Share

Bab 7

Bab 7

"Mau ngomong apa sih, Mas?"

Aku menanggapinya dengan kesal. Kenapa belakangan ini dia jadi sering marah- marah, padahal dulu dia adalah pria yang sabar dan baik. Meskipun emosian tapi tak pernah menyerangku seperti sekarang. Apa karena nafsunya tidak tersalurkan, hingga emosinya naik ke otak.

"Kamu mengusir Ibu di rumah sakit tadi?" tanyanya seperti tuduhan.

"Siapa yang mengusir, Mas? Ibu sendiri yang kesal karena kamu menyuruhnya menjemputku," jawabku apa adanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.

"Jangan memutar balikan fakta, Cahya. Kenapa kamu harus mengusir Ibu dengan kasar dari rumah sakit, sih? Apa kamu nggak sadar kalau ibuku itu sama dengan ibumu juga, hah? Bagaimana perasaanmu kalau almarhum ibumu yang aku usir!!" bentaknya kasar.

Sontak aku melotot tak terima. Berani-beraninya dia membawa-bawa ibuku yang telah tiada.

"Mas! Jangan samakan ibu kandungku dengan ibumu yang tidak pernah merestui pernikahan kita ini!! Jelas keduanya beda!!" Kutekankan kata- kataku dengan mata menatap nyalang padanya.

"Oh, kamu tidak suka aku membandingkannya dengan ibumu, sementara kamu memperlakukan ibuku dengan tidak baik. Ck, aku nggak nyangka Cahya, selama ini aku bersabar menghadapi hubungan kalian yang tak pernah akur itu, tapi ternyata seperti ini wajah aslimu! Selain kau membenci ibuku, kau juga kerap berhubungan dengan pria lain di belakangku!"

Mas Frans mendengus kesal sambil melonggarkan dasi dan melemparnya ke sembarang arah.

"Aku justru yang tidak mengenalmu sekarang, Mas. Baru beberapa hari menikah dengan wanita itu saja, sikap temperamenmu sudah mulai keluar. Bahkan kamu tidak pernah menghargai perasaanku lagi," keluhku sambil terisak. "Dan asal kamu tahu, Arfan itu sudah seperti kakak bagiku. Dan selama ini Mas pun tahu akan hal itu!!"

Beruntung anak-anak sudah dibawa ke halaman oleh Mbak Titin, hingga mereka tidak harus melihat pertengkaran kami dan melihatku menangis.

Entahlah kenapa hatiku sakit mendapat perlakuan kasar dari suamiku sendiri. Meskipun Mas Frans tidak main tangan, tapi perkataannya sendiri sudah berhasil membuat hatiku remuk.

Mas Frans melengos seperti menyesali perbuatannya.

"Aku nggak maksud seperti itu, Cahya. Hanya saja kamu ngerti dong perasaan Ibu. Beliau sakit hati kamu perlakukan buruk. Padahal dia itu ibumu juga, kamu tidak pantas memperlakukannya seperti itu," tampiknya seakan di sini akulah yang bersalah.

Kutinggalkan pria itu yang nyerocos ngomong. Kenapa wanita itu mengadu berlebihan, sementara Ibu sendiri tidak pernah menganggapku ada dan selalu berkata ketus padaku.

Selama ini aku bersabar dan terima lapang dada kalau Ibu mertua tidak pernah menyukaiku. Tapi jika wanita itu mengadukannya dengan terang-terangan, sebongkah hati yang ada dalam dadaku tentu saja sangat terluka.

Kututup pintu dengan kasar, kemudian menguncinya dari dalam.

Mas Frans berteriak-teriak sambil menggedor pintu tapi tak kuperdulikan. Rasanya saat ini aku membutuhkan bantal untuk melampiaskan kesedihanku.

Ya Tuhan, betapa banyak ujian bertubi-tubi mendera belakangan ini.

Hubunganku dengan ibu mertua semakin buruk, sementara kehadiran wanita lain semakin membuat suasana hati dan pikiranku semakin rusak. Aku tidak ingin stress. Aku tidak ingin semuanya berubah, tapi aku juga tidak siap menghadapi semua ini.

Perasaan sedih dan dongkol membuatku berlabuh ke alam mimpi. Hingga saat sadar tangan seseorang kurasakan sedang mengelus wajah.

Kubiarkan orang itu melakukannya. Yang kutahu dari aroma parfumnya, pelakunya adalah suamiku sendiri.

"Maaf karena aku telah membentakmu, Cahya. Aku hanya ingin kamu lebih akur dengan Ibu dan tetap menghormatinya seperti selama ini. Tapi kenapa belakangan ini kamu sering sekali bebal dan melawanku?"

Mas Frans bicara dekat dengan telingaku, otomatis aku bisa mendengar dengan jelas perkataannya meskipun lirih.

Bukan aku yang berubah, Mas. Tapi kamu yang apa-apa selalu menyulut emosi, padahal kamu bisa bicara baik-baik padaku, tanpa mengencangkan urat di lehermu, jawabku dalam hati.

Aku meneruskan kembali tidurku saat kurasakan Mas Frans melingkarkan tangannya di perut. Tak lama kemudian, dengkur halus terdengar di telinga.

Aku merenungi kembali pernikahan kami. Sebenarnya kami bahagia dengan dikaruniai tiga orang putra-putri yang sehat, ditunjang dengan karir yang cemerlang, serta harta yang berlimpah, kami tidak kekurangan apapun.

