Elara menikah dengan Damian demi menyelamatkan keluarganya yang berutang besar. Sebagai pria arogan dan pewaris kaya, Damian setuju menikah bukan karena cinta, tapi karena Elara cantik dan berkelas. Namun, sebuah kecelakaan tragis menghancurkan wajah Elara—dan bersamaan dengan itu, menghancurkan pernikahannya. Damian, yang dulu tak peduli, kini memandangnya dengan jijik. Penghinaan, perselingkuhan, dan penderitaan menjadi bagian dari hidup Elara, hingga akhirnya, Damian menceraikannya dan mengusirnya tanpa belas kasihan. Dua tahun berlalu. Semua orang mengira Elara sudah mati… tapi kini dia kembali. Dengan wajah baru, hati yang lebih keras, dan kekuatan yang lebih besar. Sebagai Laurent Forst, wanita sukses yang menguasai dunia bisnis, dia datang bukan untuk meminta cinta—tapi untuk menghancurkan pria yang pernah menghancurkannya.
View MoreMalam itu, Elara masih terjaga di kamarnya.
Setelah kejadian di meja makan dan di dapur, pikirannya dipenuhi dengan berbagai emosi. Lelah, marah, sedih, dan perasaan tidak berdaya bercampur menjadi satu. Lalu, ketukan terdengar di pintu. “Nyonya Elara.” Elara menoleh. Seorang pelayan berdiri di ambang pintu dengan sikap ragu. “Tuan Damian meminta Anda ke kamarnya sekarang.” Jantung Elara berdegup lebih cepat. Damian… memanggilnya? Untuk apa? Hingga saat ini, pria itu hampir tidak pernah mengundangnya ke kamar. Mereka tidur terpisah, dan Damian selalu bersikap dingin padanya. Tapi sekarang? Ada harapan kecil yang tumbuh dalam hatinya. Mungkin… mungkin malam ini akan berbeda. Mungkin akhirnya Damian akan melihatnya sebagai istrinya. Dengan tangan gemetar, Elara memilih gaun malam yang lembut dan elegan. Ia menyisir rambutnya dengan rapi, mengenakan sedikit lipstik tipis agar wajahnya tidak terlihat pucat. Ia ingin terlihat pantas di mata suaminya. Ia ingin Damian melihatnya, bukan sebagai seseorang yang tidak berharga, tapi sebagai seorang istri. Dengan hati berdebar, ia berjalan ke kamar Damian. Pelayan yang tadi hanya menundukkan kepala dalam diam. Lalu, ia tiba di depan pintu itu. Menarik napas dalam-dalam, ia mengangkat tangannya dan mengetuk sebelum perlahan membuka pintu. Namun, saat pintu terbuka… Dunia Elara seketika runtuh. Di atas ranjang, Alicia berada di atas tubuh Damian. Gaun tidurnya sedikit terbuka, dan tubuhnya menempel erat pada pria itu. Damian tampak terkejut. Matanya membelalak saat melihat Elara berdiri di ambang pintu. Tapi sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Alicia sudah lebih dulu bersuara. “Oh?” Suara Alicia terdengar santai, bahkan ada sedikit nada mengejek. “Ada apa ke kamar Damian, Nyonya Elara?” Elara membeku di tempat. Lidahnya kelu. Dadanya terasa sesak, dan jantungnya berdetak begitu kencang hingga hampir menyakitkan. Tatapannya beralih dari Damian ke Alicia, lalu kembali ke pria itu. Damian masih terdiam, ekspresi terkejutnya belum hilang. Tapi… dia tidak mengatakan apa pun. Elara menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Apa yang harus ia katakan? Apa yang harus ia lakukan? Alicia tersenyum kecil, seolah menikmati situasi ini. “Kalau tidak ada hal penting, aku rasa kau bisa kembali ke kamarmu, Nyonya Elara.” Elara merasakan tubuhnya gemetar. Kakinya terasa lemas. Tapi ia menolak menunjukkan kelemahannya di depan Alicia. Tanpa suara, ia melangkah mundur, menutup pintu dengan perlahan. Lalu, ia berjalan pergi. Tidak ada air mata yang jatuh. Tidak ada kata-kata yang terucap. Tapi di dalam