Karena ini perkara nyawa orang cantik, Ardo Kenconowoto terpaksa gagal menikmati jagung bakar bersama Ki Pawang Api. Dia hanya menghabiskan kopi musang luwaknya.“Sudah aku katakan, jika kau menuruti permintaan Anggar Sukolaga, kau akan terlibat dalam bahaya,” kata Ki Pawang Api kepada Ardo saat hendak ditinggal. Dia agak kecewa karena batal duet makan jagung bakar yang baru mulai dipanggangnya.“Tidak apa-apa, Ki. Demi menolong olang lain,” balas Ardo sebelum meninggalkan Ki Pawang Api.Dengan membawa sebatang obor, Ardo berkuda menembus kegelapan malam meninggalkan kediaman Tabib Juku Getir. Dia harus berhati-hati dalam berkuda. Cahaya satu obor tidak begitu kuasa menerangi jalanan.Di Tengah jalan, Ardo melihat ada dua titik cahaya api yang terbang cepat mendekat. Seiring dua api itu kian mendekat, terdengar pula lari dari beberapa ekor kuda. Ternyata ada tiga ekor kuda berpenunggang dari arah depan, tetapi hanya dua orang yang membawa obor. Ketiga orang itu terdiri dari dua lelaki
Ardo Kenconowoto kini berdiri berhadapan dengan Kuyup Lani yang merupakan anggota Lima Tangan Maut. Kuyup Lani berusia jauh lebih senior dari Ardo, tetapi gestur tubuhnya gemulai.Keduanya berdiri dengan kuda-kuda siap duel. Kuyup Lani baru saja meledakkan tanah jalanan desa dengan kesaktian senjata tongkat besi pendeknya.Sementara itu, belasan mata yang bersembunyi di balik dinding-dinding rumah warga menonton. Justru mereka yang lebih tegang menyaksikan pertarungan kedua pendekar asing yang tidak mereka kenal.“Kenapa menyelangku, Kisanak?” tanya Ardo.“Hihihi! Rupanya pendekar cadel. Biasanya pendekar aneh sepertimu umurnya tidak lebih panjang daripada umur seekor ayam,” kata Kuyup Lani seperti ibu-ibu cerewet, setelah dia tertawa cekikikan seperti janda genit.“Kau juga aneh. Laganya lelaki tapi nyawanya betina,” balas Ardo, tidak suka disebut aneh.“Anggar Sukolaga adalah pemberontak. Semua orang yang membantunya akan dianggap sebagai pemberontak, termasuk kau, Cadel,” jelas Kuy
Ada rasa bahagia di dalam hati Aninda Maya ketika mengetahui sosok pemuda yang sangat tampan itu adalah Ardo Kenconowoto, yang tidak mungkin dia lupakan kecadelan dan ketampanannya. Satu-satunya orang cadel yang dia kenal adalah Ardo, meski sudah empat tahun lamanya tidak bertemu lagi.Namun, perkataan Ardo tentang noda darah di pakaiannya sungguh mengejutkan Aninda Maya, sampai-sampai dia sudah mengeluarkan air mata yang siap jatuh di pipi licinnya.“Tapi Paman Anggal tidak mati. Paman Anggal hanya telluka dan sudah diobati oleh Tabib Juku Getil,” kata Ardo cepat, agar Aninda Maya tidak jadi menangis.Namun, ketika mengedipkan mata, air mata Aninda Maya pun menetes terjun mengukir di pipinya. Melihat itu, Ardo jadi merasa bersalah.“Maafkan aku, Aninda. Aku tidak belniat membuatmu sedih,” ucap Ardo dengan wajah mengerenyit, tapi tetap ganteng. Ingat, Ardo akan selalu ganteng dalam kondisi apa pun, kecuali bersin.“Apa yang terjadi dengan Ayah, Ardo?” tanya Aninda sedih.“Paman Anggal
Di waktu subuh. Di sebuah tanah lapang yang kering.Ada sejumlah api unggun yang menyala di beberapa titik. Apinya sudah mengecil karena kayu-kayu yang dibakar sudah nyaris habis, menyisakan bara yang menumpuk.Di tanah terbuka itu, ada banyak prajurit yang tidur dengan seragam lengkap. Seragam mereka berwarna hitam-cokelat. Mereka bahkan tidur dengan senjata di dalam pelukan. Itu sudah menjadi SOP bagi prajurit Kerajaan Panesahan. Meski tidur, senjata tetap harus dalam pelukan, meski efek sampingnya terkadang menderita luka-luka usai mimpi berciuman dengan bidadari dari alam gaib.Di salah satu api unggun yang apinya masih menyala cukup besar, ada lima lelaki yang duduk mengelilingi api sambil minum-minuman hangat. Empat lelaki di antaranya mengenakan pakaian kuning-kuning dengan model yang berbeda. Di pinggang belakang mereka ada terselip tongkat besi pendek yang satu ujungnya memiliki replika tangan dari besi.Keempat lelaki berbaju kuning tidak lain adalah anggota dari Lima Tangan
