Share

Bab 5

Author: Bun say
last update Last Updated: 2023-06-18 19:32:45

"Arfan, akhirnya kamu datang juga."

Aku menghela nafas setelah pria itu akhirnya muncul di depanku. Padahal berkali-kali aku mengirim pesan padanya, tapi terus diabaikan olehnya.

"Sepertinya kamu penasaran sekali hingga menyuruhku datang cepat-cepat ke sini."

Arfan meletakkan kopi panas di atas meja kemudian mulai duduk di sampingku.

"Bagaimana keadaanmu dan bayimu?" tanya pria itu memastikan. Arfan menyentuh tangan. Tapi sehalus mungkin berusaha kutarik tanganku, agar jangan sampai ada fitnah diantara kami, yang ujung-ujungnya malah membuat hubunganku dengan Mas Frans semakin renggang. Bisa makin jauh dia dan lari ke pelukan Sintia.

"Aku baik. Tapi aku penasaran dengan wanita itu. Oh ya, bisakah kau ceritakan sekarang saja. Aku ingin tahu seperti apa seluk beluk wanita yang menjadi istri kedua suamiku itu." 

Aku yang tak sabaran orangnya, bicara pada intinya agar tak buang-buang waktu.

"Semuanya ada di sini."

 Arfan kemudian mengirim file doc lewat ponselnya.

"Arfan, padahal kau tidak perlu jauh-jauh datang ke sini jika bisa mengirimkannya lewat WA. Gimana sih." Aku mendumel dengan mulut  maju dua senti.

Arfan tergelak sampai gigi-giginya yang putih bersih terlihat olehku. Pria itu memasang senyum, yang meskipun sudah sekian tahun berlalu, tapi tidak pernah berubah. Arfan tetap ramah dan periang. Dia juga sahabat yang baik.

"Itu karena aku ingin mengunjungimu. Kupikir keadaanmu mengkhawatirkan, tapi ternyata tidak. Kamu hanya luka sedikit di bagian pelipis dan bekas melahirkan saja, 'kan?!"

Pria itu menyentuh perban yang melingkar di dahi. Aku mengangguk cepat. Tak sabar rasanya melihat data diri tentang Sintia, makanya kubiarkan pria itu melakukan apapun, sementara aku menekan file dan mulai melihat isinya.

Kita lihat Sintia, apa yang kau miliki di hidupmu sebelum bertemu dengan suamiku.

"Hai, jangan abaikan aku terus, Cahya. Aku masih di sini. Kamu bisa membacanya nanti."

 Arfan merebut ponsel dari tanganku, kemudian menyimpannya di nakas. Kebiasaannya yang suka merajuk karena diabaikan kembali lagi.

"Baiklah, ceritakan tentang dirimu dan kegiatanmu sehari-hari. Dan kapan kamu akan menikah?!" pancingku sambil memindai matanya yang seketika membuat Arfan melebarkan mata. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal tentu saja.

"Entahlah, aku masih belum kepikiran ke arah sana. Tanyakan yang lain. Kabarku atau apa kek, kau malah menanyakan jodohku. Bagaimana sih, kamu itu."

Arfan mengusap-ngusap kepalaku. Tangannya yang ekstra jahil itu membuatku kadang-kadang risih dengan tingkahnya.

Bukan apa-apa, di masa lalu pria itu kerap kali menyatakan cintanya padaku. Arfan akan benar-benar hidup untukku, bahkan dia pernah bilang akan menungguku. Tapi sampai kapan, bahkan setelah memiliki tiga orang anak, pria itu masih betah menjomblo.

"Kalau kau tak memiliki pasangan. Kenapa kau tidak menikah saja dengan Yanti?"

 Arfan yang tengah meneguk kopi miliknya, seketika menyemburkannya hingga membasahi selimut yang menutupiku. 

"Jangan macam-macam, Cahya. Aku dan Yanti itu sama seperti aku pada kamu. Mana mungkin aku menikahinya. Ck, yang benar saja kamu itu."

Arfan berdecak kemudian meraih tisu dan menyeka sudut bibirnya. Aku terbahak melihatnya. 

"Ya, kali aja kamu setuju nikah sama dia. Bukankah cinta itu akan hadir karena terbiasa?"

"Nggak usah main-main, Ya. Bikin otak panas aja kamu."

"Aku tidak akan lelah menjodohkan kamu dan Yanti, meskipun kalian kadang seperti guguk dan kucing," ucapku dengan yakin.