Hanya saja kebutuhan batin Mas Frans yang tidak terpenuhi, membuatnya tega mendua. Bukan, bukan aku tidak mau melayaninya, tapi kehadiran bayi ketiga kami membuat kami harus libur untuk sementara waktu. Padahal meskipun dengan cara lain kerap kuikuti permintaannya. Tapi sepertinya itu belum cukup memuaskannya juga.

"Kamu udah bangun, Cahya?"

"Hmm, aku mau mandi."

Pria itu menggeliat. Aku berusaha melerai pelukan dan turun dari tempat tidur, sebelum akhirnya membersihkan diri di kamar mandi.

Sabun aromaterapi serta sentuhan air hangat membuat tubuh rileks. Kedepannya aku harus siap menghadapi masalah yang mungkin akan semakin berat. Terutama dalam menghadapi tingkah mertua dan Sintia yang pasti akan menguji kesabaranku. Sejenak kulupakan informasi tentang wanita itu. Fokusku kini pada anak-anak.

Aku segera pergi ke dapur untuk membuatkan makan malam. Mereka pasti rindu makanan buatanku.

Mas Frans juga sejak aku di rumah sakit, entah pria itu makan apa dan di mana, mengingat dia tidak pulang ke rumah.

Setidaknya jika aku tidak bisa mengenyangkan bagian bawah perutnya, aku bisa mengenyangkan perutnya dengan makanan enak dan halal.

"Aku pikir kamu sudah tidak mau membuatkan makanan untukku, Cahya?"

Mas Frans tampak segar setelah membersihkan diri di kamar mandi. Dia memeluk sekilas lalu menarik kursi dan duduk di kursi utama.

"Kapan aku pernah lupa kewajibanku, Mas?"

"Iya, Maaf."

Aku tersenyum getir sambil memanggil Devan dan Devia untuk makan juga.

Tak lupa kuajak Mbak Titin untuk makan bareng. Dia langsung menolak tawaranku. Padahal aku tidak pernah membeda-bedakan asisten rumah tangga atau siapapun itu. Mereka bebas makan bersama kami, selama masih memiliki sopan santun. Tapi Mbak Titin yang selalu segan dan memilih makan di mejanya sendiri bersama dengan sopir dan asisten rumah tangga lainnya.

"Yeay, ayam goreng!" Devan bersorak.

"Aku rindu masakan Mama!" sambung Devia.

"Mama juga rindu memasak untuk kalian. Ayo, duduk."

Devia dan Devan langsung memekik gembira ketika kusiapkan makanan di piringnya.

Kali ini ayam menggoreng beserta capcay dan lauk pauk lainnya menjadi menu utama. Kedua anak kecil itu sudah pandai makan sendiri, terlebih Devan yang mandiri. Mbak Titin hanya mengarahkan mereka, selebihnya anak-anak terbiasa menikmati makanannya dengan usahanya sendiri.

"Makan pelan-pelan aja, biar nggak tersedak."

"Abisnya aku rindu masakan Mama." Devan bersuara yang diangguki oleh adiknya.

"Iya, masakan Mama the best!" kata Devia ikut-ikutan.

Aku tersenyum bahagia melihat mulut kedua anakku penuh makanan.

Tak lupa kulayani suamiku dengan mengambilkan nasi dan lauk pauk ke piringnya. Mas Frans menikmati makanannya sampai beberapa kali nambah.

Ah Mas, seandainya saja kamu mau bersabar beberapa bulan lagi, tentu hanya akan ada keluarga kita tanpa orang ketiga dalam pernikahan ini.

"Kamu kenapa, kok malah memperhatikanku dari tadi? Kenapa kamu nggak makan juga?"

Mas Frans membuyarkan lamunan, membuat aku tersenyum kikuk, kemudian memasukkan nasi ke mulut.

Seperti biasa, makanan yang kubuat selalu enak. Tapi entah kenapa belakangan ini rasanya terasa hambar untuk sekedar menikmatinya. Apalagi saat mengingat bayang-bayang pengantin baru di rumah mertua.

Oh, ya Tuhan, semoga engkau menguatkan aku dan menjauhkan aku dari segala cemburu dan rasa sakit hati. Jika kedepannya aku harus berbagi dengan wanita itu, maka aku pasrahkan hatiku padamu.

Mungkin ini cara Allah menegurku karena aku lebih mencintai umatnya dibandingkan padaNya. Betapa seorang anak manusia telah membuatku sedikit lalai dalam membagi cinta kasih pada Sang Maha Cinta.

Perut Mas Frans sudah kekenyangan. Terbukti dengan beberapa kali pria itu mengusap perut. Setelah membersihkan tangan dan mulut, Mas Frans mengajak anak-anak bermain dan belajar sebelum tidur.

Aku masih memperhatikannya sambil menatap foto Ridho yang terbaring dalam inkubator. Beberapa menit sebelum pulang dari rumah sakit, aku sempat mengambil gambarnya. Tak terasa air mataku berjatuhan demi menatap putra ketigaku itu. Semoga dia berumur panjang, sehat dan tidak kurang sesuatu apapun, amin … doaku dalam hati.

Pintu diketuk dengan tidak sabaran dari luar. Mbak Titin langsung membukanya dengan tergesa. Mataku membulat sempurna ketika melihat dua orang yang tidak diinginkan kini berada di ambang pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status