Home / Urban / Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder / Pengkhianatan Seorang Istri

Share

Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder
Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder
Author: Leon Hart

Pengkhianatan Seorang Istri

Author: Leon Hart
last update Last Updated: 2024-08-27 11:30:36

"Aku sudah di bandara. Apa kamu ikut menjemputku?"

Pemberitahuan dari seorang pria muda dan tampan pada wanita muda di ujung telpon yang merupakan istrinya.

"Sepertinya nggak bisa. Masih ada kerjaan yang harus aku selesaikan. Kamu naik taxi online bandara saja, ok."

Tentu bukanlah sambutan yang di harapkan Dewa, nama pria muda yang berprofesi sebagai pengacara itu telah kembali ke Jakarta setelah 6 bulan menempuh pelatihan serta magang di New York, dan selama itulah mereka melangsungkan pernikahan.

"Oh, sorry. Aku sengaja bikin kejutan soal kepulanganku ini, jadi nggak ngabarin kamu atau orang tuaku. Ku kira kamu akan senang sama kedatanganku. Aku bisa nunggu di lounge sampai kamu selesai kerjain ... "

"Sorry nggak bisa," potong Deasy seketika. "Papa bisa ngomel-ngomel kalau nggak aku selesaiin malam ini juga," lanjutnya bernada sedih.

"Oke tak apa. Kalau begitu gimana kalau aku jemput kamu ke kantor? Kamu bawa mobil sendiri atau sopir? Nanti habis dari bandara, aku ..."

"Aduh, nggak usah deh. Kamu langsung balik ke rumah aja, nanti bisa ganggu konsentrasiku. Pusing banget ini, banyak pendingan dan harus selesai malam ini juga!" potong Deasy lagi berganti tunjukkan nada frustasi.

"Oke oke. I got it. Tapi nanti kamu langsung balik ke rumah, kan? Atau ke apartemen?"

"Oh, aku masih di kantor. Nanti aku pasti pulang ... ehm ... uhh ... sstt ..."

Kening Dewa berkerut. Nalurinya menangkap ada sesuatu yang salah. "Kamu beneran lagi di kantor? Sama sekretarismu atau siapa? Kamu bukan lagi nyuruh aku diem, kan?" rentetan pertanyaan Dewa pada istri yang baru di nikahi sehari menjelang kepergiannya ke New York tersebut.

Dewa dan Deasy menjadi pasangan karena perjodohan. Kakek Deasy yang notabene komisaris utama di perusahaan di mana dia bekerja sangat menyukai Dewa yang telah membantunya memenangkan kasus dan melepaskan perusahaan dari jerat trik bisnis pesaingnya.

Dewa sendiri memiliki kantor ber-acara di pinggir kota, dan kini pulang ke Indonesia sekaligus menghadiri upacara larung abu jenazah kakek Deasy yang baru saja meninggal dunia.

"Deasy? Kamu dengerin aku, kan?" Dewa berdiri dengan gusar. Memang dia dan istrinya ini menikah karena perjodohan, tapi Dewa ingin berpegang teguh pada janji yang sudah dia ikatkan pada kakek Deasy untuk menjaganya dan bahkan sudah mulai jatuh cinta padanya.

"Eh, sudah ya. Aku sibuk!" secara sepihak dan tiba-tiba Deasy putuskan panggilan.

Dewa jauhkan ponsel dari kupingnya dengan sebuah kesimpulan. "Dia pasti pengen banget jadi kebanggan Ayahnya. Sudah jam segini, masih saja bela-belain buat lembur," gumam Dewa kagum pada istrinya dan kemudian mencetuskan suatu niatan.

Setelah mendapatkan taxi online pesanan, Dewa tidak lantas ke apartemen, tapi mampir terlebih dulu ke sebuah toko roti untuk belikan kue kesukaan Deasy, sebagai rangkaian oleh-oleh dari New York yang sudah dia siapkan secara khusus untuk istrinya itu.

Apartemen tersebut adalah hadiah pernikahan dari kakeknya Deasy, bernama Harry Tanu, salah satu pengusaha terkenal yang sudah beberapa bulan belakangan sakit parah dan alihkan pengelolaan perusahaan pada putra dan cucunya, Deasy.

Dewa palingkan muka ke arah luar. Ada senyuman menghiasi wajah tampannya. Tidak lama lagi dia akan bertemu dengan istrinya, orang yang lebih dia prioritaskan untuk di temui bahkan sebelum kedua orang tuanya.

Mereka berdua belum sempat lakukan malam pertama, karena acara pernikahan di rencanakan secara mendadak setelah dia berhasil dapatkan beasiswa kursus gratis sebagai pengacara pemula sekaligus magang pada kantor pengacara terkenal di kota New York, serta kondisi Harry Tanu yang saat itu sakit parah.

Pikiran Dewa melayang di saat dia dan Deasy saling berciuman selesai acara pernikahan. Hal yang ingin dia ulangi dan tuntutan lebih sebagai laki-laki dan suami akan dia pinta setelah berikan hadiah-hadiah dan kejutan kedatangan untuk istrinya nanti.

Setelah sampai di gedung apartemen mereka, Dewa kembali tersenyum ketika pintu apartemen sudah terbuka dengan kunci yang juga dia pegang, selain di miliki juga oleh Deasy. Dewa berjalan riang ke arah meja makan untuk menaruh kue tart red velvet berukuran kecil di atasnya. Ruangan itu hening pada awalnya, sampai sebuah suara mengagetkan Dewa yang menatap tegang ke arah pintu kamar utama.

"Ada orang? Apa Deasy sudah pulang? Tapi kan ..."  Jantung Dewa berdegup kencang mengiringi langkahnya mendekati pintu kamar yang tidak sepenuhnya tertutup.

"Alex ... Sayang ... kamu perkasa banget, sih ... aku sampe kewalahan ... tapi suka!"

Itu suara Deasy. Jelas Dewa mengenali dengan baik. Dan Alex ... penyebutan nama pria oleh Deasy dengan melenguh dan manja itu bukan hanya sekedar panggilan biasa, Dewa yakin itu. Mana ada urusan bisnis di selesaikan di atas ranjang?

Pikiran Dewa berkecamuk. Jangkungnya naik turun. Dia tidak bodoh, seorang laki-laki dan perempuan berduaan saja di dalam kamar tentu sedang bercinta. Sekali lagi Dewa yakin akan hal ini.

"Deasy!" panggil Dewa lantang. "Apa yang kamu lakukan?!" panggilan keras Dewa pada istrinya.

"De De Dewa? Kamu ..." Deasy gelagapan dan terperanjat.

"Tega benar kamu khianati kepercayaanku sama kamu, hah?!"

"I ini ... hanya ..."

"Hanya apa?!" Raut Dewa merah padam, jelas terlihat menahan air mata kekecewaan. "Kita...Kamu...janji wujudkan rencana bulan madu kita Maldives, tapi ini ..." Dewa tak sanggup lagi meneruskan ucapannya. Kondisi Deasy dan pria di sampingnya, sudah cukup tunjukkan apa yang telah terjadi. "Usir pria itu, lalu kita bicara!" amarah Dewa seraya melangkah mendekati istrinya dan menunjuk tajam ke arah pintu, sebagai usaha pengusiran pada pria yang sudah memungut celana lalu mengkancingkannya.

Deasy yang merasa sudah kepalang ketahuan oleh Dewa, justru berteriak ke arah Dewa setelah menarik ujung selimut untuk menutupi sebagian besar tubuhnya yang polos sebatas dada.

"Justru kamu yang pergi, bukan Alex. Dasar pria miskin!" hardik Deasy tak berperasaan.

