LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....
Irena amat menyukai musik, jadi jika sedang melakukan sesuatu … musik adalah hal yang akan menemani kegiatannya. Seperti saat ini, sepulangnya sang ibu. Irena langsung masuk ke kamar dan berdandan cantik, ditatapnya hasil pemeriksaan berupa USG yang masih samar terlihat. Ternyata, kehamilannya sudah masuk minggu ke delapan. “Mas, penantian kita di tahun kelima. Akhirnya hadir juga, aku semakin mencintaimu, Mas!” Irena memeluk baju tidur sang suami yang disediakannya. Memang, saat ini sudah memasuki jam petang. Jam di mana Fandi akan pulang kerja. “Ah, iya! Ruang kerjanya belum dibersihkan.” Wanita cantik yang selalu mengusap perutnya itu, kini melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. Irena merapikan, hingga tak menyisakan sebutir pun debu di sana. Saat dirinya hendak meraih gelas kosong di meja. Irena tak sengaja menyenggol keyboard sehingga komputer itu menyala. “Lho, apa ini? Yang kemarin ya, penasaran deh. Siapa sih wanita yang mau diceraikan itu?” Jari lentik Irena menggulir mouse dengan lincah. Hingga tangannya gemetar dan menutup mulutnya sendiri. Bulir bening menetes tak dipinta. “Ba–bagaimana bisa Mas Fandi, mau menceraikan aku?” Wanita itu terduduk di sana. Tepat di kursi yang ada di meja kerja sang suami. Dari data yang terlampir, rupanya file itu sudah masuk ke instansi yang bersangkutan tadi pagi. “Apa salahku, Mas?” gumam Irena. Lama wanita cantik itu berdiam diri, menenangkan hati yang terlanjur nelangsa tanpa ada penyebabnya. Belum lagi, janin yang berkembang di rahimnya … bagiamana bisa Fandi berbuat demikian. Irena pun meninggalkan ruangan tersebut dan masuk ke kamarnya. Hasil pemeriksaannya hari ini dimasukkannya ke dalam laci. Tak lagi dirinya ingin memperlihatkan pada sang suami. Irena ingin mendengar alasan Fandi berniat menceraikannya terlebih dahulu. Jika itu pasal anak, Irena bahkan sedang hamil. Akan tetapi, jika karena yang lain seperti …. “Ah, mana mungkin. Mas Fandi setia padaku,” gumam Irena memantapkan hati. “Mas, segeralah pulang.” Irena menatap layar ponselnya di mana nomor sang suami sedang tak aktif. “Mungkin sedang di perjalanan, atau habis daya.” Wanita itu mencoba tenang dengan terus berpikir positif. Padahal saat itu, Fandi tengah makan malam bersama para anak panti di sebuah restoran. Dia duduk bersama ibu panti dan Indah, dengan mesranya Indah bergelayut manja di lengan Fandi. Saat yang sama, Rani … adik Irena sedang makan malam bersama pacarnya di sana. Aksanya menatap tajam pada sang kakak ipar. “Kenapa wajahmu begitu, Sayang?” tanya pacar Rani. “Coba kamu lihat di sana, Yang. Apa dua orang yang duduk di samping ibu tua serta anak-anak itu seperti sepasang kekasih? Atau hanya rekan saja?” tanya Rani. Pacar Rani menyipitkan matanya, “Fix, mereka kekasih. Lihat saja beberapa kali lelaki itu mencium kening si wanita.” “Kau tahu, dia kakak iparku. Harusnya aku berbuat apa?” tanya Rani geram. “Jangan gegabah Yang, lebih baik bermain cantik. Foto saja sebagai bukti, supaya nanti tak hanya dikata sekedar omong kosong. Jika dia kakak iparmu, berarti dia suami Mbak Irena dong,” jawab sang pacar. Rani mengangguk, “Yang, ambil foto mereka. Kalau aku yang ke sana bisa-bisa mereka ngeles lagi.” “Ok, siap! Apa sih yang gak buat kamu, Yang.” Sang pacar mencium pipi Rani. Gadis cantik itu menatap dengan tatapan elang yang siap menerkam mangsa. “Mbak