Home / Pendekar / Pendekar Pedang Naga / 2. Kekuatan Baru

Share

2. Kekuatan Baru

last update Last Updated: 2025-02-03 12:39:09

Pagi hari di dalam hutan terasa dingin, dan ketika Kael membuka matanya, dia mendapati dirinya berada di sebuah gubuk kecil. Rasa sakit di tubuhnya belum hilang, tetapi setidaknya dia bisa bernapas dengan lebih tenang. Di sudut ruangan, seorang kakek tua dengan rambut putih panjang sedang duduk, menatapnya dengan mata penuh perhatian. 

"Kau sudah bangun," kata kakek itu dengan suara lembut. "Tenanglah, kau aman di sini."

Kael ingin berbicara, ingin bertanya siapa kakek ini dan bagaimana dia bisa berada di sini, tetapi mulutnya terasa kering. Kakek itu menyodorkan semangkuk air hangat. "Minumlah. Kau butuh istirahat."

Dengan lemah, Kael mengambil mangkuk itu dan meminumnya sedikit demi sedikit. Rasa segar dari air tersebut memberi sedikit kekuatan bagi tubuhnya. Setelah beberapa saat, dia mencoba berbicara. "Siapa... siapa Anda?" suaranya serak dan lemah.

Kakek itu tersenyum tipis. "Namaku Ling. Aku menemukanku di tengah hutan, dalam keadaan sekarat. Untung saja aku tiba tepat waktu."

Kael mengangguk lemah. Dia tak tahu harus berkata apa. Rasa sakit dan kehilangan yang dirasakannya masih sangat nyata. Meskipun dia selamat, hatinya tetap hancur. Ingatan akan keluarganya terus menghantui pikirannya.

Setelah beberapa hari tinggal bersama Kakek Ling, Kael mulai pulih secara fisik. Namun, luka di hatinya tak kunjung sembuh. Setiap malam, dia terjaga, mengingat wajah orang-orang yang dia cintai, terutama tatapan kosong adik kecilnya, Lana, saat nyawanya direnggut dengan kejam.

Pada suatu malam, Kael memutuskan untuk menceritakan segalanya pada Kakek Ling—tentang bandit-bandit yang menyerang desanya, tentang tato kalajengking merah yang ada di tangan pemimpin mereka, dan tentang dendam yang kini membara di dalam dirinya. "Aku ingin membalas dendam," ucap Kael, suaranya penuh tekad.

Kakek Ling menghela napas panjang. "Dendam adalah pedang bermata dua, Kael. Jika kau tidak hati-hati, ia akan menghancurkanmu sebelum kau menghancurkan musuhmu."

Namun, Kael tak peduli. Baginya, tak ada lagi yang bisa dia pertahankan selain keinginannya untuk membalas dendam kepada para bandit yang telah merenggut segalanya darinya. Melihat keteguhan di mata Kael, Kakek Ling akhirnya setuju untuk membantunya. Dia tidak ingin pemuda ini tersesat dalam kemarahan tanpa arah.

"Aku akan melatihmu," kata Kakek Ling suatu hari. "Tapi ingat, kekuatan yang kau miliki bukan untuk merusak, tapi untuk melindungi."

Kael mengangguk, meskipun di dalam hatinya, hanya satu tujuan yang terus terbayang—membunuh pemimpin bandit bertato kalajengking merah.

Hari-hari berlalu, dan kehidupan Kael tak lagi sama seperti sebelumnya. Kehangatan keluarganya kini tinggal kenangan yang suram, tergantikan oleh tekad keras untuk membalaskan dendam. Setiap hari, Kakek Ling membimbingnya di bawah kanopi pohon-pohon tinggi di hutan, jauh dari peradaban yang kacau. Latihan-latihan itu bukan sekadar tentang mengayunkan pedang, tetapi juga soal kesabaran, ketekunan, dan pengendalian diri—semua hal yang sulit diterima Kael, yang hatinya masih terbakar dendam.

