Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan.
Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menunjukkan bahwa kami tidak berniat melawan. “Kami hanya mencari tempat aman,” kataku dengan suara setenang mungkin. “Tidak ada tempat aman di dunia ini,” jawab pria itu dingin. “Tolong,” Mirna maju selangkah, tangan di dadanya. “Kami sudah kehilangan banyak hal. Kami hanya ingin... Istirahat saja.” Pria itu memandang kami sejenak sebelum memberi isyarat kepada rekannya. Gerbang kayu itu berderit terbuka, memperlihatkan pemukiman kecil dengan rumah-rumah yang dibangun dari sisa-sisa puing. Penduduknya, kebanyakan wanita dan anak-anak, menatap kami dengan rasa curiga. “Kalian boleh masuk, tapi jangan macam-macam,” katanya. “Kita semua sudah cukup menderita tanpa menambah masalah baru.” Begitu kami melangkah masuk, aroma asap kayu dan makanan basi menyeruak di udara. Anak-anak kurus dengan mata cekung bersembunyi di balik kaki ibu mereka, sementara pria-pria dewasa memandang kami seperti ancaman. Rumah-rumah di sini tampak seadanya—dinding dari seng berkarat dan kayu lapuk. Bisik-bisik terdengar di antara penduduk, sebagian menyiratkan rasa curiga, sementara yang lain memandang kami dengan tatapan mengiba. Seorang laki-laki, yang tampaknya pemimpin mereka, mendekati kami. Wajahnya penuh dengan tekad, tapi matanya menyiratkan bahwa aku harus berhati-hati terhadapnya. “Siapa kalian?” tanyanya tegas. Aku menjawab dengan jujur. “Kami para penyintas dari Jakarta. Kami sedang menuju Utara mencari tempat yang memang bisa membantu kami hidup lebih lama.” Laki-laki itu mengangguk pelan, meskipun wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Aku Bima pemimpin dari pemukiman ini. Kalian boleh tinggal sementara, tapi ingat ini: setiap orang di sini bekerja untuk bertahan hidup. Tidak ada yang cuma-cuma.” “Terima kasih,” kataku. Dia menunjuk ke arah salah satu bangunan kecil. “Kalian bisa tinggal di sana. Tapi pagi ini, kalian akan membantu kami mengumpulkan makanan di luar perbatasan. Anggap saja sebagai ujian.” Malam itu, saat duduk di sebuah ruangan sempit, kami akhirnya berbicara tentang apa yang telah kami dengar. Beberapa penduduk menyebut tentang “Sanctuary,” sebuah tempat yang dianggap aman dari Voidborn. “Kalau benar ada Sanctuary, kita harus ke sana,” kata Ayu penuh harap. “Tapi bagaimana kita tahu tempat itu benar-benar ada?” balas Dika, nada suaranya skeptis. “Bagaimana kalau itu cuma rumor untuk membuat orang tetap berharap?” Mirna mengangguk. “Dika ada benarnya. Kita tidak bisa mengambil risiko besar hanya berdasarkan desas-desus.” Aku mencoba menengahi. “Kita lihat dulu. Jika memang ada informasi lebih jelas, kita bisa membuat keputusan.” Dika memandangku tajam. “Kenapa harus keputusanmu, Ardi? Kau bukan pemimpin kami.” Kata-katanya membuat suasana ruangan terasa lebih panas. Ayu menatap Dika dengan kesal. “Kalau bukan kak Ardi, siapa lagi? Dia yang menjaga kita sampai sejauh ini!” “Menjaga?” Dika berdiri, wajahnya penuh amarah. “Gatra dan Pak Rusdi mati karena kita terus saja mengikuti rencana tanpa persiapan! Aku sudah memperingatkanmu waktu itu, tapi kau bilang ‘kita tidak punya waktu.’ Dan lihat apa yang terjadi! Aku muak terus-menerus diperlakukan seperti pion dalam rencana yang bahkan kau sendiri tidak yakin berhasil!” Aku berdiri, mencoba menjaga ketenangan. “Aku tidak pernah mengklaim diriku sebagai pemimpin. Aku hanya mencoba membuat kita tetap bertahan hidup.” “Dan kita kehilangan Gatra dan juga Oak Rusdi,” balas Dika, nadanya tajam. Mirna akhirnya berdiri di antara kami, memisahkan sebelum semuanya semakin buruk. “Cukup. Kita semua lelah, dan berdebat seperti ini tidak akan membantu.” Dika menghela napas kasar sebelum akhirnya keluar dari ruangan, meninggalkan kami dalam keheningan yang menyakitkan. Esok paginya, kami bergabung dengan penduduk pemukiman untuk mencari makanan. Di luar perbatasan, ketegangan di antara kami masih terasa, tapi aku tahu bahwa kita tidak punya waktu untuk masalah seperti ini. Saat menjelajahi reruntuhan, aku berbicara dengan Mirna secara pribadi. “Dika tidak salah. Aku... aku memang gagal sebagai pemimpin.” “Semua orang gagal, Ardi,” jawabnya lembut. “Tapi yang membedakan adalah apa yang kau lakukan setelah kegagalan itu.” Aku menatap ke arah pemukiman di kejauhan. Pemukiman ini mungkin terlihat damai di permukaan, tapi dinamika di dalamnya terasa seperti bom waktu yang siap meledak. Aku menyadari ini setelah pertemuan pertamaku dengan Bima, pemimpin mereka. Bima adalah pria berusia awal 40-an dengan postur tegap dan suara yang selalu terdengar tenang namun penuh otoritas. Wajahnya dihiasi janggut tipis yang rapi, memberi kesan seorang pemimpin bijak. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang membuatku waspada. “Kau pasti Ardi,” katanya sambil mengulurkan tangan saat kami pertama kali bertemu di balai pertemuan kecil pemukiman. “Mendengar dari ceritamu kemarin kau dan kelompokmu baru saja datang dari Jakarta. Perjalanan yang panjang dan berbahaya, aku yakin.” Aku menjabat tangannya, merasakan genggamannya yang kuat. “Ya, kami hanya ingin bertahan hidup.” Bima tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. “Itu yang kita semua inginkan, bukan? Bertahan hidup. Tapi di sini, kami sudah menemukan tempat yang cukup aman. Tidak sempurna, tapi setidaknya kami punya rumah.” Malam itu, kelompok kami diundang ke pertemuan pemukim. Balai pertemuan dipenuhi oleh orang-orang yang mendengarkan Bima dengan penuh perhatian. Dia berdiri di depan, berbicara dengan nada yang tenang tapi penuh keyakinan. “Kita sudah bertahan sejauh ini,” katanya, matanya menyapu ruangan. “Pemukiman ini adalah hasil kerja keras kita semua. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa tempat seperti Sanctuary itu nyata. Dan bahkan jika nyata, apa jaminannya kita akan diterima di sana?” Mirna, yang duduk di sampingku, menggeleng pelan. “Dia pintar bermain kata,” bisiknya. Aku mengangguk. Bima tidak hanya karismatik; dia juga tahu bagaimana memanfaatkan ketakutan dan keputusasaan orang-orang untuk mempertahankan kontrolnya. Setelah pertemuan, aku memberanikan diri mendekatinya. “Bima, kau pemimpin yang sangat bijaksana, kau mementingkan keselamatan kelompokmu daripada mencoba sesuatu hal yang tidak teruji adanya, tetapi jika Sanctuary benar-benar ada, bukankah itu layak dicoba?” Dia memandangku lama sebelum menjawab. “Ardi, aku mengerti kau ingin melindungi kelompokmu, tapi pemukiman ini sudah cukup. Pergi ke Sanctuary adalah perjudian, dan kita tidak punya sumber daya untuk bertaruh.” “Bagaimana jika itu satu-satunya harapan kita?” Bima tersenyum tipis, tapi tatapannya tajam. “Harapan adalah pedang bermata dua, Ardi. Jangan sampai membunuh dirimu sendiri karenanya.” Di tempat kami tinggal sementara, diskusi memanas di antara kelompok kami. Ayu dan Mirna mendukung gagasan mencari Sanctuary, sementara Dika dan beberapa penduduk merasa lebih baik tetap di pemukiman. “Apa kau tidak melihat? Bima hanya peduli pada kekuasaannya di sini,” kata Mirna dengan nada keras. “Dan apa jaminannya Sanctuary itu nyata?” balas Dika. “Aku tidak mau mati sia-sia di tengah perjalanan.” “Kita juga tidak aman di sini,” potong Mirna. “Kalian lihat sendiri. Mereka punya senjata, tapi persediaan makanan dan obat-obatan minim. Berapa lama ini bisa bertahan?” Aku berdiri di tengah mereka, merasa semua mata tertuju padaku. “Cukup!” kataku tegas. “Kita akan mencari tahu lebih banyak tentang Sanctuary sebelum membuat keputusan. Kita tidak bisa bertindak gegabah.” Meski terlihat tidak puas, semua akhirnya setuju. Tapi aku tahu ini hanya sementara. Malam itu, ketika suara-suara pemukiman mulai mereda dan hanya gemerisik angin yang terdengar, jeritan melengking memecah keheningan. Aku terbangun dengan tubuh berkeringat, mataku langsung mencari sumber suara. Di luar, kobaran api terlihat dari arah gerbang kayu. Bayangan besar dengan mata merah menyala melintas di antara cahaya.Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah
Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m
Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de
Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu
Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek
Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha