Share

3. Pedang Naga

last update Last Updated: 2025-02-03 14:46:03

Kael memandang Pedang Naga di tangannya, pedang itu tidak lagi tampak seperti benda tua yang berkarat. 

“Kalau kau tidak yakin kau bisa mencoba untuk menarik pedang itu, jika pedang itu memilihmu maka karat itu akan hilang dengan sendirinya,” kata Kakek Ling melihat Kael yang terus memandangi pedang itu dengan tidak yakin.

“Tapi Kek, aku tidak memiliki tekad murni seperti apa yang kakek katkan. Aku hanya ingin kekuatan besar untuk balas dendam,” ucap Kael yang masih saja ragu-ragu.

“Aku masih ingat kekejaman para bandit. Aku pasti akan menemukan orang dengan tato kalajengking merah,” sambung Kael dengan penuh keyakinan membuat pedang naga yang ada di tangannya bersinar.

Tekat balas dendamnya membangkitkan pedang naga yang sedang tertidur selama ini, Aura kuat keluar dari pedang itu membuat Kael terkejut dan mulai menarik pedangnya.

“Pedang itu memilih mu,” Kaka Kakek Ling melihat cahaya pada bilah pedang yang begitu tajam, karat yang sudah menghilang membuktikan kekuatan tekad balas dendam yang Kael miliki.

Kael menatap pedang naga itu dengan rasa kagum, asap hitam mulai keluar dari pedang yang Kael pegang. Disusul dengan kemunculan bayangan naga hitam yang megaum menunjukan kekuatan besarnya.

Kakek Ling yang melihat itu merinding hingga dingin terasa, aura membunuh yang begitu kuat, “Sepertinya kekuatan legenda itu benar, tapi ada yang aneh dengan aura hitam yang begitu kual, aku belum pernah mendengar tentang pedang naga hitam,” batin Kakek Ling yang masih terpaku melihat Pedang  Naga Hitam

“Aku memilihmu anak muda, lakukan balas dendam yang kau inginkan,” suara naga hitam yang menggema membuat awan gelap muncul disertai angin kencang. 

Kael melihat kegerian itu, seluruh badanya terasa seperti terkoyak, ia terus menahan. Tapi ternyata kekuatan pedang naga tidak bisa ia terima. Seketika Kael pingsan dan bayangan naga hitam menghilang, seta langit yang tadinya gelap kini berubah jadi sedia kala.

Kakek Ling langsung menghampiri Kael dan berusaha menyembuhkan luka tenaga dalamnya, yang tak seimbang. Pedang naga hitam itu sudah kembali kesedia kala sepertinya Kael belum cukup kuat untuk menerima kekuatan besar pedang naga.

“Sepertinya kekuatanmu masih lemah,” kata Kakek Ling yang memapah Kael untuk beristirahat setelah apa yang terjadi.

Kael terbaring lemas, ia memejamkan mata. Seketika kesadarannya menghilang ia berada di tempat asing di alam bawah sadarnya. “Tempat apa ini?” batin Kael yang seketika langsung sadar melihat sosok naga hitam yang sedang memandangnya.

“Ini alam bawah sadar mu, kau telah membangkitkanku, tapi kau tidak cukup kuat  untuk bisa menggunakan ku, belajarlah ilmu pedang dari kakek yang sedang merawatmu tadi, aku melihat jika kakek itu sudah tingkat master. Jika kau sudah setingkat dengan dia, baru kau bisa menggunakanku.”

Setelah mendengar itu semua Kael langsung sadar, ternyata hari sudah pagi, Kakek Ling tak ada di dalam rumah. Pesan yang cukup jelas dari sang naga membuat Kael berlari mencari Kakek Ling.

Dengan nafas terenggah Kael menghampiri Kakek Ling yang sedang duduk santai dibawah pohon. “Kakek, aku ingin berlatih pedang.”

Kakek Ling mengangguk perlahan, namun tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia masih mempertanyakan kesiapan Kael. Kakek Ling, dengan gerakan lambat namun penuh kontrol, bangkit dari tempat duduknya dan mengambil posisi berdiri di depan Kael. “Baiklah, kalau begitu, kita akan mulai dengan latihan dasar pengendalian tenaga dalam. Ingat, pedang ini memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang terlihat. Jika kau tidak bisa mengendalikan dirimu, pedang ini akan mengambil alih.”

Kael menarik napas dalam-dalam. Dia telah mendengar cerita tentang pendekar yang mencoba menguasai Pedang Naga dan berakhir dengan kegilaan atau kematian. Pedang ini tidak hanya menguji kekuatan fisik, tetapi juga mental. 

“Angkat pedangmu,” perintah Kakek Ling sambil mengambil sikap siap bertarung.

Kael mengangkat Pedang Naga dengan kedua tangannya, pedang itu nampak seperti pedang biasa, kekuatan besar didalamnya seakan menghilang. 

“Kendalikan nafasmu. Jangan biarkan emosimu mendominasi gerakanmu,” ujar Kakek Ling, lalu menyerang Kael dengan gerakan cepat dan tak terduga.

Kael berusaha keras menangkis serangan itu, namun ia masih terlalu lambat. Kakek Ling, meskipun sudah tua, masih bergerak seperti angin. Pedangnya tidak pernah mengarah langsung ke Kael, tetapi setiap gerakan tampak seperti kilatan yang bisa menyerang kapan saja. Kael mundur dengan cepat, berusaha mencari celah untuk membalas serangan.

“Jangan tergesa-gesa!” seru Kakek Ling.

Kael mencoba mengikuti nasihat itu. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu memusatkan pikirannya, berusaha mendengarkan getaran dari pedang di tangannya. Aneh, tapi dia mulai merasakan sesuatu—seperti aliran energi yang mengalir melalui gagang pedang ke tubuhnya. Dengan sedikit kendali, dia menggerakkan pedang itu dalam pola-pola yang dia pelajari selama berbulan-bulan. Gerakannya mulai menyatu dengan aliran energi dari pedang tersebut.

Kakek Ling menghindari serangan itu dengan mudah, namun raut wajahnya berubah. “Kau masih terlalu terburu-buru, Kael. Emosi mengendalikanmu, bukan sebaliknya.”

Kael terhenti, napasnya terengah-engah. Dia bisa merasakan pedang itu menolak gerakannya ketika emosinya tidak terkendali. Tiba-tiba, pedang itu terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah-olah menolak untuk digunakan oleh seseorang yang tidak memiliki kendali atas dirinya sendiri. Amarah Kael berubah menjadi frustrasi. Bagaimana dia bisa mengendalikan kekuatan sebesar ini ketika pikirannya terus-menerus diserang oleh rasa dendam?

Kakek Ling menatapnya dengan pandangan penuh pengertian, namun juga dengan kebijaksanaan yang dalam. “Kael, kau harus konsentrasi menguasi gerakanmu, kuda-kuda juga penting,"

Kael diam, mencoba mencerna kata-kata Kakek Ling. ia tahu harus menambah kekauatan fizsiknya, ia sadar jika ia jauh dari kata bisa. untuk mengendalikan kekauatannya saja ia asangat kesulitan.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanya Kael, suaranya melemah.

"Latihan fisik dan Latih hatimu seperti kau melatih pedangmu,” jawab Kakek Ling lembut. “Pelajari cara untuk menemukan kedamaian, bahkan di tengah-tengah badai. Jika kau bisa melakukannya, kau tidak hanya akan menguasai pedang ini, tetapi juga dirimu sendiri.”

Kael mengangguk. Meskipun kata-kata Kakek Ling masuk akal, itu adalah tugas yang jauh lebih sulit daripada apa yang dia bayangkan. Mengendalikan emosinya, untuk bisa megendalikan diri agar menguasai geraka pedangnya.

Latihan dilanjutkan, hari demi hari, dengan fokus yang berbeda. Kakek Ling tidak hanya melatih teknik-teknik bertarung, tetapi juga seni meditasi dan pengendalian emosi. Setiap kali Kael merasa amarahnya memuncak, dia diminta untuk berhenti dan duduk, memusatkan pikirannya pada napas dan menenangkan hatinya. Proses ini lambat, dan sering kali membuat Kael frustasi. Namun, sedikit demi sedikit, dia mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ketika dia mengayunkan pedangnya, gerakannya menjadi lebih halus dan penuh kontrol. Pedang Naga pun mulai meresponsnya dengan lebih baik.

Suatu sore, setelah berlatih seharian penuh, Kael duduk di tepi sungai, menatap pantulan dirinya di air. Dia merasakan ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pedang Naga terbaring di sampingnya, berkilau di bawah cahaya matahari yang mulai terbenam.

“Aku akan menguasaimu, Pedang Naga,” bisiknya pelan. “Tapi sebelum itu, aku harus menguasai diriku sendiri.”

Kakek Ling, yang mengawasi dari kejauhan, tersenyum tipis. Dia tahu bahwa Kael berada di jalur yang benar. "Semoga kau benar-benar bisa menemukan kekuatan sejati, Kael," gumamnya pelan. 

Keesokan paginya, latihan kembali dimulai. Kali ini, Kakek Ling membawa Kael ke puncak gunung yang sepi, jauh dari keramaian. Angin bertiup kencang di tempat itu, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Di puncak gunung itu, mereka bisa melihat seluruh lembah di bawah, tampak kecil dan damai. Namun Kael tahu, di bawah kedamaian itu, bahaya dari aliran hitam terus mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi.

“Hari ini, kita akan memulai tahap akhir dari latihanmu,” kata Kakek Ling, suaranya tegas namun lembut. “Kau sudah menguasai dasar-dasar ilmu pedang dan mulai memahami bagaimana mengendalikan emosi. Tapi kekuatan Pedang Naga tidak akan sepenuhnya terbuka sampai kau bisa memadukan ilmu pedangmu dengan kekuatan batin yang sesungguhnya.”

Kael mengerutkan kening, tak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud. “Maksud Kakek, aku belum sepenuhnya menguasai Pedang Naga?”

Kakek Ling menggeleng. “Belum, Kael," jelas Kakek Ling yang tahu jika Kael jaug dari sempurna.

“Bagaimana aku bisa melakukannya, Kakek?” Kael bertanya dengan serius. “Bagaimana aku bisa memadukan tenaga dalamku dengan Pedang Naga?”

Kakek Ling tersenyum kecil, lalu mengangkat pedangnya sendiri. “Semua dimulai dengan keyakinan, Kael. Keyakinan bahwa kau mampu mengatasi segala rintangan, baik yang ada di luar maupun yang ada di dalam dirimu. Kau harus percaya bahwa kau layak menguasai pedang ini, dan bahwa kekuatanmu tidak akan disalahgunakan.”

Kael mengangguk, meski dalam hatinya dia masih merasa cemas. Dia selalu yakin pada satu hal—keinginannya untuk membalas dendam. Tapi apakah itu sudah cukup? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Naga   109. Menjaga Perdamaian

    Beberapa bulan telah berlalu sejak Lembah Kembar kembali tenang. Tidak ada lagi pasukan bayangan yang berkeliaran di perbatasan. Tidak ada lagi langit hitam yang mengancam kota-kota. Dunia perlahan belajar bernapas kembali, dan dalam nafas itu… Kael memilih untuk menjauh dari semua hiruk pikuk kekuasaan.Ia tidak tinggal di istana. Tidak pula memimpin pasukan atau menerima gelar kehormatan.Sebaliknya, Kael kembali ke sebuah desa kecil di lereng gunung utara—Desa Elwind, tempat ibunya pernah menanam ladang lavender di musim semi. Tempat yang dulu terasa terlalu sunyi untuk seorang pejuang… kini terasa seperti satu-satunya tempat yang layak disebut “pulang”.--- Hidup BaruKael membeli sebuah rumah kayu tua yang hampir runtuh di ujung jalan berkelok desa. Ia memperbaikinya sendiri. Paku demi paku, atap demi atap. Tangannya masih terasa lemah, tapi hatinya menguat dari hari ke hari.Setiap pagi, ia bangun sebelum matahari terbit. Ia menyiram kebun kecil di belakang rumah, menanam herba

  • Pendekar Pedang Naga   108. Pertempuran Penentu

    Lembah Kembar mengerang dalam keheningan yang menyesakkan. Dua sisi tebing curam berdiri seperti penjaga bisu, menyaksikan benturan takdir yang akan datang. Langit menghitam, dan angin membawa aroma besi dan hujan.Kael, dengan jubah gelap dan mata setajam obsidian, melangkah perlahan ke tengah medan. Gelap Raga, pedang naga hitam, menggantung di punggungnya, berdenyut pelan seperti makhluk hidup yang sedang menahan lapar.Di seberangnya, Ravon, Jenderal Bayangan dan mantan pelindung kerajaan, berdiri dengan tombak bermata dua yang bersinar ungu gelap. Tubuhnya dibalut zirah bersimbah sihir kegelapan.“Sudah lama,” kata Ravon, suaranya datar. “Aku menunggumu di sini. Kukira kau akan mati dalam pemurnian.”Kael tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan saat membuka matanya kembali, cahaya naga hitam menyala samar di balik bola matanya.“Aku sudah mati sekali,” bisik Kael. “Yang berdiri di sini… adalah kehendak yang tidak kau kenal.”Petir menyambar — dan me