Pagi itu, seperti biasanya, Kael sudah bangun sebelum matahari muncul di langit. Ia keluar dari pondok, menghirup udara dingin pagi yang terasa segar. Di tangannya, sebilah pedang kayu yang sudah mulai terkikis di beberapa bagian. Kakek Ling sudah menunggunya di lapangan terbuka yang mereka gunakan sebagai tempat berlatih.

"Kau semakin cepat bangun, anak muda," ujar Kakek Ling sambil tersenyum. "Tapi ingat, keterampilan pedang bukanlah tentang kecepatan saja. Kau harus menguasai dirimu sebelum kau bisa menguasai senjatamu."

Kael mengangguk meski pikirannya masih dibayangi oleh bayangan keluarga dan desa yang hancur. Setiap kali ia memejamkan mata, ia bisa melihat darah yang mengalir, tawa kejam bandit-bandit itu, terutama pemimpin mereka yang bertato kalajengking merah. Bayangan itu selalu kembali menghantuinya, mendorongnya untuk berlatih lebih keras lagi.

"Hari ini, kita akan memulai dengan dasar-dasar keseimbangan," kata Kakek Ling, mengarahkan Kael ke sebuah batu besar yang datar. "Keseimbangan adalah kunci dari semua teknik pedang. Jika kau tidak seimbang, kau akan kalah bahkan sebelum pedangmu menyentuh musuh."

Kael menaiki batu tersebut dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya seperti yang diperintahkan. Namun, pikirannya yang terus-menerus dipenuhi oleh dendam membuatnya sulit fokus. Setiap kali ia mencoba untuk tenang, bayangan keluarga dan desanya yang hancur kembali menyeruak.

"Tenangkan pikiranmu, Kael," ujar Kakek Ling dari bawah. "Aku bisa melihat api di matamu, tetapi kau tidak bisa bertarung dengan hati yang penuh kemarahan. Kau harus belajar mengendalikan emosimu."

Kael mencoba, tetapi emosinya tetap liar. Ia merasa seolah-olah setiap latihan ini adalah buang-buang waktu. “Apa gunanya semua ini?” pikirnya, frustrasi. “Aku hanya ingin menjadi kuat, agar aku bisa membalas dendam!”

Akhirnya, amarahnya meluap. Kael melompat turun dari batu itu, mengayunkan pedang kayunya ke segala arah. Serangannya cepat dan kuat, tetapi tanpa arah yang jelas. Setiap pukulan penuh dengan kebencian yang tak terkendali. Ia mengayunkan pedang kayunya dengan liar, seolah-olah bayangan pria bertato kalajengking merah ada di hadapannya.

Kakek Ling menyaksikan dari kejauhan, tak berkata sepatah kata pun. Ia membiarkan Kael melampiaskan amarahnya, sampai akhirnya Kael kehabisan tenaga, terjatuh di tanah sambil terengah-engah. Tetesan keringat mengalir di wajahnya, sementara dadanya naik-turun dengan cepat.

"Kau sudah selesai?" tanya Kakek Ling dengan nada tenang.

Kael tak menjawab, hanya menunduk, menggenggam pedangnya dengan lemah. Ia merasa bodoh, merasa bahwa semua upayanya sia-sia. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi pendekar jika ia tak bisa mengendalikan emosinya sendiri?

Kakek Ling mendekatinya, berdiri di samping Kael yang masih terduduk di tanah. “Apa yang kau rasakan sekarang?” tanya Kakek Ling dengan lembut.

"Frustrasi," jawab Kael, suaranya parau. "Aku merasa tidak ada yang berubah. Aku tetap lemah. Aku hanya ingin balas dendam... tapi aku tak tahu caranya."

Kakek Ling tersenyum tipis, kemudian menepuk bahu Kael dengan lembut. “Kau tidak lemah, Kael. Tapi kau tidak akan pernah bisa menjadi kuat jika kau terus membiarkan amarah menguasaimu. Pedang, jika digunakan dalam kemarahan, hanya akan menghancurkanmu. Ia harus dipandu oleh ketenangan, oleh pikiran yang jernih.”