"Tapi kamu istriku. Kita sudah menikah. Apa kamu lupa sama janjimu juga pada kakekmu?" Dewa tak sedikitpun mundurkan langkah, meski Alex yang bertubuh lebih berotot dari dirinya ini mendekat dan arahkan tangannya ke dada Dewa untuk menahan langkahnya. "Aku sudah berusaha keras, Deasy ... demi kamu ... demi cinta kita."

Alex terkekeh. "Dia nggak mau sama kamu, Bro. Sadari kenyataan itu. Aku lebih kaya, lebih ganteng, dan sepertinya juga lebih jagoan di ranjang daripada kamu," hinaan Alex sembari menelusuri Dewa dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Selama ini Deasy cuma merasa kasihan saja sama kamu."

"Cuma rasa kasihan? Benarkah itu, Deasy?"

"Kamu sudah denger itu, kan. Aku memang cuma merasa kasihan sama kamu. Tadinya aku harap perselingkuhanku ini bisa agak lama, tapi ternyata sudah ketahuan duluan, jadi ya ... kamu pasti tahu alasanku. Alex itu lebih kaya daripada kamu. Dari awal aku sudah nggak nafsu sama cowok miskin nggak punya duit buat nge-gym kayak kamu. Lihat dirimu, Dewa. Kamu cuma anak tukang gorengan, sudah nggak modis, nggak bisa di banggain depan teman-temenku. Aku malu pas mereka bilang kamu cuma cowok biasa, dan asal kamu tahu ya, aku nggak pernah mencintai kamu. Pernikahan ini cuma karena hormati kakek saja."

Hati Dewa hancur, tapi hanya bisa bertahan. "Aku sudah katakan padamu. Lambat laun aku bisa seimbangin gaya hidupmu. Kursus ini mati-matian aku kejar demi kamu, biar kamu nggak malu punya suami kayak aku. Kamu tahukan karierku juga mulai ..."

"Halaah ... lama!" potong Deasy dengan pembawaannya yang ketus. "Sampai kapan, hah? Kalau soal duit, harta keluargaku lebih dari kamu! Pedagang gorengan bisa sampe sejauh apa sih kasih kemewahan buat hidupku? Terus pengacara rendahan kayak kamu itu juga kapan bisa naiknya kalau reputasimu saja seperti itu. Kakek mau sewa kamu, cuma karena dulu pernah di tolong sama bapakmu, bukan karena otakmu!"

"Deasy cukup!"

"Eh, Bro. Sudah. Keluar saja. Deasy bukan kelasmu, Bro. Ratapi saja nasibmu." Alex mendorong tubuh Dewa lebih kencang sampai di batas pintu kamar. "Asal kamu tahu ya. Setelah acara kakeknya besok, dia berencana ajukan surat cerai dan segera menikah denganku, jadi utangmu sama kakeknya Deasy sudah lunas, begitu juga sebaliknya. Ngerti!"

Brakk!!

Pintu kamar tertutup dengan kasar tepat di wajah Dewa. Dada Dewa naik turun, rasa sakit tak bisa tertahankan ketika harga diri dan keluarganya di jadikan bahan hinaan. Dia memang miskin, anak tukang gorengan, dekil, dan sebagainya seperti yang Deasy katakan, tapi kepalan kedua tangan Dewa mengisyaratkan dirinya tidak akan berdiam diri saja dengan semua hinaan ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (16)
goodnovel comment avatar
Nisfufah
dahh tinggalin.aja dewa emang perempuan deasy doang ,jahat kali itu si deasy
goodnovel comment avatar
Nisfufah
ngapain nikah kLo mU cerei gila itu di desi ,,pasti suatu saat nyesek
goodnovel comment avatar
wieanton
cape2 selingkuh klo iya mau ajukan cerai tinggal cerai drpd hrs kegep dlu selingkuh, cih ...hny Krn suami blm mampu jd kaya raya trs merasa berhak berbuat apapun gitu ya??? kaya dari warisan aja bangga!!
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Bodyguard Bayangan