hatinya, sesuatu telah patah. ** Pagi itu, Elara terbangun dengan perasaan berat. Tidur tidak membawa ketenangan baginya, hanya memperpanjang rasa sakit yang terus menumpuk di hatinya. Saat ia berjalan keluar kamar dan turun ke ruang makan, suara ceria Alicia terdengar memenuhi ruangan. "Aku ingin sarapan yang lebih enak dari biasanya," perintah Alicia kepada para pelayan. "Siapkan roti panggang yang renyah, telur setengah matang, dan jus jeruk segar. Oh, dan tambahkan sedikit madu di atasnya, aku suka yang manis." Para pelayan tampak ragu-ragu, melirik satu sama lain. Mereka tahu bahwa meskipun Alicia sering bertindak seolah rumah ini miliknya, Elara tetaplah nyonya rumah yang sah. Elara berhenti di ambang pintu ruang makan, matanya bertemu dengan Alicia yang kini tersenyum licik ke arahnya. "Ah, kau sudah bangun, Elara," kata Alicia dengan nada santai. "Kenapa diam saja? Kau dengar kan, aku ingin sarapan. Sebagai nyonya rumah, sebaiknya kau sendiri yang memasaknya untukku." Elara menegang. Matanya menatap tajam ke arah Alicia, lalu ia membuka mulutnya dengan suara datar. "Memangnya aku pembantumu?" Alicia mengedipkan mata seakan terkejut, lalu tersenyum lebih lebar. "Oh, jangan seperti itu. Aku hanya meminta bantuan kecil saja." Sebelum Elara sempat menjawab, langkah kaki terdengar dari tangga. Damian turun dengan raut wajah lelah namun tetap memancarkan karisma seperti biasa. Ia berjalan menuju meja makan tanpa menoleh ke arah Elara sedikit pun. "Buatkan apa yang diinginkan Alicia," perintahnya santai sambil menuangkan kopi ke cangkirnya. "Dia sedang hamil anakku." Dunia Elara seakan runtuh saat itu juga. Jantungnya berdebar kencang, tangannya tiba-tiba dingin. Pandangannya beralih dari Damian ke Alicia, yang kini mengelus perutnya dengan ekspresi puas. "Ya, Damian benar," ujar Alicia manja. "Aku sedang mengandung anaknya, jadi aku butuh perhatian lebih. Dan kau, Elara… sebaiknya mulai belajar menerima kenyataan ini." Elara tidak bisa berkata-kata. Ia ingin menyangkal. Ia ingin menuduh Alicia berbohong. Tapi melihat cara Damian mengatakannya dengan begitu tenang, tanpa sedikit pun rasa bersalah, membuatnya tahu bahwa ini nyata. Damian telah mengkhianatinya. Dan sekarang, perempuan itu… perempuan yang merebut segalanya darinya… sedang mengandung anak suaminya. Elara berdiri diam di tempatnya, menatap Alicia yang dengan percaya diri mengumumkan kehamilannya. Ruangan terasa begitu sunyi, seolah semua mata menunggu reaksinya. Alih-alih menunjukkan kesedihan, Elara justru tersenyum tipis. Ia melipat tangannya di depan dada, lalu menatap Alicia dengan sinis. "Hamil?" Elara mengulangi dengan nada ringan. "Baguslah. Setidaknya kau bisa membuktikan bahwa kau lebih dari sekadar wanita simpanan." Damian mengernyit, jelas terkejut dengan reaksi Elara yang sama sekali tidak ia duga. Sementara itu, wajah Alicia berubah seketika—tidak menyangka bahwa Elara akan menanggapinya seperti ini. "Elara—" suara Damian terdengar sedikit tegang. Tapi Elara melanjutkan, "Tapi jangan harap aku akan melayani wanita yang merebut suamiku. Jika ingin sesuatu, mintalah langsung pada Damian." Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Elara berbalik dan berjalan keluar dari dapur. Langkahnya ringan, tapi dadanya bergemuruh hebat. Begitu tiba di ruang tamu, ia berhenti sejenak, matanya tertuju pada gantungan kunci di atas meja kecil dekat tangga. Tangannya terulur, menggenggam kunci mobilnya. Saat itu, suara langkah kaki terdengar dari belakang. "Elara, kau mau ke mana?!" Suara Damian menggema di ruangan, nadanya tajam dan penuh otoritas. Tapi Elara tidak menjawab. Ia hanya meliriknya sekilas sebelum kembali melangkah keluar. Damian tampak ingin mengejarnya, tapi Alicia segera menggenggam lengannya, membuat pria itu mengurungkan niatnya. Sementara itu, Elara sudah masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin dengan tangan yang sedikit gemetar. Saat mobil mulai melaju keluar dari halaman rumah Everstone, suara Damian masih terdengar dari kejauhan. "Elara!" Di dalam mobil... Elara teringat dengan waktu itu.. Aula besar rumah kakeknya terasa hangat dengan cahaya lampu kristal yang berkilauan. Para tamu berpakaian formal, tertawa, dan bersulang dalam suasana perayaan ulang tahun. Di salah satu sudut ruangan, seorang gadis berusia 17 tahun berdiri dengan anggun, memegang segelas jus jeruk di tangannya. Gaun putihnya membuatnya terlihat polos, tetapi matanya berbinar saat seorang pria muda mendekat. "Elara, bukan?" Suara itu rendah, dalam, dan terdengar akrab meski ini pertama kalinya mereka bertemu. Elara menoleh dan bertemu dengan tatapan Damian Everstone. Ia mengangguk pelan. "Ya." "Tidak menikmati pesta ulang tahun kakekmu?" tanyanya santai. Elara menggeleng. "Terlalu ramai." Damian terkekeh. "Aku juga. Aku lebih suka berbicara dengan seseorang daripada berpura-pura menikmati anggur mahal." Malam itu, Damian membuat Elara jatuh cinta. Tatapan hangatnya, senyum kecilnya yang khas, dan caranya berbicara seolah hanya ada mereka di ruangan itu… semuanya tertanam dalam ingatan Elara. Siapa sangka, bertahun-tahun kemudian, pria yang dulu begitu hangat kini menjadi seseorang yang dingin, jauh, dan lebih memilih wanita lain di sisinya. --- Elara mengusap air matanya yang mengalir tanpa bisa ditahan. Tangannya menggenggam kemudi erat. Saat itulah, dari arah depan, cahaya terang menyilaukan matanya. "Apa itu?!" Jantungnya berdegup kencang saat sebuah mobil melaju kencang ke arahnya dari arah berlawanan. "Astaga!" Elara membanting setir, tapi semuanya terjadi begitu cepat. BRAK! Dentuman keras memenuhi udara. Tubuhnya terlempar ke depan, kepalanya membentur kemudi, dan semuanya menjadi gelap. Suara api mulai terdengar, menjalar ke bagian depan mobil. Bau bensin yang menyengat memenuhi udara. Kesadarannya mulai menipis. "Apa ini akhir dari segalanya?"Adrian berdiri terpaku di ambang pintu kamar sempit itu. Bau apek alkohol, asap rokok, dan tubuh yang terlalu lama terbaring tanpa perawatan membuat udara begitu menyesakkan. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Tubuh kecil yang tergeletak di atas kasur reyot itu begitu pucat, begitu sunyi… terlalu sunyi. Mata Dante tertutup, bibirnya membiru, dan tubuhnya tampak kaku.“Dante…” bisik Adrian, nyaris tanpa suara.Langkahnya terhuyung mendekat. Ia jatuh berlutut di sisi tempat tidur yang ringkih, tangannya gemetar saat menyentuh wajah bocah itu. Dingin. Tak ada respons. Air matanya mulai menggenang tanpa ia sadari. Napasnya tercekat di tenggorokan.“Dia… dia sudah…” ucap Adrian, suaranya pecah.Namun sebelum duka itu benar-benar melumpuhkannya, salah satu anak buahnya—seorang pria bernama Richie—berjongkok cepat di sisi Adrian. Ia mengambil denyut nadi di pergelangan tangan Dante dengan teliti, lalu menyentuh leher anak itu dengan jari terlatih.“Tuan… tunggu sebentar,” ucap Richie p
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments