Share

6. Jadi Pelayan

Kemenangan Iblis Jelita atas Nyai Wetong yang berjuluk Pendekar Pedang Buas membuat dia memenangkan taruhan dengan Ardo Kenconowoto.

Setelah memastikan kemenangannya, wanita cantik yang berkeringat itu langsung mengunci Ardo di dalam ingatannya. Jadi, dia langsung mencari keberadaan anak cadel berambut gondrong itu.

“Leee leee leee!” teriak Ardo heboh sendiri sambil menonjok-nonjok langit yang tidak bersalah, sebagai ekspresi dari kegembiraannya karena pendekar wanita jagoannya menang. Dia sedikit pun tidak menunjukkan rasa iba kepada Nyai Wetong yang mati mengerikan.

Menyaksikan pembunuhan atau sesuatu yang mengerikan, sudah beberapa kali Ardo lihat, apakah itu memang niat melihat atau yang terjadi begitu saja di depan mata. Di era hukum rimba ini, banyak kejadian memperlihatkan yang kuat menghancurkan yang lemah dan buruk menjahati yang baik.

Seperti yang baru saja terjadi. Pertarungan antara Iblis Jelita dengan Nyai Wetong menunjukkan yang kuat menghancurkan yang lemah.

Karena pertarungan duel dua pendekar wanita sudah usai, para pendekar dan warga yang berstatus penonton pun membubarkan diri. Tinggallah Pasukan Kadipaten yang bekerja merapikan kekacauan yang dihasilkan dari pertarungan tersebut. Adipati Banting Arak pun sudah memberi arahan apa yang harus para prajurit itu lakukan.

Sang adipati tidak akan menuntut Iblis Jelita atas pembunuhan itu, yang jelas dia tidak mau berurusan dengan wanita sakti itu. Namun, Adipati Banting Arak mendapat satu keuntungan, yaitu Iblis Jelita menjadi sekutunya sesuai dengan kesepakatan lisan yang mereka setujui.

“Ayo, ikut aku, Ardo!” kata Iblis Jelita sambil mencengkeram tengkuk Ardo dengan tangan kanannya.

“Akh!” pekik tertahan Ardo meski cengkeraman itu tidak menyakitinya, tapi membuatnya terkejut karena Iblis Jelita tahu-tahu muncul dari belakangnya. Melihat kuku-kuku hitam berbahaya menempel di kulit lehernya, jelas membuat Ardo ngeri juga. Jelas dia tidak berani melawan ajakan Iblis Jelita.

“Kau sekarang jadi pelayanku,” kata Iblis Jelita.

“Pe-pe-pelayan bagaimana, Nyai?” tanya Ardo tidak mengerti dengan wajah mengerenyit, bukan karena sakit, tapi lebih kepada ngeri.

“Bukankah kita sudah bertaruh? Jika aku membunuh lawanku, kau jadi pelayanku dan aku akan membayarmu dengan upah yang sesuai. Bayaranmu akan cukup untukmu, cukup untuk ibumu, dan aku akan membantu menyembuhkan sakit ibumu, ditambah aku akan memotong burung ayahmu,” jelas Iblis Jelita, mengingatkan Ardo tentang perjanjian lisan mereka di kedai.

“Iya, Nyai. Aku belsedia menjadi pelayan Nyai. Aku pandai mencuci piling, aku pandai belhitung kepeng, aku pandai melebus telul. Aku juga pandai memijit dan mencali kutu,” kata Ardo bernada antusias.

“Sekarang bawa aku ke rumahmu, agar ibumu tidak mencarimu jika kau tidak pulang berhari-hari,” kata Iblis Jelita sambil melepaskan cengkeraman halusnya di tengkuk Ardo. Mereka menuju ke depan kedai makan, di mana kuda Iblis Jelita ditambatkan.

Namun, tiba-tiba ada yang menghadang. Seorang lelaki besar bergolok. Orang itu tidak lain adalah Cabur Sekti, pendekar golok yang konon katanya keturunan pendekar legenda Dewa Golok Dewi.

