Share

PTSI 5

last update Last Updated: 2024-09-01 15:26:51

LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....

“Sayang, ini gak—”

Fandi meraup wajahnya kasar, napasnya terdengar panjang terhela.

“Aku—”

Kini ditatapnya Irena yang luruh di lantai sembari memegang perutnya.

Andai Fandi tahu, saat ini Irena mengandung anaknya.

“Apa kurangku, Mas? Apa karena kita belum punya anak?” Irena mencecar Fandi.

Fandi sendiri tak tahu harus berkata apa, sebenarnya rasa sesal itu ada sudah terburu-buru mengajukan permohonan talak tersebut.

“Apa karena status sosial kita? Yang menurutmu tak sepadan ini?” Irena terus menduga-duga.

Fandi hanya dapat memeluk Irena erat, dirinya berulang kali meminta maaf.

“Maaf, sepertinya aku lelah dengan kehidupan kita. Bisa dibilang karena status sosial kita yang berbeda. Aku dan kamu bagai langit dan bumi,” alasan Fandi.

“Kenapa kamu gak bertanya sama aku, Mas? Kenapa tak dibicarakan hal seperti ini? Padahal, andai engkau membawa aku ke kubangan pun aku akan ikut. Asal kita selalu bersama. Aku akan mencoba beradaptasi sebisa mungkin. Kenapa tak dicoba malah langsung mengambil keputusan sepihak, andai kau tahu ….”

Irena tak melanjutkan kata-katanya.

Wanita itu menyeka air mata dan meninggalkan ruangan itu. Dirinya masuk ke kamar dan memilih tidur. Meski sebenarnya Irena hanya menangis tersedu-sedu.

Fandi sendiri meremas rambutnya dan merutuki perbuatannya yang terlalu gegabah itu.

Kali ini dia menghubungi kenalan yang tadi pagi dia temui di kantor tersebut.

Pada kenalannya itu, Fandi meminta berkas ajuannya ditarik.

“Maaf, aku merepotkanmu. Aku sudah mentransfer uang dan mohon, aku minta cabut permohonanku,” ujar Fandi.

Dirinya kini kalut dan ternyata, tak sanggup pula menyakiti Irena.

Terlebih, kata-kata sang istri tadi membuat Fandi merasa jika apa yang dilakukannya salah.

Hatinya kini bimbang, antara melepaskan Irena ataukah Indah yang begitu menggoda.

“Ah, si@l!” Fandi mengumpat dan beranjak ke kamar tidur. Di mana Irena terbaring di ranjang dengan posisi memunggunginya.

Dipeluknya tubuh Irena yang masih bergetar karena tangisnya. Berulang kali kata maaf diucapkan Fandi.

“Aku gak terima Mas ceraikan aku Mas. Padahal aku mencintaimu setengah mati,” isak Irena.

Fandi membalik tubuh Irena dan memeluknya erat.

“Maaf, aku sudah mencabut ajuannya. Sekarang kita masih suami istri, sampai kapan pun.” Fandi mencium wajah Irena.

“Maafkan mas, Sayang.”

*

Pagi itu suasana sudah kembali seperti semula, keduanya kembali mesra. Meski Irena tak mengatakan perihal kehamilannya.

Hatinya masih tersimpan amarah pada Fandi, sang suami. Biarlah nanti suaminya tahu dengan sendirinya.

Setelah sarapan, Fandi pun berangkat kerja.

Irena mengusap perutnya sembari mendoakan sang suami selamat hingga tujuan.

Irena ingin memperbaiki semua, dirinya berdandan cantik dan rencananya akan mengajak suaminya makan berdua dengan bekal yang dibawanya.

Irena yakin bisa membangkitkan keromantisan di antara keduanya.

Mungkin itu yang membuat Fandi bosan.

Siang itu, di jam makan siang Irena meluncur ke kantor Mas Fandi. Wanita cantik itu memasak dengan sepenuh hati.

Meski beberapa kali dirinya mual kala mencium bau yang menyengat.

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke kantor Mas Fandi bekerja.

Tepat saat para karyawan keluar mencari makan. Irena bergegas ke ruangan Mas Fandi.

“Eh, Mbak Irena. Mau nganter makan siang ya? Mas Fandi baru aja pergi lho,” sapa rekan kerja Mas Fandi ramah.

“Oya, saya telat deh!” Irena hendak meraih ponselnya, tetapi seorang lelaki yang membawa kopi hitam di tangannya berkata, “Fandi ya, ke arah sana. Mungkin masih bisa dikejar.”