Kael terdiam, menyerap kata-kata itu. Di dalam hatinya, ia tahu Kakek Ling benar. Ia tak bisa terus-menerus dikuasai oleh amarah, meskipun amarah itulah yang selama ini memberinya kekuatan untuk bertahan.

***

Hari-hari berlalu, dan Kael mulai mengubah cara pandangnya. Meski dendamnya masih membara, ia berusaha untuk mengikuti ajaran Kakek Ling. Ia mulai memahami bahwa jalan pedang bukan hanya soal kekuatan, tapi juga soal pengendalian diri. Latihan keseimbangan, ketepatan, dan konsentrasi menjadi bagian dari rutinitasnya. Setiap hari, ia melatih tubuh dan pikirannya, mencoba mengusir amarah yang masih menghantui.

Kakek Ling bukan hanya pendekar pedang biasa. Kael segera menyadari bahwa kakek tua yang menolongnya itu memiliki keahlian luar biasa. Setiap gerakan yang diajarkannya penuh presisi, dan setiap kali Kael melakukan kesalahan kecil, Kakek Ling dengan tenang menunjukkan cara memperbaikinya. Kael tidak pernah menyangka bahwa seseorang seusia Kakek Ling bisa bergerak dengan begitu lincah dan kuat, seolah-olah usianya tidak mempengaruhi kemampuannya sedikit pun.

Selama bulan-bulan pelatihan, tubuh Kael mulai berubah. Rasa sakit yang dulu dia rasakan dari luka-lukanya kini tergantikan oleh kekuatan yang tumbuh seiring waktu. Kakek Ling melatihnya tidak hanya dalam hal kemampuan fisik, tetapi juga mental. Setiap hari, mereka melakukan meditasi, membangun keseimbangan antara jiwa dan tubuh. Meskipun di dalam hati Kael, dendamnya terus membara, dia merasa sedikit demi sedikit lebih tenang. Namun, tekadnya tidak pernah goyah.

Suatu hari, setelah sesi latihan yang melelahkan, Kael berjalan sendirian di hutan untuk mencari ketenangan. Tanpa sengaja, dia tersesat lebih dalam dari biasanya. Langkah-langkahnya membawanya ke sebuah tempat yang asing—sebuah gua tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Kael merasa ada sesuatu yang aneh dengan gua itu, seolah ada aura misterius yang memanggilnya masuk.

Dengan rasa ingin tahu yang tak tertahankan, Kael memasuki gua tersebut. Di dalamnya, ia menemukan sesuatu yang tak pernah dia duga: sebuah pedang tua berkarat tergeletak di atas altar batu, seolah telah menunggu seseorang untuk menemukannya. Pedang itu tampak kuno, dengan ukiran naga di gagangnya, meskipun lapisan karat membuatnya sulit dilihat dengan jelas. Kael merasa ada sesuatu yang istimewa dari pedang ini, seolah pedang tersebut memiliki kekuatan tersembunyi.

Kael memutuskan untuk membawa pedang itu pulang.

“Kek, Aku menemukan pedang yang aneh.” Kael menatap Kakek Ling, matanya dipenuhi tanda tanya. Sambil menunjukan pedang  yang baru saja ia temukan.

Meskipun tampak berkarat, ia yakin bahwa pedang ini menyimpan rahasia yang lebih besar dari yang terlihat. Ketika dia kembali ke gubuk, Kakek Ling langsung mengenali pedang itu. Ekspresi wajahnya berubah, antara terkejut dan waspada.

“Itu… Pedang Naga,” bisik Kakek Ling dengan nada serius.

Kael mengerutkan dahi. “Pedang Naga? Apa maksudnya, Kakek?”

Kakek Ling mendekati pedang itu, matanya tak lepas dari ukiran naga di gagangnya. “Pedang ini pernah dimiliki oleh raja terdahulu. Sebuah pedang yang memiliki kekuatan luar biasa, tapi juga penuh dengan tanggung jawab besar. Pedang ini hilang sejak lama, dan sekarang kau yang menemukannya.”

