Dalam beberapa detik yang terasa lama, Anna menunggu dengan tidak berdaya. Tapi hatinya penuh tekad. Dia akan balas menggigit pria ini jika melakukan sesuatu yang menjijikkan padanya.
Tapi yang kemudian didengarnya adalah suara rendah dipenuhi penghinaan. “Kau pikir aku akan tertarik melakukan sesuatu pada tubuh kurusmu. Jangan bermimpi.” Suara itu tepat di sebelah telinganya. Napas Felix menyapu lehernya, membuat Anna merinding. Dan kesal. Anna berontak seketika, mendorong tubuh pria itu sekuat tenaga. Berhasil! Tapi Felix hanya terdorong selangkah. Itu membuat Anna urung mengamuk. Pria ini terlalu kuat. Jelas-jelas ini pelecehan secara mental. Felix mengejek kecantikannya. Anna miskin, benar. Tapi dia salah satu gadis favorit di kampus. Tak terhitung pemuda yang datang melamar cinta padanya. Meski semua akhirnya dia tolak, karena tak satu pun yang memenuhi kriteria pangeran impiannya. “Lain kali bersihkan dirimu sebelum masuk ke kamarku.” Felix berkata lagi. Dia mengendus bau keringat yang lengket dari gadis itu. Tapi rambutnya masih menguarkan aroma shampo. Anna masih marah. Dan gugup. Dia tidak menjawab, juga tidak mengangguk. Tapi dia berbaring di sofa membelakangi pria itu sambil menutupi seluruh dirinya dengan selimut. Sialan sekali! Dia memaki dalam hati. *** Rasanya hanya beberapa menit Anna tertidur sebelum kemudian terbangun. Dia mengedipkan matanya dengan linglung saat menatap langit-langit kamar yang berwarna abu-abu. Begitu kesadarannya pulih, dia nyaris terjatuh dari sofa saat melompat bangun. Semalam begitu buruk. Dia sempat berharap kalau ini semua hanyalah sebuah mimpi. Ranjangnya kosong. Pria itu sudah bangun rupanya. Sebuah ketukan di pintu. Anna bergegas pergi membukakan. Seorang gadis pelayan masuk membawa tas belanja berisi pakaian. Dia memberitahu kalau itu diberikan tuannya. Anna sedikit lega. Sekarang dia mempunyai baju ganti. Melihat waktu di layar ponsel, dia bergegas ke kamar mandi. Dia harus segera pergi. Hari ini kelas Profesor Grant. Dia dosen paling pemarah di kampusnya. Jadi, tidak ada alasan untuk terlambat. Tidak sampai sepuluh menit Anna bersiap. Dia bahkan tidak sempat mengagumi kamar mandi atau memperhatikan baju yang dikenakannya, sebuah dress yang tampak sederhana tapi nyaman. Waktu turun ke ruang makan, dia melihat Felix duduk di ujung meja sendirian. Sisanya, meja besar itu kosong. Garret membantu menarik sebuah kursi untuk Anna. “Aku sudah mengatur seorang supir dan pengawal untukmu.” Felix memulai percakapan. “Terima kasih untuk supirnya. Tapi aku tidak perlu seseorang untuk mengawalku.” Anna akan merasa tidak nyaman dengan seseorang yang akan terus mengikutinya. “Ini bukan untuk diperdebatkan.” Felix memperingatkan. “Jangan lupa untuk kembali sebelum makan siang. Kakek akan pulang hari ini.” Anna ingin membantah. “Tidak ada pekerjaan. Aku sudah memberitahu kafe tempatmu bekerja kalau kau berhenti mulai hari ini. Dan taman hiburan tempat kau menjadi badut sialan itu, aku akan memecat manajernya jika mempekerjakanmu lagi.” Itu terdengar mengerikan bagi Anna. Dia telah berusaha keras untuk mendapatkan dua pekerjaan itu, tapi Felix dengan mudah membuatnya berhenti. “Ambil kartunya dan jangan mencoba mengatakan hal-hal konyol.” Felix hanya makan sepotong roti dan menghabiskan setengah cangkir kopi sebelum bangkit. Selera makan Anna seketika lenyap. Dia merasa sakit kepala membayangkan dirinya akan diikuti ke mana-mana. *** Anna hanya duduk terbengong-bengong di kursi belakang sebuah SUV lapis baja yang dilengkapi kaca anti peluru. Di sebelahnya, Silvia sang pengawal duduk dengan tenang. Dia adalah seorang gadis cantik tinggi langsing yang lebih mirip model dibandingkan prajurit terlatih. Entah di mana dia menyembunyikan senjatanya. Biasanya Anna cukup cerewet. Tapi kali ini sepanjang perjalanan ke universitas dia sibuk berpikir. Harus ada penjelasan untuk mobil mewah dan Silvia. Mereka singgah