“Mau kau apakan anak ini, Jelita?” tanya Cabur Sekti tidak gentar, padahal dia baru saja menyaksikan keganasan Iblis Jelita.

“Ardo sudah menjadi pelayanku. Minggir kau, Cabur!” kata Iblis Jelita.

“Anak kecil pun mau kau mangsa?” tanya Cabur Sekti setengah membentak.

“Jaga suaramu, Lelaki Besar. Aku dan anak ini sudah sepakat. Dia aku bawa tanpa paksaan,” tandas Iblis Jelita.

“Benal, Kakang Cabul. Aku akan bekelja jadi pelayan Nyai. Aku akan dibayal mahal,” kata Ardo pula membenarkan majikan barunya.

“Baiklah, aku percaya. Namun, jika terjadi apa-apa dengan Ardo, aku akan mencarimu, Jelita,” kata Cabur Sekti mengandung ancaman.

“Cari saja aku. Nyai Wetong juga mencariku. Kau bisa lihat sendiri nasibnya,” kata Iblis Jelita sembari tersenyum sinis.

“Dan khusus kau, Ardo. Jangan pernah menyebutku Cabur, sebut aku Sekti!” kata Cabur Sekti menekankan karena dia tidak suka disebut “Cabul” oleh Ardo.

“Baik, Kakang Sekti,” ucap Ardo cepat paham.

Cabor Sekti lalu pergi meninggalkan kedua orang itu.

Iblis Jelita berjalan mendapati kudanya dan menaikinya, tanpa melepas dulu tambatan talinya. Sebagai pelayan, Ardo segera tanggap. Dia segera berlari dan melepas tambatan tali kuda.

“Bagus. Kau cepat tanggap rupanya,” puji Iblis Jelita.

“Hehehe!” tawa Ardo cengengesan.

“Sekarang larilah lebih dulu menuju rumahmu, aku akan mengikutimu!” perintah Iblis Jelita.

“Baik, Nyai,” ucap Ardo.

Ardo yang bertelanjang kaki, segera berlari kencang lebih dulu. Iblis Jelita segera mengejarnya dengan berkuda.

Maka terciptalah pemandangan bahwa Iblis Jelita sedang mengejar Ardo Kenconowoto, seolah-olah pendekar wanita kejam itu sedang mengejar calon korban.

Warga Gampartiga hanya memandangi pemandangan itu. Untung saja tidak ada yang muncul menolong Ardo, sehingga tidak terjadi salah paham.

Dilihat dari larinya, ternyata Ardo seorang pelari cepat dan tangkas. Sejumlah medan alam yang tidak rata, bisa dia lewati dengan cekatan. Kakinya lincah dan kokoh. Itu semua masuk dalam perhatian Iblis Jelita.

Ketika melewati sebuah sungai kecil yang dangkal dan berbatu, anak itu bisa melompat lincah dari satu batu ke batu kering yang lain.

Di seberang sungai kecil itu ada sebuah gubuk kayu sederhana yang sudah menderita kerusakan di beberapa bagiannya, tapi masih layak dan belum pantas disebut sebagai kandang kambing.

Kemunculan Ardo yang diikuti oleh seekor kuda dan seorang penunggang, membuat seorang gadis kecil yang sedang mencuci di air sungai yang mengalir, berdiri. Saking dangkalnya air sungai, seorang anak kecil perempuan pun tidak khawatir turun ke sungai. Air hanya setinggi lututnya.

Melihat anak perempuan yang berbaju basah itu, Ardo berteriak.

“Linta Kemili! Ada Nyai datang!” teriak Ardo.

Ternyata anak perempuan itu adalah Rinta Kemiri, adik Ardo yang pernah disebut kepada Iblis Jelita.

“Kakang! Kenapa kau dikejar kuda? Apakah kau mencuri?!” teriak Rinta Kemiri cemas.

“Tidak! Tidak!” teriak Ardo seperti sedang ikut kuis “tebak salah”. “Nyai Sakti datang beltamu!”

Rinta Kemiri segera naik ke pinggir sungai. Dia meninggalkan pakaian cuciannya di atas bongkahan batu sungai.

