Wuss wuss wuss
Tiba-tiba dari arah bukit di belakang mereka ratusan anak panah melesat serentak. Langit seakan dipenuhi kerumunan tawon berwarna hitam. Jeritan pecah. Tubuh-tubuh pasukan pemberontak terhuyung, roboh di bawah hujan anak-anak panah yang melesat tanpa ampun. Formasi mereka buyar, teriakan perintah bercampur dengan teriakan kematian. Shen Liang hanya bisa melongo melihat pemandangan di depannya. Serangan panah itu terus datang dengan beruntun. Mei Lan menatap dengan sorot mata yang jernih, kali ini tersenyum lebih jelas, “Mereka datang …” bisiknya. Di kejauhan, terdengar teriakan dan bunyi denting senjata beradu. Para pasukan pemberontak yang berhasil kabur dari serangan panah rupanya dihadang oleh pasukan lain. Dari balik kabut, pasukan bersenjata lengkap muncul dengan bendera kerajaan. Di barisan depan, seorang lelaki bertubuh tegap dengan wajah penuh wibawa menunggang kuda hitam. Tatapannya tajam, suaranya lantang bagai guntur. “Prajurit kerajaan! Basmi semua pemberontak ini!” Pasukan kerajaan menerjang masuk, pedang beradu, tombak menghantam. Kabut pagi kini dipenuhi suara perang, teriakan, dan darah kembali menodai tanah. Sisa pasukan pemberontak dihabisi tanpa sisa. Kuda hitam berhenti hanya beberapa langkah di hadapan Shen Liang yang masih terduduk lemas. Lelaki itu turun langsung melompat berlutut dengan hormat. “Sembah sujud hamba, Jenderal Cao Yun, kepada Paduka Pangeran.” Shen Liang tertegun. Dadanya masih berguncang hebat. Di hadapan kekacauan dan penyelamatan yang datang tiba-tiba, Shen Liang hanya bisa terdiam. Perasaannya campur aduk antara lega, terkejut, dan perasaan asing yang sulit ia mengerti. * Jenderal Cao Yun. Nama itu bukan hanya sekadar panggilan seorang panglima. Dialah Kepala Pasukan Khusus Kerajaan. Pasukan yang digembleng bukan hanya untuk bertempur, melainkan juga untuk mengintai, memburu, dan menumpas dalam senyap. Di bawah kendalinya, tak hanya pedang dan tombak, tapi juga jaringan mata-mata yang bertebaran hingga pelosok negeri. Setiap bisikan rakyat jelata, setiap desas-desus di kedai arak, setiap surat rahasia yang beredar di pasar gelap, semua tidak akan lolos dan akhirnya sampai ke telinga Cao Yun. Dirinya pernah menyusun laporan tentang gelagat Jenderal Bao Jun yang tengah menyiapkan rencana kudeta. Namun Sang Raja tidak percaya padanya. Rupanya Raja terlalu percaya pada Jenderal Bao Jun yang sudah puluhan tahun menjabat sebagai Panglima Tertinggi kerajaan. Kini, di tengah kabut hutan yang dipenuhi darah, semua yang dulu diabaikan menjelma kenyataan. Pemberontakan pecah, dan kebenaran yang dibawa Cao Yun hadir terbukti adanya, dibayar dengan nyawa prajurit, rakyat dan termasuk nyawa Sang Raja beserta seluruh keluarganya. * Shen Liang masih terduduk dengan tubuh gemetar. Pedang di tangannya terlepas, jatuh beradu dengan tanah basah. Tatapannya menancap ke arah Jenderal Cao Yun yang baru saja berlutut. “Kenapa kau terlambat?!” suaranya parau, hampir pecah oleh emosi. “Kalau kau datang lebih cepat, semua ini tidak akan terjadi!” Cao Yun hanya menunduk dengan raut wajah suram. “Ampun, Paduka. Hamba diutus Jenderal Bao Jun ke perbatasan. Dalihnya untuk membasmi kawanan bandit." "Hamba sudah pernah mengingatkan paduka Raja, kalau Jenderal Bao Jun akan melakukan kudeta tapi beliau tidak percaya. Juga,- ..." Cao Yun tiba-tiba terdiam. "Juga kenapa?" tanya Shen Liang kening berkerut. "Sekali lagi mohon maaf paduka, jenderal yang lain juga membelot dan berpihak pada Bao Jun." Shen Liang hanya bisa terdiam mendengar penjelasan Cao Yun. Di tengah keheningan itu, Mei Lan perlahan bangkit meski tubuhnya berlumur luka. Nafasnya tersengal, namun matanya jernih. Ia menatap Cao Yun lama, lalu berpaling pada Shen Liang. “Mohon maaf paduka. Saat ini, satu-satunya Jenderal yang masih setia pada anda hanya Jenderal Cao Yun seorang." “Aku bukan sekadar tabib istana. Sejak awal, aku adalah bawahan Jenderal Cao Yun. Aku menyamar, untuk mengawasi pergerakan di dalam istana dan memastikan keselamatan keluarga