sebentar di apartemen Anna untuk mengambil beberapa buku. Untuk sisa barangnya, Felix akan menyuruh orang mengambilnya. Silvia mengikuti mulai dari saat turun dari mobil ke unitnya, menunggui Anna mengambil barang hingga kembali ke mobil. Petugas keamanan di lantai satu bersiul menggoda waktu melihat Anna datang dengan gadis cantik itu. “Sebaiknya tutup mulut kotormu jika tidak ingin dia menghancurkannya.” Anna memperingatkan pria bertubuh tegap itu. “Hei, apa salahku?” Roy terkekeh sembari tidak melepaskan matanya yang usil dari Silvia. “Dia temanku. Jangan berani kurang ajar.” Anna memelototi Roy hingga pria itu hanya bisa meringis. Anna pernah menghajarnya saat pertama kali tiba di apartemen ini. Itu karena Roy membuntutinya hingga depan unit milik Anna. Dia tertarik pada gadis itu dan ingin Anna menjadi pacarnya. Tidak disangka jika di balik postur kecilnya, tersembunyi kekuatan yang cukup untuk menjatuhkan Roy. “Aku tidak berani.” Roy mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Anna melewati pria itu tanpa mengatakan apa-apa lagi. Di belakangnya, Silvia terus menempel seperti perekat. Waktu mereka tiba di depan universitas yang ramai, Anna harus menarik napasnya sepenuh dada lalu menghembuskannya dengan keras. Dia sedikit gugup. Berharap tidak ada yang akan memperhatikan mereka, Anna melompat turun dari mobil dan berencana pergi secepatnya dari sana. Dia bisa merasakan Silvia di belakangnya mengikuti. Tapi ternyata dia tidak cukup beruntung. Entah dari mana tiba-tiba saja tiga orang gadis dengan penampilan angkuh sudah menghadang langkahnya. Pandangan ketiganya berpindah-pindah antara Anna, pengawalnya Silvia dan mobil yang baru saja menurunkannya. “Sepertinya jalang kecil ini baru saja mendapatkan pria kaya untuk tidur dengannya.” Itu adalah Dorothy Langford, musuh bebuyutan Anna.Felix terdiam beberapa saat, berusaha mencerna pendapat Erick. Matanya menatap kosong ke arah tumpukan dokumen di mejanya, sementara pikirannya memutar ulang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Kemudian dengan murung dia berkata, "Kau benar."Dua orang dengan perbedaan usia yang sangat jauh. Yang tua pemarah, sedangkan yang lebih muda terlihat tidak punya malu. Keduanya memiliki kemampuan lisan yang tajam. Tapi tetap saja Anna memiliki tingkat kepintaran yang lebih tinggi. Sebenarnya tidak ada permusuhan yang jelas antara keduanya. Jadi, mereka bukanlah lawan bagi yang lainnya. Tapi keduanya memiliki kemampuan yang sama. Sama-sama bisa membuat Felix sakit kepala.Menyadari kemungkinan dua orang ini bersekutu melawannya, Felix menghela napas dengan berat. Bayangan Anna dan kakeknya yang berkomplot membuatnya merinding. Meski bukan jenis perlawanan yang membahayakan, tapi tetap saja akan menimbulkan kekacauan di sekitarnya."Kita lihat saja nanti," ujar Felix akhirnya. Dia melan
"Kakek?!" Anna bergegas menghampiri Adam yang terbatuk keras. Tangannya bergerak cepat menepuk-nepuk punggung pria itu. "Kenapa tersedak lagi? Apa yang salah?"Wajah Anna tampak panik. Matanya melebar dengan kekhawatiran yang jelas terlihat. Sementara Adam terus batuk tanpa henti, suaranya yang kasar memenuhi ruangan. Dia hampir kewalahan mengambil napas. Setiap kali dia mencoba menarik udara, batuk lain langsung menyusul. Tangannya menekan dadanya yang terasa sakit karena batuk yang tak kunjung reda."Aku ambilkan air." Anna melompat ke arah meja tempat air minum diletakkan. Langkahnya tergesa-gesa hingga hampir tersandung ujung karpet. Dia kembali dengan segelas air jernih di tangannya, sedikit air tumpah karena tangannya yang gemetar.Ketika batuk Adam sedikit berkurang, dia meneguk air yang diberikan. Tenggorokannya terasa kering. Tapi lalu dia terbatuk lagi beberapa saat kemudian, lebih keras dari sebelumnya. Wajahnya sudah sangat merah dan bagian dadanya terasa nyeri seperti dit
