sini berbahaya, maka tempat ini paling aman untuk bersembunyi," jawab Cao Yun pada Wu Lan dengan pandangan berbinar."Lagipula, kaliankan Pasukan Serigala yang bergerak bagaikan kilat. Membunuh dengan cepat. Hantu mana yang berani menggangu kalian?""Tch," Wu Lan hanya mendengus singkat mendengar jawaban Jenderal Cao Yun.Tentu saja Wu Lan tak takut dengan manusia. Entah berapa liter darah yang pernah mampir di senjata cakar besinyaTapi kalau lawannya makhluk antah berantah, hantu, dedemit atau semacamnya, bahkan dirinya si ratu Serigala paling buas, tidak yakin kalau cakarnya bisa banyak berguna.Wu Ling dan Mei Lan hanya menahan tawa melihat kontradiksi seorang Perwira Pasukan Serigala Hitam bernama Wu Lan. Kejam, beringas, berdarah dingin tapi takut hantu.Pendakian panjang akhirnya membawa mereka tiba di puncak. Kabut yang tebal perlahan tersibak, menyingkap sebuah dataran luas.Di tengah puncak itu terbentang lapangan alami yang dikelilingi ngarai-ngarai raksas

  • Pendekar Pedang Gila   20. Berbelok ke Barat

    Seminggu kemudian. Kabut pagi masih menggantung di sekitar desa kecil itu. Embun terasa segar membasahi halaman bambu di belakang rumah Guo Shan. Wu Lan bergerak cepat, cakarnya berkelebat, menyambar ke arah Mei Lan. Tapi Serigala Kecil itu memiringkan tubuhnya lincah, kaki kirinya menjejak tanah dan tubuhnya berputar, menangkis serangan dengan kedua belatinya. Trang! Bunyi senjata beradu nyaring. Mei Lan terdorong dua langkah ke belakang, bahunya naik-turun menahan nafas, wajahnya pucat namun matanya bersinar penuh semangat. “Heheh …, belum pulih sepenuhnya, tapi gerakanmu lumayan cepat,” ujar Wu Lan, sudut bibirnya terangkat. Mei Lan mengusap keringat di pelipisnya dan menyeringai tipis. “Aku tidak bisa berlama-lama lemah. Kita masih dalam pengejaran.” Jenderal Cao Yun dan Wu Ling berkelebat muncul dari arah hutan Wu Lan dan Mei Lan serempak langsung menunduk hormat. “Jenderal!” Cao Yun berjalan mendekat, tatapannya menyapu singkat lalu berhenti pada wajah Mei Lan.

  • Pendekar Pedang Gila   19. Tanpa Rencana

    Shen… Liang…” suara Mei Lan yang lemah menembus kabut darah dan kegilaan. “Shen Liang…” Mei Lan melangkah terseok-seok dan perlahan, menembus lingkaran para pasukan Serigala Hitam menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan tiba-tiba datang menghadang, di depan “Oi, Mei Lan! Kau mau bunuh diri, ya?!” Tapi Mei Lan nampak tidak peduli. Dia terus saja berjalan menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan berniat memukul tengkuk Mei Lan untuk membuatnya pingsan. Tapi Jenderal Cao Yun tiba-tiba bersuara. "Biarkan dia!" Tanpa mereka sadari Sang Jenderal juga sudah muncul di arena pertarungan. Pandangan matanya berbinar dengan sorot mata yang bening saat melihat Mei Lan yang semakin mendekat ke arah Shen Liang. Jenderal Cao Yun seakan-akan menikmati sebuah pertunjukan. Wu bersaudara saling menatap. Para pasukan Serigala Hitam siaga penuh. Karena bila Si Pangeran Gila kembali mengamuk, mereka sudah siap menyerang dengan Formasi Bintang Sembilan. Juga, sebisa mungkin mereka harus berusaha menyelamatka

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status