Kakak adik itupun bertemu di pinggiran. Ardo terengah-engah. Kuda tunggangan Iblis Jelita naik mendekati kedua anak itu.

“Rinta Kemiri,” sebut Iblis Jelita.

“Aku, Nyai,” ucap Rinta Kemiri sembari tersenyum. Dia sudah tidak cemas lagi, justru sangat terpesona melihat kejelitaan Iblis Jelita.

“Kenapa kau mencuci siang-siang?” tanya Iblis Jelita.

“Ibu tadi buang kotoran, jadi aku harus mencucinya, Nyai,” jawab Rinta Kemiri santun.

“Kalian anak yang berbakti rupanya,” puji Iblis Jelita.

“Jika bukan kami yang belbakti, Ibu tidak akan ada yang mengulus, Nyai,” kata Ardo.

“Ayo, aku ingin bertemu dengan ibu kalian!” ajak Iblis Jelita.

“Mali, Nyai!” ajak Ardo, lalu dia berlari sedang menuju ke rumahnya yang sudah dekat.

Iblis Jelita mengikuti sampai ke depan gubuk.

Gubuk itu berlantai tanah.

“Ibu, ada tamu agung!” teriak Ardo sambil berlari masuk ke dalam gubuk.

Ardo langsung pergi ke sisi sebuah dipan yang ada di sudut ruangan. Gubuk itu hanya memiliki dua ruangan. Satu ruangan agak besar yang menyatu dengan dapur. Ruangan yang satu lagi adalah kamar kecil yang dindingnya sudah bolong-bolong tidak teratur.

Uniknya dalam rumah itu, meski itu sebuah gubuk yang banyak rusaknya, tetapi terlihat begitu rapi. Barang-barang dan kain-kain yang ada berposisi dengan benar tanpa ada yang asal berserak atau asal menggantung.

“Kau jangan suka berdusta untuk menyenangkan Ibu, Ardo,” kata seorang wanita yang terbaring sakit di atas dipan.

“Tidak, Bu. Sekalang aku bekelja sebagai pelayan Nyai Sakti. Nyai Sakti majikanku, Bu,” jawab Ardo dengan gembira. Pekerjaan barunya sebagai seorang pelayan Iblis Jelita menjadi kabar gembira baginya.

“Apakah kau mengenalku, Nyai?” tanya Iblis Jelita yang sudah masuk ke dalam rumah itu. Wangi tubuhnya seolah menjadi semprotan pengharum di dalam ruangan.

Wanita yang usianya beberapa tahun lebih tua dari Iblis Jelita itu sontak menengok melihat wanita seksi yang masuk ke rumah itu.

“Tidak,” jawab Upir Rammi, ibu Ardo dan Rinta Kemiri. Dia terpesona melihat kejelitaan tamunya. “Nisanak, kau cantik sekali.”

“Baguslah jika kau tidak mengenalku, Nyai. Aku akan membawa Ardo menjadi pelayanku. Kebutuhan kepeng kalian, aku yang akan menaggungnya,” ujar Iblis Jelita.

Iblis Jelita lalu mendekati Upir Rammi. Tanpa izin lagi, dia menyingkap kain yang menutupi kedua kaki ibunya Ardo. Upir Rammi agak terkejut melihat tindakan tamunya, tetapi dia diam saja.

Kondisi kedua kaki Upir Rammi sangat kurus, seperti tinggal tulang berbalut kulit saja.

“Ini bisa disembuhkan,” kata Iblis Jelita, membuat Upir Rammi dan kedua anaknya terbeliak, lalu tersenyum sumringah. “Asalkan Nyai tidak keberatan Ardo menjadi pelayanku sampai dia dewasa.”

“Tidak apa-apa, Nyai. Asalkan Ibu bisa sembuh, sampai tua pun aku akan melayani, Nyai!” tegas Ardo.

Iblis Jelita jadi tersenyum. (RH)

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Rajes Salam Lubis
luar biasa
goodnovel comment avatar
Rosdiana Galaxy
tetapsemangat om
goodnovel comment avatar
Rudi Hendrik
heheheheheh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status