Share

Bab 6

Bab 6

"Aku nggak suka ya, kamu baca- baca dan lihat- lihat chat orang lain!" tegur Mas Frans dengan pandangan kesal.

"Idih. Aku 'kan nggak sengaja. Lagian kupikir itu ponselku," kelitku membela diri.

Enak saja dia nyalahin aku. Dia sendiri kok yang memberikan ponselnya. Aneh.

Mas Frans meraih ponsel dari dalam saku celana sebelah kiri, kemudian memberikannya padaku. Ponselnya sendiri sudah disambarnya beberapa saat yang lalu.

Aku langsung membuka W******p untuk mencari pesan dari Arfan. Biar saja kubacakan kelakuan si Sntia di depan suami barunya. Eh tapi, chat dari pria itu tidak ada, bahkan nomornya pun hilang dari pesan paling atas. Kucari- cari di daftar panggilan juga hilang. Hm, pasti pelakunya Mas Frans sendiri. Dasar pria itu, mancing- mancing amaraku saja!

Ini tak bisa dibiarkan. Dia sudah mencampuri urusanku.

"Mas, kamu menghapus pesan dari Arfan?" tudingku menatap kesal pada suamiku. Pasalnya hasil penyelidikan tentang Sintia ada di sana.

Mas Frans melotot setelah mengotak- atik ponselnya, lalu dimasukkannya ke dalam saku.

"Mas, kamu nggak jawab pertanyaanku?!" pekikku jengkel untuk kedua kalinya.

"Memangnya kalau iya, kenapa? Kamu keberatan, iya?! Asal kamu tahu, Cahya. Berkirim pesan dengan lawan jenis itu jatuhnya bisa zina hati. Kamu pikir dong, si Arfan itu laki-laki dan kamu itu perempuan yang sudah bersuami. Pikir pakai otak. Nggak pantas kamu saling berkirim pesan dengannya. Lagian apa etis kamu mencari tahu tentang Sintia pada si Arfan itu, hm? Yang ada dia malah ngejelek- jelekin Sintia lagi, secara dia 'kan nggak pernah suka padaku."

Panjang lebar ucapan Mas Frans membuat kupingku panas.

"Cara pikir Mas saja yang salah. Seharusnya Mas tidak terlalu cepat mengambil keputusan. Seharusnya Mas mencari tahu lebih banyak sebelum memilih menikahi wanita itu. Wajar rasanya kalau aku mencari tahu latar belakang dia!" tukasku tak mau kalah.

"Kamu meragukan Sintia, iya? Mentang -mentang kamu sakit hati karena diduakan lantas kamu mencari- cari kesalahan wanita itu. Dengar Cahya, aku nggak sangka hatimu sepicik itu," tuduhnya dengan telunjuk mengarah ke wajah.

"Wajar aku mencari tahu dengan siapa suamiku menikah lagi. Mas juga melakukan hal yang sama waktu menikahiku dulu. Bahkan Mas mengecek ke dokter apakah aku masih virgin atau nggak. Iya 'kan?!" tampikku tak mau kalah. Enak saja dia menyudutkanku seorang.

Setelah kulihat penampilan Sintia yang jauh dari kata layak bersanding dengan suamiku, wajar kalau aku mencari tahu latar belakang pribadinya.

"Kamu itu, makin lama makin ngelunjak aja ya, pada suami. Apa kamu nggak takut dosa dengan mengeraskan intonasi suaramu di depan suamimu?!"

Mas Frans mendengus kesal. Selain emosian dia juga pemarah dan tukang nuduh orang lain.

"Ya udah, maaf," ucapku ketus.

"Berhenti mencari tahu tentang Sintia, dan berhenti berhubungan dengan si Arfan. Baru aku maafkan!!" balasnya tak kalah ketus.

Aku menghela nafas berat. Percuma saja bicara dengan pria itu. Lagian aku juga jarang berinteraksi dengan Arfan. Hanya sesekali jika butuh informasi saja, maka aku akan menghubungi Arfan.

Padahal itu juga jarang- jarang kulakukan. Hanya saja kali ini yang membuatku makin kesal adalah data tentang Sintia gagal kudapatkan.

Tapi tak apa-apa. Masih ada 1001 cara untuk menghubungi Arfan, meskipun harus sembunyi-sembunyi dari Mas Frans.

"Nggak usah diperpanjang. Makan pecel lelenya, aku udah repot- repot beliin buat kamu," sambungnya masih dengan suara ketus.

"Mas sendiri nggak makan?" tanyaku.

"Udah, makan debat sama kamu bikin aku kenyang semalaman," imbuhnya sambil menjauh.

Idih, masa laki-laki baperan.

Penasaran kulihat Mas Frans membaringkan dirinya di sofa. Apalagi yang dilakukannya selain bermain ponsel dengan senyum tersungging di bibirnya. Pria itu pasti tengah menghubungi Sintia yang tadi berhasil membuatku tertawa.

Dasar!

***

Hari ini aku sudah diizinkan pulang, mengingat kondisiku sudah lebih baik. Hanya saja Ridho masih berada di inkubator dan masih harus bertahan selama beberapa waktu, sampai berat badannya mencukupi.

Setelah pulang ke rumah, dokter menyarankan agar Ridho tetap mendapat perawatan di bawah pantauan seorang suster.

Tidak masalah, selagi Mas Frans masih bekerja dan uangnya mengalir padaku, perawatan Ridho lebih utama meskipun biayanya cukup mahal.

