Garret di tempatnya berdiri, terbatuk. Wajahnya yang dipenuhi kerutan sedikit muram.
Nyonya, kau tidak mabuk, bukan? Tuan Felix Harrington masih pria lurus. Lagi pula, bagaimana dia akan punya keinginan menjijikkan seperti menikahi seorang pria? Tapi pria tua itu tidak berkata apa-apa. Ucapan majikan adalah kebenaran yang haram dibantah. “Mungkin dia benar-benar jatuh cinta padaku.” Anna berkata lagi, kali ini tangannya menjangkau gelas minum dan menenggak isinya hingga tandas. Dia mengelap sudut mulutnya sedikit, tapi lalu menarik piring berisi sepotong steak daging. Anna menjilat sudut bibirnya yang masih menyisakan aroma saos. “Bagaimana menurutmu?” tanya Anna meminta pendapat. “Tuan pasti memiliki pertimbangannya sendiri. Dia tidak akan bertindak secara terburu-buru tanpa alasan. Tuan pasti sangat mencintai Nyonya.” Garret tahu kalau dia hanya bisa mengatakan itu. Sejujurnya dia tahu alasan sebenarnya Tuan Felix yang dingin itu menikahi gadis ini. Semua orang juga tahu. Anna, sekali lagi tidak peduli apa pun yang akan dikatakan Garret. Dia hanya ingin mengajak seseorang bicara agar tidak dianggap gila. Lagi pula, makanannya sangat enak. Perutnya juga sangat lapar. Lupakan tentang kesepakatan itu. Selesai makan, dia diantar ke lantai atas, ke kamar tidur. “Kau yakin ini kamar untukku? Apa bosmu sudah mengatakan sesuatu sebelumnya?” Anna bertanya ragu-ragu di depan pintu besar kamar. Felix Harrington tidak mengatakan apa-apa sebelumnya. Tapi Garret tidak perlu diberitahu. “Ini memang kamar tuan Felix. Tentu saja Nyonya akan tidur di sini.” Garret tersenyum maklum. Dia hampir bisa mengerti perasaan gadis di depannya. Pernikahan ini pastilah sebuah keputusan mendadak tuannya. Tuan Harrington Senior akhirnya berhasil mendorong Felix Harrington ke sudut. Jantung Anna nyaris melompat jatuh. Meski dia mencoba menjaga ekspresinya, tetap saja dia tidak bisa menyembunyikan perasaan gugupnya. Dia belum memikirkan masalah ini. Sebelumnya dia hanya fokus pada masa depannya yang suram karena harus menghabiskan sisa hidup dengan penjahat itu. Dia tidak memperhatikan hal-hal kecil ini. Apakah dia harus benar-benar tidur satu ruangan dengan Felix Harrington yang menakutkan? Anna menunggu hingga kepala pelayan pergi barulah dia mengetuk pintu. Tapi setelah beberapa lama tidak juga ada sahutan dari dalam. Tidak ingin berdiri terlalu lama di sana, Anna mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Sebuah kamar besar dengan dinding kamar berwarna gelap menyambutnya. Anna merasa seperti sedang memasuki kamar iblis. Udara kamar terasa hangat. Tapi auranya sangat dingin. Sang Iblis tidak terlihat di mana pun. Samar terdengar suara air dari kamar mandi di salah satu sisi ruangan. Tanpa sadar, Anna merinding sendiri membayangkan seseorang di dalam sana. Dia melihat sebuah sofa besar dan duduk bersandar di sana. Lelah dan mengantuk, Anna hampir jatuh tertidur ketika pintu kamar mandi terbuka. Felix keluar dari kamar mandi dengan air yang masih menetes di ujung rambutnya. Air itu terus mengalir ke bahu lebarnya, menuruni dadanya yang tampak keras dan berotot. Lalu.... Anna berhenti memperhatikan pemandangan yang mengguncang dunianya. Bukan tak ingin. Hanya saja sebuah selimut dilemparkan ke wajahnya hingga pemandangan itu segera lenyap dari