    Setelah Anjasmara datang kembali ke kantor, ia masuk saja ke dalam ruangan Dewa setelah mendapati atasannya itu sedang merapikan penampilan. "Anda mau kemana, Pak?" tanya Anjasmara, penasaran dengan wajah dingin Dewa. Meskipun baru bekerja dengan Dewa, tapi Anjasmara sudah hafal akan sifat dan karakter kepribadian Dewa. "Janji ketemuan sama Pak Pramono baru nanti malam, kan?" "Sekretarisnya baru saja chat aku. Katanya, apa aku bisa datang sekarang juga." "Sekarang? Apa sepenting itu, Pak?" "Sepertinya gertakanku kemarin ada hasilnya, Jay." Dewa berikan seringai sembari memasukkan kancing kemeja bagian tangannya sebagai sentuhan akhir. "Kalau begitu saya temani, Pak." Anjasmara menyahut tas dokumen milik Dewa. "Takutnya nanti terjadi hal-hal yang di inginkan." "Apa maksudmu?" tanya Dewa dengan alis naik satu. "Kali aja Bapak mau di kasih uang, biar saya bantu bawain." Tawa Dewa menggema di ruangan. "Kamu kira aku akan semudah itu terima uang dari dia? Kalau menurutku s

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Dia Harus Jadi Milikku!

    "Nggak ... Aku tadi mengira Kakak orang yang aku kenal." "Itu berarti kamu melihatku sebelumnya. Emang seberapa persisnya aku sama orang yang kau kira itu?" "Cuma dari belakang miripnya, tapi waktu lihat ke depannya nggak sama ... Nggak mirip ... Maksudku." Mandapati jawaban gelagapan Lalita ini, membuat Dewa tak ingin lagi mengorek lebih jauh. "Oke kalau begitu. Tugasmu sudah selesai. Nggak ada yang perlu di beri catatan." "Kakak belum juga melihat berkeliling tapi sudah bilang semua oke?" "Kenapa kamu memanggilku kakak? Sorry, bagiku agak janggal." "Jadi nggak boleh panggil Kakak?" Kekecewaan terpancar jelas pada wajah Lalita. "Bukan begitu. Hanya saja dari awal kamu sudah memanggilku dengan Kakak. Tidak biasa di telingaku buat orang yang baru kenal." "Oh, maaf kalau lancang. Baiklah, aku panggil Tuan Muda saja." Sebenarnya Dewa merasa lebih tidak nyaman lagi dengan sebutan ini, tetapi karena yang di hadapi adalah seorang wanita yang baru di kenal, jadi dia tanggap

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Apa Aku Mengenalmu?

    Walaupun konsentrasinya sempat terpecah, tapi pikiran refleks Dewa masih tanggap ketika membalaa usaha pria penyandera itu dengan luruskan satu kakinya sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan. Suara debuman keras terdengar. Dewa tak menolak lengah dengan menghimpit tubuh pria yang sudah dijatuhkannya, lalu memlnarik dua tangannya menjadi satu ke belakang dan memegangnya dengan erat. "Jangan membuat keadaan semakin sulit. Tenangkan dirimu, Pak. Kita bicara baik-baik!" kesal Dewa di luapkan dalam nada bicara lantang. Pria itu menangis seperti anak kecil. Dewa kemudian membantunya berdiri dan di tuntun untuk duduk pada salah satu kursi kantor yang masih di tutupi plastik. Para pria petugas keamanan menghampiri segera mengelilingi pria penyandera itu dengan sikap sigap. "Tolong saya, Pak. Kami sekeluarga bingung. Anak kami nggak bersalah. Dia cuma di jebak," ucapnya dalam sesenggukan. "Biarkan kami bawa ke pos buat interogasi, Pak." Salah satu security memaksa dengan menarik ta