"Dahlah, jangan ngaco. Aku nggak ada perasaan sama dia."

Iya, aku benar-benar tak akan berhenti comblangin mereka.

Apa salahnya coba. Yanti dan Arfan sama-sama single dan keduanya pun cukup lumayan cantik dan tampan. Rasanya mereka serasi jika duduk di atas pelaminan.

Arfan pulang satu jam kemudian, meninggalkan aku sendiri yang kembali ditemani sepi. Sore harinya Mas Frans datang ke rumah sakit. Wajahnya tampak ditekuk dan memancarkan aura gelap.

"Kenapa kamu, Mas? Apa kamu ada masalah di kantor?" tanyaku menatap malas padanya. Kebiasaan lainnya yang dia miliki adalah selalu membawa-bawa urusan kantor ke dalam rumah. 

"Tadi Arfan datang ke sini?" tanya pria itu sambil duduk di sampingku. Oh, karena itu dia kesal. Pantas.

 Aku mengangguk. Kuraih buah-buahan yang baru saja aku kupas. Mas Frans meraih beberapa potong kemudian memasukkannya ke dalam mulut.

"Apa saja yang kalian lakukan, berdua-dua di dalam kamar pasien tanpa seorang lain yang menemani?" gerutunya kesal.

"Emang apa masalahnya. Dia 'kan sahabatku. Kami cuma ngobrol biasa, kok," ujarku merasa jika Mas Frans cemburu dengan kehadiran pria itu. 

"Kamu masih ingat dengan laranganku, 'kan? Dengar Cahya, bukan berarti aku sudah menikah lagi kau bebas juga berdekatan dengan pria lain. Kau beda, Cahya. Ingat itu!"

Mas Frans menekankan kata-katanya. Terlihat raut kebencian di dalam matanya untuk Arfan.

"Bilang aja kalau kamu cemburu, Mas?" sahutku cepat.

Bukan sekali dua kali Mas Frans melarang Arfan untuk dekat-dekat denganku. Tapi tentu saja pria itu tidak pernah menggubrisnya, karena merasa pertemanan kami masih dalam batas kewajaran. Lagi pula selama ini hanya Arfan yang bisa kuandalkan, setelah suamiku itu selalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor.

"Kalau iya, memangnya kenapa?! Seorang pria bisa menikahi beberapa wanita, tapi seorang wanita haram berdekatan dengan pria lain!" desisnya.

"Meskipun jalannya harus sembunyi-sembunyi?" tanyaku menyindirnya. Membuat wajah Mas Frans menggelap. Wajah pria itu semakin kalut saja ketika menatapku jengkel.

"Tolong jangan memancing amarahku, Cahya. Suka atau tidak, aku ini suamimu. Pria yang harus kau hormati. Ingat, surga dan nerakamu ada padaku. Berhenti berpikir seolah olah aku ini telah melakukan kesalahan yang besar dengan menikahi Sintia.  Lagian aku tidak perlu izin untuk menikah lagi! Bahkan demi membuktikan cintaku padamu dan anak-anak, aku sudah memasrahkan semua hartaku untuk kalian! Jadi apa lagi yang menurutmu kurang?!"  

"Baiklah, Mas. Karena aku tidak mau berdebat denganmu. Sebaiknya carikan saja makanan pedas untukku. Aku lapar dan belum makan. Kamu tahu 'kan kalau makanan rumah sakit itu hambar rasanya?!" ujarku mengalihkan pembicaraan. Jika terus terusan menurut emosinya bukan tidak mungkin Mas Frans akan mengingat dan menghindari, seperti yang biasa dia lakukan.

"Ya udah, tunggu bentar. Aku beli ke depan."

Dasar pria egois. Aku dekat dengan pria lain, dia marah. Padahal kami tidak ada hubungan apa-apa. Tapi Mas Frans marahnya ampun-ampunan. Apa kabar dia yang menikah diam-diam dengan wanita itu. Ck.

Oh ya, kenapa aku lupa dengan file yang dikirimkan oleh Arfan.

Selepas Mas Frans pergi, kucari ponsel yang sejak tadi teronggok di atas nakas. Tapi, ke mana perginya benda pipih persegi panjang itu. Bahkan setelah aku mencarinya kemana-mana, tidak juga kutemukan.

Apa jangan-jangan Mas Frans menyita dan membawanya juga. Ya ampun, keterlaluan sekali dia.

Aku pura-pura memakan buah saat Mas Frans kembali. Dia tampak berseri-seri setelah pergi hampir setengah jam lamanya. Kuperhatikan wajahnya yang mengulum senyum.

"Kenapa kamu, Mas? Kayak lagi bahagia gitu?!" 

"Eh, nggak. Siapa yang bahagia. Ini, Mas belikan pecel lele. Kamu pasti suka." Mas Frans meletakkan makanan di atas nakas dan mulai membukanya.

"Ponselku mana? Mas sengaja membawanya, 'kan?" tanyaku menyelidik.

"Nggak sengaja kebawa. Nih." Pria itu menyodorkan benda pipih dari saku celana. Aku menekan tombol on dan tersenyum saat ternyata ponselku tertukar dengan miliknya.

Ponsel Mas Frans setipe dengan milikku. Dia juga tidak suka menguncinya, makanya dengan mudah kubaca isi pesannya.

Tapi apa ini. Mataku melebar saat melihat penampakannya Sintia dan lingerie yang dipakainya.

Allohurobbi … mending kalau mulus, tubuh banyak koreng aja dipamerkan.

Seketika aku terbahak bahak melihat foto dan video yang dia kirimkan. Tingkahnya itu mirip guguk yang kelaparan dengan menjulurkan lidahnya.  Amit- amit dah.

Pantas saja Mas Frans juga tertawa tawa tadi.

Haduh … dasar kocak. Aku rasanya pengen pipis saking ngakaknya lihat kelakuan si Sintia di atas ranjang.

"Cahya, kamu ngapain!!" Mas Frans merebut ponselnya dariku. Wajahnya langsung berubah sesaat  setelah memeriksa isinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Baru di Rumah Mertua   Bab 59

    Egois. Ingin sekali aku meneriakan kata itu di depan wajah Arfan. Tapi semuanya tidak ada gunanya. Arfan benar. Sesuatu yang dipaksakan memang tidak akan berakhir dengan bahagia. Apalagi jika Arfan melakukan semuanya dengan kepura-puraan, hati Yanti pasti akan jauh lebih sakit kalau dia tidak dicintai sepenuh hati oleh suaminya sendiri.“Makanya, Ya, aku pikir inilah jalan terbaik untuk kami berdua.” Hening setelah perbincangan ini. Arfan pasti sudah memikirkan secara matang-matang. Tapi, meski aku merasa ini tidak adil untuk Yanti, toh mereka berdua sudah memutuskan dan aku berharap Yanti mendapatkan kebahagiaan lain dalam hidupnya. Ya, mungkin dia sengaja pergi untuk melupakan semuanya dan menjalani hidup baru. Aku berharap saat dia kembali nanti, akan ada cahaya cinta di hatinya untuk orang lain yang juga merasakan hal yang sama untuknya.“Jadi apa yang akan kau lakukan setelah menghancurkan hati sahabatku, hm?”Arfan terkekeh. “Kau sudah tahu apa yang aku inginkan tanpa harus

  • Pengantin Baru di Rumah Mertua   Bab 58

    Kabar tentang hubungan Yanti dan Arfan terhenti begitu saja. Aku terlalu sibuk mengurusi persiapan pernikahan kak Anisa dan Abbas yang akan digelar di kota kembang. Sengaja aku boyong ketiga anakku ke sana, sekalian ingin liburan, juga ingin menenangkan hati dan pikiran. Tentu saja tanpa Pak Bas apalagi Arfan dan Yanti.Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri, tanpa ada campur tanganku. Lagi pula mereka sudah dewasa untuk menentukan pilihan, yang jelas semoga Arfan lebih bijak dalam menyikapi perasaannya pada sahabatku tersebut. Mbak Titin dan Mbak Ros juga Anjas turut serta mendampingiku ke Bandung. Beruntung rumah ayah cukup besar untuk dihuni oleh beberapa orang lagi, hingga tidak perlu berdesakan apalagi berbagi kamar hanya untuk menghabiskan waktu istirahat. Tiap hari aku dan keluarga berkeliling di kota Bandung. Selain mencari hiburan juga menjelajah wisata kuliner sambil hunting beberapa barang untuk keperluan pernikahan. Hingga tiga hari sebelum acara sakral i

  • Pengantin Baru di Rumah Mertua   Bab 57

    Setelah hampir satu jam mengobrol, akhirnya mereka pamit untuk pulang. Aku kembali ke dalam kamar, mengistirahatkan badan yang terasa lelah. Tiga anakku ikut tidur dalam satu kamar, jadinya kami harus berbagai tempat tidur. Untunglah tubuh mereka masih kecil hingga tidak membuat tempat tidur ini sempit karena ukurannya yang cukup besar. Aku hampir memejamkan mata saat mendengar suara ketukan di pintu. Tok tok tok!“Cahya, apa kamu sudah tidur?”‘Yanti?’ Buru-buru ‘ku buka pintu setelah mendengar siapa yang memanggil-manggil namaku. “Ada apa, Yan? Kenapa kamu terlihat cemas sekali?” Kuajak wanita itu masuk ke dalam kamar. Yanti menggeleng segera, “Sejak tadi Arfan belum pulang, Ya. Aku takut terjadi sesuatu padanya,” jawabnya cemas. ‘Kulirik jam yang bertengger di tembok. Waktu menunjukkan hampir tengah malam. “Ke mana kira-kira suamimu pergi? Apa ada masalah sebelumnya hingga dia pergi begitu saja?”“Entahlah, aku juga tidak tahu. Dia pergi setelah kedatangan orang tua Pak Bas

  • Pengantin Baru di Rumah Mertua   Bab 56

    “Maksudnya, liburan ke mana, ya, Pak?” Aku terus mengekor di belakang Pak Bas ketika pria itu menyapa anak-anak. Pria yang masih mengabaikanku itu hanya menjawab dengan senyuman, tanpa ada niat untuk bersuara. Anak-anak langsung antusias masuk ke dalam mobil dan memintaku untuk masuk juga dengan gerakan kepalanya. “Udah, masuk aja sana, kita butuh refreshing setelah kamu menghadapi hari-hari yang buruk juga menghadapi kasus tentang suamimu. Kebetulan Ayah juga sudah bosan tinggal di rumah terus dan ingin menghirup udara segar,” timpal Ayah seolah-olah keduanya sudah merencanakannya.Aku tak bersuara dan memilih masuk ke dalam mobil, lalu duduk di samping pria itu. Kendaraan pun meluncur ke arah puncak. Iring-iringan dua kendaraan langsung berhenti di salah satu tempat yang kuduga adalah villa yang entah milik siapa. Sepanjang perjalanan tadi, bahkan kami tidak saling bicara, aku juga tidak ada niat untuk bertanya macam-macam pada pria yang terlihat bahagia, dengan sesekali menimpal

  • Pengantin Baru di Rumah Mertua   Bab 55

    Arfan tampak salah tingkah ketika aku meninggalkan mereka berdua. Bisa dilihat dari auranya, kalau Yanti yang tidak ikhlas dan masih ragu dengan kesungguhan suaminya. Padahal mati-matian sudah kukatakan kalau aku tidak berharap atau memberi harapan apapun pada pria itu. Bahkan ketika aku berjalan ke parkiran dan menunggu taksi, di balik kaca kelihatan keduanya sedang bertengkar. Berulang kali Yanti menunjuk-nunjuk wajah Arfan. Melihatnya keduanya yang emosi, aku hanya bisa mendesah. Mereka bahkan bukan anak kecil yang harus mempermasalahkan kehadiranku diantara hubungan mereka. Haruskah aku menerima perasaan Pak Bas saja, agar Yanti dan Arfan lebih tenang?Kembali ke rumah, aku dikejutkan dengan suara gedoran dari pintu yang tertutup rapat. Telingaku awas mendengar suara seseorang yang berteriak di luar sana. “Buka, Cahya! Buka! Aku tahu kamu ada di dalam!” Mbak Ros memburu ke arah pintu setelah aku mengiyakan. Di sana, Dewi dan Fida langsung melotot sambil memburu masuk ke dala