jangkauan penglihatannya. “Jangan coba-coba naik ke ranjangku.” Felix berkata dengan ekspresi jijik dan pergi ke balik sebuah pintu ruangan lain. Siapa yang ingin naik ke ranjangnya? Anna menggerutu dalam hati sambil menarik selimut yang menutupi wajahnya. Beberapa saat kemudian Felix sudah kembali dengan kaus dan celana sport di tubuhnya, membuat Anna memuji Tuhan. Dia tidak harus melihat otot-otot di sekujur tubuh bagian atas Felix yang membuat aliran darahnya mendadak kacau. “Jadi, apa keputusannya? Aku harus berangkat ke universitas besok pagi-pagi sekali.” Anna memulai pembicaraan sambil memeluk selimut. Tubuhnya terasa lengket. Dia ingin mandi tapi tak memiliki baju ganti. “Jangan katakan kalau aku harus tinggal di sini seterusnya.” Setidaknya di apartemen kecilnya, Anna memiliki ranjangnya sendiri. Meski kecil tapi cukup nyaman untuk melepas penat. Rumah ini membuatnya sedikit takut. Felix berjalan ke sisi ranjang dan duduk di sana. Di atas nakas di sebelah ranjang, Anna melihat pistolnya tergeletak dalam jangkauan. Dia menelan ludah, memeluk selimut makin erat. “Seorang isteri akan mengikuti suaminya. Bagaimana orang-orang akan percaya kalau kita adalah pasangan? Kau bisa pergi kuliah dan pulang ke sini. Jangan coba-coba kabur jika tidak ingin....” “Baiklah. Tidak usah mengancamku. Aku akan pergi ke universitas besok pagi dan bekerja setelah kelas usai. Aku sangat sibuk. Jadi hanya bisa kembali larut malam.” Anna dengan terburu-buru memotong ucapan Felix. Dia memang sangat sibuk. Kuliah dan beberapa pekerjaan untuk bertahan hidup. Dia hanya punya beberapa jam untuk istirahat. Pria itu mengerutkan kening. “Jangan mempermalukanku. Tidak ada pekerjaan mulai hari ini.” Dia mengambil dari laci meja sebuah kartu berwarna hitam dan melemparkannya pada Anna. “Gunakan itu jika kau perlu membeli sesuatu. Tidak perlu menahan diri. Aku tidak cukup miskin untuk membiarkanmu berkeliaran di jalan.” Lalu Felix mengambil setumpuk map dari atas nakas dan duduk bersandar di ranjang. Anna melotot. “Siapa yang berkeliaran di jalan? Aku sedang dalam perjalanan pulang dari bekerja. Jika ada yang berkeliaran tidak jelas itu adalah kau.” Dia sangat marah. “Dan ambil kembali kartu jelek ini. Aku tidak memerlukannya. Aku memiliki uangku sendiri.” Anna melempar kembali kartu hitam, benda yang mungkin hanya bisa dimilikinya dalam mimpi. Dia melempar dengan asal. Tapi kartu itu terbang dan dengan telak mengenai wajah Felix. Ekspresi pria itu mendadak muram. Pandangannya terangkat perlahan. Tidak ada yang pernah sekurang ajar ini padanya. Menemukan tatapan itu, nyali Anna langsung mengecil. Kemarahannya berganti kepanikan. Dia teringat adegan di dalam gang. Bahkan ekspresi pria ini tidak berubah saat melihat korbannya menggelepar di tanah. “Oh, maaf. Aku tidak sengaja. Tanganku berkeringat dan licin.” Anna menjelaskan dengan suara mencicit. Kartunya terbang sendiri sejauh empat meter dan tepat mengenai wajah sedingin es itu, siapa yang percaya? Anna berharap Felix mendadak bodoh untuk sekejap. Terima saja alasannya. Lagipula itu tidak cukup untuk melukai wajah tampanmu, doanya dalam hati. Felix meletakkan dokumen di tangannya dengan sembarang dan bangkit dari posisinya. Dia berjalan lambat-lambat mendekati gadis yang meringkuk di sofa. Tiba-tiba saja