Adipati Banting Arak datang berkuda dikawal oleh dua pengawal pendekarnya yang juga berkuda. Pengawal yang berjari tangan komplit bernama Codet Maut dan pengawal yang berjari tangan sembilan bernama Pembunuh Jauh.
Bagi Pembunuh Jauh, sulit dicari tahu jari tangan mana yang tidak ada, karena memang tidak ada yang begitu peduli dengan nasib kesempurnaan jari-jari tangannya.Posisi berkuda membuat Adipati Banting Arak bisa melihat dengan leluasa area yang dikepung. Dia pun dengan mudah dipandang oleh dua wanita petarung yang sudah siap bunuh-bunuhan tanpa memikirkan nasib anak dan suami.Iblis Jelita belum punya suami dan anak, meski dia sudah berulang kali dimasuki “kepala” banyak lelaki.Berbeda dengan Nyai Wetong, seorang janda dengan empat anak, tetapi anak-anaknya hidup jauh bersama dengan kakek neneknya demi menuntut ilmu dunia dan persilatan, bukan ilmu akhirat. Jadi dia sudah tidak memikirkan nafkah untuk anak atau siapa yang kelak mengasuhnya jika dia mati.Sebentar sang adipati membaca kondisi di arena. Komandan Cecak Godok dalam kondisi tidak baik-baik saja. Di arena tarung yang dikepung oleh Pasukan Kadipaten, terlihat Iblis Jelita sudah membuat kesepuluh kuku jari tangannya sesekali memercikkan energi sinar warna kuning, meski warna kukunya hitam dan ungu. Sementara Nyai Wetong telah menghunus pedang pusakannya yang bersinar putih seperti lampu, tidak lagi menyilaukan.“Bawa Komandan Cecak ke tabib!” Itu perintah pertama yang diucapkan oleh Adipati Banting Arak.Beberapa prajurit terdekat segera melaksanakan perintah. Tubuh Komandan Cecak yang dibuat sekarat oleh Iblis Jelita, segera dievakuasi.Meski Adipati Banting Arak tidak melihat siapa yang membuat komandannya jadi mengenaskan seperti itu, tetapi dia bisa menduga kuat siapa pelakunya.“Apa yang kalian berdua sengketakan sehingga membuat keributan di wilayahku?” tanya Adipati Banting Arak kepada Iblis Jelita dan Nyai Wetong.“Iblis Perempuan itu telah mengambil burung suamiku!” tuding Nyai Wetong.Ingin tertawa Adipati Banting Arak mendengar jawaban Nyai Wetong, tetapi dia tahan sekuat mungkin agar tidak menggugurkan kewibawaannya.“Bukankah suamimu sudah mati, Nyai Wetong?” tanya Adipati Banting Arak.“Burung yang membuat kami ingin saling bunuh bukanlah burung botak seperti yang kalian miliki. Ini burung sungguhan milik suamiku!” teriak Nyai Wetong gusar.“Hahaha...!” tertawalah semua penonton mendengar penegasan itu.“Dia ingin memaksa merebut burung suaminya dariku, padahal burung suaminya sudah diambil oleh Ratu Senja. Eh, sekarang justru dia ingin mengambil paksa telur burung suaminya yang telah aku rawat berbulan-bulan. Lebih baik aku bunuh perempuan tua itu!” balas Iblis Jelita.“Hahahak...!” Kian ramai para penonton tertawa mendengar perkataan Iblis Jelita. Mereka tertawa bukan karena ancaman wanita itu, tetapi karena narasi yang dibuat.Adipati Banting Arak juga ikut tertawa, begitupun dengan Codet Maut dan Pembunuh Jauh.“Aku tidak peduli dengan burung suami yang kalian ributkan. Jika kalian memang ingin saling bunuh, aku juga tidak peduli. Dengan dua syarat, jangan sampai Tugu Setia rusak oleh pertarungan kalian dan siapa pun yang menjadi pemenang wajib menjadi sekutuku!” seru Adipati Banting Arak.“Jika aku yang menang, jangan coba-coba kau minta sarang burung, Adipati!” kata Iblis Cantik serius.“Aku sudah punya!” ketus Adipati Banting Arak.“Hahaha...!” tawa para penonton.“Ayo, Nyai! Jangan banyak bicala! Habiskan salapan siangnya!” teriak Ardo yang kepalanya melongok di kolong kaki prajurit yang mengepung tempat itu.“Hahaha...!” tawa penonton kian panjang mendengar teriakan Ardo yang cadel sehingga menjadi lucu di telinga.“Anak kulang ajal! Minggil!” bentak si prajurit latah gagap sambil memukul jidat Ardo dengan pangkal tombaknya. Sejatinya dia tidak cadel.“Waktunya kematian berbicara, Nyai Wetong!” teriak Iblis Jelita sambil melesat secepat panah kepada Nyai Wetong.Kerennya, lesatan tubuh Iblis Jelita meninggalkan bayangan sepuluh garis sinar dari kuku hitam dan ungu jari tangannya.Set set! Traksss!Ketika cakaran ungu Iblis Jelita menerkam menyerang kepada lawannya, kelima kuku itu kian memancarkan sinar ungu yang indah, seolah-olah ketika cakaran itu menyerang, energinya mengumpul di kuku-kuku tersebut.Mengandalkan pusakannya, Nyai Wetong menantang cakaran lawannya dengan tebasan pedangnya yang bersinar putih.Sisi tajam pedang Nyai Wetong bertemu dengan kuku-kuku ungu Iblis Jelita. Dihadang oleh pedang membuat Iblis Jelita mengubah posisi kuku tangan kirinya menjadi saling menyilang, sehingga bisa menahan laju pedang.Pertemuan itu membuat kedua wanita saling mengerenyit ketika energi kuku dan pedang saling menghantam dan mendorong. Percikan kembang sinar ungu dan putih terlihat indah menebar ke segala arah, kontras dengan ekspresi kedua wanita.Sut!“Wow!” teriak para lelaki mata keranjang saat melihat tiba-tiba kaki kanan Iblis Jelita menendang menusuk mengincar dagu Nyai Wetong.Tendangan itu membuat pemandangan percikan kembang sinar yang indah kian diperindah oleh pemandangan paha yang aduhai.Keindahan itu hanya sekejap saja karena Nyai Wetong cepat melompat mundur dengan melepas pedangnya dari kuku lawan.Iblis Jelita tidak mau memberi ruang bernapas kepada Nyai Wetong. Dia langsung melompat memburu dengan gerakan yang memukau, yaitu melakukan putaran baling-baling dengan kedua tangan merentang.Set set! Traks!Crass!“Aakk...!” jerit Nyai Wetong panjang dan memilukan.Sekejap sebelumnya, Nyai Wetong cukup terkejut mendapat serangan model keren seperti itu. Dia hanya bisa menangkis cakaran ungu dengan pedang yang kekuatannya seimbang. Namun, gerakan kuku hitam Iblis Jelita nyaris tidak terlihat dan tahu-tahu telah merobek lengan kanan Nyai Wetong.Jerit tinggi Nyai Wetong membuat suasana indah yang sempat tergelar berubah jadi menegangkan. Nyai Wetong sampai terlempar jatuh terbanting.“Waktunya kematian bicara!” teriak Iblis Jelita keras, lalu melompat mengudara, memposisikan dirinya seperti elang yang siap memangsa emak tikus.Tes tes tes...!Sersss! Blus blus blus...!Di saat para penonton mendongak fokus kepada Iblis Jelita di udara, wanita itu menyentakkan kelima kuku hitamnya ke arah bawah.Sebanyak lima sinar hitam sebesar biji durian melesat secepat kilat kepada Nyai Wetong yang sedang kepayahan karena luka parah di lengan kanannya. Belum sempat dia bangkit, serangan mengerikan dari ilmu Sentilan Dewi Hitam tingkat dua datang menghujam.Menghadapi serangan itu, Nyai Wetong hanya bisa menamengi dirinya dengan pedang dan meledakkan energi dalam pedang.Seiring ledakan cahaya putih menyilaukan, terdengar pula lima ledakan rapat yang terdengar seperti angin besar yang bocor, tetapi dipangkas oleh kematian.Para penonton jadi bingung harus fokus melihat ke mana. Apakah fokus melihat keindahan di udara ketika Iblis Jelita bergerak turun, atau fokus melihat nasib Nyai Wetong yang sempat tidak terlihat oleh silaunya cahaya putih?Iblis Jelita mendarat lembut di tanah berdebu. Sementara para penonton terbeliak dan sebagian lagi ternganga dengan wajah mengerenyit, melihat kondisi Nyai Wetong yang sudah tewas dengan kondisi yang mengerikan.Ada dua bolongan besar pada tubuh Nyai Wetong yang kini berdarah-darah. Pedangnya terpental tergeletak tidak begitu jauh dari jasadnya. Ada dua lubang yang tercipta di tanah dekat jasad. Itu lubang yang tercipta oleh tembakan ilmu Sentilan Dewi Hitam.“Iblis Jelita benar-benar iblis,” ucap salah satu warga, berbisik kepada rekannya yang sesama lelaki.“Tapi aku lihat kau paling antusias melototi iblis itu,” kata rekannya.“Dari mana kau tahu? Memangnya kau terus melototi aku?” bantah warga tadi. (RH)Kemenangan Iblis Jelita atas Nyai Wetong yang berjuluk Pendekar Pedang Buas membuat dia memenangkan taruhan dengan Ardo Kenconowoto.Setelah memastikan kemenangannya, wanita cantik yang berkeringat itu langsung mengunci Ardo di dalam ingatannya. Jadi, dia langsung mencari keberadaan anak cadel berambut gondrong itu.“Leee leee leee!” teriak Ardo heboh sendiri sambil menonjok-nonjok langit yang tidak bersalah, sebagai ekspresi dari kegembiraannya karena pendekar wanita jagoannya menang. Dia sedikit pun tidak menunjukkan rasa iba kepada Nyai Wetong yang mati mengerikan.Menyaksikan pembunuhan atau sesuatu yang mengerikan, sudah beberapa kali Ardo lihat, apakah itu memang niat melihat atau yang terjadi begitu saja di depan mata. Di era hukum rimba ini, banyak kejadian memperlihatkan yang kuat menghancurkan yang lemah dan buruk menjahati yang baik.Seperti yang baru saja terjadi. Pertarungan antara Iblis Jelita dengan Nyai Wetong menunjukkan yang kuat menghancurkan yang lemah.Karena pert
Setelah mendapat izin dari ibunya, Ardo Kenconowoto pun berpamitan kepada sang ibu. Dia memeluk erat ibunya yang menangis karena akan ditinggal pergi oleh putra berbaktinya, meski tidak ditinggal untuk selamanya.Di saat Upir Rammi menangis, Ardo justru tertawa-tawa, menertawakan ibunya sambil menghibur sang ibu.“Aku akan seling-seling datang melihat kondisi, Ibu,” kata Ardo. “Aku pamit, Bu. Nyai Sakti sudah menunggu aku.”Upir Rimma hanya mengangguk sembari tersenyum getir. Ia menyeka air matanya di saat putranya juga memeluk adik baiknya.“Kakang titip Ibu. Kau halus kuat, Linta,” kata Ardo memberi pesan.“Iya. Aku akan menjadi wanita kuat, Kakang,” kata Rinta Kemiri optimis.Ardo lalu berlari kecil menyusul Iblis Jelita yang sudah menunggu di luar.Upir Rimma meraih sekantung kecil kepeng yang sebelumnya diberikan oleh Iblis Jelita. Dia begitu senang memiliki stok kepeng yang nyaris tidak pernah terjadi selama dia menderita sakit persendian pada kedua kakinya.Sementara di luar ru
Ketika hendak sampai di rumah bambunya yang bisa dibilang megah, Iblis Jelita mencium aroma yang akrab dan dia kenal, yaitu bau kunyahan sirih.Karena tidak melihat ada orang lain di luaran rumahnya, Iblis Jelita menduga tamunya sedang ada di dalam.Jleg!Bertepatan dengan mendaratnya kaki Iblis Jelita di lantai bambu, dari dalam rumah berjalan keluar seorang lelaki berjubah merah terang, kian memberi warna pemandangan di sungai itu. Sulit mencari warna merah di tempat itu, karena gincu wanita yang biasanya merah, Iblis Jelita justru memakai gincu biru. Entah apa bahan utama dari warna pembiru bibirnya.Lelaki berjubah merah itu sepuluh tahun lebih tua dari Iblis Jelita. Artinya dia berusia empat puluh lima tahun. Rambut gondrong terbatasnya diikat sederhana di belakang, sehingga terlihat seperti ekor burung berekor pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan jenggot. Alisnya pun tipis, seolah-olah hanya digaris pakai arang kayu. Mulutnya mengunyah dan ada bercak-bercak warna merah di bibi
Ratu Senja bisa dibilang satu generasi dengan Iblis Jelita. Sama-sama wanita berusia menuju senja. Mereka sama-sama tidak punya anak. Jika Iblis Jelita memang tidak mau punya anak meski berhubungan dengan banyak lelaki dewasa, maka Ratu Senja awalnya adalah janda berkembang, baru nikah sudah ditinggal mati suami. Meski sudah pernah dicocoktanami, tetapi dia tidak hamil.Jadi, Ratu Senja adalah janda yang setia. Bukan di setiap tikungan ada, tetapi memang setia menjanda tanpa main ilegal dengan lelaki manapun. Dia bisa bertahan sampai hampir lebih sepuluh tahun menjanda.Iblis Jelita dan Ratu Senja bisa disebut sahabat, meski Iblis Jelita cenderung berkarakter golongan hitam dan Ratu Senja terbilang wanita baik, terbukti dia teguh mempertahankan keperawanannya terhitung sejak suaminya meninggal.Ratu Senja tinggal di tengah-tengah sebuah kebun petai. Itu miliknya, tetapi orang yang mengurus kebunnya adalah orang bayaran dari kota Gampartiga. Ada dua orang bayaran, keduanya berusia tua
“Kenapa kalian menginginkan burungku?” tanya Ratu Senja yang berdiri di teras rumahnya sambil memegang tampi yang di atasnya ada beras.Ki Rumpuk dan Ketinting Uwok berdiri dengan gaya menantang di depan rumah, sedikit lebih rendah dari Ratu Senja.“Sama sepertimu yang punya tujuan memelihara burung suami Nyai Wetong,” kata Ketinting Uwok sambil menunjuk dengan ujung tongkatnya yang seperti tombak.“Kenapa kau bisa tahu tentang burung itu?” tanya Ratu Senja heran.“Tanyakan saja dengan sahabatmu setan yang jelita itu,” kata Ketinting Uwok.“Tidak mungkin Iblis Jelita memberi tahu kalian,” kata Ratu Senja.“Dia bicara di depan orang banyak kemarin, saat Nyai Wetong menagih burung suaminya. Nyai Wetong sudah mati, jadi burung itu sekarang bukan milik siapa-siapa dan bebas untuk direbut,” kata Ketinting Uwok.“Sembarangan!” bentak Ratu Senja. “Oooh, jadi Nyai Wetong mati dibunuh oleh Iblis jelita? Bisa berbuntut panjang.”“Sudah, lebih baik serahkan burung itu baik-baik, agar kejandaanmu
