Beranda / Urban / Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder / Cinta Pertama Datang Tiba-Tiba

Share

Cinta Pertama Datang Tiba-Tiba

Penulis: Leon Hart
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-27 11:46:29

Dewa duduk di pelataran gedung apartemen yang baru saja dia singgahi itu dengan lesu. Sekarang tujunya adalah antara rumah mertua ataukah rumah kedua orang tuanya.

Setelah berpikir beberapa saat, Dewa putuskan pergi ke rumah mertuanya terlebih dulu. Apapun hasil bertemu kedua orang tua Deasy itu, harapan Dewa adalah menuntaskan semua malam ini juga dengan pembicaraan secara baik-baik.

Dua koper berukuran besar di letakkan Dewa di teras rumah berlantai 2 dan terletak di salah satu kawasan elit di Jakarta Selatan dengan gamang. Keadaan rumah sepi, selama 6 bulan dia tinggalkan kamar pengantinnya dan terbang menuju ke New York tanpa pernah merasakan jadi penghuni rumah seutuhnya.

"Bapak sama Ibu sudah nunggu di ruang tengah, Mas."

Dewa keluar dari lamunan sesaatnya saat seorang asisten rumah tangga membuka pintu utama dan memberitahukan soal sambutan sang tuan rumah.

"Oke, Mbak." Dewa tinggalkan dua kopernya di teras, sedangkan tas ranselnya di kursi ruang tamu. Ruang tengah yang di maksud berada di sebelahnya. "Selamat malam, Pa ... Ma," sapa Dewa dengan sedikit membungkuk untuk tunjukkan rasa hormat.

Bukan sambutan hangat yang Dewa terima, tapi berupa picingan mata di sertai bentakan keras.

"Jangan karena kamu dari luar negeri, terus jadi naik kelas manggil kami papa sama mama ya. Pake kayak biasanya aja, bapak sama ibu!"

Permintaan ketus dari Rara ini membuat Dewa menunduk. "Baik Bu." Dewa duduk di salah satu single sofa, berusaha berikan senyuman meski dalam hati kembali terluka. "Ehm ... saya ..."

"To the point aja ngomongnya. Nggak usah belibet gitu!" sela Rara lagi dengan ketus. Melihat tingkah keras istrinya ini, tetap membuat sang suami, Billy, tak bergeming sama sekali, justru terlihat memang ada sebuah pembiaran.

Jakung Dewa naik turun menelan kepahitan. "Maaf. Kedatangan saya ini untuk mencari penegasan. Tadi ... Deasy bilang akan mengajukan surat cerai dan akhiri pernikahan kami, karena itu saya ingin bicara baik-baik sama bapak ibu," ungkap Dewa dengan kegetiran.

"Bukannya akan, tapi memang sudah di urus. Pengacara keluarga kami nanti yang jadi perwakilan kami dan Deasy. Rencananya akan segera di daftarkan setelah kamu datang. Maaf nggak beritahu kamu sebelumnya, tapi ini sudah keputusan final kami. Selamat bertemu di pengadilan." Kali ini Billy yang ambil alih jawaban, sekaligus berniat mengakhiri pembicaraan dengan bangkit dari duduk berniat meninggalkan ruangan.

"Tapi, Pak," cegah Dewa ikut berdiri. "Apa alasannya? Apa salah saya? Selama saya tinggal magang, Deasy dapatkan nafkah materi , dan saya juga mencintainya, jadi ..."

"Nafkah materi katamu?!" sela Rara untuk kesekian kalinya. "Uang 5 juta sebulan buat Deasy itu cuma cukup buat beli lipstick sama tusuk gigi!" lanjutnya meninggi. "Papanya kalau kasih uang jajan dia sebulan itu lebih dari 5 juta, masa kamu mampunya cuma bisa kasih segitu saja? Sadar diri dong. Deasy itu siapa, lha kamu juga siapa. Jangan mimpi hei anak miskin. Cuci muka dulu sana!"

Dewa menghela napas panjang setelah mendapatkan makian Rara yang sungguh menusuk hati, tapi Dewa hanya bisa bersabar, karena secara realita apa yang di katakan Rara tersebut memanglah benar adanya.

"Saya berjanji akan berusaha lebih keras lagi. Karier saya baru mulai, dan mendiang ..."

"Jangan bawa-bawa Ayahku!" Selaan kali ini berasal dari Billy Tanu. "Ayahku sudah merasa hidupnya nggak akan lama lagi, jadi beliau lakukan itu semua cuma karena kasihan dan nggak mau punya utang jasa sama bapakmu. Sekarang kamu sudah ngerti, jadi jangan sok ke-PD an sama semua kebaikan kami," jelas Billy Tanu. "Sudah malam. Ambil barang-barangmu di kamar Deasy, lalu cepat pergi dari rumah ini!" perintah Billy Tanu sambil menaikkan tangan dengan jari telunjuk tertuju pada pintu penghubung ruangan sebagai penegasan akan sebuah pengusiran.

Sebelum akhirnya mengikuti Billy Tanu, Rara sempatkan berbicara akan sesuatu yang baru di ingatnya.

"Oh ya. Asal kamu tahu, barang-barangmu yang di kamar Deasy itu sudah ku suruh pembantu buang. Kok kesannya cuma barang rongsokan, Deasy juga jadi lama nggak mau tidur di kamarnya sendiri, malah milih tinggal di apartemen, jadi cepat keluar aja. Nggak ada yang tersisa di rumah ini buat kamu, bahkan kehormatanmu sebagai suami aja sudah nggak ada!"

Kedua tangan Dewa mengepal, urat-urat di rahangnya juga menegang. Sebagai seorang laki-laki, tentu semua hinaan ini adalah hantaman keras di dada yang untuk saat ini sudah di niatkan Dewa untuk di pendam dan di tutupi dari kedua orang tua angkatnya  bernama Surti dan Tejo Rungkad.

"Bapakk ... anakmu datang, Pak!" teriakan kegirangan dari Surti tanpa menoleh meski tujuan orang yang di ajak bicara berada di belakangnya. Surti terlihat seperti takjub akan kedatangan Dewa yang datang tiba-tiba tanpa pemberitahuan.

"Ibu." Dewa tak kalah bahagianya. Suasana penyambutan sangat bertolak belakang dengan apa yang sudah dia alami tak sampai satu jam lalu. "Aku kangen." Dewa membalas pelukan hangat dari ibunya, berharap bisa melepaskan kekecewaan di hatinya.

Tejo kemudian menyeruak maju menuntut pelukan dari Dewa bergantian dengan istrinya. "Gimana kabarmu, Nak? Kamu bilangnya pulang minggu depan, tapi ini kok sudah sampe, ada apa? Apa ada hal buruk?" kekhawatiran Tejo setelah melepaskan pelukan.

"Pengen kasih kejutan saja."

Jawaban ini tak buat Tejo senang, menyadari telah ada gurat kesedihan yang di tunjukkan putranya itu. "Apa ... ini soal surat perceraianmu itu?" tanyanya kemudian.

"Lho Bapak sudah tahu? Kenapa nggak kasih tahu aku?" tuntut Dewa yang sempat kaget, ternyata ayahnya ini sudah lebih tahu lebih dulu.

"Kami baru di kasih tahu sama Mbak Rina tadi sore pas dia pulang dari rumahnya Deasy, sempetin mampir ke warung dan cerita soal itu."

"Lho, Mbak Rina juga sudah tahu? Dia di kasih tahu siapa? Deasy atau Bu Rara?" tanya balasan Dewa menebak tentang wanita yang bekerja sebagai salah satu asisten rumah tangga di rumah keluarga Tanu tersebut.

"Nggak. Bukan begitu. Mbak Rina di minta bapak sama ibunya Deasy buat kasih tahu kami soal itu, dan kami kira kamu sudah tahu. Baru aja mau niat hubungi kamu, lha kok kamunya sudah pulang duluan."

Tejo Rungkad lalu memeluk salah satu pundak Dewa seraya mengusap-ngusapnya. "Kamu capek, Nak?" tanya Tejo di luar dugaan Dewa yang mengira ayahnya akan memulai bahasan soal perceraiannya. "Kalau sudah ngantuk, habis makan terus tidur sana, besok saja kita ngobrolnya."

"Iya, aku capek," persetujuan Dewa dimana bukan hanya capek secara fisik, tapi juga batinnya.

Namun baru saja akan masuk ke dalam kamar, terdengar suara mesin mobil di luar. Dewa dan Tejo bersamaan menuju ke depan lagi untuk melihat siapa yang datang.

"Bapak ada janji sama orang?" sangka Dewa, berpikir ada orang yang sudah ada niatan pesan gorengan untuk suatu hajatan seperti biasanya.

"Nggak. Lagian, mana mungkin ada orang mau pesen gorengan tapi pakai mobil mewah begitu. Malam-malam begini, lagi."

Kerutan di dahi Dewa semakin jelas ketika dia menyetujui ucapan Ayahnya, di tambah saat seseorang turun dari mobil tersebut dengan tampilan tak kalah mewahnya.

Seorang wanita muda keluar setelah pintu di buka sang sopir. Dewa terperangah akan kecantikannya, terlebih setelah senyuman mengembang milik sang gadis itu tertuju ke arahnya.

"Selamat malam. Pak Tejo ... Dewa ... Apa kabar? Rumah ini dari dulu nggak berubah ya."

Kedipan beberapa kali Dewa lakukan, sebagai aksi berpikirnya secara cepat setelah mendengarkan pernyataan dari wanita cantik yang kini menyodorkan tangannya.

"Masih ingat sama aku, kan? Masa sudah lupa, sih? Bagaimana kabarmu sekarang?"

"Ki Ki Kirana?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (17)
goodnovel comment avatar
Nisfufah
gk heran deasy sifatnya begitu orang tuanya aja.lebih2 sekeluarga gila semua keknya ,sabar dewa mungkin blum jodohmu
goodnovel comment avatar
Ika Dewi Fatma J
baru patah hati,langsung otw move on nih kayaknya yaa
goodnovel comment avatar
wieanton
owalah ternyata sifat deasy nurun dr ortunya yg begitu jg, pantes lah cucok meong sm Alex yg sombong jg drpd sm dewa yg lbh mengutamakan attitude intelektual drpd harta warisan. ortu angkatnya dewa tau jg hal itu berarti hny dewa yg blm tau. tuh ada cewek nyamperin calon duda,.bisa jd calon mu dewa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Bodyguard Bayangan

    Setelah Anjasmara datang kembali ke kantor, ia masuk saja ke dalam ruangan Dewa setelah mendapati atasannya itu sedang merapikan penampilan. "Anda mau kemana, Pak?" tanya Anjasmara, penasaran dengan wajah dingin Dewa. Meskipun baru bekerja dengan Dewa, tapi Anjasmara sudah hafal akan sifat dan karakter kepribadian Dewa. "Janji ketemuan sama Pak Pramono baru nanti malam, kan?" "Sekretarisnya baru saja chat aku. Katanya, apa aku bisa datang sekarang juga." "Sekarang? Apa sepenting itu, Pak?" "Sepertinya gertakanku kemarin ada hasilnya, Jay." Dewa berikan seringai sembari memasukkan kancing kemeja bagian tangannya sebagai sentuhan akhir. "Kalau begitu saya temani, Pak." Anjasmara menyahut tas dokumen milik Dewa. "Takutnya nanti terjadi hal-hal yang di inginkan." "Apa maksudmu?" tanya Dewa dengan alis naik satu. "Kali aja Bapak mau di kasih uang, biar saya bantu bawain." Tawa Dewa menggema di ruangan. "Kamu kira aku akan semudah itu terima uang dari dia? Kalau menurutku s

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Dia Harus Jadi Milikku!

    "Nggak ... Aku tadi mengira Kakak orang yang aku kenal." "Itu berarti kamu melihatku sebelumnya. Emang seberapa persisnya aku sama orang yang kau kira itu?" "Cuma dari belakang miripnya, tapi waktu lihat ke depannya nggak sama ... Nggak mirip ... Maksudku." Mandapati jawaban gelagapan Lalita ini, membuat Dewa tak ingin lagi mengorek lebih jauh. "Oke kalau begitu. Tugasmu sudah selesai. Nggak ada yang perlu di beri catatan." "Kakak belum juga melihat berkeliling tapi sudah bilang semua oke?" "Kenapa kamu memanggilku kakak? Sorry, bagiku agak janggal." "Jadi nggak boleh panggil Kakak?" Kekecewaan terpancar jelas pada wajah Lalita. "Bukan begitu. Hanya saja dari awal kamu sudah memanggilku dengan Kakak. Tidak biasa di telingaku buat orang yang baru kenal." "Oh, maaf kalau lancang. Baiklah, aku panggil Tuan Muda saja." Sebenarnya Dewa merasa lebih tidak nyaman lagi dengan sebutan ini, tetapi karena yang di hadapi adalah seorang wanita yang baru di kenal, jadi dia tanggap

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Apa Aku Mengenalmu?

    Walaupun konsentrasinya sempat terpecah, tapi pikiran refleks Dewa masih tanggap ketika membalaa usaha pria penyandera itu dengan luruskan satu kakinya sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan. Suara debuman keras terdengar. Dewa tak menolak lengah dengan menghimpit tubuh pria yang sudah dijatuhkannya, lalu memlnarik dua tangannya menjadi satu ke belakang dan memegangnya dengan erat. "Jangan membuat keadaan semakin sulit. Tenangkan dirimu, Pak. Kita bicara baik-baik!" kesal Dewa di luapkan dalam nada bicara lantang. Pria itu menangis seperti anak kecil. Dewa kemudian membantunya berdiri dan di tuntun untuk duduk pada salah satu kursi kantor yang masih di tutupi plastik. Para pria petugas keamanan menghampiri segera mengelilingi pria penyandera itu dengan sikap sigap. "Tolong saya, Pak. Kami sekeluarga bingung. Anak kami nggak bersalah. Dia cuma di jebak," ucapnya dalam sesenggukan. "Biarkan kami bawa ke pos buat interogasi, Pak." Salah satu security memaksa dengan menarik ta

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Penyanderaan

    "MERUNDUK!" Anjasmara dan Rani spontan menuruti perintah Dewa. Tembakan memang tidak terdengar lagi, tapi perasaan was-was jadi bentuk kewaspadaan dua pria yang segera ambil posisi masing-masing di samping Rani. "Busyet!" umpat Anjasmara lirih. "Tadi apaan, Pak?" tanyanya pada Dewa yang sempat berposisi di paling depan. "Aku sempat lihat tadi ada wanita di dalam, terus ada pria bawa senjata sejenis pistol revolver, entah tipe glock ata apa, aku kaget terus langsung merunduk tadi," jelas Dewa lalu berjalan merembet masih dalam posisi jongkok. "Bapak mau kemana?" Anjasmara bergeser melewati Rani, lalu mengikuti Dewa. Dewa tempelkan jari ke bibirnya. Karena belum tahu apa yang terjadi, Dewa tidak mau menciptakan suara. "Siapa di situ?!" tanya seorang pria dalam bentakan. Ketegangan di mulai, terlebih terdengar suara isak tangis dari dekat pria tersebut dan menyebabkan Rani ikut terbawa suasana. "Pak. Saya takut," ujarnya. Dewa memberi kode tangan pada Anjasmara agar tetap

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Baru Saja Sampai

    Dewa termenung dalam dilema. Kalau seandainya keadaan memaksanya untuk membenci Rizal Wijaya, tapi kenapa itu tidak di terima oleh hati nuraninya? "Apa sebenarnya rencanamu?" gumam Dewa dengan kepalan tangan di atas meja. Hiruk-pikuk di sekelilingnya jadi bahan pertimbangan akan keputusan yang harus dia ambil dalam waktu singkat ini. "Harusnya aku bisa menolak. Dokumen kesepakatan itu masih bisa di anggap tidak sah." Dewa berdiri menghampiri jendela dan memastikan ujaran Anjasmara memang benar adanya. Mobil yang di curigai sebagai pengawas itu masih ada di seberang jalan tak jauh dari kantor rukonya ini berada. "Pak. Bagaimana? Apa kita jadi pindah sekarang?" Dewa menoleh sebentar ke Anjasmara, lalu berbicara dengan tatapan ke arah luar. "Apa ada informasi lain lagi yang kamu dapatkan soal Rizal Wijaya?"tanyanya masih penasaran. "Hanya soal sepak terjangnya di bisnis. Banyak yang bersimpati padanya karena di balik kelemahan pada kondisi kakinya setelah kecelakaan itu, tap

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Skandal Di Masa Lalu

    Dewa berbalik, sedikit menjauh dari Kirana untuk menghormati Deasy sebagai sesama wanita. "Bicaralah di sini saja. Tidak masalah kalau Kirana tahu." "Tapi ini soal intern perusahaan keluargaku." "Saat ini apa ada hal penting di perusahaan keluargamu selain masalah modal di pasar saham?" "Tak apa, Dewa. Aku ke kamar mandi dulu." Baru saja akan berpamitan, tapi Kirana merasakan genggaman di tangannya. "Kirana keburu mau ke kamar mandi, jadi katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan denganku." Dewa bersikap dingin. Bagaimana dia bisa lupa akan kejadian malam dimana kepulangannya dari New York waktu itu. Wanita yang sudah di harapkan akan dia jaga dan jadi pendamping baik suka maupun duka, ternyata nyata-nyata berselingkuh dan sengaja menjatuhkan harga dirinya. Pipi Kirana bersemu merah jambu. Ia yakin Dewa melakukannya bukan semata karena ingin buat benteng akan sakit hatinya pada pengkhianatan Deasy, tapi juga validasi akan statusnya sebagai kekasih Dewa. "Ehmm ... hanya so

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status