Wanita cantik itu pun berterima kasih dan bergegas ke arah yang ditunjuk.

“Eh, tangga? Kok Mas Fandi malah lewat tangga, bukan pake lift?” Irena hendak berbalik.

Namun suara gaduh antara wanita dan pria membuatnya penasaran. Terlebih suara itu mirip suara suaminya, Fandi.

“Apa Mas Fandi lagi bersitegang dengan rekan kerjanya ya?” Langkah Irena perlahan semakin mendekat, hingga akhirnya wanita cantik itu berada tepat di lantai atas tangga yang mana Fandi dan seorang wanita bersitegang.

“Kamu bohong, Mas! Katanya mau ceraikan wanita itu dan menikahiku! Sekarang bimbang dan apa ini? Mas tak bisa menceraikannya? Lalu aku bagaimana, Mas?”

Irena yang tadinya mengintip, kini berada tepat di samping mereka. Hanya berbatas dinding saja.

Wanita itu menangis, sama seperti Irena yang saat ini menangis sembari menutup mulutnya agar tak bersuara.

“Aku gak bisa, Indah! Aku gak bisa ceraikan dia! Kalau kupikir-pikir, aku sangat mencintai istriku,” sesal Fandi.

Lelaki itu pun tergugu, lalu luruh di lantai dengan wajah yang basah karena air mata.

“Baiklah! Kalau begitu tinggalkan aku! Kita selesai Mas. Tak ada lagi kisah di antara kita, aku mohon … mari saling melupakan.” Wanita cantik nan muda itu luruh dan memeluk Fandi erat, siapa sangka keduanya malah bertukar saliva.

“Tapi aku tak bisa tanpamu, jangan pergi dariku Indah! Kau yang buat hidupku berwarna.” Keduanya lalu melupakan semua, ibarat dunia sudah milik berdua.

Saling bertukar saliva tanpa takut ada yang melihat. Hingga brak!

Rantang makanan yang dibawa Irena tak mampu dipegang wanita itu lagi. Tangannya gemetar, dan tubuhnya serasa kaku.

Fandi yang menyadari kehadiran sang istri, bergegas mendekat dan membujuk Irena yang dalam keadaan tak baik-baik saja.

Kini, Indah pergi meninggalkan Fandi dan Irena yang saling menangisi nasib.

*

Fandi saat itu langsung pulang membawa Irena.

Tak ada yang bicara selama perjalanan pulang.

Biasanya Irena yang paling senang berceloteh.

Akan tetapi, kini semua hilang seiring wajah sendu Irena yang tak semangat hidup.

Tangannya merapat erat di perut yang rata.

Fandi sendiri sesekali melihat ke arah Irena. Kata maaf terucap, tetapi lidah sang wanita seolah kelu.

Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut Irena.

Begitu sampai rumah, bekal makanan itu diletakkan Irena begitu saja.

Langkahnya gontai menuju kamar tidur.

Fandi pun menyusul.

“Aku akan berhenti bekerja,” ujar Fandi memulai bicara.

“Percuma, bukankah kamu gak bisa hidup tanpa dia?” Suara Irena bergetar, tandanya dia kembali menangis.

“Aku pikir kamu hendak menceraikanku karena aku kurang perhatian padamu. Aku pikir karena anak yang tak kunjung hadir. Padahal, aku hendak menyampaikan kabar baik padamu. Ternyata, aku yang terjungkal karena mendengar kabar dari suamiku sendiri. Yang ternyata menginginkan adanya perceraian karena hatinya yang sudah berbagi. Kalau urusan hati, aku menyerah. Di kantor saja kalian bisa mesra saling bertukar lidah seperti itu, apa lagi di luaran sana!” Irena berteriak, meluapkan rasa di hati.

Seketika dia lupa jika di kandungannya ada janin yang begitu lemah.

“Aku memang salah, Irena. Tapi aku tak pernah berbuat sehina yang kau tuduhkan selain tadi. Aku menc1umnya. Aku akui aku salah,” aku Fandi.

Irena yang naik pitam, kini menghampiri Fandi dan meremas ujung kerah baju sang suami.

“Hidupmu berwarna bersama dia, kau semangat untuk hidup dan dia sumber bahagiamu ‘kan? Pergilah bersamanya dan biarkan aku sendiri. Kau ingin menceraikan aku demi bisa bersama dia. Silakan! Biar aku di sini, bersama dia yang kupikir kau tunggu kehadirannya selama ini. Aku pikir kau menunggunya hadir.” Irena tak kuasa menahan tangis.