“Benar-benar cari mati kau, Ki Rumpuk!” teriak Ratu Senja melihat lawan lelakinya telah berkelebat dengan membawa sangkar yang berisi burung sakti.Set!Baru saja hendak mengejar Ki Rumpuk, Ketinting Uwok cepat mengarahkan tangan kanannya ke arah tongkatnya yang menancap di tiang bambu rumah Ratu Senja.Ketika gerakan menarik dengan tenaga dalam yang besar, tongkat itu tercabut dan melesat mundur sendiri menyerang Ratu Senja yang bergerak. Ternyata lesatan tombak itu menghalangi langkah Ratu Senja, sehingga dia tertahan.Sambil menahan luka parahnya di bahu belakangnya, Ketinting Uwok dengan tangkas menangkap batang tongkatnya yang seperti tombak.Setelah itu, Ketinting Uwok memutar-mutar tongkatnya yang ujung-ujungnya menusuk ke arah Ratu Senja.Lagi-lagi Ratu Senja mengandalkan ilmu Tinju Belut Peri untuk menantang tusukan lancip tongkat tersebut.Satu jengkal sebelum pertemuan terjadi, mata lancip tongkat terpeleset tanpa menyentuh tinju Ratu Senja.Keterpelesetan itu membuat Ketin
Ratu Senja telah tiba di pinggir Sungai Ukirati, tepatnya di kediaman Iblis Jelita. Dia membawa sangkar yang berisi burung sakti peninggalan mendiang Pendekar Tabur Bunga.Dia memandang ke rumah bambu yang ada di tengah-tengah sungai. Dilihatnya ada seorang anak lelaki bertelanjang dada sedang menonjoki buah kelapa yang digantung. Posisinya membelakangi arah keberadaan Ratu Senja.Ratu Senja lalu melompat dan berlari di atas titian seutas tambang yang menghubungkan darat dengan rumah bambu. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah tengah sungai tersebut.Jleg!Ratu Senja sengaja sedikit memperkeras pendaratan kakinya di lantai bambu agar si bocah yang sedang menonjoki buah kelapa mendengar kedatangannya.Benar saja, anak itu sontak menghentikan aksinya dan cepat menengok. Dia pun terkejut melihat siapa yang telah ada di belakangnya.“Eh, Nyai Sakti!” sebut anak yang adalah Ardo Kenconowoto. Dia segera berbalik dan menjura hormat.“Rupanya kau, Aldo,” ucap Ratu Senja pula cukup ter
“Dua puluh, Nyaiii!” teriak Ardo saat kepala dan wajahnya keluar dari dalam air sungai.Ardo telah menjadi seorang remaja tanggung yang tampan dan semakin berotot. Rambutnya pun semakin gondrong. Empat tahun telah berlalu. Benar dugaan Iblis Jelita, Ardo semakin dewasa semakin tampan.“Naiklah, ada tugas untukmu!” perintah Iblis Jelita yang saat itu sedang memilah dan memilih buah leunca.Dia memilah dan memilih buah untuk sayur itu bersama Ratu Senja. Namun, ada yang aneh dari kedua wanita dewasa itu.Setelah empat tahun berlalu, wajah keduanya semakin terlihat cantik dan lebih muda, seperti gadis berusia di bawah tiga puluh tahun, padahal usia mereka hampir kepala empat. Sepertinya mereka sukses berbagi resep awet muda yang mereka dapat dari burung sakti, yang hingga saat ini burung tersebut masih sehat bugar.Bruss! Jleg!Kini, Ardo tinggal melakukan lompatan untuk naik dari air sungai dan mendarat di lantai bambu rumah Iblis Jelita.Terlihatlah penampilan Ardo yang sudah bertubuh