Raja.” "Sayangnya, hanya anda saja yang bisa aku selamatkan." Hening sejenak. Hanya suara angin yang melewati pepohonan, membawa bau darah yang mengering di tanah. Pangeran Shen Liang hanya bisa tertegun mendengar penjelasan dua orang penyelamatnya. “Kalau begitu kenapa kau tidak ikut membelot bersama Bao Jun dan jenderal lainnya? Kenapa kau tidak ikut berkhianat seperti mereka?” kali ini Shen Liang bertanya dengan nada pelan. "Bukankah aku ini sekarag hanya Pangeran tanpa kerajaan? Untuk apa kau tetap setia padaku? Apa untunnya?" Shen Liang bertanya dengan nada bergetar. Matanya mulai nampak berkaca-kaca. Cao Yun mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya tegas, suaranya mantap tanpa ragu. “Karena hamba adalah seorang prajurit. Sumpah hamba hanya pada kerajaan, bukan pada ambisi pribadi.” Ia berhenti sejenak, lalu menarik napas panjang. “Selain itu, hamba merasa berutang budi pada mendiang Baginda Raja. Bagi hamba, beliau adalah raja yang adil." Cao Yun mengatakan yang sebenarnya. Berkat keadilan sang Raja yang melihat kerja keras dan prestasi Cao Yun, dirinya bisa mendapatkan pangkat Jenderal dalam usia yang masih sangat muda. Jenderal Cao Yun baru berusia 35 tahun. Shen Liang terdiam, jari-jarinya mengepal, "Tapi rupanya Raja yang adil saja tidak cukup Cao Yun. Raja itu sudah dibunuh oleh Jenderalnya sendiri yang paling dia percaya." Jenderal Cao Yun hanya terdiam menanggapi perkataan Sang Pangeran sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Diam-diam, Cao Yun juga merasa berduka karena kehilangan Sang Raja. Kabut yang menggantung di hutan seakan menebal, menyelubungi keheningan yang lahir setelah kata-kata itu. Tiba-tiba terdengar suara siulan melengking memecah keheningan. Suara iti berasal dari anak panah milik pasukan Cao Yun yang dirancang khusus bisa berbunyi melengking saat dilepaskan. Anak panah ini hanya dipakai khusus untuk komunikasi jarak jauh. Shen Liang tersentak, mengira musuh kembali mengepung. Namun wajah Cao Yun justru tetap tenang. “Itu bukan serangan,” ucapnya mantap. “Itu adalah sandi. Pasukanku memberi tanda kalau musuh sedang bergerak mendekat.” Ia lalu menoleh pada Mei Lan, nada suaranya tegas, tak terbantahkan. "Mei Lan, lanjutkan tugasmu. Larilah bersama Pangeran sesuai rencana!" Mei Lan hanya balas memgangguk dengan sorot mata yang juga tegas. Mei Lan yang sudah mendapatkan pertolongan dan pengobatan sudah bisa bergerak lagi, meskipun kondisinya masih terluka cukup parah. "Kau sendiri bagaimana, Jenderal?!" tanya Shen Liang setengah berteriak. "Maaf, Paduka. Hamba belum bisa menemani pelarian paduka. Saya akan menghalau pasukan yang mengejar." Mata Shen Liang berkaca-kaca tapi dia menggertakkan rahangnya. "Kau tidak boleh mati, Cao Yun. Itu perintahku!" Sang Jenderal tersenyum mendengar perintah itu sambil mengangguk tegas pada Shen Liang. Sementara Mei Lan diam-diam cukup terkejut dengan aura Sang Pangeran yang berubah tiba-tiba. 'Heh, rupanya anak raja tetaplah anak raja,' Mei Lan membatin dengan senyum sinis. ***** BersambungWuss wuss wussTiba-tiba dari arah bukit di belakang mereka ratusan anak panah melesat serentak. Langit seakan dipenuhi kerumunan tawon berwarna hitam.Jeritan pecah. Tubuh-tubuh pasukan pemberontak terhuyung, roboh di bawah hujan anak-anak panah yang melesat tanpa ampun. Formasi mereka buyar, teriakan perintah bercampur dengan teriakan kematian.Shen Liang hanya bisa melongo melihat pemandangan di depannya. Serangan panah itu terus datang dengan beruntun. Mei Lan menatap dengan sorot mata yang jernih, kali ini tersenyum lebih jelas, “Mereka datang …” bisiknya.Di kejauhan, terdengar teriakan dan bunyi denting senjata beradu.Para pasukan pemberontak yang berhasil kabur dari serangan panah rupanya dihadang oleh pasukan lain.Dari balik kabut, pasukan bersenjata lengkap muncul dengan bendera kerajaan. Di barisan depan, seorang lelaki bertubuh tegap dengan wajah penuh wibawa menunggang kuda hitam.Tatapannya tajam, suaranya lantang bagai guntur. “Prajurit kerajaan! Basmi semua pemberon
