Beranda / Pendekar / Pendekar Semprul / Ratu Darah Hitam

Share

Ratu Darah Hitam

Penulis: Bobby deck
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-20 06:59:47

Hujan gerimis turun di Karang Duwur. Tapi bukan hujan biasa—tetesannya seperti bercampur debu, dan tiap yang menyentuh kulit membuatnya gatal seperti digigit ingatan.

Jaka Warangan duduk bersila di bawah naungan reruntuhan perguruan, di depan kobaran api kecil. Matanya terpejam, tubuhnya diam, tapi batinnya berperang. Di sekelilingnya, suara-suara lirih terdengar. Desahan. Bisikan. Jerit tertahan.

> “Kenapa kau kembali… murid yang gagal?”

> “Kau tinggalkan kami dalam kobaran.”

> “Kau satu-satunya yang hidup… tapi juga satu-satunya yang lari.”

Jaka membuka mata. Api di depannya mendadak padam. Kabut menebal. Dari dalam tanah, tubuh-tubuh mulai muncul. Tapi bukan manusia. Mereka adalah roh-roh prajurit Perguruan Lembayung Petir yang telah lama mati. Mata mereka kosong. Kulit mereka kelabu. Tapi gerakan mereka tetap terlatih.

Mereka mengelilingi Jaka, membawa senjata bayangan—tak terlihat, tapi terasa tajam di tulang.

---

Jaka berdiri perlahan. Ia tidak mencabut pedang, t
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pendekar Semprul   Pengkhianatan

    Langit Mandira menyambut Jaka Warangan dengan awan kelabu. Gerbang utama istana terbuka perlahan, diiringi suara genderang kecil dari penjaga kehormatan. Tapi tak ada perayaan, tak ada senyum.Karena yang ia bawa… bukan kemenangan, melainkan tuduhan.Sura dan Tarno menyusul di belakang, berdebat soal nasi bungkus yang katanya dicuri penjaga gudang. Tapi Jaka hanya diam. Langkahnya ringan, tapi pikirannya berat.---Di dalam Balairung Wiyata, tempat para penasihat kerajaan berkumpul, suasana terasa panas. Pangeran Wirabasa duduk dengan tenang, memainkan cincin emas di jarinya. Di sampingnya, Putri Lintang menunduk dalam. Ratu Ayu tak hadir—konon sedang sakit karena kabut mimpi dari arah selatan.> “Jaka Warangan,” ujar Raja Mandira, suaranya berat. “Apa yang kau temukan di Langgasari?”Jaka meletakkan sehelai kain bersimbol darah di atas meja batu.Semua menahan napas.> “Aku menemukan pengkhianatan. Tapi bukan dari Langgasari… dari dalam.”> “Kau menuduh siapa?” tanya sang Raja.Jaka

  • Pendekar Semprul   Langgasari

    Tiga hari setelah Festival Pendekar berakhir, Istana Langit Timur kembali sunyi. Namun pagi itu, langit berubah kelabu. Seekor burung hitam raksasa—Rajawali Gelap dari Kerajaan Langgasari—mendarat di pelataran istana, membawa dua orang bertudung ungu.Mereka adalah utusan khusus dari Raja Langgasari, kerajaan di utara yang selama ini bersikap netral, namun terkenal dengan siasat politik dan kekuatan mata-mata.> “Kami datang membawa undangan pertemuan rahasia,” kata salah satu utusan. Suaranya berat, matanya tajam seperti menyimpan racun.> “Dan kami minta satu orang saja untuk datang mewakili Kerajaan Mandira: Jaka Warangan.”---Raja Mandira terdiam lama saat menerima berita itu. Para penasihat protes. Bahkan Panglima Agung menolak keras.> “Itu jebakan! Kita tidak tahu siapa mereka sebenarnya!”Namun Putri Lintang berdiri, menatap ayahnya.> “Kalau mereka ingin bicara dengan Jaka… maka biarlah ia yang memutuskan. Bukan kita.”Jaka hanya mengangguk.> “Aku akan pergi. Tapi aku tak a

