Damian menyipitkan mata, memperhatikan wanita di hadapannya dengan lebih saksama. Ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang hampir terasa seperti deja vu. Tapi itu tidak masuk akal.
Laurent Forst bukan sekadar wanita cantik, dia adalah sosok yang berpengaruh, seseorang yang tiba-tiba muncul di dunia bisnis dengan nama besar dan kekuatan yang sulit diabaikan. Dan kini, dia berdiri di sini, dalam acara yang sama dengannya. "Laurent Forst," Damian akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu. "Nama yang cukup baru di dunia properti, tapi dengan langkah yang mengesankan. Aku ingin tahu, dari mana kau belajar semua itu?" Laurent tersenyum kecil, mengangkat gelas sampanyenya dengan gerakan anggun. "Dari seseorang yang sangat memahami permainan ini," jawabnya ringan, nada suaranya begitu dingin dan tajam, namun mengalun dengan keanggunan yang anehnya… terasa akrab bagi Damian. Dia menatapnya lebih lama, mencoba mencari sesuatu di balik wajah sempurna itu. "Caramu bicara… seperti aku pernah mendengarnya sebelumnya," gumamnya, hampir untuk dirinya sendiri. Laurent tetap tersenyum, tapi sorot matanya tajam. "Benarkah?" tanyanya, memiringkan kepalanya sedikit, seolah menikmati kebingungan Damian. Damian mengerutkan kening. Itu tidak mungkin. Mantan istrinya—Elara—tidak mungkin berdiri di hadapannya seperti ini. Elara adalah wanita lemah dan wajahnya juga buruk, seseorang yang dia tinggalkan tanpa menoleh ke belakang. Seseorang yang... tidak ada hubungannya dengan Laurent Forst yang luar biasa ini. Tapi mengapa suara itu... intonasi itu... terasa begitu familiar? Damian menegakkan bahunya, menepis pikirannya sendiri. Mungkin hanya kebetulan. Atau mungkin Laurent Forst hanya memiliki cara bicara yang mengingatkannya pada seseorang dari masa lalunya. Ya. Pasti hanya itu. Sementara itu, Laurent menyesap sampanyenya dengan santai, menikmati setiap detik permainan ini. Dia bisa melihat pertanyaan di mata Damian. ** "Aku ke toilet sebentar," bisik Laurent pada Adrian, yang tengah berbincang dengan beberapa pengusaha di ruangan itu. Adrian menoleh, lalu mengangguk kecil sebelum jemarinya sekilas menggenggam tangan Laurent—singkat, tapi cukup untuk menyampaikan sesuatu yang lebih dalam. Laurent membalas sentuhan itu dengan senyum samar sebelum berbalik pergi. Damian yang sejak tadi berusaha mengalihkan perhatiannya dari wanita itu tiba-tiba merasa dorongan aneh dalam dirinya. Dia ingin mengikuti Laurent. "Mau ke mana?" Sebuah suara menghentikannya. Alicia, istrinya, menatapnya dengan mata menyelidik, meskipun bibirnya tetap melengkung dalam senyum lembut, menjaga martabatnya di tengah acara yang penuh dengan kalangan elite. "Aku mau ke toilet," jawab Damian singkat. Alicia tetap tersenyum, tetapi saat melihat suaminya berjalan ke arah yang sama dengan Laurent, dadanya mulai terasa sesak. Ada sesuatu yang aneh. Di lorong toilet… Laurent baru saja akan kembali ketika sebuah suara menghentikannya. "Laurent?" Dia menoleh. Damian berdiri di sana, sorot matanya penuh rasa ingin tahu yang belum sepenuhnya bisa ia mengerti. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Laurent mengangkat alisnya, lalu tersenyum seolah pertanyaan itu tidak berarti apa-apa baginya. "Entahlah… Tapi selama ini aku berada di luar negeri. Jadi, kurasa kecil kemungkinan kita pernah bertemu." "Benarkah?" Damian tampak berpikir. Namun, hatinya berkata lain. Suara itu. Intonasi itu. Cara bicara Laurent… mirip sekali dengan seseorang. Perasaan gelisah merayapi pikirannya. Mustahil. "Siapa lelaki yang bersamamu malam ini?" tanya Damian, mengalihkan pikirannya sendiri. Laurent menatapnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum, tenang dan penuh percaya diri. "Calon suamiku." Damian membeku sesaat, lalu tersenyum miring, seolah mengukur kebenaran di balik kata-kata itu. Namun sebelum dia sempat membalas, suara langkah terdengar mendekat. Laurent menggeser pandangannya, mendapati seorang wanita berdiri tak jauh dari mereka. Senyum Laurent semakin dalam. "Oh… dan siapa wanita yang bersamamu malam ini?" tanyanya dengan nada polos yang jelas dimaksudkan untuk menusuk. Damian mendongak, tatapannya tetap terpaku pada Laurent saat ia menjawab dengan nada santai, "Hanya seseorang yang mengikutiku." Ada jeda singkat, seolah udara di antara mereka tiba-tiba menjadi lebih dingin. Laurent menatapnya sejenak, lalu sudut bibirnya melengkung dalam senyum tipis. "Oh? Kukira istrimu." Di kejauhan, Alicia berdiri diam, hatinya mencelos mendengar jawaban suaminya. "Tapi dia benar-benar suka mengikutimu," kata Laurent. Wajah Damian menegang, ketika dia menoleh ke belakang, ia melihat wajah Alicia sudah memerah karena menekan amarahnya.Adrian berdiri terpaku di ambang pintu kamar sempit itu. Bau apek alkohol, asap rokok, dan tubuh yang terlalu lama terbaring tanpa perawatan membuat udara begitu menyesakkan. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Tubuh kecil yang tergeletak di atas kasur reyot itu begitu pucat, begitu sunyi… terlalu sunyi. Mata Dante tertutup, bibirnya membiru, dan tubuhnya tampak kaku.“Dante…” bisik Adrian, nyaris tanpa suara.Langkahnya terhuyung mendekat. Ia jatuh berlutut di sisi tempat tidur yang ringkih, tangannya gemetar saat menyentuh wajah bocah itu. Dingin. Tak ada respons. Air matanya mulai menggenang tanpa ia sadari. Napasnya tercekat di tenggorokan.“Dia… dia sudah…” ucap Adrian, suaranya pecah.Namun sebelum duka itu benar-benar melumpuhkannya, salah satu anak buahnya—seorang pria bernama Richie—berjongkok cepat di sisi Adrian. Ia mengambil denyut nadi di pergelangan tangan Dante dengan teliti, lalu menyentuh leher anak itu dengan jari terlatih.“Tuan… tunggu sebentar,” ucap Richie p
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.