Kael tertegun. Ia pernah mendengar cerita tentang Pedang Naga dari desas-desus dan dongeng-dongeng yang diceritakan di desanya. Pedang itu konon memiliki kekuatan besar dan hanya bisa dikuasai oleh pendekar yang memiliki hati dan tekad yang murni. Tapi ia tahu, jika tekadnya hanya untuk balas dendam. Ia sendiri tak yakin bisa menggunkan pedang itu.

"Pedang ini terlalau berharga untuk aku miliki," ucap Kael merasa tak pantas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Naga   96. Dalam Kegelapan

    Tiga hari setelah ekspedisi dimulai, pasukan elit yang dipimpin Kael dan Arsel tiba di sebuah desa kecil di tepi hutan, namanya telah hilang dari peta. Kabut turun lebih cepat di tempat itu, dan tak satu pun penduduk terlihat.Kael memberi isyarat senyap. Mereka menyisir rumah-rumah kosong—pintu-pintu yang tak terkunci, makanan yang masih tersisa di atas meja, dan api yang belum padam sepenuhnya di perapian. Terlalu baru. Terlalu tiba-tiba.“Tak ada tanda perlawanan,” kata salah satu prajurit. “Tapi orang-orang menghilang seolah… tahu mereka tak bisa melawan.”Di balai desa, mereka menemukan tanda pertama: dindingnya dihiasi simbol naga terbelah—separuh emas, separuh hitam. Namun garis hitamnya membelah lebih dalam, seolah mencakar lambang itu menjadi dua.Arsel berdiri diam di depan simbol itu. Matanya membeku. “Itu bukan hanya pesan,” katanya pelan. “Itu ejekan.”Malamnya, seorang pengintai kembali dengan laporan: “Kami menemukan tenda dan perkemahan kecil di tepi sungai, sekitar sa

  • Pendekar Pedang Naga   95. Pengkhianatan

    Mulanya, tak ada yang menyadari. Hanya tatapan yang mulai dingin, obrolan yang terhenti saat Kael lewat, dan bisik-bisik di antara regu saat Arsel memberi perintah.Farel tidak menyerang dari depan. Ia membidik hati para prajurit—keraguan mereka, kelelahan mereka, bahkan luka lama mereka yang belum sembuh.“Kael melatih kalian menjadi tameng,” katanya pada sekelompok perwira muda yang diundang diam-diam ke barak istana. “Tapi aku bisa menjadikan kalian pedang. Bukan alat pelindung… tapi alat penguasa.”Beberapa mulai berpaling. Tak banyak. Tapi cukup untuk meretakkan fondasi yang selama ini kokoh.Kael merasakan ketegangan dalam barisan. Ketika ia menyuruh regu barat untuk latihan formasi, mereka bergerak lambat. Saat ia menegur, tak satu pun menjawab. Mereka hanya menatap lurus… atau sesekali melirik ke arah barak istana, tempat Farel kini tinggal.Arsel mencoba mengumpulkan para pemimpin regu. Di ruang pertemuan, ia berbicara dengan nada tegas.“Jika kalian merasa direndahkan, katak

  • Pendekar Pedang Naga   94. Intrik Istana

    Tiga hari setelah laporan resmi kemenangan pasukan pelatihan tiba di istana, aula utama dipenuhi suara berbisik. Di balik pilar-pilar emas dan karpet merah yang panjang, para bangsawan berkumpul bukan untuk merayakan—melainkan untuk merundingkan cara menghadapi dua nama yang mulai menggeser pengaruh mereka: Arsel dan Kael.Di balik senyum-senyum diplomatis, perasaan waswas menyelimuti para petinggi militer. Pasukan pelatihan telah membuktikan efektivitasnya—cepat, terorganisir, tidak bergantung pada sistem feodal. Dan yang paling berbahaya: mereka loyal pada pelatihnya, bukan pada istana.“Aku mencium benih pemberontakan,” ujar Jenderal Prakas, salah satu tangan kanan Kaisar, dalam pertemuan tertutup. “Mereka bukan hanya kuat. Mereka memiliki hati rakyat.”Kaisar sendiri belum bersikap. Ia terlalu bijak untuk bergerak terburu-buru, namun terlalu picik untuk membiarkan kekuatan tumbuh di luar genggamannya.Sebagai langkah awal, ia mengutus seseorang—seorang penasihat istana muda bernam

  • Pendekar Pedang Naga   93. Pelatihan Mendalam

    Setelah para prajurit menguasai ketepatan serangan, Arsel tidak memberi mereka waktu beristirahat lama. Keesokan paginya, ia sudah menanti di lapangan pelatihan yang diubah menjadi miniatur medan perang—dipenuhi rintangan, menara pengintai, dan tempat berlindung dari serangan.“Musuh yang cerdas tidak akan menantang kalian satu lawan satu,” ucapnya tanpa basa-basi. “Mereka akan bersembunyi, menyerang dalam gelap, atau memancing kalian masuk ke dalam perangkap. Maka, kalian akan belajar menjadi satu tubuh, satu pikiran.”Arsel membagi pasukan menjadi regu-regu kecil, masing-masing terdiri dari empat hingga enam orang. Tiap regu diberikan peran: pengintai, penjaga, penyerang utama, dan pengalih. Mereka diharuskan menyusup ke wilayah “musuh”, mengambil bendera, dan kembali tanpa kehilangan satu pun anggota.Latihannya kejam. Tiap kegagalan berarti mengulang dari awal. Tiap pelanggaran strategi berarti dikeluarkan dari putaran itu. Tapi para prajurit mulai memahami: mereka bukan lagi peju

  • Pendekar Pedang Naga   92. Pertahanan Diri

    Tiga hari setelah ujian Takdir, Kael membawa tujuh anggota baru ke tempat yang tak disebutkan dalam peta mana pun: Kawah Ruhar—bekas sarang naga tua yang kini mati dan kosong, namun menyimpan energi purba yang masih membara di dalam tanahnya.“Tempat ini akan melawan kalian setiap hari,” ujar Kael, berdiri di tepi kawah. “Jika kalian bisa bertahan, maka tubuh kalian akan mulai menyesuaikan diri dengan getaran naga. Itu syarat pertama untuk masuk ke Kuil Ketujuh.”Latihan dimulai saat matahari belum muncul—dan berakhir hanya jika tubuh mereka ambruk.Hari Pertama – Penghancuran Ritme LamaKael memisahkan mereka. Tidak ada latihan berkelompok. Setiap peserta menghadapi elemen yang berlawanan dengan kekuatan mereka.Zidan harus menahan racun kabut tanpa bantuan pil. Liora dilempar ke sumber air panas bercampur belerang, agar mengontrol suhu tubuh tanpa sihir.Darren dihadapkan pada batu-batu pemukul naga yang jatuh dari langit, memaksanya bergerak dan bertahan tanpa perisai.Anara dilepa

  • Pendekar Pedang Naga   91. Pilihan Takdir

    Kael dan Arsel berdiri diam di atas batu hitam besar, jauh dari kerumunan. Dari tempat itu, mereka bisa melihat ke bawah—ke lembah Ronvara, tempat Pertandingan Antar Akademi berlangsung.Cahaya dari arena masih menyala samar, meski sebagian telah padam usai babak kedua. Kabut ilusi perlahan surut. Suara sorak telah lama hilang. Yang tersisa hanyalah bekas pertempuran… dan aroma sihir yang belum padam.Arsel menyilangkan tangan, menatap langit. “Kita tak ikut… tapi dunia tetap bergerak. Anak-anak itu bertarung seperti hidup mereka yang jadi taruhannya.”Kael tak menjawab. Tatapannya terkunci pada satu titik—seorang pemuda bertubuh kurus dengan jubah alkemis, tengah membantu temannya berdiri di tengah lapangan puing ilusi.“Zidan,” gumam Kael. “Dia tumbuh cepat. Lebih cepat dari yang kupikir.”Arsel melirik Kael sejenak. “Kau bangga?”Kael menarik napas dalam. “Bukan soal bangga. Aku takut.” Ia menoleh, matanya tajam. “Kalau anak seperti dia harus menanggung beban seberat ini… berapa la

