Se connecterDi tengah kegelapan malam yang hanya disinari rembulan, Surya Yudha terus melangkah untuk mencari hewan buruan. Matanya terus mengedar, pendengarannya terus ditajamkan, kewaspadaannya tak turun sedikit pun. Selain itu, tangan kanannya selalu memegang gagang pedang dengan tangan kiri mencengkeram erat selongsongnya.
Tak jauh dari tempat Surya Yudha berdiri, terdengar suara gemerisik yang berasal dari balik semak-semak. Senyum licik tersimpul di bibir Surya Yudha sebelum pemuda itu melangkah memburu hewan buruannya.Dengan perlahan Surya Yudha menyibak semak-semak di hadapannya.Bruk!Sebuah hewan sebesar anak gajah menerjang Surya Yudha hingga pemuda itu tersungkur. Tanpa memberi kesempatan untuk lawannya bangkit, hewan tersebut kembali menerjang dan menendang tubuh Surya Yudha hingga tersungkur beberapa langkah dari tempat sebelumnya.Surya Yudha menarik pedang dari selongsong dan menghunuskan ke tubuh hewan yang menyerangnya. Seekor babi hutan dewasa yang menyerangnya dengan membabi buta.Sebuah tebasan berhasil mendarat di perut babi hutan tetapi tak merobohkannya, bahkan membuatnya menjadi lebih brutal dalam menyerang.Surya Yudha kembali menebas tubuh si babi, kali ini dengan kekuatan penuhnya yang sebatas manusia biasa, tanpa disertai tenaga dalam sedikitpun.Darah segar mengalir dari bekas tebasan tersebut, di mana luka tersebut lebih dalam dari sebelumnya. Terdengar babi tersebut menguik dengan suara yang melengking.Surya Yudha melebarkan matanya karena babi tersebut seperti marah padanya karena telah melukainya. Sepanjang hidupnya, Surya Yudha tak pernah setakut ini ketika menghadapi hewan liar terutama jenis babi. Di banyak kesempatan sebelumnya dia bisa menghadapi babi dengan satu tebasan yang membuat nyawa hewan tersebut melayang. Namun, kali ini dirinya berada di pihak yang tak menguntungkan."Berhasil selamat dari kematian, apa aku harus mati di tangan babi busuk ini?" gumam Surya Yudha saat menyaksikan babi itu perlahan maju dan mengeluarkan aura intimidasi yang menakutkan.Keringat dingin membasahi kening dan punggung Surya Yudha, menandakan pemuda itu sedang berada dalam puncak kecemasannya. Menghadapi seratus pasukan di beberapa waktu sebelumnya lebih mudah dibanding menghadapi babi saat ini.Saat babi tersebut menerjang dengan kekuatan penuhnya, Surya Yudha memejamkan mata seperti pasrah dengan hasil akhirnya.Namun, tak seperti yang ada dalam pikiran Surya Yudha. Saat dirinya menutup mata, terdengar suara jeritan yang keluar dari mulut babi, jeritan yang terdengar menyayat hati seperti seseorang yang sedang menghadapi ajal dengan perlahan. Cairan hangat berbau anyir menyiprat tepat ke wajah Surya Yudha dan membuat pemuda itu terkejut. Belum sempat Surya Yudha membuka mata, telinganya menangkap suara yang lembut tetapi menusuk di telinganya, terdengar merdu sekaligus mematikan. "Pria bodoh! Kau sungguh menunggu kematian, huh? Pengecut!"Tergagap, Surya Yudha membuka matanya dan melihat seorang gadis yang menggunakan pakaian berwarna coklat muda, cocok dengan kulit putihnya yang tampak mulus tengah mengacungkan pedang ke arahnya."A-aku ...." Belum sempat Surya Yudha menyelesaikan kalimatnya, gadis itu sudah berpaling dan berjalan meninggalkan Surya Yudha.Surya Yudha menyarungkan pedangnya dan mengejar penyelamatnya dengan berlari. Namun, gadis itu seperti menggunakan ilmu meringankan tubuh dan menghilang saat di balik semak-semak.Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Surya Yudha berdecak kesal karena kehilangan jejak. Surya Yudha kecewa dengan dirinya sekarang yang tak mampu mengeluarkan tenaga dalam. "Sungguh payah. Mengejar wanita saja tak mampu."Beberapa saat meratapi nasibnya yang malang, Surya Yudha tersadar jika eyangnya sedang menunggu, saat ini pasti dia sedang mengkhawatirkan dia karena belum juga kembali.Dengan langkah panjang tanpa keraguan, Surya Yudha kembali ke arah babi hutan itu tergeletak dan menggendongnya di punggung.Ingatan kuat yang dimiliki Surya Yudha membantunya sampai di tempat Arya Saloka berada