Irena, suamimu bukan lelaki setia. Bagaimana ini, bukankah Mbak dan Mamah tadi pagi pergi ke dokter kandungan karena Mbak yang katanya hamil. Dasar b@jingan! Awas kamu, Mas Fandi!” Rani sampai menitikkan air mata kala mengingat senyum bahagia kakaknya tadi pagi. Ibunya menjemput Irena lalu mereka singgah ke rumah utama terlebih dahulu sebelum akhirnya sang ibu mengantar anak sulungnya pulang. * “Nak Fandi, ibu mewakili Anak-Anak panti mengucapkan terima kasih atas semua perhatian. Malam ini mereka makan enak. Entah ada hajat apa kalian berdua, ibu hanya bisa mendoakan semoga Allah mengabulkan doa kalian,” ucap syukur ibu panti. “Tentu saja, Bu. Aku dan Mas Fandi tak lama lagi akan menikah. Iya ‘kan Mas?” Indah begitu percaya diri, baginya pengajuan itu sudah menjadi tiketnya bersama Fandi. Padahal, pria itu sendiri masih gamang. Ada rasa sesal dalam hati melayangkan pengajuan. Maka dari itu, Fandi tak begitu fokus akan pembicaraan Indah dan ibu panti. Lelaki itu hanya menganggukkan kepala saja. Aksanya mengarah ke arloji mahal pemberian sang istri di ulang tahun pernikahan mereka keempat, tahun kemarin. Pukul setengah tujuh malam, Fandi pun mengajak mereka semua pulang. Terlebih mereka sudah selesai makan. Rani dan sang pacar menatap pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan. “Mbak Irena,” ucap Rani lirih. Sang pacar pun mengajak Rani pulang, karena Rani menangis setelah Fandi dan rombongannya keluar. * Irena duduk di ruang makan, ditatapnya nanar semua hidangan yang semula tampak menggugah selera. Tak dapat dirinya pungkiri, hatinya hancur dengan melihat itu semua tanpa menunggu penjelasan Fandi. Ceklek. Pintu terbuka dan sosok pria yang dicinta Irena masuk dan memanggil sang istri. Langkahnya terhenti kala melihat Irena yang kuyu di ruang makan. “Maaf terlambat, tadi kami langsung makan bersama para atasan. Gak enak kalau pulang duluan ‘kan?” Fandi merasa bersalah, melihat semua makanan tersaji dan belum tersentuh sama sekali. Tadinya dia hendak menelpon Irena memberitahukan jika dia akan makan di luar. Sayangnya ponsel Fandi direbut Indah begitu tahu akan memberi kabar pada Irena. Ponsel dikembalikan dalam keadaan tak aktif. Dikecupnya kening Irena, lalu dirinya duduk di samping sang istri. Diraihnya piring dan diambilnya nasi beserta lauk. Kali ini hanya satu piring dan rencananya akan Fandi makan bersama Irena berdua. Cara seperti ini biasa ampuh untuk menaklukan Irena yang kerap marah dan mengomel tak henti. Jika dulu dirinya merasa bising dan tak suka, hari ini dia merindukan suara yang baginya bising itu. Tatapan mata Irena begitu dalam padanya, ‘Apa ini? Apa Irena tahu aku makan di luar bersama wanita lain? Ah, Indah! Aku sudah memperingatkan dia tadi!’ “Sayang, makan dulu. Mari kita makan bersama,” bujuk Fandi. Senyumnya merekah kala melihat Irena membuka mulut dan mengunyah nasi yang disuapnya. Keduanya makan dalam diam hingga nasi di piring habis. “Mau tambah lagi?” tanya Fandi. Irena menggeleng, “Segeralah mandi Mas, aku ingin bicara denganmu.” Nada bicara Irena begitu tak bersemangat, Fandi hapal betul … jika begitu tandanya sang istri sedang bersedih. ‘Apa dia tahu?’ batin Fandi. Setelah mandi, Irena tetap melayani Fandi seperti biasa. Hanya saja setelah itu, Irena menarik tangan Fandi menuju ke ruang kerja. Di situ, Fandi langsung didudukkan Irena telat di kursi meja kerjanya. Klik. Komputer menyala. Mata Fandi langsung terbelalak dan mengarah kepada Irena yang sudah berderai air mata di sampingnya. “Bisakah Mas jelaskan ini? Apa salahku Mas?”Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula
Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug
“Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”
Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit
Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih
“Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su
Irena dan Carlos berada di taman. Di mana Irena duduk di sebuah bangku panjang. Masih di taman bunga yang Carlos bangun.“Harus di sini menjelaskannya?” Irena menatap pria yang sedari tadi memetik berbagai macam bunga warna-warni.“Iya, di sini bagus. Aku juga tahu kau menyukai tempat ini ‘kan?” Carlos menjawab sembari masih sibuk memetik bunga.Lelaki tampan itu lalu berdiri dan menyerahkan segenggam bunga warna-warni yang indah pada Irena, “Untukmu, bagus ‘kan?”Wanita berkerudung merah muda itu tersenyum dan menerima bunga tersebut, Carlos lalu duduk di samping Irena.“Sepi, kenapa tak dibuka untuk umum saja? Tempat seindah ini terlalu sayang jika tak ada yang mengaguminya. Kau sendiri, hanya membuat untuk mengenang cinta. Kalau aku jadi kau, aku buka untuk umum. Mana tahu bisa jadi ladang rejeki orang sekitar,” saran Irena panjang lebar.“Menurutmu begitu? Ya sudah, besok aku bilang sama pengurus untuk membuka saja tempat ini. Biar semua orang bisa bebas datang. Ah, aku pikir juga
Kriettt! Suara derit pintu yang terbuka, membuat sepasang mata di ujung sana menatap ke arah pintu. Senyum seorang pria mengembang, seiring langkahnya yang menjauh dari brankar dan mencoba menyapa meski tak bersentuhan tangan. “Assalamualaikum Mbak, bagaimana kabarnya?” sapa si pria sopan. “Wa’alaikumsalam, alhamdulillah baik. Mbak ijin menyapa sebentar ya,” sahut Irena tak kalah sopan. “Monggo Mbak, saya keluar ya. Mau menemui yang lain.” Lelaki yang kemudian keluar itu, tak lain adalah Wisnu. Lelaki yang pernah menjadi ipar Irena itu, menjaga Fandi sebaik mungkin selama tak ada Fera di sampingnya. Kini, dengan sopannya dia memilih keluar dan memberi ruang untuk Irena bertemu dengan pria lemah yang hampir tak Irena kenali rupanya. Deg … jantung Irena berdegup kencang kala melihat sosok lemah yang tak berdaya tengah berbaring dengan mata yang terpejam. Mulutnya tak henti menyebut nama Irena. Tubuhnya kurus dan wajahnya tak terawat. Kumis dan jenggot yang panjang tak ber
Keberangkatan Irena ke Singapura ditunda, setelah pembicaraan ibu dan anak yang terhenti di tengah jalan.Hal itu disebabkan Roy yang kembali dengan wajah pucat.“Mbak!” panggil Roy tiba-tiba.Saat itu, tanpa salam Roy langsung masuk ke kamar sang kakak.“Ck, ada apa? Kamu kayak habis dikejar setan begitu,” seloroh sang ibu.“Mah, itu … hm, gimana ya?” Roy menggaruk kepalanya dan menatap Irena lekat.Irena yang paham tabiat sang adik, kini mengusap dada Roy dan menatap lelaki tampan itu lekat.“Katakan, kamu ini hanya begini sama mbak,” tebak Irena tenang.Roy menghela napas dan menatap bergantian kakak serta ibunya yang tetap setia menunggu kata-katanya.“Mbak, ada Mbak Fera di bawah. Bisa temui dia sebentar, ada hal yang harus disampaikannya … katanya begitu.” Roy akhirnya mengatakan apa yang sedari tadi mengganjal di hati.Irena mengernyitkan dahi, “Fera? Kenapa wajahmu kayak yang panik gitu?”Irena berjalan melewati Roy dan ibunya, “Harusnya kamu langsung bilang sama mbak. Gak per