LOGINDi pantai Ketawang, sekitar empat puluh kilometer dari pantai yang terkena bencana badai raksasa beberapa waktu lalu. Tepatnya di gubuk kecil terbengkalai yang dimanfaatkan Ki Kusumo untuk merawat Nyai Cemarawangi.
"Tresnasari...," Panggil Nyai Cemarawangi.
Wanita itu masih terbaring lemah, tak berdaya dirongrong penyakitnya di atas balai bambu. Tresnasari yang sedang berdiri termenung di mulut jendela gubuk menghadap laut segera mendekat. Ditempatinya pinggiran balai. Duduk di sana.
"Kita sudah berusaha mengobati penyakitku Ini, Cah Ayu. Banyak sudah tabib kita datangi, tapi hasilnya tak memenuhi harapan kita. Bukannya ibundamu ini putus asa. Tapi untuk mendatangi tabib lain rasanya aku sudah tak sanggup...."
Tresnasari tepekur mendengarkan. Hatinya masygul. Hatinya giris. Pilu dan prihatin. Kepalanya terus tertunduk menatapi sisi balai. Sementara tangannya terus memijat-mijat lembut sarat kasih pada ibunya.
Nyai Cemarawangi melanjutkan. "Karena i
Diam-diam, dia menyusup masuk ke dalam perguruan tanpa diketahui. Bangunan utama perguruan dimasukinya. Demikian juga pondokan para murid. Dia mencari-cari sesuatu yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.Ketika yang dicarinya tak kunjung ditemukan, timbul kegusarannya. Kakek tua itu keluar ke pelataran perguruan. Di sana dia berteriak-teriak bergemuruh dengan penyaluran tenaga dalam tinggi. Seluruh penghuni Perguruan Cemeti Api tersentak. Mereka berhamburan keluar. Pancasona mencoba menanyakan maksud kedatangan tak santun tamu tak diundang itu."Apa maksud kedatanganmu ke tempat kami, Orang Tua?""Aku mencari seorang pemuda!" jawab sang tamu tak diundang."Di sini banyak pemuda. Pemuda yang mana yang kau maksud? Siapa namanya?""Tak peduli siapa namanya. Yang jelas, pemuda itu membawa senjata pusaka.... Cemeti Laut Selatan!'Hanya Pancasona yang terperanjat mendengar kalimat terakhir tamu tak diundang tadi. Di antara para murid, dialah ya
SEORANG pemuda berusia belasan merenung sendiri di sebentang pagi yang dikurung mendung. Mendung di angkasa sana, seakan bertakhta pula di wajahnya. Wajah tampan. Bergaris rahang jantan. Bermata sembilu. Berambut panjang kemerahan. Angin dingin berlarian. Pakaiannya diusili, bergeletaran kecil. Juga rambutnya. Juga kulitnya. tapi tak mengusik keheningannya. Tak menggugah kebisuannya.Si pemuda tetap diam. Duduk bersandar dan bertopang dagu di atas dahan pohon besar. Matanya menombak lurus dan senyap ke arah ubun-ubun mentari merah muda di tepi bumi sebelah timur.Pemuda itu mengenakan rompi bulu putih dari kulit hewan. Bercelana pangsi putih sebatas lutut. Pada kain putih pengikat pinggangnya terselip semacam cemeti pendek berwarna keemasan. Berpangkal kepala naga.Beberapa waktu belakangan, ada banyak bayang-bayang kejadian menjajah benaknya. Membuatnya lebih sering terdiam seperti saat ini dilakukan.Baginya, betapa hidup begitu sulit untuk dipahami. Me
