Share

5. Wanita Pemenang

Adipati Banting Arak datang berkuda dikawal oleh dua pengawal pendekarnya yang juga berkuda. Pengawal yang berjari tangan komplit bernama Codet Maut dan pengawal yang berjari tangan sembilan bernama Pembunuh Jauh.

Bagi Pembunuh Jauh, sulit dicari tahu jari tangan mana yang tidak ada, karena memang tidak ada yang begitu peduli dengan nasib kesempurnaan jari-jari tangannya.

Posisi berkuda membuat Adipati Banting Arak bisa melihat dengan leluasa area yang dikepung. Dia pun dengan mudah dipandang oleh dua wanita petarung yang sudah siap bunuh-bunuhan tanpa memikirkan nasib anak dan suami.

Iblis Jelita belum punya suami dan anak, meski dia sudah berulang kali dimasuki “kepala” banyak lelaki.

Berbeda dengan Nyai Wetong, seorang janda dengan empat anak, tetapi anak-anaknya hidup jauh bersama dengan kakek neneknya demi menuntut ilmu dunia dan persilatan, bukan ilmu akhirat. Jadi dia sudah tidak memikirkan nafkah untuk anak atau siapa yang kelak mengasuhnya jika dia mati.

Sebentar sang adipati membaca kondisi di arena. Komandan Cecak Godok dalam kondisi tidak baik-baik saja. Di arena tarung yang dikepung oleh Pasukan Kadipaten, terlihat Iblis Jelita sudah membuat kesepuluh kuku jari tangannya sesekali memercikkan energi sinar warna kuning, meski warna kukunya hitam dan ungu. Sementara Nyai Wetong telah menghunus pedang pusakannya yang bersinar putih seperti lampu, tidak lagi menyilaukan.

“Bawa Komandan Cecak ke tabib!” Itu perintah pertama yang diucapkan oleh Adipati Banting Arak.

Beberapa prajurit terdekat segera melaksanakan perintah. Tubuh Komandan Cecak yang dibuat sekarat oleh Iblis Jelita, segera dievakuasi.

Meski Adipati Banting Arak tidak melihat siapa yang membuat komandannya jadi mengenaskan seperti itu, tetapi dia bisa menduga kuat siapa pelakunya.

“Apa yang kalian berdua sengketakan sehingga membuat keributan di wilayahku?” tanya Adipati Banting Arak kepada Iblis Jelita dan Nyai Wetong.

“Iblis Perempuan itu telah mengambil burung suamiku!” tuding Nyai Wetong.

Ingin tertawa Adipati Banting Arak mendengar jawaban Nyai Wetong, tetapi dia tahan sekuat mungkin agar tidak menggugurkan kewibawaannya.

“Bukankah suamimu sudah mati, Nyai Wetong?” tanya Adipati Banting Arak.

“Burung yang membuat kami ingin saling bunuh bukanlah burung botak seperti yang kalian miliki. Ini burung sungguhan milik suamiku!” teriak Nyai Wetong gusar.

“Hahaha...!” tertawalah semua penonton mendengar penegasan itu.

“Dia ingin memaksa merebut burung suaminya dariku, padahal burung suaminya sudah diambil oleh Ratu Senja. Eh, sekarang justru dia ingin mengambil paksa telur burung suaminya yang telah aku rawat berbulan-bulan. Lebih baik aku bunuh perempuan tua itu!” balas Iblis Jelita.

“Hahahak...!” Kian ramai para penonton tertawa mendengar perkataan Iblis Jelita. Mereka tertawa bukan karena ancaman wanita itu, tetapi karena narasi yang dibuat.

Adipati Banting Arak juga ikut tertawa, begitupun dengan Codet Maut dan Pembunuh Jauh.

“Aku tidak peduli dengan burung suami yang kalian ributkan. Jika kalian memang ingin saling bunuh, aku juga tidak peduli. Dengan dua syarat, jangan sampai Tugu Setia rusak oleh pertarungan kalian dan siapa pun yang menjadi pemenang wajib menjadi sekutuku!” seru Adipati Banting Arak.

“Jika aku yang menang, jangan coba-coba kau minta sarang burung, Adipati!” kata Iblis Cantik serius.

“Aku sudah punya!” ketus Adipati Banting Arak.

“Hahaha...!” tawa para penonton.

“Ayo, Nyai! Jangan banyak bicala! Habiskan salapan siangnya!” teriak Ardo yang kepalanya melongok di kolong kaki prajurit yang mengepung tempat itu.

“Hahaha...!” tawa penonton kian panjang mendengar teriakan Ardo yang cadel sehingga menjadi lucu di telinga.

“Anak kulang ajal! Minggil!” bentak si prajurit latah gagap sambil memukul jidat Ardo dengan pangkal tombaknya. Sejatinya dia tidak cadel.

“Waktunya kematian berbicara, Nyai Wetong!” teriak Iblis Jelita sambil melesat secepat panah kepada Nyai Wetong.

Kerennya, lesatan tubuh Iblis Jelita meninggalkan bayangan sepuluh garis sinar dari kuku hitam dan ungu jari tangannya.

Set set! Traksss!

Ketika cakaran ungu Iblis Jelita menerkam menyerang kepada lawannya, kelima kuku itu kian memancarkan sinar ungu yang indah, seolah-olah ketika cakaran itu menyerang, energinya mengumpul di kuku-kuku tersebut.

Mengandalkan pusakannya, Nyai Wetong menantang cakaran lawannya dengan tebasan pedangnya yang bersinar putih.

Sisi tajam pedang Nyai Wetong bertemu dengan kuku-kuku ungu Iblis Jelita. Dihadang oleh pedang membuat Iblis Jelita mengubah posisi kuku tangan kirinya menjadi saling menyilang, sehingga bisa menahan laju pedang.

Pertemuan itu membuat kedua wanita saling mengerenyit ketika energi kuku dan pedang saling menghantam dan mendorong. Percikan kembang sinar ungu dan putih terlihat indah menebar ke segala arah, kontras dengan ekspresi kedua wanita.

Sut!

“Wow!” teriak para lelaki mata keranjang saat melihat tiba-tiba kaki kanan Iblis Jelita menendang menusuk mengincar dagu Nyai Wetong.

Tendangan itu membuat pemandangan percikan kembang sinar yang indah kian diperindah oleh pemandangan paha yang aduhai.

Keindahan itu hanya sekejap saja karena Nyai Wetong cepat melompat mundur dengan melepas pedangnya dari kuku lawan.

Iblis Jelita tidak mau memberi ruang bernapas kepada Nyai Wetong. Dia langsung melompat memburu dengan gerakan yang memukau, yaitu melakukan putaran baling-baling dengan kedua tangan merentang.

Set set! Traks!

Crass!

“Aakk...!” jerit Nyai Wetong panjang dan memilukan.

Sekejap sebelumnya, Nyai Wetong cukup terkejut mendapat serangan model keren seperti itu. Dia hanya bisa menangkis cakaran ungu dengan pedang yang kekuatannya seimbang. Namun, gerakan kuku hitam Iblis Jelita nyaris tidak terlihat dan tahu-tahu telah merobek lengan kanan Nyai Wetong.

Jerit tinggi Nyai Wetong membuat suasana indah yang sempat tergelar berubah jadi menegangkan. Nyai Wetong sampai terlempar jatuh terbanting.

“Waktunya kematian bicara!” teriak Iblis Jelita keras, lalu melompat mengudara, memposisikan dirinya seperti elang yang siap memangsa emak tikus.

Tes tes tes...!

Sersss! Blus blus blus...!

Di saat para penonton mendongak fokus kepada Iblis Jelita di udara, wanita itu menyentakkan kelima kuku hitamnya ke arah bawah.

Sebanyak lima sinar hitam sebesar biji durian melesat secepat kilat kepada Nyai Wetong yang sedang kepayahan karena luka parah di lengan kanannya. Belum sempat dia bangkit, serangan mengerikan dari ilmu Sentilan Dewi Hitam tingkat dua datang menghujam.

Menghadapi serangan itu, Nyai Wetong hanya bisa menamengi dirinya dengan pedang dan meledakkan energi dalam pedang.

Seiring ledakan cahaya putih menyilaukan, terdengar pula lima ledakan rapat yang terdengar seperti angin besar yang bocor, tetapi dipangkas oleh kematian.

Para penonton jadi bingung harus fokus melihat ke mana. Apakah fokus melihat keindahan di udara ketika Iblis Jelita bergerak turun, atau fokus melihat nasib Nyai Wetong yang sempat tidak terlihat oleh silaunya cahaya putih?

Iblis Jelita mendarat lembut di tanah berdebu. Sementara para penonton terbeliak dan sebagian lagi ternganga dengan wajah mengerenyit, melihat kondisi Nyai Wetong yang sudah tewas dengan kondisi yang mengerikan.

Ada dua bolongan besar pada tubuh Nyai Wetong yang kini berdarah-darah. Pedangnya terpental tergeletak tidak begitu jauh dari jasadnya. Ada dua lubang yang tercipta di tanah dekat jasad. Itu lubang yang tercipta oleh tembakan ilmu Sentilan Dewi Hitam.

“Iblis Jelita benar-benar iblis,” ucap salah satu warga, berbisik kepada rekannya yang sesama lelaki.

“Tapi aku lihat kau paling antusias melototi iblis itu,” kata rekannya.

“Dari mana kau tahu? Memangnya kau terus melototi aku?” bantah warga tadi. (RH)

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rosdiana Galaxy
mantapbener
goodnovel comment avatar
🅰️nny Maheswari
kan.. kan.. yg cantik itu berbahaya ...
goodnovel comment avatar
Rudi Hendrik
Wow juga lah. hahaha antara indah dan ngeri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status