Terdengar suara deheman dari Anna yang berusaha menarik perhatian Adam. “Kakek,” tegurnya hati-hati. “Felix bermaksud baik. Dia terlihat seperti cucu yang sangat berbakti. Kau tidak boleh marah padanya. Lihatlah bagaimana sibuknya dia. Semua beban keluarga ini dilimpahkan di pundaknya saat ayahnya tidak ada. Kau hanya perlu duduk memperhatikan dan menikmati hari tuamu.”Adam terdiam. Gadis ini berbicara seolah-olah dia tahu segalanya tentang keluarga mereka.Mendengar ucapan lembut penuh pembelaan pada cucunya, Adam melirik gadis itu.Baru satu hari menjadi cucu menantu di rumah ini, apa yang gadis ini tahu tentang puteranya, ayah Felix? Dia juga menyebutkan dengan penuh hormat soal Felix yang memikul beban keluarga ini di pundaknya. Seperti dia bisa melihat masa lalu sekaligus masa depan secara bersamaan.“Kau tahu banyak tentang keluarga ini untuk seseorang yang baru saja menikah kemarin,” Adam berkata pelan.Anna tersenyum. “Aku menebaknya.”Lagi-lagi menebak?Ada sedikit kecurigaa
“Felix, aku tidak perlu seseorang mengawasiku saat tidur.” Adam mencoba menolak ‘kebaikan’ cucunya. Dia curiga, Felix mengetahui masalahnya dan sengaja mendorong dia, seorang pria tua yang lemah, ke dalam lubang api.Dia melirik pada cucu menantunya yang memiliki wajah berseri-seri. Semangat di mata polos itu membuat nyali Adam menciut.Apa yang sedang dipikirkan gadis ini? Apa dia berencana membunuhnya dengan beberapa patah kata lagi tanpa sedikit pun rasa bersalah?“Maksudku, kau bisa mengakrabkan diri dengan Anna. Aku terlalu sibuk untuk menemaninya.” Felix membuat alasan yang terdengar masuk akal di telinga siapa pun, tapi tidak bagi Adam. “Dia pasti kesepian di rumah besar ini.” Felix menambahkan dengan wajah serius.Adam mengernyitkan alis. Kesepian? Adam bahkan tidak yakin Anna bisa kesepian. Gadis ini bisa berbicara pada apa saja. Dia mungkin mengobrol dengan tembok atau pohon dan tidak akan peduli apakah mereka merespon atau tidak.“Aku tidak butuh teman mengobrol,” Adam berk
Anna telah membuat Garret terdesak dan nyaris menyerah saat Felix melihat keduanya di depan kamar Adam.“Apa yang terjadi?” tanyanya sambil melihat pada pintu kamar.Dia sedang dalam perjalanan ke lantai atas bersama Erick ketika melihat ada yang tidak beres. “Tuan.” Garret merasa lega melihat Felix, berpikir dia bebas sekarang. Dengan kedatangan sang kepala keluarga, dia berharap bisa membuat nyonya ini segera pergi. Garret ingin menjelaskan, tapi kalah cepat. Anna telah mendahului bicara.“Sayang, kau sudah datang? Sesuatu terjadi pada kakek. Dokter sudah memeriksa dan memberi obat. Aku ingin melihatnya, tapi Garret terus menghalangiku dan berdiri di depan pintu untuk menjaga. Aku rasa dia punya sesuatu yang lain yang lebih penting untuk dilakukan. Aku akan menggantikannya menjaga kakek. Tapi lagi-lagi dia menolak. Kau harus melakukan sesuatu.”Tidak ingin disalahkan, Garret terburu-buru membantah. “Tuan, bukan begitu—““Kau ingin mengatakan aku berbohong?” Anna segera menyela, me
Garret mundur selangkah, posisinya semakin menutupi pintu. "Nyonya, tuan Adam sedang beristirahat. Dokter Harry baru saja memberikan obat penenang.""Obat penenang?" Anna menaikkan alis, ekspresi wajahnya berubah curiga. "Kenapa dia membutuhkan obat penenang?”Garret merasakan keringat dingin mulai menetes di belakang lehernya. Dia seharusnya tahu bahwa gadis ini tidak akan menerima penjelasan sederhana. "Maksud saya, obat untuk memperkuat jantungnya." Dia mulai merasa pusing dengan pertanyaan-pertanyaan Anna yang selalu membutuhkan jawaban yang masuk akal.Anna menatap wajah pelayan yang biasanya tenang itu. "Kau terlihat gugup. Apa yang disembunyikan? Apa kakek dalam kondisi yang lebih buruk dari yang kau katakan?""Tidak, Nyonya. Dia baik-baik saja. Hanya butuh istirahat yang cukup." Garret berusaha menjaga suaranya tetap stabil, meski dalam hati dia mulai panik. "Kalau begitu, aku akan duduk di sampingnya sambil menunggu dia bangun. Aku janji tidak akan berbicara." Anna melangka