Tubuhnya luruh, seolah dunianya runtuh.

Fandi yang terdiam membeku, mencoba mencerna perkataan sang istri.

Lalu berjongkok sembari menyentuh perut Irena yang rata, “Di—dia ada?”

Pengabdian Terakhir Seorang Istri

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Season 2 (1)

    Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Ending ss 1

    Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    50

    “Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    49

    Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    48

    Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    47

    “Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    46

    Irena dan Carlos berada di taman. Di mana Irena duduk di sebuah bangku panjang. Masih di taman bunga yang Carlos bangun.“Harus di sini menjelaskannya?” Irena menatap pria yang sedari tadi memetik berbagai macam bunga warna-warni.“Iya, di sini bagus. Aku juga tahu kau menyukai tempat ini ‘kan?” Carlos menjawab sembari masih sibuk memetik bunga.Lelaki tampan itu lalu berdiri dan menyerahkan segenggam bunga warna-warni yang indah pada Irena, “Untukmu, bagus ‘kan?”Wanita berkerudung merah muda itu tersenyum dan menerima bunga tersebut, Carlos lalu duduk di samping Irena.“Sepi, kenapa tak dibuka untuk umum saja? Tempat seindah ini terlalu sayang jika tak ada yang mengaguminya. Kau sendiri, hanya membuat untuk mengenang cinta. Kalau aku jadi kau, aku buka untuk umum. Mana tahu bisa jadi ladang rejeki orang sekitar,” saran Irena panjang lebar.“Menurutmu begitu? Ya sudah, besok aku bilang sama pengurus untuk membuka saja tempat ini. Biar semua orang bisa bebas datang. Ah, aku pikir juga

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri     45. Pengabdian Terakhir Irena Pada Fandi.

    Kriettt! Suara derit pintu yang terbuka, membuat sepasang mata di ujung sana menatap ke arah pintu. Senyum seorang pria mengembang, seiring langkahnya yang menjauh dari brankar dan mencoba menyapa meski tak bersentuhan tangan. “Assalamualaikum Mbak, bagaimana kabarnya?” sapa si pria sopan. “Wa’alaikumsalam, alhamdulillah baik. Mbak ijin menyapa sebentar ya,” sahut Irena tak kalah sopan. “Monggo Mbak, saya keluar ya. Mau menemui yang lain.” Lelaki yang kemudian keluar itu, tak lain adalah Wisnu. Lelaki yang pernah menjadi ipar Irena itu, menjaga Fandi sebaik mungkin selama tak ada Fera di sampingnya. Kini, dengan sopannya dia memilih keluar dan memberi ruang untuk Irena bertemu dengan pria lemah yang hampir tak Irena kenali rupanya. Deg … jantung Irena berdegup kencang kala melihat sosok lemah yang tak berdaya tengah berbaring dengan mata yang terpejam. Mulutnya tak henti menyebut nama Irena. Tubuhnya kurus dan wajahnya tak terawat. Kumis dan jenggot yang panjang tak ber

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    44

    Keberangkatan Irena ke Singapura ditunda, setelah pembicaraan ibu dan anak yang terhenti di tengah jalan.Hal itu disebabkan Roy yang kembali dengan wajah pucat.“Mbak!” panggil Roy tiba-tiba.Saat itu, tanpa salam Roy langsung masuk ke kamar sang kakak.“Ck, ada apa? Kamu kayak habis dikejar setan begitu,” seloroh sang ibu.“Mah, itu … hm, gimana ya?” Roy menggaruk kepalanya dan menatap Irena lekat.Irena yang paham tabiat sang adik, kini mengusap dada Roy dan menatap lelaki tampan itu lekat.“Katakan, kamu ini hanya begini sama mbak,” tebak Irena tenang.Roy menghela napas dan menatap bergantian kakak serta ibunya yang tetap setia menunggu kata-katanya.“Mbak, ada Mbak Fera di bawah. Bisa temui dia sebentar, ada hal yang harus disampaikannya … katanya begitu.” Roy akhirnya mengatakan apa yang sedari tadi mengganjal di hati.Irena mengernyitkan dahi, “Fera? Kenapa wajahmu kayak yang panik gitu?”Irena berjalan melewati Roy dan ibunya, “Harusnya kamu langsung bilang sama mbak. Gak per

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status