  • Pendekar Pedang Naga   107. Pemulihan Naga Hitam

    Hujan turun deras, menghantam atap dan tanah dengan suara seperti denting ribuan panah. Di tengah halaman istana yang sepi, Kael berdiri dengan mantel hitamnya yang basah kuyup, matanya menatap tajam ke arah sosok yang baru saja muncul dari bayang-bayang.Arsel.Sahabatnya. Pengkhianatnya.“Berani juga kau datang,” suara Kael serak, bukan karena cuaca, tapi karena amarah yang sudah lama membara.Arsel berjalan perlahan, tanpa pedang, hanya membawa kata-kata.“Aku tidak datang untuk bertarung, Kael.”“Tapi aku datang untuk membalas,” sahut Kael dingin.Kilatan petir menyambar langit. Dan di saat itulah pedang naga hitam Kael muncul di tangannya, seperti menjawab panggilan darahnya sendiri.Arsel mengangkat tangan. “Apa kau pikir aku yang menjebakmu di Benteng Suda? Kau tahu siapa dalangnya.”“Cukup! Kau diam saat aku dipenjara! Kau diam saat mereka menyiksa murid-muridku! Itu lebih buruk daripada pengkhianatan!”Kael melompat ke depan, pedangnya menebas udara. Arsel berguling menghinda

  • Pendekar Pedang Naga   106. Pengkhianatak Kaisar

    Pasukan kerajaan tiba di medan perang dengan kemegahan yang menggetarkan bumi. Barisan rapi dengan bendera berkibar tinggi, sorak sorai prajurit, dan sihir pelindung yang menyelimuti langit. Cahaya seolah kembali menyinari ladang kehancuran.Arsel berdiri di barisan depan bersama Kael, mengamati betapa besarnya kekuatan kerajaan. Untuk sesaat, harapan muncul kembali.Namun harapan itu hanya ilusi.Malam itu, saat tenda-tenda didirikan dan pasukan beristirahat, Arsel dipanggil ke tenda komando oleh Jenderal Taris, tangan kanan Kaisar. Di sana, bukan strategi pertempuran yang dibicarakan, melainkan rencana yang mengejutkan.“Arsel,” kata Taris, suaranya rendah namun penuh tekanan. “Kaisar telah membuat kesepakatan. Kita tidak akan melawan Dorian.”Arsel menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”“Kaisar tahu kekuatan para naga tak bisa dimenangkan dengan kekuatan biasa. Jadi, dia memilih untuk bernegosiasi. Sebagian wilayah akan diserahkan. Sebagai gantinya, kerajaan akan dibiarkan utuh... dan a

  • Pendekar Pedang Naga   105. Langit Hitam Penghianatan

    Asap mengepul membumbung tinggi ke langit kelam, membungkus medan pertempuran dengan aroma hangus dan getir. Kael berdiri sendiri, tubuhnya penuh luka dan napasnya kian berat. Di hadapannya, kegelapan menjelma dalam wujud pasukan bayangan yang tak kenal lelah, terus merangsek maju. Suara denting logam telah lama pudar, tergantikan oleh jeritan dan derak reruntuhan.Pasukan yang bersamanya telah tumbang satu per satu, meninggalkan jejak darah dan bisu yang menggantung di udara. Kael berjuang sendirian kini—tanpa bala bantuan, tanpa kabar dari Arsel. Di setiap detik yang berlalu, harapannya mulai merapuh.Cahaya dari pedang naga hitamnya mulai redup, seolah kehabisan tenaga, tak lagi menyala dengan kemarahan seperti sebelumnya. Kael menggenggamnya erat, namun ia tahu: kekuatan itu hampir habis. Dan tanpa kekuatan itu, ia bukan tandingan kegelapan yang berdiri di hadapannya."Arsel... di mana kau?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar di tengah riuhnya kehancuran.Langit menggelap sepenu

  • Pendekar Pedang Naga   104. Tiga Naga

    Zaren membuka mata. Di sekelilingnya, hamparan kaca mengambang di udara seperti pecahan mimpi yang belum selesai. Setiap kaca menampilkan potongan masa lalu: wajah-wajah yang ia khianati, kota-kota yang ia biarkan jatuh, dan senyum-senyum yang berubah menjadi jerit.Ia berdiri di tengah lingkaran kenangan. Udara dingin menusuk, tapi bukan karena suhu—melainkan rasa bersalah yang menggantung di setiap napas.“Sudah lama, Zaren.”Suara itu keluar dari balik pantulan. Sosok yang muncul bukan siapa-siapa… selain dirinya sendiri. Tapi versi yang berbeda—lebih muda, lebih ambisius, dan lebih haus kuasa. Jubahnya masih bersih. Matanya memancarkan keyakinan yang dulu pernah Zaren miliki.“Kau lupa untuk apa kita dulu memulai?” tanya bayangan Zaren.“Kita ingin meruntuhkan sistem bobrok. Kita ingin kekuatan agar tak lagi dibodohi para penguasa.”Zaren menggeleng perlahan. “Dan dalam jalan menuju kekuatan itu… kita menghancurkan lebih banyak jiwa dari yang kita selamatkan.”Bayangan Zaren terta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status