dalam waktu yang cukup singkat. Dengan senyum kebahagiaan di wajahnya, Surya Yudha melemparkan babi itu dengan penuh semangat."Aku mendapat buruan besar!" Surya Yudha berteriak kesenangan.Ki Arya Saloka melirik babi tersebut kemudian memperhatikan napas cucunya yang memburu. "Apa terjadi sesuatu? Kau diserang?"Surya Yudha dengan cepat menggeleng dan menenangkan Ki Arya Saloka dengan menjelaskan jika dia baik-baik saja.Terdengar dengusan pelan dari mulut ki Arya Saloka, "Kau bisa membohongi ayahmu, tetapi tidak padaku dan ibumu. Mengerti?""Eyang, aku sungguh baik-baik saja. Babi ini memang menyerang tapi aku bisa mengatasinya." Surya Yudha terus menenangkan Ki Arya Saloka dan memastikan jika kondisinya baik-baik saja.Tak ingin menghabiskan waktu dengan berdebat, Ki Arysa Saloka mengalah dan mulai mengolah babi itu menjadi babi bakar.Aroma harum yang menggoda membuat perut Surya Yudha berbunyi semakin keras dari waktu ke waktu. Ki Arya Saloka tersenyum kecil sementara Surya Yudha wajahnya memerah menahan malu.Sembari menunggu daging itu matang, Ki Arya Saloka mengeluarkan sebuah pakaian bersih milik Surya Yudha dari cincin penyimpanan dan meminta pemuda itu mengganti pakaiannya yang basah oleh darah."Eyang, di dekat sini ada sungai kecil, aku ingin membersihkan diri sebentar," ucap Surya Yudha.Ki Arya Saloka mengangguk pelan, "hati-hati.""Iya, Eyang." Surya Yudha bangkit dan berpaling meninggalkan Ki Arya Saloka menuju sebuah sungai kecil yang tak sengaja ia lihat saat tadi sedang mencari buruan.Beberapa waktu Surya Yudha habiskan untuk sampai di sungai tersebut. Tanpa memperhatikan sekitar, Surya Yudha mencari tempat yang tepat untuk membersihkan diri.Dengan bersenandung lirih, Surya Yudha melepaskan pakaian dan membasuh tubuhnya yang lengket karena darah babi. Saat dia sedang asyik membersihkan diri, terdengar gemericik air serta senandung lirih tak jauh dari belakngnya. Ketika Surya Yudha menoleh untuk memeriksa keadaan, pupil matanya melebar dan mulutnya tak bisa menutup, sebuah keindahan yang tak pernah Surya Yudha lihat sebelumnya kini terpampang jelas di depan mata.Bab 146“Kau benar-benar tega?”“Lagian Den Bagus ngeselin, ngeledekin Gendon terus.”“Kalian sedang bertarung dengan Tedung Sukma, beraninya kalian mengalihkan perhatian!”Surya Yudha menoleh dan tertawa sinis. “Hahaha … kalian sudah meracuniku, tapi bahkan belum bisa menyentuh ujung jubahku. Untuk apa aku begitu serius?”Penyerang itu mendengus dan mengangkat tangannya, sebuah pedang muncul di tangannya.“Wah, kalian memiliki cincin penyimpanan? Benar-benar di luar dugaan.”Tidak ada yang menanggapi Surya Yudha, tetapi satu demi satu dari mereka mulai mengeluarkan pedang dari cincin penyimpanan, dan hal itu tentu saja membuat Surya Yudha tertegun.“Kenapa? Terkejut?” ejek salah satu anggota Tedung sukma saat melihat keterkejutan di wajah Surya Yudha.Gendon yang melihat itu juga hanya bisa menelan ludahnya dengan kasar, tidak heran jika organisasi seperti Tedung Sukma bisa melenyapkan keluarganya dengan sangat mudah, sumber daya yang dimiliki kelompok tersebut tidak main-main. Gendo
Bab 145Aura yang keluar dari tombak di tangan Surya Yudha begitu berat, menekan gerakan setiap orang di dalam ruangan ini, kecuali Surya Yudha dan Gendon. Semenjak sumber energi di dalam tubuhnya meningkat dan dia memahami Niat Tombak, Surya Yudha bisa mengatur aura tombaknya, dan dia selalu menggunakan itu untuk menekan para lawannya.“Apa … apa ini? Kenapa tubuhku sulit bergerak?”Surya Yudha tersenyum dingin. “Ini adalah aura tombak. Kalian pasti tidak mengetahuinya, kan?”Meski wajah mereka tertutup topeng, Surya Yudha begitu yakin jika mereka terkejut dengan apa yang baru saja dia katakan. Ini adalah aura tombak, tidak banyak pendekar yang bisa mengeluarkan aura senjata karena harus didukung dengan banyak hal. Tenaga dalam yang tinggi, kualitas senjata tingkat atas dan kepercayaan diri penggunanya, di mana jika ada satu hal saja yang hilang, maka aura tombak tidak akan bisa keluar.Surya Yudha memutar tombaknya beberapa kali, menciptakan siluet matahari berwarna emas dari putar