Ibu mertua memasang wajah masam ketika membantuku turun, dari atas tempat tidur menuju ke kursi roda.

"Harusnya Ibu 'gak usah repot-repot membantuku pulang, kalau tidak ikhlas," ujarku melihat penampakan wajahnya yang sama sekali tidak enak dipandang.

"Ibu juga sebenarnya tidak mau, tapi si Frans khawatir padamu. Makanya nyuruh Ibu untuk menjemputmu. Lagian kamu jadi perempuan manja banget sih, sampai harus nyusahin orang segala," racaunya membuat panas kuping.

Aku menahan seorang perawat agar jangan dulu mendorong kursi roda. Kuputar kursi sambil menghadap Ibu yang membawa tas mahalnya di lengan kiri.

"Siapa yang manja? Siapa juga yang mau nyusahin Ibu? Setelah Ibu memiliki menantu baru, mana mungkin aku mau menyusahkan Ibu. Jadi jika Ibu masih tidak ikhlas mengantarku pulang, silahkan pergi bersama Sintia. Ayo Sus, kita pergi dari sini," ajakku pada perawat yang mengangguk tak enak hati kepada Ibu.

Jujur perasaanku sangat dongkol. Wanita itu memang tidak pernah menyukaiku. Namun belakangan melihat kedekatannya dengan Sintia saat datang ke rumah sakit, sepertinya Ibu mendapatkan menantu yang cocok sesuai dengan levelnya.

Sampai di rumah, anak-anak langsung menghambur menyambutku. Hampir 5 hari aku meninggalkan mereka. Tak terasa perasaan rindu itu hadir begitu saja.

Kubiarkan mereka bermain-main sambil menonton tv setelah puas bercengkrama.

Ingatanku kembali pada Arfan. Aku menghubungi dia dengan nomor Mbak Titin—pengasuh Devan dan Devia.

Kalau membuka blokir dari nomorku, bukan tidak mungkin Mas Frans memeriksanya lagi dan marah, lalu melampiaskannya dengan merusak ponselku. Aku tidak boleh membuat pria itu marah, hingga Sintia mendapatkan celah untuk lebih dekat dengannya.

"Boleh 'kan Mbak, aku pinjam sebentar saja untuk menghubungi Arfan?" tanyaku pada pengasuh Devia yang tengah mengajak putriku menonton Frozen. Kartun kesukaannya. Film kartun itu ditonton berulang-ulang hingga aku sendiri yang mengamatinya sesekali, merasa bosan.

"Ya boleh, Bu. Nggak apa-apa. Lagian saya jarang megang HP. Main bersama anak- anak lebih menyenangkan," ujar gadis berusia 22 tahun itu.

Aku tersenyum kemudian mulai mengetik pesan pada Arfan. Tak kuduga, pria itu malah meneleponku.

"Gila ya, suamimu sampai marah-marah sebelum ngeblokir nomorku!"

Baru saja aku hendak bersuara meminta file agar dikirimkan ke nomor Mbak Titin, si Arfan sudah ngoceh saja di ujung sana.

"Oh ya, apa saja yang dia katakan?" tanyaku penasaran. Mas Frans adalah orang yang cemburuan, dan dia tak akan segan mengeluarkan amarahnya pada siapapun itu.

"Asal kamu tahu Cahya, dia nyebut aku pebinor. Dan katanya, aku tidak boleh mendekati kamu sampai kapanpun!!"

Arfan berkisah dengan suara menggebu-gebu. Sementara aku menanggapinya sambil nyengir.

"Ya terus, kamu ngomong apa ke dia?"

Tentu saja dia tidak mau kalah. Arfan yang cerdas dan berwawasan luas, tidak semudah itu diintimidasi oleh orang lain.

"Tentu saja aku mengancamnya balik. Kukatakan kalau dia menyakiti kamu, maka siap-siap saja pebinor ini beraksi. Dan kau tahu, dia marah dan mengumpatku terus-terusan, sebelum akhirnya foto profilmu berubah menjadi abu."

Aku terkekeh mendengar penjelasan Arfan. Pria itu bukannya marah, malah terdengar lucu di telinga.

"Kamu dari tadi malah ketawa- ketawa terus. Sepertinya kamu puas melihat penderitaanku kali ini?!"

Arfan bersungut-sungut yang sepertinya dibuat-buat.

"Bagaimana aku nggak tertawa, kamu seperti hiburan untukku, Arfan. Oh ya, cepat kirim filenya. Aku nggak sabar ingin melihat sisi lain di Sintia itu," tuntutku tidak sabar.

"Iya sabar, nanti aku kirim balik. Aku lagi kerja sekarang," kelitnya lagi.

"Ya ampun, Arfan, tinggal kirim saja susah banget. Masa iya aku harus nunggu kamu pulang kerja," selaku dengan nada kesal.

Si Arfan ini selain rese juga sering sekali mempermainkanku. Dikiranya aku masih anak ingusan seperti dulu apa.

Mobil Mas Frans menderu di halaman. Buru-buru kututup panggilan dan kembali menyerahkan ponsel Mbak Titin, yang langsung dimasukkan ke sakunya. Aku tak mau pria itu kembali dikuasai amarah karena kecemburuannya.

"Cahya, kita harus bicara!"

Nah, 'kan. Apalagi kali ini?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
yg merasa sempurna tapi kalah sama yg korengan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status