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Penyanderaan

    "MERUNDUK!" Anjasmara dan Rani spontan menuruti perintah Dewa. Tembakan memang tidak terdengar lagi, tapi perasaan was-was jadi bentuk kewaspadaan dua pria yang segera ambil posisi masing-masing di samping Rani. "Busyet!" umpat Anjasmara lirih. "Tadi apaan, Pak?" tanyanya pada Dewa yang sempat berposisi di paling depan. "Aku sempat lihat tadi ada wanita di dalam, terus ada pria bawa senjata sejenis pistol revolver, entah tipe glock ata apa, aku kaget terus langsung merunduk tadi," jelas Dewa lalu berjalan merembet masih dalam posisi jongkok. "Bapak mau kemana?" Anjasmara bergeser melewati Rani, lalu mengikuti Dewa. Dewa tempelkan jari ke bibirnya. Karena belum tahu apa yang terjadi, Dewa tidak mau menciptakan suara. "Siapa di situ?!" tanya seorang pria dalam bentakan. Ketegangan di mulai, terlebih terdengar suara isak tangis dari dekat pria tersebut dan menyebabkan Rani ikut terbawa suasana. "Pak. Saya takut," ujarnya. Dewa memberi kode tangan pada Anjasmara agar tetap

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Baru Saja Sampai

    Dewa termenung dalam dilema. Kalau seandainya keadaan memaksanya untuk membenci Rizal Wijaya, tapi kenapa itu tidak di terima oleh hati nuraninya? "Apa sebenarnya rencanamu?" gumam Dewa dengan kepalan tangan di atas meja. Hiruk-pikuk di sekelilingnya jadi bahan pertimbangan akan keputusan yang harus dia ambil dalam waktu singkat ini. "Harusnya aku bisa menolak. Dokumen kesepakatan itu masih bisa di anggap tidak sah." Dewa berdiri menghampiri jendela dan memastikan ujaran Anjasmara memang benar adanya. Mobil yang di curigai sebagai pengawas itu masih ada di seberang jalan tak jauh dari kantor rukonya ini berada. "Pak. Bagaimana? Apa kita jadi pindah sekarang?" Dewa menoleh sebentar ke Anjasmara, lalu berbicara dengan tatapan ke arah luar. "Apa ada informasi lain lagi yang kamu dapatkan soal Rizal Wijaya?"tanyanya masih penasaran. "Hanya soal sepak terjangnya di bisnis. Banyak yang bersimpati padanya karena di balik kelemahan pada kondisi kakinya setelah kecelakaan itu, tap

  • Pengacara Miskin Itu Ternyata Miliarder   Skandal Di Masa Lalu

    Dewa berbalik, sedikit menjauh dari Kirana untuk menghormati Deasy sebagai sesama wanita. "Bicaralah di sini saja. Tidak masalah kalau Kirana tahu." "Tapi ini soal intern perusahaan keluargaku." "Saat ini apa ada hal penting di perusahaan keluargamu selain masalah modal di pasar saham?" "Tak apa, Dewa. Aku ke kamar mandi dulu." Baru saja akan berpamitan, tapi Kirana merasakan genggaman di tangannya. "Kirana keburu mau ke kamar mandi, jadi katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan denganku." Dewa bersikap dingin. Bagaimana dia bisa lupa akan kejadian malam dimana kepulangannya dari New York waktu itu. Wanita yang sudah di harapkan akan dia jaga dan jadi pendamping baik suka maupun duka, ternyata nyata-nyata berselingkuh dan sengaja menjatuhkan harga dirinya. Pipi Kirana bersemu merah jambu. Ia yakin Dewa melakukannya bukan semata karena ingin buat benteng akan sakit hatinya pada pengkhianatan Deasy, tapi juga validasi akan statusnya sebagai kekasih Dewa. "Ehmm ... hanya so

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status