tangan Anna ditangkap dan ditarik ke atas kepala. Lalu tubuh Felix yang besar memerangkapnya di sofa. “A—apa yang kau lakukan?!” Anna menjerit tertahan. Dia mencoba menendang dengan lututnya. Tapi kedua kakinya dikunci dengan sangat kuat. Lalu wajah pria itu menjadi kian dekat dalam penglihatannya. Mata Anna membelalak ngeri. Dia menoleh ke samping, menghindari segala sesuatu yang bisa dibayangkan olehnya. Apa dia akan menciumku? Atau menggigitku? Sepertinya, dia tepatnya akan mengunyahku. Anna seperti bisa melihat taring runcing di mulut dan tanduk di kepala Felix. Semuanya tumbuh dengan cepat.Felix terdiam beberapa saat, berusaha mencerna pendapat Erick. Matanya menatap kosong ke arah tumpukan dokumen di mejanya, sementara pikirannya memutar ulang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Kemudian dengan murung dia berkata, "Kau benar."Dua orang dengan perbedaan usia yang sangat jauh. Yang tua pemarah, sedangkan yang lebih muda terlihat tidak punya malu. Keduanya memiliki kemampuan lisan yang tajam. Tapi tetap saja Anna memiliki tingkat kepintaran yang lebih tinggi. Sebenarnya tidak ada permusuhan yang jelas antara keduanya. Jadi, mereka bukanlah lawan bagi yang lainnya. Tapi keduanya memiliki kemampuan yang sama. Sama-sama bisa membuat Felix sakit kepala.Menyadari kemungkinan dua orang ini bersekutu melawannya, Felix menghela napas dengan berat. Bayangan Anna dan kakeknya yang berkomplot membuatnya merinding. Meski bukan jenis perlawanan yang membahayakan, tapi tetap saja akan menimbulkan kekacauan di sekitarnya."Kita lihat saja nanti," ujar Felix akhirnya. Dia melan
"Kakek?!" Anna bergegas menghampiri Adam yang terbatuk keras. Tangannya bergerak cepat menepuk-nepuk punggung pria itu. "Kenapa tersedak lagi? Apa yang salah?"Wajah Anna tampak panik. Matanya melebar dengan kekhawatiran yang jelas terlihat. Sementara Adam terus batuk tanpa henti, suaranya yang kasar memenuhi ruangan. Dia hampir kewalahan mengambil napas. Setiap kali dia mencoba menarik udara, batuk lain langsung menyusul. Tangannya menekan dadanya yang terasa sakit karena batuk yang tak kunjung reda."Aku ambilkan air." Anna melompat ke arah meja tempat air minum diletakkan. Langkahnya tergesa-gesa hingga hampir tersandung ujung karpet. Dia kembali dengan segelas air jernih di tangannya, sedikit air tumpah karena tangannya yang gemetar.Ketika batuk Adam sedikit berkurang, dia meneguk air yang diberikan. Tenggorokannya terasa kering. Tapi lalu dia terbatuk lagi beberapa saat kemudian, lebih keras dari sebelumnya. Wajahnya sudah sangat merah dan bagian dadanya terasa nyeri seperti dit
Terdengar suara deheman dari Anna yang berusaha menarik perhatian Adam. “Kakek,” tegurnya hati-hati. “Felix bermaksud baik. Dia terlihat seperti cucu yang sangat berbakti. Kau tidak boleh marah padanya. Lihatlah bagaimana sibuknya dia. Semua beban keluarga ini dilimpahkan di pundaknya saat ayahnya tidak ada. Kau hanya perlu duduk memperhatikan dan menikmati hari tuamu.”Adam terdiam. Gadis ini berbicara seolah-olah dia tahu segalanya tentang keluarga mereka.Mendengar ucapan lembut penuh pembelaan pada cucunya, Adam melirik gadis itu.Baru satu hari menjadi cucu menantu di rumah ini, apa yang gadis ini tahu tentang puteranya, ayah Felix? Dia juga menyebutkan dengan penuh hormat soal Felix yang memikul beban keluarga ini di pundaknya. Seperti dia bisa melihat masa lalu sekaligus masa depan secara bersamaan.“Kau tahu banyak tentang keluarga ini untuk seseorang yang baru saja menikah kemarin,” Adam berkata pelan.Anna tersenyum. “Aku menebaknya.”Lagi-lagi menebak?Ada sedikit kecurigaa
“Felix, aku tidak perlu seseorang mengawasiku saat tidur.” Adam mencoba menolak ‘kebaikan’ cucunya. Dia curiga, Felix mengetahui masalahnya dan sengaja mendorong dia, seorang pria tua yang lemah, ke dalam lubang api.Dia melirik pada cucu menantunya yang memiliki wajah berseri-seri. Semangat di mata polos itu membuat nyali Adam menciut.Apa yang sedang dipikirkan gadis ini? Apa dia berencana membunuhnya dengan beberapa patah kata lagi tanpa sedikit pun rasa bersalah?“Maksudku, kau bisa mengakrabkan diri dengan Anna. Aku terlalu sibuk untuk menemaninya.” Felix membuat alasan yang terdengar masuk akal di telinga siapa pun, tapi tidak bagi Adam. “Dia pasti kesepian di rumah besar ini.” Felix menambahkan dengan wajah serius.Adam mengernyitkan alis. Kesepian? Adam bahkan tidak yakin Anna bisa kesepian. Gadis ini bisa berbicara pada apa saja. Dia mungkin mengobrol dengan tembok atau pohon dan tidak akan peduli apakah mereka merespon atau tidak.“Aku tidak butuh teman mengobrol,” Adam berk
Anna telah membuat Garret terdesak dan nyaris menyerah saat Felix melihat keduanya di depan kamar Adam.“Apa yang terjadi?” tanyanya sambil melihat pada pintu kamar.Dia sedang dalam perjalanan ke lantai atas bersama Erick ketika melihat ada yang tidak beres. “Tuan.” Garret merasa lega melihat Felix, berpikir dia bebas sekarang. Dengan kedatangan sang kepala keluarga, dia berharap bisa membuat nyonya ini segera pergi. Garret ingin menjelaskan, tapi kalah cepat. Anna telah mendahului bicara.“Sayang, kau sudah datang? Sesuatu terjadi pada kakek. Dokter sudah memeriksa dan memberi obat. Aku ingin melihatnya, tapi Garret terus menghalangiku dan berdiri di depan pintu untuk menjaga. Aku rasa dia punya sesuatu yang lain yang lebih penting untuk dilakukan. Aku akan menggantikannya menjaga kakek. Tapi lagi-lagi dia menolak. Kau harus melakukan sesuatu.”Tidak ingin disalahkan, Garret terburu-buru membantah. “Tuan, bukan begitu—““Kau ingin mengatakan aku berbohong?” Anna segera menyela, me
Garret mundur selangkah, posisinya semakin menutupi pintu. "Nyonya, tuan Adam sedang beristirahat. Dokter Harry baru saja memberikan obat penenang.""Obat penenang?" Anna menaikkan alis, ekspresi wajahnya berubah curiga. "Kenapa dia membutuhkan obat penenang?”Garret merasakan keringat dingin mulai menetes di belakang lehernya. Dia seharusnya tahu bahwa gadis ini tidak akan menerima penjelasan sederhana. "Maksud saya, obat untuk memperkuat jantungnya." Dia mulai merasa pusing dengan pertanyaan-pertanyaan Anna yang selalu membutuhkan jawaban yang masuk akal.Anna menatap wajah pelayan yang biasanya tenang itu. "Kau terlihat gugup. Apa yang disembunyikan? Apa kakek dalam kondisi yang lebih buruk dari yang kau katakan?""Tidak, Nyonya. Dia baik-baik saja. Hanya butuh istirahat yang cukup." Garret berusaha menjaga suaranya tetap stabil, meski dalam hati dia mulai panik. "Kalau begitu, aku akan duduk di sampingnya sambil menunggu dia bangun. Aku janji tidak akan berbicara." Anna melangka