Malam kala itu juga menjadi terang benderang. Warna keemasan menebar dalam jarak satu-dua tombak. Mengepung tubuh si pemuda tanggung.Kala yang sama, beberapa anak buah Dirgasura memekik nyaris berbarengan. Lalu tubuh-tubuh berjatuhan.Ada yang kehilangan kepala.Ada yang terpotong setengah badan.Ada yang terbelah dadanya....Dirgasura sempat menyelamatkan diri dengan membuang tubuh sekuat-kuatnya ke belakang. Tak urung kulit perutnya tersayat oleh angin putaran Cemeti Laut Selatan.Sepertinya, angin putaran senjata pusaka di tangan pemuda tanggung itu telah menjelma menjadi mata pedang kasat mata!Ketika sanggup menempatkan diri cukup jauh dari ancaman maut senjata si pemuda tanggung, mata Dirgasura dibuat tak berkedip menyadari benda apa yang berada di tangan lawan berusia hijaunya."Cemeti Laut Selatan...," Desis Dirgasura terseret, bergetaran.Berdesir hatinya bukan karena kehebatan si pemuda tanggung, melainkan kar
Angon Luwak benar-benar tiba di markas terakhir Laskar Lawa Merah malam itu. Dia mengendap-endap di antara semak-semak, mencari-cari tempat di mana Mayangseruni ditahan. Sebenarnya prajurit Demak yang ditemuinya di hutan waktu itu tidak memberitahukan padanya lokasi terakhir gerombolan perampok. Dianggapnya, Angon Luwak hanya main-main. Lagi pula urusan itu adalah wewenang kerajaan, terlalu besar untuk dibicarakan pada seorang bocah baru besar seperti Angon Luwak. Terutama posisi terakhir Laskar Lawa Merah.Angon Luwak memang tak tergolong pemuda tanggung berhati cebol. Dia tak menyerah untuk mencari tahu.Diputarnya otak.Didapatnya akal.Diam-diam disatroninya pasukan Demak. Caranya dengan menguntit prajurit Demak yang ditemuinya. Di barak sementara pasukan Demak, Angon Luwak menguping setiap pembicaraan prajurit Demak. Sampai akhirnya salah seorang dari mereka menyebut-nyebut nama tempat di mana Laskar Lawa Merah terakhir dikepung.Kembali ke An
Tahu-tahu timbul akal kancilnya. Diserahkan Cemeti Laut Selatan seperti tak punya masalah apa-apa. Setelah itu, dia ngeloyor pergi."Mau ke mana kau?!""Entahlah!""Minggat?!""Iya, minggat!"Wajah Dongdongka berubah pucat. Minggat? Ancaman paling menyeramkan bagi tua bangka itu."Bagaimana dengan panggang rusa kita?" Dicobanya merayu Angon Luwak."Silakan Kakek menghabiskan sendiri...."Dongdongka garuk-garuk kepala."Bag... bagaimana dengan pelajaran olah kanuraganmu, Cah sinting?""Aku tidak mau lagi!"Meringislah bibir peyot Dongdongka. Itu sebenarnya hal yang paling ditakuti Dongdongka. Buru-buru dikuntitnya langkah si pemuda tanggung. Di belakang pemuda itu, Dongdongka bertanya lagi. "Memangnya kenapa?""Karena aku mau berhenti!""Iya, tapi kenapa?""Entahlah....""O, kau ingin benda ini, kan?"Angon Luwak menghentikan langkahnya. Diam-diam dia tersenyum di depan Don
"Aku pernah mendengar namanya. Sebentar...."Prajurit tadi mengingat-ingat."O, iya! Mayangseruni."Tersentaklah Angon Luwak bagai disengat puluhan kalajengking."Perempuan sebaya saya, Kang?""Iya. Kok tahu?""Rambutnya diekor kuda?""Iya iya!""Wajahnya ayu, berbaju kuning, bercelana pangsi merah hati?!""Iyaaa! Eh, kau kenal dia, ya?""Kacaubalau!!""Kacaubalau?! Siapa yang kacaubalau?!""Dia itu kawanku, Kang!""Kawanmu?!""Kalau begitu, Kakang sekarang beri tahu saya di mana Laskar Lawa Merah berada sekarang!""Memangnya?""Aku akan ke sana. Mau menyelamatkan Mayangseruni!"Kening prajurit tadi berkerut. Alisnya bertaut."Kau jangan bergurau?!""Ah, Kakang Ini!""Ah, kau ini!""Sungguh Kang, aku tak bergurau!"-o0o-SENJA, menjelang malam. Angon Luwak mengendap-endap masuk gubuk. Rusa hasil buruannya dilet