  • Pengantin Baru di Rumah Mertua   Bab 54

    “Kalau kau bener-bener mengetahui apa yang terjadi dengan suamiku alias iparmu, kenapa kau tidak bicara langsung setelah kecelakaan itu?” Aku bertanya dengan tegas pada Andika, tak peduli seandainya Dewi akan marah kalau aku bicara dengan suaminya malam- malam begini.Andika tidak langsung menyahut. Kuat dugaan dia hanya asal bicara dan menginginkan sesuatu dariku. Uang, ya, dalam otak mereka hanya itu yang penting. Apalagi aku tahu bagaimana Andika selama ini. Pria pemalas itu akan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan uang. “Tenanglah, Cahya. Aku memang sedikit salah. Awalnya aku tidak mau memberitahukan ini padamu karena toh Frans juga sudah mati. Hanya saja, setelah penjelasanmu pada Fida dan Dewi, keduanya jadi sedikit pintar sekarang. Bahkan Dewi tidak mau memberikan sebagian uangnya untukku. Wanita itu keukeuh ingin membuka usaha sesuai dengan apa yang kau sarankan sebelumnya.”Oh, jadi itu alasannya. Bagus juga sih, setidaknya otak Dewi pintar juga. Mungkin Andik

  • Pengantin Baru di Rumah Mertua   Bab 53

    “Yan, kalau kamu ada masalah. Aku siap kok dengerin curhatan kamu, sama seperti selama ini kamu selalu mendengar curhatanku.” Aku menahan tangan wanita itu yang ngeloyor hendak pergi ke ruang tamu. Melihat tingkahnya yang begini, aku hafal benar kalau ada yang tengah dia sembunyikan, atau bisa jadi ini tentang pernikahannya tidak baik-baik saja. Atau jangan-jangan bener yang apa yang aku pikirkan selama ini, kalau Arfan belum bisa menerima istrinya sepenuh hati, dan itu gara-gara perasaannya terhadapku.Tatapan Yanti beralih pada Abbas. “Sekarang aku sadar saat melihat Abbas, kalau ternyata cinta pertama memang tidak semudah itu dibuang,” ujarnya lesu tidak seperti saat datang tadi, Yanti terlihat sumringah. Abbas yang keheranan pun hanya menautkan alisnya bingung.Tak mau bertanya lebih lanjut karena ingin menghargai privasinya, aku memilih menyudahi obrolan. Tapi berharap suatu hari nanti Yanti akan menjelaskan semuanya. Mungkin aku terkesan kepo, tapi itu karena aku sangat pedul

  • Pengantin Baru di Rumah Mertua   Bab 52

    Selesai makan siang bersama, kami bicara serius di ruang tamu. Sesuai kesepakatan, Ibu mendapatkan beberapa bagian peninggalan, berupa deposito, tabungan, serta bidang tanah di satu tempat. Terserah Ibu mau membaginya lagi kepada dua putrinya, aku menyerahkan semuanya pada Ibu. Yang jelas Fida dan Dewi sudah punya bagiannya masing-masing. Hanya saja Pak Bas mengingatkan agar kalau mau membaginya lagi, harus disaksikan oleh orang-orang yang berkumpul ini. Tentunya kami semua tidak mau kalau seandainya Fida dan Dewi malah memanfaatkan harta peninggalan Mas Frans untuk kepentingannya sendiri.Kami semua juga tahu kalau Doni dan Andika adalah orang luar, yang takutnya ingin menggasak harta kekayaan ibu mertua. Sementara keduanya adalah pria pemalas, yang di kantor saja sering mendapatkan SP karena kinerjanya kurang memuaskan. Hal itu juga dijelaskan oleh Pak Agung saat aku berkunjung ke kantornya waktu itu. Kalau bukan karena Mas Frans, keduanya mungkin sudah dipecat sejak beberapa bu

  • Pengantin Baru di Rumah Mertua   Bab 51

    Bab 51"Yang mana?"Aku terkejut bukan main. Lekas kuletakkan sandwich yang baru kugigit separuh. Tatapanku tertuju ke arah pandang Anjas sekarang."Yang itu, yang pakai kemeja biru langit. Kayaknya aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya?!" Anjas tampak mengingat- ingat sambil menekan- nekan dagunya. Sandwich itu baru satu gigitan dimakan olehnya.Aku kembali memundurkan tubuh ke belakang sambil bersandar. Orang yang dimaksud Anjas bukan salah satu pria yang mengikuti ke kantor polisi."Eh, Bu Cahya sendiri kenal nggak sama orang itu?" Aku menggeleng."Sepertinya beda divisi," jawabku.Anjas mengangguk lemah. Satu jam kemudian, semua orang sudah masuk kantor. Aku berjalan ke dalam sendirian untuk bertemu dengan Pak Agung, mengurus tunjangan yang akan diberikan oleh perusahaan. Sengaja aku datang ke tempat ini mengajak Anjas, dan menolak staf kantor yang akan datang ke rumah. Tapi sepertinya aku

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status