Mei Lan tanpa banyak bicara menggenggam lengan Shen Liang. “Ikut aku!” bisiknya pendek. Melihat jumlah musuh yang terlalu banyak, Mei Lan memutuskan agar mereka lari dari situ.Lagipula arena pertarungan yang lapang tidak menguntungkan dirinya. Kalau hanya sendiri dia masih bisa melakukan perlawanan. Mereka menyelinap, berlari lebih jauh ke dalam hutan yang gelap, hanya berbekal bunyi serangga dan desir angin sebagai penunjuk arah.Sesekali, Mei Lan menyalakan kembali obor untuk memastikan keadaan, lalu segera memadamkannya lagi agar tidak menarik perhatian. Shen Liang menelan ludah, setiap kali cahaya padam, jantungnya serasa ikut berhenti.Batang-batang pohon menjulang, bayangannya seperti tangan hitam yang siap meraih mereka. Di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing, mungkin juga serigala.Akhirnya, setelah dirasa cukup jauh, Mei Lan berhenti. Ia menurunkan bungkusan kain tipis yang dibawanya, lalu duduk bersandar pada akar besar. “Kita bermalam di sini,” katanya datar, sea
Udara malam menusuk dingin ketika mereka melangkah keluar dari lorong demi lorong menuju gerbang barat. Obor-obor menyala, bayangan prajurit berjaga meliuk-liuk panjang di tanah.Shen Liang menunduk dalam-dalam. Jantungnya berdegup seperti genderang perang, keringat dingin mengalir di pelipis meski udara malam membeku. Seragam prajurit pengkhianat yang melekat di tubuhnya terasa berat, dia baru sadar, termyata bau darah makin lama bukannya menghilang, malah makin menusuk hidung.Di sampingnya, Mei Lan berjalan mantap dengan wajah tanpa ragu. Dua prajurit jaga melirik curiga ketika mereka melintas. Tombak-tombak di tangan mereka berkilat diterpa cahaya obor. Untuk sesaat, Shen Liang merasa nafasnya berhenti.Namun Mei Lan tidak mengubah langkah, wajahnya tetap datar. Saat prajurit itu hendak bicara, salah satunya hanya mengibaskan tangan malas.“Lewat!”Shen Liang kembali menghembuskan nafas panjang yang dia tahan setiap kali berpapasan dengan para prajurit jaga. Langkah mereka maki
Shen Liang masih terengah, wajahnya berlumur darah. Tangannya gemetar sambil menggenggam pedang pusaka. Sementara si gadis yang barusan menyelamatkannya berdiri tenang dengan belati diselimuti cairan merah. Tatapannya dingin, kontras dengan wajahnya yang manis.Shen Liang menatapnya penuh keraguan.“Siapa… kau?” suaranya serak, nyaris pecah.“Mei Lan, tabib istana.” Ia menyebutkan namanya tanpa ragu, lalu menambahkan dengan nada datar, “Dan kalau tuan Pangeran ingin tetap hidup, ikut aku. Kita keluar lewat gerbang barat.”Shen Liang berkerut, “Gerbang barat?” Ia menggeleng cepat. “Tidak-tidak …! Di sana penuh dengan pasukan pemberontak.”Mei Lan mendengus kesal. “Tuan Pangeran, saat ini tidak ada tempat yang aman untukmu. Kalau Tuan mau selamat, cukup ikuti perintahku!”Nada dingin itu menusuk harga diri Shen Liang. Wajahnya memerah, diliputi rasa takut bercampur malu. Selama ini semua orang di istana menunduk hormat kepadanya, tapi gadis ini bicara tanpa sedikit pun memperlihatkan
Pangeran Shen Liang bersembunyi di balik pilar-pilar tinggi raksasa, tubuhnya menggigil hebat disertai keringat dingin mengucur membasahi dahinya. Udara malam yang lembab bercampur bau dupa yang harum. Tapi kini ditambah bau amis darah para prajurit pengawal raja yang sudah tumbang. Bau kematian membuat perutnya mual. Dari celah sempit, dia menyaksikan ayah dan ibunya dipaksa berlutut di hadapan Jenderal Bao Jun. Orang yang dulu selalu menunduk hormat, kini berdiri dengan pedang terhunus dan pandangan mata penuh aura kejahatan. Bao Jun, Jenderal yang paling dipercaya oleh sang Raja ternyata berkhianat dan melakukan kudeta malam itu. “Kenapa kau melakukan ini, Bao Jun?” Sang Raja bertanya dengan mata merah dan tatapn tajam yang menusuk. Bao Jun hanya menyeringai, “Heh?! Mengapa Baginda bertanya? Bukankah sejak dulu dunia memang begini? Mereka yang lemah akan ditindas oleh yang lebih kuat.” “Kerajaanmu ini, Baginda-, sudah keropos. Para pejabatnya korup. Kerajaan ini hanya mengg