  • Pendekar Pedang Naga   90. Lonceng Kuno

    Kabut terakhir dari kuil keenam belum sepenuhnya menghilang ketika tanah bergetar pelan. Arsel mendongak, menggenggam gagang pedangnya erat. Aura naga di dalam tubuhnya bereaksi—bukan karena musuh, tapi karena sesuatu yang sangat akrab.Dari ujung jalan berbatu yang terbuka perlahan, sosok hitam dengan jubah terbakar di ujungnya muncul, berjalan perlahan namun penuh kepastian. Kael.Tapi bukan Kael yang Arsel kenal dulu.Kini tubuhnya dikelilingi semacam pusaran energi gelap yang tidak liar, tapi teratur. Tatapannya dalam, tapi tidak dingin. Dan di punggungnya—terpahat simbol naga purba dalam cahaya ungu samar.Arsel tak berkata apa pun, hanya menatapnya. Tapi dalam hatinya, ada ribuan kata yang mendesak keluar.Kael berhenti hanya beberapa langkah dari sahabatnya. Ia menatap Arsel dengan senyum kecil—langka, tapi tulus."Aku kembali," katanya pelan. "Dan aku tidak datang untuk mati di kuil ketujuh."Arsel mendengus ringan, nyaris lega. “Kau lambat. Aku hampir mengira kau memutuskan t

  • Pendekar Pedang Naga   89. Kuil Naga

    Mengetahui bahwa kuil keenam akan menguji mereka dengan kehilangan dan pengorbanan, Kael dan Arsel tidak langsung melanjutkan perjalanan. Di sebuah lembah tersembunyi, dikelilingi batu-batu naga yang memancarkan energi purba, mereka memutuskan untuk berlatih—bukan hanya untuk mempertajam teknik, tapi juga untuk menyatukan ritme jiwa dan kekuatan naga masing-masing.Matahari terbit menjadi saksi latihan yang bukan lagi seperti duel biasa. Setiap tebasan Kael membawa nafas kegelapan yang telah ia jinakkan dari kuil kelima. Aura naga hitam menyelimuti pedangnya, namun kini tak lagi liar—melainkan tajam, fokus, dan presisi.Sementara itu, Arsel mulai membangkitkan sisi terdalam dari naga emas dalam dirinya. Ia belajar mengendalikan Cahaya Pemutus Ilusi, teknik rahasia yang muncul saat ia berdamai dengan kemungkinan kehilangan Kael. Cahaya itu bisa menembus tipu daya dan bayangan—sesuatu yang sangat penting menghadapi kuil yang konon menyesatkan hati.Mereka berlatih siang dan malam. Gerak

  • Pendekar Pedang Naga   88. Kekuatan Besar

    Fajar mulai menyentuh pucuk pepohonan ketika Kael dan Arsel duduk bersebelahan di tepian danau. Air tenang memantulkan cahaya lembut, dan embun pagi membuat dunia terasa sejenak damai. Untuk pertama kalinya sejak pertempuran itu, mereka tak merasa diburu.Arsel memandang telapak tangannya, yang masih sedikit bergetar. “Aku… hampir membunuhmu di dalam kuil itu.”Kael menghela napas pelan, matanya menatap air. “Bukan kau yang menyerang. Itu segel Vermarath.”“Tetap saja,” suara Arsel berat. “Kalau aku tak bisa melawan kendali itu, bagaimana nanti kalau ia kembali menguasai?”Kael menoleh, menatap sahabatnya. “Kau melawan pada akhirnya. Kau melindungiku, bahkan saat kau sendiri hampir hilang kendali. Itu cukup bagiku.”Hening sejenak. Hanya suara burung pagi dan riak air.Arsel menyeringai kecil, getir. “Kau selalu percaya pada hal-hal yang bahkan aku ragukan dalam diriku sendiri.”Kael menepuk pundaknya. “Karena kalau kita berhenti percaya satu sama lain, maka Vermarath sudah menang—bah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status