Share

Bab 5

"Arfan, akhirnya kamu datang juga."

Aku menghela nafas setelah pria itu akhirnya muncul di depanku. Padahal berkali-kali aku mengirim pesan padanya, tapi terus diabaikan olehnya.

"Sepertinya kamu penasaran sekali hingga menyuruhku datang cepat-cepat ke sini."

Arfan meletakkan kopi panas di atas meja kemudian mulai duduk di sampingku.

"Bagaimana keadaanmu dan bayimu?" tanya pria itu memastikan. Arfan menyentuh tangan. Tapi sehalus mungkin berusaha kutarik tanganku, agar jangan sampai ada fitnah diantara kami, yang ujung-ujungnya malah membuat hubunganku dengan Mas Frans semakin renggang. Bisa makin jauh dia dan lari ke pelukan Sintia.

"Aku baik. Tapi aku penasaran dengan wanita itu. Oh ya, bisakah kau ceritakan sekarang saja. Aku ingin tahu seperti apa seluk beluk wanita yang menjadi istri kedua suamiku itu." 

Aku yang tak sabaran orangnya, bicara pada intinya agar tak buang-buang waktu.

"Semuanya ada di sini."

 Arfan kemudian mengirim file doc lewat ponselnya.

"Arfan, padahal kau tidak perlu jauh-jauh datang ke sini jika bisa mengirimkannya lewat WA. Gimana sih." Aku mendumel dengan mulut  maju dua senti.

Arfan tergelak sampai gigi-giginya yang putih bersih terlihat olehku. Pria itu memasang senyum, yang meskipun sudah sekian tahun berlalu, tapi tidak pernah berubah. Arfan tetap ramah dan periang. Dia juga sahabat yang baik.

"Itu karena aku ingin mengunjungimu. Kupikir keadaanmu mengkhawatirkan, tapi ternyata tidak. Kamu hanya luka sedikit di bagian pelipis dan bekas melahirkan saja, 'kan?!"

Pria itu menyentuh perban yang melingkar di dahi. Aku mengangguk cepat. Tak sabar rasanya melihat data diri tentang Sintia, makanya kubiarkan pria itu melakukan apapun, sementara aku menekan file dan mulai melihat isinya.

Kita lihat Sintia, apa yang kau miliki di hidupmu sebelum bertemu dengan suamiku.

"Hai, jangan abaikan aku terus, Cahya. Aku masih di sini. Kamu bisa membacanya nanti."

 Arfan merebut ponsel dari tanganku, kemudian menyimpannya di nakas. Kebiasaannya yang suka merajuk karena diabaikan kembali lagi.

"Baiklah, ceritakan tentang dirimu dan kegiatanmu sehari-hari. Dan kapan kamu akan menikah?!" pancingku sambil memindai matanya yang seketika membuat Arfan melebarkan mata. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal tentu saja.

"Entahlah, aku masih belum kepikiran ke arah sana. Tanyakan yang lain. Kabarku atau apa kek, kau malah menanyakan jodohku. Bagaimana sih, kamu itu."

Arfan mengusap-ngusap kepalaku. Tangannya yang ekstra jahil itu membuatku kadang-kadang risih dengan tingkahnya.

Bukan apa-apa, di masa lalu pria itu kerap kali menyatakan cintanya padaku. Arfan akan benar-benar hidup untukku, bahkan dia pernah bilang akan menungguku. Tapi sampai kapan, bahkan setelah memiliki tiga orang anak, pria itu masih betah menjomblo.

"Kalau kau tak memiliki pasangan. Kenapa kau tidak menikah saja dengan Yanti?"

 Arfan yang tengah meneguk kopi miliknya, seketika menyemburkannya hingga membasahi selimut yang menutupiku. 

"Jangan macam-macam, Cahya. Aku dan Yanti itu sama seperti aku pada kamu. Mana mungkin aku menikahinya. Ck, yang benar saja kamu itu."

Arfan berdecak kemudian meraih tisu dan menyeka sudut bibirnya. Aku terbahak melihatnya. 

"Ya, kali aja kamu setuju nikah sama dia. Bukankah cinta itu akan hadir karena terbiasa?"

"Nggak usah main-main, Ya. Bikin otak panas aja kamu."

"Aku tidak akan lelah menjodohkan kamu dan Yanti, meskipun kalian kadang seperti guguk dan kucing," ucapku dengan yakin.

"Dahlah, jangan ngaco. Aku nggak ada perasaan sama dia."

Iya, aku benar-benar tak akan berhenti comblangin mereka.

Apa salahnya coba. Yanti dan Arfan sama-sama single dan keduanya pun cukup lumayan cantik dan tampan. Rasanya mereka serasi jika duduk di atas pelaminan.

Arfan pulang satu jam kemudian, meninggalkan aku sendiri yang kembali ditemani sepi. Sore harinya Mas Frans datang ke rumah sakit. Wajahnya tampak ditekuk dan memancarkan aura gelap.

"Kenapa kamu, Mas? Apa kamu ada masalah di kantor?" tanyaku menatap malas padanya. Kebiasaan lainnya yang dia miliki adalah selalu membawa-bawa urusan kantor ke dalam rumah. 

"Tadi Arfan datang ke sini?" tanya pria itu sambil duduk di sampingku. Oh, karena itu dia kesal. Pantas.

 Aku mengangguk. Kuraih buah-buahan yang baru saja aku kupas. Mas Frans meraih beberapa potong kemudian memasukkannya ke dalam mulut.

"Apa saja yang kalian lakukan, berdua-dua di dalam kamar pasien tanpa seorang lain yang menemani?" gerutunya kesal.

"Emang apa masalahnya. Dia 'kan sahabatku. Kami cuma ngobrol biasa, kok," ujarku merasa jika Mas Frans cemburu dengan kehadiran pria itu. 

"Kamu masih ingat dengan laranganku, 'kan? Dengar Cahya, bukan berarti aku sudah menikah lagi kau bebas juga berdekatan dengan pria lain. Kau beda, Cahya. Ingat itu!"

Mas Frans menekankan kata-katanya. Terlihat raut kebencian di dalam matanya untuk Arfan.

"Bilang aja kalau kamu cemburu, Mas?" sahutku cepat.

Bukan sekali dua kali Mas Frans melarang Arfan untuk dekat-dekat denganku. Tapi tentu saja pria itu tidak pernah menggubrisnya, karena merasa pertemanan kami masih dalam batas kewajaran. Lagi pula selama ini hanya Arfan yang bisa kuandalkan, setelah suamiku itu selalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor.

"Kalau iya, memangnya kenapa?! Seorang pria bisa menikahi beberapa wanita, tapi seorang wanita haram berdekatan dengan pria lain!" desisnya.

"Meskipun jalannya harus sembunyi-sembunyi?" tanyaku menyindirnya. Membuat wajah Mas Frans menggelap. Wajah pria itu semakin kalut saja ketika menatapku jengkel.

"Tolong jangan memancing amarahku, Cahya. Suka atau tidak, aku ini suamimu. Pria yang harus kau hormati. Ingat, surga dan nerakamu ada padaku. Berhenti berpikir seolah olah aku ini telah melakukan kesalahan yang besar dengan menikahi Sintia.  Lagian aku tidak perlu izin untuk menikah lagi! Bahkan demi membuktikan cintaku padamu dan anak-anak, aku sudah memasrahkan semua hartaku untuk kalian! Jadi apa lagi yang menurutmu kurang?!"  

"Baiklah, Mas. Karena aku tidak mau berdebat denganmu. Sebaiknya carikan saja makanan pedas untukku. Aku lapar dan belum makan. Kamu tahu 'kan kalau makanan rumah sakit itu hambar rasanya?!" ujarku mengalihkan pembicaraan. Jika terus terusan menurut emosinya bukan tidak mungkin Mas Frans akan mengingat dan menghindari, seperti yang biasa dia lakukan.

"Ya udah, tunggu bentar. Aku beli ke depan."

Dasar pria egois. Aku dekat dengan pria lain, dia marah. Padahal kami tidak ada hubungan apa-apa. Tapi Mas Frans marahnya ampun-ampunan. Apa kabar dia yang menikah diam-diam dengan wanita itu. Ck.

Oh ya, kenapa aku lupa dengan file yang dikirimkan oleh Arfan.

Selepas Mas Frans pergi, kucari ponsel yang sejak tadi teronggok di atas nakas. Tapi, ke mana perginya benda pipih persegi panjang itu. Bahkan setelah aku mencarinya kemana-mana, tidak juga kutemukan.

Apa jangan-jangan Mas Frans menyita dan membawanya juga. Ya ampun, keterlaluan sekali dia.

Aku pura-pura memakan buah saat Mas Frans kembali. Dia tampak berseri-seri setelah pergi hampir setengah jam lamanya. Kuperhatikan wajahnya yang mengulum senyum.

"Kenapa kamu, Mas? Kayak lagi bahagia gitu?!" 

"Eh, nggak. Siapa yang bahagia. Ini, Mas belikan pecel lele. Kamu pasti suka." Mas Frans meletakkan makanan di atas nakas dan mulai membukanya.

"Ponselku mana? Mas sengaja membawanya, 'kan?" tanyaku menyelidik.

"Nggak sengaja kebawa. Nih." Pria itu menyodorkan benda pipih dari saku celana. Aku menekan tombol on dan tersenyum saat ternyata ponselku tertukar dengan miliknya.

Ponsel Mas Frans setipe dengan milikku. Dia juga tidak suka menguncinya, makanya dengan mudah kubaca isi pesannya.

Tapi apa ini. Mataku melebar saat melihat penampakannya Sintia dan lingerie yang dipakainya.

Allohurobbi … mending kalau mulus, tubuh banyak koreng aja dipamerkan.

Seketika aku terbahak bahak melihat foto dan video yang dia kirimkan. Tingkahnya itu mirip guguk yang kelaparan dengan menjulurkan lidahnya.  Amit- amit dah.

Pantas saja Mas Frans juga tertawa tawa tadi.

Haduh … dasar kocak. Aku rasanya pengen pipis saking ngakaknya lihat kelakuan si Sintia di atas ranjang.

"Cahya, kamu ngapain!!" Mas Frans merebut ponselnya dariku. Wajahnya langsung berubah sesaat  setelah memeriksa isinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status