Bab 144Surya Yuda terkekeh mendengar ucapan Tumenggung Wanayasa. “Untung saja kau bertemu denganku sekarang, jika kau bertemu denganku yang dulu, kepalamu sudah pasti terlepas dari leher.”“Keluargamu pasti berkuasa, tetapi ini adalah Jalu Pangguruh. Kau tidak bisa sembarangan membunuh di empat ini.”“Apa yang tidak mungkin? Bahkan Raja saja tidak berani mengusik kedua guruku, untuk apa aku takut? Terlebih lagi apa yang aku lakukan adalah karena kalian sudah berbuat kejahatan.”“Apa kau pikir pasar budak sesederhana itu? Asal kau tahu saja, kelompok ini tidak sesederhana itu. Kau akan menyesal, Surya Yudha.”“Tidak perlu mengkhawatirkanku, cukup pikirkan dirimu sendiri.”Pemuda itu bangkit dan menatap Tumenggung Wanayasa dengan tatapan tajam. “Jika aku mendapat gangguan lagi di sini, percayalah, aku tidak akan membunuhmu, tapi aku bersumpah akan meratakan kediamanmu.”“Kau mengancamku?”“Tidak, ini bukan ancaman, ini sumpahku.”Setelah mengatakan itu, Surya Yudha berbalik dan mening
Bab 143Seorang pria dengan jubah hijau muda berdiri dengan wajah gusar. Keriputan di wajahnya menjelaskan jika usia pria tua itu tak lagi muda. Namun, tatapan matanya yang jernih, menandakan jika pria itu memiliki pemikiran yang cemerlang. Dia adalah Tumenggung Wanayasa, sosok terkuat di kota ini, bahkan di beberapa kota sekitar karena Wanayasa adalah yang paling besar.Surya Yudha tersenyum lebar. “Aku tidak menyangka Anda akan turun tangan secepat ini.”“Mereka hanya manusia biasa, sementara Anda adalah seorang ksatria, apa Anda tidak malu menyerang mereka?”“Malu? Untuk apa malu? Aku hanya membela diri, mereka yang menyerangku terlebih dahulu.”“Tetap saja. Anda menyerang pengawalku di kediamanku, aku tidak akan membiarkan Anda pergi Tanpa memberikan penjelasan yang memuaskan.”“Hahaha, pergi? Aku juga tidak memiliki niat untuk pergi dari sini. Justru, kedatanganku kemari adalah untuk meminta penjelasan darimu juga.”Surya Yudha berjalan mendekati Tumenggung Wanayasa. Pria tua it
Bab 142Surya Yudha membawa mangkuk berisi sup ikan dan membawanya kepada Surya Yudha. “Bukannya aku tidak bisa bermesraan, tapi aku tidak terbiasa.”“Kau pikir aku akan percaya?”Gendon ikut menyahut, “Pas sama Dek Rengganis di saung itu apa hayo?”Surya Yudha melirik Gendon dengan tatapan tajam. “Tutup mulutmu.”“Tadi aja Gendon diem Den Bagus ngajak ngomong terus, giliran Gendon ngomong, Den Bagus minta Gendon diem, dasar payah.”Surya Yudha mendengus, tetapi tidak menjawab. Tangannya bergerak dan mulai menyuapi Ningrum sementara Gendon menyuapi Candrika. Keduanya tampak seperti pasangan serasi.“Gimana Dek Candrika, supnya enak?”“Aku tidak tahu, lidahku pahit.”“Oiya, tadi Gendon pake ramuan bratawali soalnya. Maaf ya, bikin lidah Dek Candrika jadi pahit.”“Tidak masalah, aku tetap suka. Apa pun makanannya, selama kau yang menyuapi, akan terasa nikmat.”“Gendon kok jadi meleleh begini ya? Ini kalo Dek Candrika ngga sakit begini, pasti udah Gendon peluk kenceng-kenceng.”“Kau mau
Bab 141Begitu menyelesaikan urusannya dengan para penyusup itu, Surya Yudha kembali ke ruangan yang dia pesan. Di sudut ruangan, tampak Gendon yang sedang duduk di samping Candrika, menatap gadis itu dengan penuh kekhawatiran.Surya Yudha berjalan mendekat, menghampiri Gendon dan menepuk bahu sahabatnya itu.“Ndon.”“Ya, Den Bagus.”“Kau masih marah?”“Tidak.”“Lalu kenapa kau diam saja?”“Gendon lagi males ngomong aja.” Surya Yudha menghela napas panjang dan mengangguk. “Baiklah kalau begitu, aku tidak akan mengganggumu.”Surya Yudha lalu duduk di samping Ningrum dan menggenggam tangan gadis itu dengan lembut. Mata gadis itu mengerjap, Ningrum perlahan membuka matanya.“Surya, kau sudah kembali?”“Iya, bagaimana denganmu? Kau merasa lebih baik?”Ningrum mengangguk dan menoleh ke arah Candrika yang masih belum sadar. “Aku .. aku gagal menjaganya.”Surya Yudha meraih tangan Ningrum dengan lembut dan mengelusnya perlahan. “Tidak, kau tidak gagal, ini semua salahku.”Ningrum menggelen