Rombongan keluarga Anggar Sukolaga tiba di Lembah Jepit tepat pada pagi hari. Seturunnya dari kuda, Kenari Inang dan Aninda Maya langsung bergegas masuk ke rumah Tabib Juku Getir.Melihat kondisi ayahnya, menangislah Aninda Maya. Namun, tidak bagi Kenari Inang.Ardo Kenconowoto memilih tidak masuk ke dalam. Setelah menambatkan kudanya di tanah berumput dan menyediakan wadah kayu berisi air, Ardo memilih pergi ke area belakang. dia mencari tempat nyaman untuk tidur, bukan untuk buang air.Dia melihat keberadaan Wanduro dan Sologeni masih ada di tempat tersebut. Namun, Ardo memilih menghindar karena dia merasa lelah dan sangat mengantuk. Dia juga tidak melihat keberadaan Ki Pawang Api. Saat ke area belakang, dilihatnya kandang sudah kosong dari sapi-sapi. Bisa diduga ke mana perginya Ki Pawang Api.“Ardo!” panggil Semuri yang sedang menjemur pakaian luar dan dalam di belakang rumah. Dia menengok dan tersenyum kepada Ardo yang lewat agak jauh dari posisinya. Dia pun sudah menyebut nama A
Semuri mengendap-endap mendekati Ardo Kenconowoto yang tertidur nyenyak di bawah pohon besar di belakang kediaman Tabib Juku Getir. Terdengar dengkuran halusnya.Semuri tersenyum lebar sambil memandangi Ardo yang tampan. Dia manggut-manggut mengagumi ketampanan pemuda gondrong itu. Dada bajunya yang robek membuat kebidangan dadanya yang kekar mengintip tanpa mata.Yang jadi masalah, saat itu Semuri sedang memegangi seekor ular hijau sebesar genggaman.Gadis cantik bertubuh sekal itu lalu meletakkan ular bawaannya pelan-pelan di atas badan Ardo yang saat itu sedang bermimpi berpelukan dengan gurunya, Iblis Jelita.Adegan di dalam mimpi seperti mengulang ketika Ardo mendapat ciuman di dahi dari guru cantik jelitanya. Ketika di dalam mimpi Iblis Jelita ingin mencium bibir Ardo, tiba-tiba wujud cantiknya berubah menjadi bebek raksasa yang menyosor bibir si pemuda.Meski sosok cantik Iblis Jelita sudah menjadi bebek, tetapi Ardo justru menikmati.“Hihihi…!”Bebek itu menghentikan sosoranny
Dalam perjalanannya, sebelum jauh meninggalkan Lembah Jepit, Ardo Kenconowoto melihat sekumpulan sapi-sapi sedang merumput di tanah hijau. Di sana ada juga sosok lelaki bercaping, capingnya sama dengan yang dikenakan oleh Ki Pawang Api. Ardo memutuskan untuk pergi mendatangi Ki Pawang Api. Mendengar ada suara lari kuda yang mendekat, Ki Pawang Api yang sedang memijat-mijat paha seekor sapi menengok. Ki Pawang Api yang menengok, bukan sapinya. Jadi jangan salah paham. Ki Pawan Api hanya tersenyum saat melihat siapa yang datang. Ardo turun dari kudanya saat tiba di dekat Ki Pawang Api. “Hehehe! Kau mau ikut menggembala sapi, Aldo?” tanya Ki Pawang Api dengan menyebut Ardo menggunakan nama yang masih keliru, tapi tidak meresahkan. “Aku mau pamit, Ki,” ujar Ardo sembari tersenyum. “Apakah urusanmu dengan Anggar Sukolaga sudah selesai?” “Sudah, Ki. Tapi aku mau beltanya, Ki.” “Tanyakan saja.” “Apakah benal Paman Anggal adalah pembelontak?” “Maka itu aku berpesan kepadamu, jangan
“Sembah holmatku, Gulu!” ucap Ardo sambil turun berlutut di lantai batu pelataran, saat Iblis Satu Kaki sudah berdiri satu tombak di hadapannya.“Pasti guru perempuanmu memberimu tugas khusus,” terka Iblis Satu Kaki dengan tatapan tajam berwibawa.“Benal, Gulu. Nyai Sakti telah membeli aku gelal Pendekal Tiga Iblis, Gulu. Aku dipelintahkan untuk meminta lestu Gulu. Kalena nama Tiga Iblis adalah nama Nyai Sakti Iblis Jelita, Iblis Silih dan Iblis Satu Kaki,” jelas Ardo.“Kau belum menjadi muridku dan aku belum menjadi gurumu,” kata Iblis Satu Kaki.“Kalau begitu angkat aku jadi mulid, Gulu. Karena Nyai Sakti dan Gulu Iblis Silih sudah membeli lestu kepadaku,” kata Ardo yang masih memegang bingkisan dua nasi bungkus yang mungkin sudah dingin.“Mana buktinya bahwa Iblis Jelita dan Iblis Sirih sudah merestuimu?” tanya Iblis Satu Kaki.Sest!Ardo lalu mengeluarkan Kuku Iblis Betina pada jari-jari tangannya yang berupa kuku-kuku sinar ungu yang padat.“Ini pusaka Kuku Iblis Betina, Gulu,” u