  • Pendekar Semprul   Turnamen Cahaya Timur

    Fajar menyapu langit dengan warna emas pucat ketika genderang istana mulai ditabuh. Turnamen Cahaya Timur—ajang silat tertua antar perguruan di seluruh negeri—resmi dimulai. Kali ini, bukan hanya kehormatan yang dipertaruhkan, tapi juga aliansi politik dan takhta masa depan.Jaka Warangan berdiri di barisan peserta, mengenakan pakaian hitam sederhana, tak membawa lambang perguruan manapun. Di sebelahnya, Sura dan Tarno bersandar di pagar kayu, tak ikut bertanding, tapi ikut berjaga.> “Kau yakin ikut ini, Kang?” tanya Sura. “Pendekar dari segala arah datang. Ada yang pernah melawan harimau, ada yang katanya bisa membelah batu pakai suara.”> “Justru itu. Aku ingin tahu… apakah dunia masih sekejam dulu, atau sudah lebih adil untuk orang-orang seperti kita,” jawab Jaka tenang.---Turnamen dimulai.Babak penyisihan berlangsung cepat. Pendekar-pendekar saling menunjukkan teknik khas: jurus kipas sakti, pukulan halilintar, langkah kabut, bahkan gaya bertarung dari barat yang mirip tari pe

  • Pendekar Semprul   Kerajaan Mandira

    Langit di atas Kerajaan Mandira mulai cerah, tapi angin tetap dingin membawa kabar buruk dari timur. Di pelataran batu istana, Jaka Warangan berdiri di antara para pengawal. Jubahnya sudah berganti—bukan lagi gelap dan penuh luka, melainkan jubah biru laut dengan motif awan perak.Sura dan Tarno, kini berpakaian seperti ksatria istana, berdiri di sampingnya. Tarno bahkan mengenakan ikat kepala baru bertuliskan “ANTI SETAN”, hasil kreativitasnya sendiri.> “Kakang, kita sekarang jadi orang penting ya?” bisik Tarno sambil menyikut Sura.> “Iya, penting buat bersih-bersih kalau disuruh,” sahut Sura datar.Tapi suasana berubah saat seorang wanita turun dari tandu istana—anggun, berselendang merah muda, dan membawa tongkat bergagang kristal.Dialah Putri Lintang Madura, anak Raja Mandira yang dikabarkan memiliki ilmu membaca mimpi dan pengendali hujan. Dan begitu matanya bertemu dengan Jaka…> “Jadi… ini dia, pendekar yang katanya bisa mengusir kutukan langit?” katanya dengan senyum tipis.

  • Pendekar Semprul   Pasar Jangkung

    Pasar Jangkung berubah jadi lautan api.Tenda-tenda roboh, pedagang lari tunggang-langgang. Di antara kekacauan, puluhan Pendekar Bayaran dari Utara menyerbu. Mereka mengenakan jubah merah gelap, bertopeng kulit kerbau, dan bersenjata sabit bengkok.Di tengah asap dan keributan, Jaka Warangan berdiri di atas meja sate, keris terhunus, rokok menyala.> “Hei kalian yang nyari ribut... salah alamat! Di sini cuma ada dagang, sayang, bukan dendam!”Satu pendekar meloncat ke arahnya.> Trang!Keris Jaka menyambut sabitnya, menciptakan percikan api di udara. Sekali putar, Jaka menggunakan jurus Lintasan Mabuk Tiga Tikungan, membuat lawannya terpental menabrak gerobak bakso.---Sementara itu…Rara Lintang berlari ke tengah arena, menghindari serangan dengan gerakan ringan. Kipas pusaka di tangannya mengembang, dan begitu terbuka—angin berputar tajam keluar seperti badai mini.> Wuushh!"Kipas Angin Sayap Dewa!" teriak penonton veteran yang masih ingat jurus itu dari legenda.Dua pendekar bay

  • Pendekar Semprul   Rara Lintang

    Kereta kuda kerajaan melaju di jalan utama menuju ibu kota Kadipaten Mataram Timur. Di kejauhan, tembok batu tinggi menjulang, dihiasi panji-panji berwarna emas dan ungu. Gerbang kota dibuka oleh penjaga berseragam perak, dan rakyat menyambut iring-iringan pendekar dengan tabuhan gamelan dan teriakan:> “Hidup Jaka Warangan! Selamat datang, Penjaga Gunung!”Sura dan Tarno melambai-lambai seperti artis keliling. Tarno bahkan sempat meniupkan cium tangan ke gadis pasar.> “Wah, ternyata aku terkenal juga ya, Kang,” katanya bangga.> “Itu karena kau berdiri di sebelah Jaka,” sahut Sura. “Kalau sendirian, kau dikira pedagang kambing.”---Mereka disambut di aula istana oleh Tumenggung Reksanegara, penasihat utama kerajaan, lelaki tua berjubah biru yang wibawanya setara angin topan. Ia menatap Jaka tajam, lalu tersenyum samar.> “Jadi ini pendekar dari selatan yang katanya pernah menutup gerbang kematian…” katanya.> “Yang katanya juga bisa buka toples pakai tatapan,” bisik Tarno ke Sura.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status