“Terima kasih atas kerjasamanya, Pak, karena sudah mau memperlihatkan rekaman CCTV yang ada di dalam bus.”
“Sama-sama, Bu Velindira. Kewajiban kami juga ikut menyelesaikan masalah ini, karena kejadiannya berada di dalam bus perusahaan kami.”
Velindira Aeera Gunawan yang biasa dipanggil Elin, tersenyum manis pada salah seorang pimpinan perusahaan bus yang sore ini ia naiki. Elin bersyukur di dalam kabin bus yang dinaikinya tadi dilengkapi CCTV.
Karena masalah seorang wanita yang menuduh seorang pria sembarangan di dalam bus tadi, Elin jadi geram dan akhirnya memilih menceburkan diri ke dalam masalah tersebut. Mungkin kebiasaannya juga dan profesinya sebagai pengacara, yang tidak bisa melihat ketidak adilan di depan mata.
Elin tidak bisa tinggal diam saat ia melihat pria tadi jelas-jelas tidak bersalah. Pria yang sangat tampan dengan alis tebal dan sorot mata meneduhkan. Tubuhnya tinggi dan atletis. Bibirnya tipis dan merah. Suaranya berat, terkesan errr… seksi? Kalau kata anak-anak jaman sekarang, suara pria itu benar-benar LAKIK!
Pria itu, pria asing yang tadi sempat menatapnya tanpa berkedip di dalam bus. Elin tidak tahu apakah ada sesuatu di wajahnya, sampai pria itu menatapnya seperti tadi? Saat pria tersebut mengalihkan pandangan darinya, tiba-tiba saja pipi pria tersebut ditampar kencang setelah tubuhnya dibalik ke arah yang berlawanan dengan Elin.
Pria yang malang. Sepertinya pria itu sedang kena apes.
“Mohon maaf juga untuk Bapak Raja, karena perjalanan Anda menjadi tidak nyaman.” Kali ini, sang pemimpin bus mengatakannya pada pria kena apes tersebut.
“Untuk Mbak Erika, saya harap Anda puas mengetahui faktanya. Di dalam video terbukti jika bukan Mas-nya yang menepuk ehm… bagian belakang Mbak Erika.” Elin mengatakannya dengan canggung di akhir kalimat.
Wanita yang tadi menuduh sembarangan pria berkaos hitam dipadu jaket jeans belel over size tersebut bernama Erika. Elin menebak jika usian si wanita sebaya dengannya. Wanita itu langsung mengalihkan pandangan setelah Elin mengatakan hal tersebut. Wajahnya memerah. Mungkin terlalu malu karena menuduh orang sembarangan.
“Bukan sepenuhnya salah saya kalau saya nuduh Mas ini!” Erika sudah mengalihkan pandangan ke arah pria yang dituduhnya tadi sambil menunjuk pria tersebut.
Elin mendengus geli setengah kesal. Sudah jelas-jelas salah menuduh orang, masih saja tidak mau disalahkan. Tidak bertanggung jawab sekali! Sudah menuduh, bicara kasar pula. Sampai mengatakan pria itu tidak punya uang untuk mencari wanita penghibur.
Sudah terlanjur membuat malu, masih tidak mau mengaku?
“Namanya ‘Mas Raja’. Bukankah tadi kita semua sudah perkenalan, Mbak Erika?” sindir Elin.
Erika mendengus kasar. “Ya, saya tahu! Kalau begitu, saya akan tuntut anak yang tadi nyenggol pantat saya! Saya akan mencari anak itu sampai dapat!” desis Erika. Mengingat jika di dalam CCTV tersebut, ternyata yang menyenggol bokongnya adalah tas sekolah seorang siswa SMA yang ingin turun di halte bus selanjutnya.
“Anak itu terlihat tidak sengaja melakukannya. Lagi pula kondisi bus sedang penuh. Pasti akan sangat sulit walau untuk bergerak satu langkah.” Kali ini Raja, pria korban tuduhan tersebut membuka suara setelah bungkam lama.
Sepertinya pria itu baru benar-benar tersadar dan merasa lega setelah sekian lama berada di dalam kantor halte bus ini. Sejak tadi, wajahnya menegang setelah ia dan dua orang wanita diturunkan dari bus untuk menyelesaikan masalah yang terjadi tadi di dalam bus. Masalah yang ternyata hanya kesalahpahaman.
“Tapi gara-gara anak itu, saya jadi nuduh kamu sembarangan! Mana harus ada di sini sampai malam! Buang-buang waktu berharga saya!” desis Erika membalas ucapan Raja yang jelas-jelas membela siswa di dalam rekaman CCTV tersebut.
“Di dalam rekaman CCTV, anak tersebut tidak sadar telah menyenggol Anda. Lagi pula, kalau Anda mengatakan ‘buang-buang waktu berharga’ Anda, bukankah Anda melakukan hal yang sama pada saya, Mbak Erika?”
Wanita bernama Erika tersebut membelalak. Tak menyangka jika pria yang dia tuduh, membalik ucapannya. Sejak tadi pria itu hanya diam, dan tidak terlihat seperti pria yang bisa bermulut pedas. “S-saya… Kan saya sudah katakan, itu semua terjadi karena anak tadi!”
“Mbak tahu artinya ‘tidak sengaja’? Apa Mbak tidak pernah melakukan kesalahan ‘tanpa sengaja’? Saya yakin semua orang pernah melakukan hal itu,” balas Raja kembali.
“Ya tapi kenapa dia tidak minta maaf?! Enak saja malah jadi penonton saat saya menuduh Mas-nya!”
Raja mengusap wajah kasar. Entah terbuat dari apa pikiran wanita ber-dress orange ini.
“Anak tadi tidak menyadari jika melakukan kesalahan, Mbak Erika. Bukankah tadi kita sudah melihat setidaknya empat kali rekaman CCTV tersebut diputar? Tidak perlu memiliki penglihatan yang tajam untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi tadi. Rekaman itu memiliki kualitas gambar yang sangat baik,” jelas Raja. “Mau melihat lagi CCTV-nya? Mungkin kali ini akan terlihat lebih jelas,” tawar Raja yang sebenarnya tidak benar-benar menawari. Bisa dikatakan sindiran berbalut penawaran. Sumpah demi apa pun, biasanya Raja paling tidak suka mendebat wanita. Raja sudah biasa mengalah. Terlebih pada sang ibu. Namun, wanita ber-dress orange di depannya ini memaksa Raja melakukan hal itu untuk pertama kali.
Sementara itu, Elin bersedekap. Senyum tipis muncul dari bibirnya. Pria bernama Raja tersebut boleh juga dalam hal berdebat.
Tapi… bukankah tadi di dalam bus ia bahkan tidak bisa membela diri sendiri? Kenapa untuk membela orang lain sepertinya lancar-lancar saja?
Elin mengalihkan pandangan ke arah wanita bernama Erika itu. Wajahnya semakin memerah setelah mendengar ucapan Raja.
“Saya yakin dia pura-pura enggak sadar! Masih bocil saja sudah senggol-senggol sembarangan! Mau jadi penjahat kelamin—”
“Mbak Erika, saya harap Anda tidak bicara sembarangan sebelum menyesali ucapan Anda.” Kali ini Elin kembali bersuara. Geram sekali ia pada si Erika ini. Sepertinya Erika sangat suka menuduh orang dan bermulut pedas. Bicara tidak diayak. Seperti beras yang banyak kutu saja.
“Saya bicara sesuai kenyataan loh! Anak tadi nyenggol—”
“TAS-nya yang menyenggol, Mbak, bukan anak tadi,” potong Elin kembali. Kali ini lebih tegas. “Apa perlu kita lihat lagi rekaman CCTV-nya seperti yang Mas Raja katakan? Biar sekalian kita melihat sampai lima kali.”
Pimpinan bus dan dua orang karyawan di ruangan ini hanya mampu terbengong melihat perdebatan Elin, Raja dan wanita bernama Erika tersebut. Mungkin mereka juga kebingungan untuk melerai. Terlebih Erika masih saja menggebu tidak ingin mengaku salah.
“Mau liat sampai seribu kali pun, tetap saja sumber masalahnya adalah bocil itu! Saya tetap ingin menuntut anak tadi!”
“Maka saya akan maju—"
“Mohon maaf sekali, Mbak Erika, jika Anda ingin menuntut anak tadi, saya juga akan menuntut Anda atas tindakan pencemaran nama baik.”
Elin terbengong saat Raja kembali bersuara, memotong ucapannya. Wajah pria itu menatap Erika dengan serius.
Elin berdecak kagum di dalam hati. Pria itu… terlihat jelas pria yang baik.
Suasana di ruangan ini hening seketika. Wajah Erika langsung pucat pasi. Apakah setelah ini wanita tersebut akan menyerah? Atau benar-benar minta dituntut Raja?
***
Raja mengerjap-ngerjap terkejut. Elin terdengar posesif. Tapi kenapa Raja senang mendengarnya? “Sayang… tidak menganggap mas sedang tebar pesona kan? Sayang pasti tahu secinta apa mas sama Sayang. Tidak mungkin mas melakukan itu. Jadi, Istri mas Raja tidak perlu peduli sama siapa pun. Bisa, hm?” pinta Raja lembut. Mencoba menenangkan sang istri yang sedang mode posesif ini. Meski Raja suka, tapi Raja tidak ingin suasana hati sang istri jadi terganggu. Ini hari bahagia mereka loh. Harus yang senang-senang saja.“Kalau aku bilang tidak bisa, apa Mas akan marah? Aku tidak mau mereka semakin masuk ke dalam pesona Mas. Senyum Mas Raja manis sekali. Aku tidak rela berbagi.” Elin melihat dengan nyata wajah Raja merona saat ia mengatakan hal itu. Seandainya mereka sedang tidak bicara ‘cukup serius’ seperti ini, mungkin Elin akan terkekeh geli melihat ekspresi pria kalem ini. Tapi sayangnya Elin sedang diliputi rasa cemburu yang berlebih. “Mas… aku tidak tahu kenapa aku seperti ini. Tapi jujur,
“Pelan-pelan, Sayang.” Raja mengusap bibir bawah Elin yang terkena sedikit bumbu dari makanan yang baru saja dia suapkan pada sang istri. Setelah itu, ia menyuapkan makanan yang sama, di piring yang sama, dengan sendok yang sama ke dalam mulutnya sendiri. Pandangan tak lepas dari sang istri satu detik pun.Istri?? Ugh! Jantungnya berdetak tidak karuan setiap kali kata itu keluar dari kepala.Istri… istri cantiknya yang selalu cantik. Miliknya. Ratu di hidupnya.Senyum Raja tak pernah pudar dari sejak selesai akad. Ini bahkan sudah lebih dari lima jam berlalu, tapi Raja tampaknya tidak kehilangan tenaga untuk tersenyum. Rasanya melegakan pada akhirnya berada di titik ini setelah hubungan mereka sering kali diterpa badai yang padahal sebenarnya, hanya karena minimnya pengalaman keduanya dalam hubungan percintaan. Tapi Raja berjanji di dalam hati, tidak akan membiarkan masalah yang mereka hadapi kelak berlarut.“Istri mas Raja, makan lagi ya…”Istri mas Raja? Elin pasti terkejut dengan p
Penghulu tiba sepuluh menit kemudian. Semua keluarga dan orang-orang terdekat kini telah berkumpul untuk menyaksikan acara sakral tersebut. Untuk akad, kedua belah pihak telah memutuskan suasana lebih privasi. Elin berada di salah satu kamar tamu ditemani para sahabatnya. Menanti proses ijab kabul selesai, baru sang pengantin wanita akan keluar. Gema yang meminta hal itu. Ia takut Raja tidak dapat berkonsentrasi dengan baik jika melihat wajah Elin. Gema tahu rasanya berdebar menjelang Ijab kabul. Apalagi melihat bagaimana gugupnya Raja tadi. Disamping itu, Gema juga memikirkan kondisi Daniel yang masih emosional. Takut saja nanti kalau melihat wajah putrinya, Daniel urung menyelesaikan proses sakral ini. Jangan sampai proses tertunda karena tangis Daniel yang baru berhenti beberapa menit lalu. Tentu saja setelah mendapat pencerahan dan omelan darinya.Raja melangkah ke luar memakai beskap putih dan celana panjang putih. Tak lupa juga peci putih menambah kesan gagah. Pria itu melangkah
“Santai, Ja. Tarik napas dalem-dalem. Jangan lupa keluarin. Terserah lo mau keluarin dari atas atau bawah. Yang penting harus keluar kalo gak mau kembung tuh perut,” celetuk Ares untuk mencairkan ketegangan sang sahabat yang sebentar lagi akan mempunyai status baru.“Jangan semaput sebelum Ijab. Kalo udah Ijab gak pa-pa deh lo mau semaput kek, guling-guling kek. Ato puter-puter badan kayak film India juga boleh banget. Perlu lo merosot juga nih di pegangan tangga rumah calon binik lo ini?”Ares tertawa dengan candaan Azam si master biang kerok. Jadi ingat masa-masa sekolah saat ketiganya kena teguran keras guru karena main perosotan di tangga sekolah. Ia kembali menatap wajah Raja yang tampan, tapi sayangnya pucat. Mata Ares beralih pada kedua kaki Raja yang bergetar hebat dengan kedua tangan menopang dagu. Raja duduk di depan cermin yang berada di salah satu kamar tamu rumah Daniel Gunawan. Menunggu Pak Penghulu yang sedang kejebak macet karena Si Komo lewat. Ya, keluarga Raja dan El
"Lo meragukan kenormalan gue, Kus? Enggak lupa kan kalo buntut gue udah dua?" sindir Azam."Lo enggak lupa kan kalo gue mantan playboy, Ja?""Cih! Si paling playboy tapi nyatanya cupu! Tiap pacaran, kalo ceweknya udah mau mesra-mesraan, langsung minta putus. Apa itu bisa dikatakan normal? Udah paling bener gue yang paling normal. Udah ada buktinya. Real!"Raja tertawa renyah mendengar sindiran Azam ke Ares. Memang sahabatnya yang satu itu unik. Ares bukan seperti playboy pada umumnya. Pacaran pun karena kasihan sama wanita-wanita yang menyatakan cinta padanya, bukan ia benar-benar cinta. Jadi setiap kali wanita-wanita itu mulai agr*sif, Ares akan langsung ngibrit minta putus. Pria itu mengatakan tidak ingin merugikan calon istrinya kelak. Ya kali biniknya nanti dapat sisa orang. Kalo konteksnya dia duda sih tidak masalah. Bukan sok suci, tapi itu pemikiran Ares sendiri kok. Terserah orang lain mau sependapat atau tidak. Ares hanya ingin menghargai dirinya sendiri dan calon jodohnya. P
"Tangkep, Kus!"Dug!"Aduh!""Kus!!""Kus!!"Ares dan Azam kompak berteriak menyerukan nama sahabatnya. Segera keduanya menghampiri Raja yang kepalanya baru saja terkena bola basket yang Ares lempar."Lo gak pa-pa??" tanya Ares khawatir dengan raut cemas. Ia berjongkok di sisi kiri Raja yang sudah mendudukkan diri di lapangan bola basket yang tersedia di halaman belakang rumah keluarga Jagapati."Gue siapa, Kus?" tanya Azam yang sudah ikut berjongkok. Di sisi kanan Raja.Ares mengernyit tak mengerti. "Maksud lo apaan sih? Kan lo Kodok.""Gue nanyanya sama si Tikus, bukan lo!""Ya maksud gue apaan nanya begitu, Kodoook!""Takut si Tikus tiba-tiba amnesia. Lo gak lupa kan kalau tiga hari lagi dia mau nikah? Tar malah gak jadi ijab gegara lupa nama calon biniknya. Lo gak kasian dia belom rasain nikmatnya kawin?"Ares terbengong dengan jawaban nyeleneh Azam. Ya kali langsung amnesia. Iya kalau kepala Raja sudah kena bola basket, terus ketiban tiang ring. Masih masuk di akal. Ini tadi Ares